"Eh? Mana ada mirip sama aku.""Serius, Put. Coba, deh." Aku berusaha menyamakan foto itu dengan wajah Putri, tapi dia terus-terusan mengelak. Memang benar, foto itu terlihat lebih kusam, agak buram juga. Kurang terlihat wajahnya. Tapi aku yakin. Itu Mas Fahri dan Putri. Saat aku membalik foto itu, ada tanggal di sana. Beberapa tahun yang lalu. Hm. Aku yakin sekali, ini pasti ada hubungannya dengan Putri dan Mas Fahri. "Kamu pegang ini, Ngga. Biar Bibi yang baca duluan.""Oke, Bi."Angga memberikan buku harian itu padaku. Sedangkan aku memberikan fotonya pada Angga. "Coba aku lihat fotonya." Putri membuka suara.Aku dan Angga saling bertatapan. Akhirnya, Angga menggelengkan kepala. Dia sejak awal sudah merasa curiga dengan Putri. Baiklah. Aku mendukung keputusan Angga. Bagaimana pun juga, kami sedang membongkar misteri kematian Zifa, adiknya Angga. "Nanti aja, Put.""Tapi, Nay—""Bi, coba buka, deh, buku hariannya." Angga mengalihkan pembicaraan. Dia masih memegang buku harian
"Kita masuk sekarang, Bi?" tanya Angga sambil menoleh ke aku. Ragu-ragu, aku mengangguk. Membuka pintu kamar Zifa lebih lebar. Kami masuk ke dalam kamar Zifa. Kamarnya terlihat gelap. Aku menelan ludah, berusaha mencari saklar. "Di sini saklarnya, Bi." Lampu akhirnya menyala. Aku menatap ke sekeliling. "Astaga!"Aku berteriak. Ada sekelebat bayangan lewat barusan. Ya ampun, itu cukup mengerikan. "Kenapa, Bi Nay?" tanya Angga pelan. Dia baru saja memeriksa meja belajar Zifa. "Enggak. Gak papa." Sebenarnya, itu bayangan apa? Kenapa mengerikan sekali? Ah, aku mengusap kening, jangan sampai itu bayangan mengganggu kami. Angga menatapku aneh, tapi dia akhirnya mengangguk. "Bi Nay lihat sesuatu, ya, di sini?" tanya Angga pelan. Aku diam sejenak. Beberapa detik, aku menganggukkan kepala. Memang benar, yang aku lihat tadi bukan sembarang sesuatu yabg lewat. Ah, itu menyeramkan. "Lihat apa, Bi?""Ada bayangan hitam lewat, Ngga."Angga menatapku tidak percaya. "Serius, Bi? Di sini
"Kamu dicariin Fahri sampai neleponin aku berkali-kali, Nay. Aku capek balesin dia.""Udah berapa kali aku bilang, gak usah diladenin. Susah dibilangin, sih."Aku meletakkan kotak makanan yang tadi diberikan Angga. Katanya, ini makanan lumayan enak. Kebetulan aku sedang lapar. "Kamu yang susah dibilangin. Gak ngerti lagi sama kamu, Nay."Pandanganku beralih ke Putri. Kenapa dia yang repot, sih? Lagian, Mas Fahri juga pakai reseh menghalangiku untuk membongkar semuanya. Dia seperti takut sesuatu. "Kamu juga kenapa ngeladenin Mas Fahri, Putri? Kan, nomor dia udah aku hapus, bahkan kartu kamu aku potong. Apa lagi biar ketenangan kamu terjaga?" tanyaku kesal. "Cukup soal Zifa, Nay. Kamu gak bakalan berhenti kalau terus kayak gini.""Apaan, sih? Kok jadi kamu ikutan ngelarang aku bahas Zifa?""Aku cuma mau kamu hidup tenang lagi. Tanpa gangguan apa pun. Selama kamu kenal sama Zifa, kamu sering diganggu, kan? Sering ngerasa melihat sesuatu aneh?"Aku diam sejenak. Memang benar kata Putr
"Kita mau kemana sebenarnya?"Aku menoleh ke belakang. Menatap Putri yang terlihat penasaran. Ah, dia pasti sudah bisa menebak, kalau perjalanan kami kali ini masih ada hubungannya dengan kematian Zifa. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Zifa. Baik aku dan Angga sama-sama diam. Aku menghela napas pelan, memalingkan wajah. "Bi, coba lihat alamatnya.""Dari penunjuk jalan sih ke kanan, Ngga."Angga mengangguk. Harusnya, kami sudah sampai di alamat rumah yang dimaksud di buku harian milik Pia. Namun, tidak ada rumah sama sekali. Aku dan Angga berpandangan. Ini hanya lapangan saja. Masa kami harus bertanya pada rumput?"Tanya ke tetangga sana aja, kali, ya, Bi."Mobil menuju ke rumah yang cukup dekat dengan alamat ini. Aku sesekali melirik Putri. Kami keluar dari mobil. Tadi saat pertama kali masuk lokasi ini, asing sekali menurutku. Apalagi kami belum pernah masuk ke kawasan ini. Baik aku atau Angga. Entah Putri. "Maaf, Bu. Kami mau tanya alamat ini. Ibu tahu ada di mana?"Wanita p
"Ini orang yang mau kita temui, Bi?" bisik Angga. "Tidak usah bisik-bisik. Ayo masuk." Orang itu membuka pintu lebar-lebar. Bau badannya tercium sampai jarak berdiriku. Entah sudah berapa lama dia tidak mandi. Aku ragu-ragu menatap ke dalam rumah itu. Pantas saja tidak terawat rumah ini, yang menghuni saja tidak merawat tubuhnya sendiri. "Jangan malu-malu. Penampilan saya memang begini.""Gimana, Bi?" bisik Angga lagi. "Bibi juga gak tau." "Gak mau masuk?" Wajah orang itu terlihat sedih. Angga masih menatapku. Dia menunggu keputusanku. Ah, baiklah. Dari pada kami kehilangan kesempatan. Lagi pula, alamatnya benar. Biarkan saja konsekuensinya ditanggung nanti.Akhirnya, aku masuk duluan. Diikuti Angga dan Putri. "Terima kasih sudah mau bertamu."Pria ini harusnya tidak berpenampilan seperti orang gila. Dari nada bicaranya, dia terlihat seperti orang pintar. Entahlah. Aku belum bicara dengannya. Belum bisa menyimpulkan, dia benar-benar pintar atau tidak. "Saya tahu tujuan kali
"Saya harap, kalian tidak terkejut dengan apa yang akan kalian saksikan nanti."Televisi kembali mati. Aku menatap Pakannya Zifa. Begitu juga dengan Angga. Kami penasaran sekali dengan apa yang terjadi. "Iya. Kami tidak akan terkejut. Tapi tayangkan saja dulu." Aku berusaha membujuknya. "Tidak bisa. Kalian pasti akan kaget nanti."Eh? Aku menatap Pamannya Pia. Apa maksudnya? "Berjanji dulu. Saya tidak akan menyalakannya, sebelum kalian berjanji. Apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah bertanya apa maksudnya."Angga menoleh ke aku. Meminta persetujuan. Baiklah. Aku menganggukkan kepala. Kalau itu untuk kebaikan semuanya, aku siap dengan risikonya. Lagi pula, kami sudah siap untuk menontonnya. Pria dengan rambut dan pakaian berantakan itu mengangguk. Aku sempat melihatnya melirik ke Putri, kemudian tersenyum miring. Ah, entahlah. Aku tidak mengerti maksudnya menatap Putri seperti itu. "Dalam hitungan ketiga, aku akan menyalakannya. Kalian hitung, ya."Kami menatap pria itu ane
"Sini. Kalian mau diam saja di sana?"Aku menelan ludah, sedikit tidak percaya dengan pandanganku di depan sana. Apakah benar itu adalah Zifa dan Pia?"Bi?" Angga meminta persetujuan dariku. "Kita pastiin." Aku menganggukkan kepala, mulai mendekat. Sebenarnya, aku juga tidak terlalu asing lagi, karena pernah bertemu dengan Pia dan Zifa saat mereka sudah meninggal—entah itu halusinasi atau nyata. Namun, Angga belum pernah. Maka nya dia sedikit takut. "Bi Nay." Mereka kompak menyapaku. "Hai, Pia. Zifa." Aku tersenyum, berusaha mengadaptasikan diri. "Bang Angga." Zifa tersenyum, dia menganggukkan kepala ke Angga. Jarak mereka tidak terlalu dekat padaku. Aku menghela napas pelan, bingung mau mengatakan apa. "Apa yang ingin Bi Nay dan Bang Angga tanyakan pada kami?" tanya Zifa pelan. Angga menoleh padaku. Dia seketika kehilangan kata-katanya. "Apa pun yang ingin ditanyakan, tanyakan saja pada mereka." Paman Pia akhirnya ikut bersuara, agar kami tidak kehilangan kesempatan. Beber
"K—kamu serius?" Aku menghentikan langkah. Sedikit tidak percaya dengan kabar ini. Benarkah Maa Fahri dan Putri otak dari semua masalah ini?Awalnya memang aku sudah menduga kalau mereka adalah otak dari semua masalah ini, tapi aku tidak menyangka, kalau itu semua benar. "Tidak mungkin aku mengatakannya, kalau tidak benar.""Tapi, tidak ada tanda-tanda kalau mereka yang melakukan itu semu—"Gadis itu tertawa, membuatku berhenti mengatakan kalimat tadi. "Memang benar. Tidak ada tanda-tanda dari mereka. Bahkan, mereka menyimpannya hebat sekali, tidak kelihatan oleh orang lain. Bi Nay menyangka tiga orang itu, bukan? Ah, ternyata otakmya adalah orang dekat Bi Nay sendiri."Remaja ini. Entah kenapa aku merasa dia pintar sekali. Aku menggelengkan kepala. Kami kembali melanjutkan langkah. "Kadang, orang yang dekat itu seperti musuh dalam selimut. Sulit dipercaya.""Bagaimana kamu bisa tahu semuanya?" tanyaku pelan. "Tidak usah dipikir juga, aku sudah tahu. Mereka orang jahat. Apalagi?"