Aku menerima uluran tangan Mama. Ya, aku akan melatih kekuatanku. Kami akan menang melawan Mas Fahri. "Ayo. Kita ke rumah Bunda kamu."Kami menatap Paman Pia yang mengangguk. Sudah waktunya kami pergi. Tidak ada lagi yang akan menghalangi. Aku dan Nara berpegangan tangan. "Gimana kalau nanti hasilnya gak sesuai sama apa yang kita pikirkan? Aku gak bisa sehebat apa yanv kalian pikirin.""Yakin aja udah. Kamu hebat." Nara menjawab keluhanku. "Kamu juga hebat." Aku ikut memuji Nara yang tersenyum."Yaudah. Kita sama-sama hebat."Sejak tadi, aku memperhatikan Paman Pia yang mengambil remote. Dia menoleh ke kami. "Siap?" tanyanya sambil melirik kami satu persatu. "Siap."Mama ikut memegangi tanganku. Aku tersenyum, kami harus secepatnya mengembalikan itu semua. Juga ada Mertua dan Putri. "Dalam hitungan ketiga. Satu."Aku menghela napas pelan. Apa pun konsekuensinya nanti, aku akan berusaha menerimanya. "Dua."Jantungku mulai berdetak kencang. Astaga, padahal ini kedua kalinya kami
"Ayo kita lanjut perjalanan.""Malam ini juga?" tanya Paman Pia sambil duduk di sebelah kami. Mama masih tertidur. Ah, aku jadi tidak tega untuk membangunkan Mama. Sementara kami harus tetap melanjutkan perjalanan. "Takutnya nanti kita terlambat. Ada banyak yang harus diselesaikan.""Oke." Paman Pia beranjak. Dia mengambil kunci mobil yang diletakkan di atas meja. "Paman manasin mobil."Aku menghela napas pelan, menoleh ke Nara yang tersenyum. "Mau bagaimanapun keadaannya, kita harus segera pergi, Nay. Aku ke kamar Mama dulu. Kamu bangunkan Mama kamu, ya."Nara beranjak. Dia meninggalkanku dan Mama yang masih tertidur. Beberapa detik terdiam, aku akhirnya memutuskan untuk membangunkan Mama. "Ma." Tidak ada jawaban. "Ma. Bangun. Kita lanjutin perjalanan.""Ksearang?" tanya Mama pelan. Ah, rasanya aku tidak sanggup membangunkan Mama. Apalagi Mama terlihat lelah sekali. Mau bagaimana lagi, kami harus segera melanjutkan perjalanan, lagi pula setelah di sana nanti, Mama bisa kembali
Nara menjelaskan semuanya. Aku diam saja. Kami sudah ada di dalam rumah. Sesekali, Bunda mengangguk. Mama dan Paman Pia sudah ke kamar masing-masing. Mereka butuh istirahat. "Ah, begitu."Bunda memelukku, tersenyum. "Anak Bunda ternyata sudah besar, ya. Kamu betul mau melawan Fahri, Nak?"Aku menatap Bunda yang tersenyum, kemudian mengangguk. "Ah, ayo ikut Bunda."Kami beranjak. Mengikuti Bunda dari belakang. Aku menatap Nara yang mengangkat bahu. Pintu ruang gudang terbuka. Mataku menyipit, menatap ke dalam. Ada banyak sekali pustaka di sana. Dengan langkah ringan, Bunda masuk. Aku juga ikutan, sementara Nara berdiri di luar. Entah kenapa. "Itu bukan kekuasaanku." Itu kata Nara ketika aku menoleh padanya. Baiklah. Aku menganggukkan kepala, mengekor Bunda. Buna membuka salah satu kotak yang terlihat ada sinarnya. Aku menutup mata melihat benda itu dibuka. Sebuah kristal? Untuk apa? Apakah ini untuk kami melawan Mas Fahri? Tapi tidak mungkin. "Ini lebih besar kekuasaannya. Bu
"Aduh, sakit, Pa! Sakit!" Teriakan itu kencang sekali. Aku meringis sendiri setiap kali mendengarkannya. Aduh, rasanya tidak sanggup mendnegar teriakan itu. "Sakit, Pa! Udah, Pa! Ampun, sakit!" Teriakan itu terdengar kembali, aku mengambil bantal, menutupi telingaku dengan bantal, astaga aku terganggu sekali. Aku memperbaiki posisi tidur beberapa kali, suara itu tetap saja terdengar menyeramkan dan menyakitkan. Aduh, bagamana cara agar aku tidak bisa mendengarkan teriakan itu kembali? Setiap mendengarkannya, aku malah merasa semakin kasian dengan orang yang berteriak. Aku menghela napas beberapa kali. Ini benar-benar mengganggu ku. "Sakit, Pa! Udah, Pa! Ampun!" Teriakan iyu kembali terdengar. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku beranjak. Menghela napas beberapa kali, tidak bisa tertidur akibat suara itu. Kalau tidak ada suara itu, mungkin aku tidak akan merasa terganggu seperti sekarang. Suaranya benar-benar memekakkan telinga.
"Tutup pintunya cepetan, Nay!"Dengan tangan gemetar, aku menutup pintu rumah. Jantungku berdetak kencang sekali."Kenapa kamu buka pintu rumah? Jangan macam-macam lagi, ah."Aku menelan ludah, yang aku peluk tadi—Astaga, sulit dicerna oleh nalar manusia. Aku tadi melihat anak kecil dengan darah di wajahnya yang hancur."Jangan dibayangin lagi. Tidur, besok kesiangan."Aku merasa, ada yang aneh dengan keluarga Zifa. Bukan hanya hubungan anak tiri dengan papanya yang jahat itu.Ah, aku harus mencari tahu. Membela hak Zifa.***"Zifa abis dari mana?" tanyaku sambil menyapu halaman rumah. Zifa lewat depan rumahku.Wajahnya tampak pucat, mungkin karena Papanya tadi malam.Zifa berhenti sebentar. Dia menoleh ke aku.&
Sebelum baca, yang belum Subscribe/Berlangganan, disubscribe/Berlangganan dulu, yaa.***"Aku gak kerja hari ini. Bantu-bantu di sana aja.""Serius, Mas? Kamu gak bohong, kan? Gak mungkin Zifa meninggal. Jelas-jelas tadi dia bicara sama aku."Uhuk!Mas Fahri yang sedang minum tersedak. Dia menatapku terkejut."Kamu halusinasi atau gimana, Nay? Jelas-jelas Mas lihat jasadnya Zifa dibawa tadi. Udah pucat, kaku juga. Kalau Mas perhatiin, meninggalnya tadi malam. Baru ketemu tadi subuh."Aku mengusap wajah. Kalau benar tadi malam habis teriakan Zifa kesakitan, aku akan merasa bersalah sekali.Astaga, kenapa aku membiarkan anak kecil disiksa papanya sendiri?"Siap-siap. Jangan melamun. Kita gak salah apa-apa. Gak ada yang salah di sini. Ingat, jangan merasa bersalah, Nay."&nbs
Sebelum membaca, klik SUBSCRIBE atau BERLANGGANAN dulu, yaa.***"Bicara apa?" tanyaku sambil beranjak."Di dapur aja, Bi. Saya butuh privasi."Aku mengangguk, mengikutinya ke dapur rumah.Sebelum mengatakan sesuatu, abangnya Zifa diam sejenak. Dia terduduk di kursi. Membuatku sedikit heran. Ada apa dengan pria ini?"Bibi dititipkan sesuatu oleh Zifa?"Dari mana dia tahu? Bukankah waktu Zifa menitipkannya, Zifa sudah meninggal?Mataku menyipit. Sepertinya, ada yang dirahasiakan oleh pria ini."Bi?"Dengan pelan, tanganku mengambil kalung yang diberikan Zifa tadi pagi. Ah, entahlah. Siapa yang memberikannya. Yang pasti, Zifa harusnya sudah meninggal."Zifa memberikannya tadi pagi. Ketika warga sudah menemukan jasadnya. Ketika—"
SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA DISUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.***"Aduh, pisaunya kenapa bisa jatuh sendiri, sih?""Bukannya tadi yang jatuhin—"Pembantu itu tampak bersungut, tapi dia melirikku tajam, seolah tidak suka."Bi, kenapa tiap malam saya dengar Zifa teriak kesakitan? Apakah ada sesuatu yang terjadi sama dia?" Aku berusaha memancingnya."Aduh, Bu. Jangan tanya itu lagi. Saya gak tau apa-apa soal Non Zifa.""Tapi gak mungkin Bibi gak dengar. Di rumah saya saja terdengar jela—""Bu, tolong. Berhenti soal itu semua. Saya pusing dengan meninggalnya Non Zifa. Sudahlah, potong sendiri."Dia langsung pergi, membuatku tersenyum tipis. Sekarang aku yakin, pembantu Zifa ada sesuatu dengan misteri teriakan Zifa ini.***"Ser