ホーム / Thriller / Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam / Pembicaraan Pembantu Ziva di Telepon

共有

Pembicaraan Pembantu Ziva di Telepon

作者: Rahma La
last update 最終更新日: 2021-11-02 15:16:53

SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA KLIK TOMBOL SUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.

***

"Heh! Kamu ngapain Ibu?"

Aku mundur selangkah, ketika pembantu Zifa tiba-tiba muncul dari belakangku. 

"Ibu kenapa? Diapain sama orang jahat itu?"

Astaga. Belum apa-apa, dia sudah menuduhku. Aku menggelengkan kepala. Sedikit tidak percaya dengan kalimatnha barusan. 

"Ta—tadi ada Zifa, Bi." Aku kembali menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Atau mungkin aku yang dikira sebagai Zifa tadi?

"Non Zifa udah meninggal, Bu."

"Lalu tadi?"

Aku malengkah maju, menyalami Mama Zifa. 

"Saya Nay, Bu. Tetangga yang paling dekat dengan Zifa."

Dia diam sejenak. Beberapa detik, akhirnya mengangguk. Wajahnya tampak cerah kembali.

"Ah, iya. Tadi saya nyuruh Angga manggil kamu." Pandangannya teralih ke pembantu Zifa. "Bi, tolong keluar, ya. Saya mau bicara penting sama Bibi Nay."

"Tapi, Bu—"

"Bi, tolong, ya."

Dengan berat hati, pembantu Zifa keluar kamar, sambil melirikku tajam. Dia sepertinya tidak menyukaiku sejak awal kami bertemu.

Aku mendekat, Mama Zifa menatapku sejak tadi. 

"Terakhir saya bertemu dengan Zifa dua bulan yang lalu." Dia diam sejenak, mendongak. "Zifa kelihatan bahagia sekali. Jujur, saya pikir tidak ada apa-apa dengan anak saya."

Tanganku terangkat, mengusap bahu Mama Zifa. Mama dan Abangnya pasti punya penyesalan yang sama. 

"Dia anak yang ceria. Gak pernah nangis. Selalu tertawa pas saya telepon dia."

"Kenapa Zifa ditinggal dengan papa tirinya, Bu? Kenapa tidak dengan Ibu?"

"Sekolah Zifa ada di sini. Lagi pula, katanya ada Bibi Nay, dia udah anggap sebagai ibunya sendiri. Saya juga di sana ada kerjaan dan lagi sakit, kontrol ke rumah sakit terus, Bi. Gak bisa ikut sama Zifa."

Aku menganggukkan kepala. Kemudian berdeham. "Apa saya boleh ke kamar Zifa, Bu?"

"Ah, iya. Boleh. Zifa percaya sama Bi Nay. Saya juga harus percaya."

Kami melangkah ke kamar Zifa. Tadinya, aku menyuruh Mama Zifa untuk tiduran saja di kamar, tapi tidak mungkin aku sendirian ke kamar Zifa. 

"Bi Nay, kata Angga, Zifa sering teriak kalau malam, ya?"

"Iya, Bu. Saya juga gak tau apa-apa. Suara Zifa terdengar sampai rumah kami. Saya sering rekam suaranya, Bu. Terus buat laporan ke pihak berwajib."

Langkah kami terhenti. Mama Zifa tampak terkejut. "Lalu apa tanggapan pihak berwajib, Bi?"

"Gak ada sama sekali."

Wajah Mama Zifa kembali berubah. Tadi, ada harapan terselip di sana. Kami kembali melanjutkan langkah. 

"Boleh saya dengar rekamannya, Bi?"

"Boleh, tapi ponsel saya di rumah, Bu. Nanti saja, ya."

"Bi Nay baik sekali mau membuat laporan untuk Zifa."

Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Padahal, tidak ada hasil sama sekali. 

Kami sampai di kamar Zifa. Mama Zifa mengeluarkan kunci, tapi mengernyit, dia sepertinya tidak bisa membuka pintu kamar Zifa. 

Pandanganku teralih ke saku celana. Apakah aku bisa membuka pintu kamar ini dengan kunci yang diberikan Zifa?

"Ibu mau ngapain?"

Kami menoleh, mendapati pembantu Zifa yang tampak panik melihat Mama Zifa berusaha membuka pintu kamar. 

"Kunci kamar Zifa masih yang lama, kan, Bi? Kok saya gak bisa buka?"

"Masa sih, Bu?" tanyanya sambil mengambil kunci kamar di kantong plastik yang dibawanya di saku celana.

Jadi, pembantu Zifa juga menyimpan kunci?

Aku hanya menatap dari jauh. Memperhatikan gerakan pembantu Zifa yang mencurigakan. 

"Gak bisa, Bu."

Bersamaan dengan itu, ada bayangan hitam lewat. Aku mundur selangkah, menelan ludah. Bayangan apa barusan?

"Aduh, gimana, ya? Apa kita jebol aja?"

"Sebaiknya jangan, Bu. Mungkin Zifa gak mau kamarnya dibuka siapa pun." 

Entah kenapa, seperti ada yang mendorongku berbicara itu. Aku mengusap wajah, padahal itu bukan kemauanku. 

"Betul juga. Yaudah, Bi. Kapan-kapan aja. Saya mau ke ruang tamu dulu. Makasih udah baik sama Zifa selama ini." 

Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Menatap Mama Zifa yang melangkah menuruni anak tangga. 

Sebelum pergi, aku melirik pembantu Zifa yang masih menatap pintu. Sepertinya, dia penasaran sekali dengan pintu itu. 

"Saya duluan, Bi."

***

"Bi Nay, bisa minta tolong bawain ini ke dapur?" tanya Angga sambil membawa piring. Dia menatapku. 

"Bisa. Kamu duduk aja."

Angga mengangguk, sambil berterima kasih. Dia kembali ke tempatjya semula. 

Aku membawa piring berisi kue ke dapur. Rumah Zifa sudah tidak terlalu ramai. 

Namun, sampai sekarang Papa Zifa belum sampai. Padahal, aku berharap dia datang hari ini. Ingin tahu apa yang akan dilakukannya. 

Langkahku terhenti mendengar seseorang sedang mengobrol. 

"Iya. Dia juga penghalang. Gak nyangka, padahal aku udah singkirin Zifa."

Jantungku berdetak cepat. Itu suara pembantu Zifa. 

Apakah ini ada hubungannya dengan kematian Zifa? Apa yang sebenarnya terjadi? 

Aku menatap pintu yang terbuka sedikit. Berusaha mendengarkan pembantu Zifa yang sedang teleponan. 

"Singkirkan dia juga? Oke. Aku gak mau ada penghalang."

***

Maaf kemarin gak update, ada kesibukan. Hari ini Insya Allah update lebih dari satu bab.

Jangan lupa like dan komen, yaa. 

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Akhir (TAMAT)

    Nara menjelaskan semuanya. Aku diam saja. Kami sudah ada di dalam rumah. Sesekali, Bunda mengangguk. Mama dan Paman Pia sudah ke kamar masing-masing. Mereka butuh istirahat. "Ah, begitu."Bunda memelukku, tersenyum. "Anak Bunda ternyata sudah besar, ya. Kamu betul mau melawan Fahri, Nak?"Aku menatap Bunda yang tersenyum, kemudian mengangguk. "Ah, ayo ikut Bunda."Kami beranjak. Mengikuti Bunda dari belakang. Aku menatap Nara yang mengangkat bahu. Pintu ruang gudang terbuka. Mataku menyipit, menatap ke dalam. Ada banyak sekali pustaka di sana. Dengan langkah ringan, Bunda masuk. Aku juga ikutan, sementara Nara berdiri di luar. Entah kenapa. "Itu bukan kekuasaanku." Itu kata Nara ketika aku menoleh padanya. Baiklah. Aku menganggukkan kepala, mengekor Bunda. Buna membuka salah satu kotak yang terlihat ada sinarnya. Aku menutup mata melihat benda itu dibuka. Sebuah kristal? Untuk apa? Apakah ini untuk kami melawan Mas Fahri? Tapi tidak mungkin. "Ini lebih besar kekuasaannya. Bu

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Masalah Apa?

    "Ayo kita lanjut perjalanan.""Malam ini juga?" tanya Paman Pia sambil duduk di sebelah kami. Mama masih tertidur. Ah, aku jadi tidak tega untuk membangunkan Mama. Sementara kami harus tetap melanjutkan perjalanan. "Takutnya nanti kita terlambat. Ada banyak yang harus diselesaikan.""Oke." Paman Pia beranjak. Dia mengambil kunci mobil yang diletakkan di atas meja. "Paman manasin mobil."Aku menghela napas pelan, menoleh ke Nara yang tersenyum. "Mau bagaimanapun keadaannya, kita harus segera pergi, Nay. Aku ke kamar Mama dulu. Kamu bangunkan Mama kamu, ya."Nara beranjak. Dia meninggalkanku dan Mama yang masih tertidur. Beberapa detik terdiam, aku akhirnya memutuskan untuk membangunkan Mama. "Ma." Tidak ada jawaban. "Ma. Bangun. Kita lanjutin perjalanan.""Ksearang?" tanya Mama pelan. Ah, rasanya aku tidak sanggup membangunkan Mama. Apalagi Mama terlihat lelah sekali. Mau bagaimana lagi, kami harus segera melanjutkan perjalanan, lagi pula setelah di sana nanti, Mama bisa kembali

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Berjuang Bersama

    Aku menerima uluran tangan Mama. Ya, aku akan melatih kekuatanku. Kami akan menang melawan Mas Fahri. "Ayo. Kita ke rumah Bunda kamu."Kami menatap Paman Pia yang mengangguk. Sudah waktunya kami pergi. Tidak ada lagi yang akan menghalangi. Aku dan Nara berpegangan tangan. "Gimana kalau nanti hasilnya gak sesuai sama apa yang kita pikirkan? Aku gak bisa sehebat apa yanv kalian pikirin.""Yakin aja udah. Kamu hebat." Nara menjawab keluhanku. "Kamu juga hebat." Aku ikut memuji Nara yang tersenyum."Yaudah. Kita sama-sama hebat."Sejak tadi, aku memperhatikan Paman Pia yang mengambil remote. Dia menoleh ke kami. "Siap?" tanyanya sambil melirik kami satu persatu. "Siap."Mama ikut memegangi tanganku. Aku tersenyum, kami harus secepatnya mengembalikan itu semua. Juga ada Mertua dan Putri. "Dalam hitungan ketiga. Satu."Aku menghela napas pelan. Apa pun konsekuensinya nanti, aku akan berusaha menerimanya. "Dua."Jantungku mulai berdetak kencang. Astaga, padahal ini kedua kalinya kami

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Perkelahian Tak Bisa Dihindari

    "Mereka siapa?" tanyaku merapat ke Nara. "Suruhan Fahri. Aku yakin banget. Itu pasti orang-orang suruhan Fahri."Mendadak, tubuhku menegang mendengarnya. Benarkah itu suruhan Mas Fahri? Astaga, itu benar-benar berita buruk. Aku mengusap dahi. Gara-gara Mama dan Paman nya Pia, kami jadi terlambat untuk pergi. "Yaudah. Tinggal pergi aja. Gak usah susah mikirin semuanya." Paman Pia mengatakan itu. Aku menghela napas pelan, masalahnya bukan itu sepertinya. Kalau begitu, Nara pasti tidak sepanik itu. Dia juga sudah mengusulkan untuk pergi saja sejak tadi. "Kita gak bisa pergi dari sini sebelum orang-orang itu pergi."Kami semua menoleh ke Nara yang baru saja mengatakan itu dengan nada pelan. "Serius?" tanya Paman Pia. Wajahnya berubah serius sekali. "Ya. Coba saja."Paman Pia mengambil sesuatu. Sepertinya dia betulan ingin mencoba apa yang dikatakan oleh Nara. Benda yang hampir sama dengan kaset yang pernah kami bawa. Aku menatap benda itu. Terdengar letusan seperti dulu. Beberapa

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Didatangi Tamu Tak Diundang

    "Eh?" Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Nara. "Ngapain kita ke rumah Bunda? Makin jauh." "Semakin jauh, semakin jauh juga kita dari bahaya. Tenang aja, santai."Nara menginjak gas dalam-dalam. Dia sepertinya tidak peduli dengan jalanan yang sudah mulai sepi atau sudah mulai malam. Mobil berhenti di gang rumah Paman Pia. Kami bertiga keluar dari mobil. Aku dan Nara membantu Mama berjalan. Kami lebih dari berlari sebenarnya. "Itu cepetan, sebelum ada orang suruhan Fahri nemuin kita."Aku mengangguk. Kami mempercepat berlari. Mama bahkan sudah kelelahan kalau dilihat-lihat. Aku mengembuskan napas pelan, ketika kami sampai di depan rumah Paman Pia. Buru-buru Nara mengetuk pintu itu kuat-kuat. Ini sudah larut malam, siapa juga yang masih bangun. "Aduh, apaan sih ngetuk rumah malam-malam. Gak tahu ngantuk apa, ya?"Paman Pia membuka pintu, menguap lebar. Dia tidak melihat siapa kami. Masih sibuk dengan dirinya sendiri. "Ini kami." Ketika melihat Nara, mata Paman Pia langsung

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Berubah Arah

    "Aku lagi beli sesuatu di luar, Mas." Aku berusaha mencari jawaban yang tepat dan semoga tidak membuat Mas Fahri curiga. "Terus Mama kemana? Kuncinya kamu bawa?" "Aku gak bawa kunci. Tadi, Mama kamu yang ngunci pintu.""Tapi aku juga bawa kunci. Gak bisa dibuka pintunya."Mendengar itu, aku menahan napas. Ah, bagaimana cara menjawabnya? Nara melirikku. Dia sejak tadi fokus menyetir mobil. "Gak tau juga, Mas. Sebentar lagi aku pulang.""Kamu sama Nara?""Iya." Aku menjawab cukup ragu. Takut dia curiga. Diam sejenak di seberang sana. Aku menggigit bibir, berharap Mas Fahri tidak curiga. Ah, bagaimana kalau dia tahu rencana ini sedang berjalan?Masih saja diam. Aku menahan napas. Tidak ada tanda-tanda Mas Fahri akan berbicara. "Yaudah. Aku tidur di rumah teman aja. Kamu sebentar lagi pulang atau gimana?" Nah, itu masalahnya. Aku menoleh ke Nara. Butuh pendapat dari dia. Nara mendelik. Wajahnya seolah mengatakan kenapa kamu bilang begitu tadi. Aku mengangkat bahu. "Kita nginap di

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status