SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA DISUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.
***
"Aduh, pisaunya kenapa bisa jatuh sendiri, sih?"
"Bukannya tadi yang jatuhin—"
Pembantu itu tampak bersungut, tapi dia melirikku tajam, seolah tidak suka.
"Bi, kenapa tiap malam saya dengar Zifa teriak kesakitan? Apakah ada sesuatu yang terjadi sama dia?" Aku berusaha memancingnya.
"Aduh, Bu. Jangan tanya itu lagi. Saya gak tau apa-apa soal Non Zifa."
"Tapi gak mungkin Bibi gak dengar. Di rumah saya saja terdengar jela—"
"Bu, tolong. Berhenti soal itu semua. Saya pusing dengan meninggalnya Non Zifa. Sudahlah, potong sendiri."
Dia langsung pergi, membuatku tersenyum tipis. Sekarang aku yakin, pembantu Zifa ada sesuatu dengan misteri teriakan Zifa ini.
***
"Serius, Nay? Ah, tapi gak mungkin. Masa pembantunya main belakang." Mas Fahri menggelengkan kepala, tidak percaya dengan ceritaku barusan.
"Banyak kali, Mas, yang kayak gitu. Tapi aku belum nemuin alasan yang sebenarnya."
Kami sudah di rumah. Nanti lagi ke rumah Zifa. Aku menunduk, menatap kantong celana. Masih tersisa kunci kamar Zifa.
Ah, belum terpikir olehku untuk ke kamar Zifa. Mungkin setelah tiga hari meninggalnya. Ah, entahlah. Bisa jadi sekarang.
"Udahlah. Kita gak ada urusan apa-apa lagi sama keluarga Zifa. Gak perlu lagi kamu cari tau, Mas udah pusing dengarnya."
"Mas, tapi kalau aku mencari tau sesuatu tidak masalah, kan?"
Mas Fahri menghela napas berat. Dia tampak tidak suka dengan sikapku kali ini.
"Udah berapa kali kita ikut campur, Nay? Apa hasilnya? Gak ada."
"Ayolah, Mas. Gak ada hasil bukan berarti kita menyerah. Aku bakalan merasa bersalah banget kalau gak membongkar semuanya."
"Ah, terserah kamu sajalah."
Suamiku itu berlalu. Dia mau sarapan katanya tadi.
Tidak ada yang bisa menghalangiku. Aku harus mencari tau siapa sebenarnya pembantu Zifa. Dia benar-benar mencurigakan.
***
"Angga, Bibi mau bicara sesuatu sama kamu."
Papa Zifa yang menurutku tidak beres itu belum datang. Aku duduk di samping Angga, Mama Zifa sedang istirahat. Nanti rencananya aku akan bicara padanya.
"Bicara apa, Bi?" tanyanya sambil meletakkan ponsel ke atas meja.
Rumah Zifa mulai sepi. Hanya beberapa saudaranya dan tetangga yang masih di sini. Lumayan bisa bebas berbicara rahasia ini.
Belum sempat aku bicara, pembantu Tidak datang, melirikku sinis.
"Den, Ibu udah bangun. Nyariin Den Angga."
Angga terlihat kebingungan. "Kayaknya Mama baru tidur, deh, Bi. Ah, gak mungkin udah bangun."
"Udah bangun, Den. Masa saya bohong."
"Nanti saja, Bi. Suruh Mama tidur dulu. Saya mau membicarakan sesuatu sama Bi Nay."
"Tapi, Den—"
"Bi, saya bukan Zifa. Saya gak bisa Bibi suruh-suruh."
Wajah pembantu Zifa terlihat pucat. Dia mengusap wajah, melirikku tajam. Baiklah, sepertinya dia punya masalah hidup denganku.
"Ada-ada aja. Maksa orang lagi." Angga memperbaiki duduknya. Tampak tidak suka.
Aku berdeham. "Bibi ada curiga satu orang, Ngga."
"Wah, keren, Bi. Siapa orangnya, Bi?" Angga berbisik, takut terdengar orang lain.
Beberapa detik aku terdiam. "Pembantu kamu."
Wajah Angga tampak terkejut. Dia terdiam. Memikirkan kata-kataku barusan.
"Bi Nay bisa yakin gitu dari mana?" tanyanya akhirnya.
Angga pasti tahu, aku tidak mungkin menuduh tanpa bukti. Ya, aku bisa membuktikannya, meskipun tidak ada foto atau videonya.
Aku bercerita sambil berbisik-bisik. Sedangkan Angga sesekali menganggukkan kepala.
"Sejak awal, aku juga udah curiga, Bi. Tapi Papa pertahanin dia. Betulan, Bi. Kalau waktu boleh diulang, aku gak mau biarin Adek sama Papa di sini."
"Sudahlah. Jangan disesali lagi. Kita fokus bongkar semuanya."
Pelan sekali, Angga mengangguk. Kami membicarakan ini semua. Sambil menyusun rencana untuk membuktikan kalau pembantu Zifa ada di balik ini semua.
Pembantu Zifa yang aku kira-kira umurnya dua puluh tahunan. Apakah dia melakukan hal yang aku pikirkan?
"Mama mau bicara sama Bi Nay."
Aku mendongak. Barusan, Angga pergi ke kamar Mamanya untuk melihat keadaannya. Sepertinya, Mama Zifa sedih sekali. Sama seperti Angga pertama kali datang.
"Bicara apa?"
"Soal Zifa, Bi."
Akhirnya, aku melangkah ke kamar Mama Zifa.
"Angga gak anterin, ya, Bi Nay. Mama mau ketemu sama Bi Nay aja sendirian katanya."
"Iya. Itu ada tamu."
Angga mengangguk, melangkah ke ruang tamu.
Sejak tadi, aku yang menggantikan Angga untuk menyambut tamu. Langkahku memelan ketika sampai di depan kamar Mama Zifa.
"Zifa Sayang, kamu lagi ngapain?"
Eh? Aku mematung mendengar perkataan itu dari dalam. Mamanya Zifa sedang berbicara dengan siapa? Kenapa membawa-bawa nama Zifa?
"Mama sayang banget sama kamu. Kenapa kamu pergi lebih dulu, Sayang? Kenapa?"
Buru-buru aku masuk ke dalam. Jangankan Mama Zifa, aku saja berhalusinasi, tapi ini bahaya kalau dibiarkan.
Kami diam sejenak. Aku menghentikan langkah, menutup pintu kamar.
"Zifa! Zifa, kamu masih hidup, Nak?"
Mendengar itu, aku berbalik. Tidak ada siapa-siapa, tapi siapa yang dipanggil Mama Zifa?
Matanya tampak berbinar. Aku menelan ludah, dia seperti melihat anaknya berdiri di sebelahku.
Beberapa detik, wajahnya berubah. Mama Zifa tampak ketakutan.
"Ke—kenapa wajahmu berdarah, Zifa?!"
***
Ulang yang tadi, ya. Notifikasinya gak masuk. Jangan lupa like dan komen ....
Nara menjelaskan semuanya. Aku diam saja. Kami sudah ada di dalam rumah. Sesekali, Bunda mengangguk. Mama dan Paman Pia sudah ke kamar masing-masing. Mereka butuh istirahat. "Ah, begitu."Bunda memelukku, tersenyum. "Anak Bunda ternyata sudah besar, ya. Kamu betul mau melawan Fahri, Nak?"Aku menatap Bunda yang tersenyum, kemudian mengangguk. "Ah, ayo ikut Bunda."Kami beranjak. Mengikuti Bunda dari belakang. Aku menatap Nara yang mengangkat bahu. Pintu ruang gudang terbuka. Mataku menyipit, menatap ke dalam. Ada banyak sekali pustaka di sana. Dengan langkah ringan, Bunda masuk. Aku juga ikutan, sementara Nara berdiri di luar. Entah kenapa. "Itu bukan kekuasaanku." Itu kata Nara ketika aku menoleh padanya. Baiklah. Aku menganggukkan kepala, mengekor Bunda. Buna membuka salah satu kotak yang terlihat ada sinarnya. Aku menutup mata melihat benda itu dibuka. Sebuah kristal? Untuk apa? Apakah ini untuk kami melawan Mas Fahri? Tapi tidak mungkin. "Ini lebih besar kekuasaannya. Bu
"Ayo kita lanjut perjalanan.""Malam ini juga?" tanya Paman Pia sambil duduk di sebelah kami. Mama masih tertidur. Ah, aku jadi tidak tega untuk membangunkan Mama. Sementara kami harus tetap melanjutkan perjalanan. "Takutnya nanti kita terlambat. Ada banyak yang harus diselesaikan.""Oke." Paman Pia beranjak. Dia mengambil kunci mobil yang diletakkan di atas meja. "Paman manasin mobil."Aku menghela napas pelan, menoleh ke Nara yang tersenyum. "Mau bagaimanapun keadaannya, kita harus segera pergi, Nay. Aku ke kamar Mama dulu. Kamu bangunkan Mama kamu, ya."Nara beranjak. Dia meninggalkanku dan Mama yang masih tertidur. Beberapa detik terdiam, aku akhirnya memutuskan untuk membangunkan Mama. "Ma." Tidak ada jawaban. "Ma. Bangun. Kita lanjutin perjalanan.""Ksearang?" tanya Mama pelan. Ah, rasanya aku tidak sanggup membangunkan Mama. Apalagi Mama terlihat lelah sekali. Mau bagaimana lagi, kami harus segera melanjutkan perjalanan, lagi pula setelah di sana nanti, Mama bisa kembali
Aku menerima uluran tangan Mama. Ya, aku akan melatih kekuatanku. Kami akan menang melawan Mas Fahri. "Ayo. Kita ke rumah Bunda kamu."Kami menatap Paman Pia yang mengangguk. Sudah waktunya kami pergi. Tidak ada lagi yang akan menghalangi. Aku dan Nara berpegangan tangan. "Gimana kalau nanti hasilnya gak sesuai sama apa yang kita pikirkan? Aku gak bisa sehebat apa yanv kalian pikirin.""Yakin aja udah. Kamu hebat." Nara menjawab keluhanku. "Kamu juga hebat." Aku ikut memuji Nara yang tersenyum."Yaudah. Kita sama-sama hebat."Sejak tadi, aku memperhatikan Paman Pia yang mengambil remote. Dia menoleh ke kami. "Siap?" tanyanya sambil melirik kami satu persatu. "Siap."Mama ikut memegangi tanganku. Aku tersenyum, kami harus secepatnya mengembalikan itu semua. Juga ada Mertua dan Putri. "Dalam hitungan ketiga. Satu."Aku menghela napas pelan. Apa pun konsekuensinya nanti, aku akan berusaha menerimanya. "Dua."Jantungku mulai berdetak kencang. Astaga, padahal ini kedua kalinya kami
"Mereka siapa?" tanyaku merapat ke Nara. "Suruhan Fahri. Aku yakin banget. Itu pasti orang-orang suruhan Fahri."Mendadak, tubuhku menegang mendengarnya. Benarkah itu suruhan Mas Fahri? Astaga, itu benar-benar berita buruk. Aku mengusap dahi. Gara-gara Mama dan Paman nya Pia, kami jadi terlambat untuk pergi. "Yaudah. Tinggal pergi aja. Gak usah susah mikirin semuanya." Paman Pia mengatakan itu. Aku menghela napas pelan, masalahnya bukan itu sepertinya. Kalau begitu, Nara pasti tidak sepanik itu. Dia juga sudah mengusulkan untuk pergi saja sejak tadi. "Kita gak bisa pergi dari sini sebelum orang-orang itu pergi."Kami semua menoleh ke Nara yang baru saja mengatakan itu dengan nada pelan. "Serius?" tanya Paman Pia. Wajahnya berubah serius sekali. "Ya. Coba saja."Paman Pia mengambil sesuatu. Sepertinya dia betulan ingin mencoba apa yang dikatakan oleh Nara. Benda yang hampir sama dengan kaset yang pernah kami bawa. Aku menatap benda itu. Terdengar letusan seperti dulu. Beberapa
"Eh?" Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Nara. "Ngapain kita ke rumah Bunda? Makin jauh." "Semakin jauh, semakin jauh juga kita dari bahaya. Tenang aja, santai."Nara menginjak gas dalam-dalam. Dia sepertinya tidak peduli dengan jalanan yang sudah mulai sepi atau sudah mulai malam. Mobil berhenti di gang rumah Paman Pia. Kami bertiga keluar dari mobil. Aku dan Nara membantu Mama berjalan. Kami lebih dari berlari sebenarnya. "Itu cepetan, sebelum ada orang suruhan Fahri nemuin kita."Aku mengangguk. Kami mempercepat berlari. Mama bahkan sudah kelelahan kalau dilihat-lihat. Aku mengembuskan napas pelan, ketika kami sampai di depan rumah Paman Pia. Buru-buru Nara mengetuk pintu itu kuat-kuat. Ini sudah larut malam, siapa juga yang masih bangun. "Aduh, apaan sih ngetuk rumah malam-malam. Gak tahu ngantuk apa, ya?"Paman Pia membuka pintu, menguap lebar. Dia tidak melihat siapa kami. Masih sibuk dengan dirinya sendiri. "Ini kami." Ketika melihat Nara, mata Paman Pia langsung
"Aku lagi beli sesuatu di luar, Mas." Aku berusaha mencari jawaban yang tepat dan semoga tidak membuat Mas Fahri curiga. "Terus Mama kemana? Kuncinya kamu bawa?" "Aku gak bawa kunci. Tadi, Mama kamu yang ngunci pintu.""Tapi aku juga bawa kunci. Gak bisa dibuka pintunya."Mendengar itu, aku menahan napas. Ah, bagaimana cara menjawabnya? Nara melirikku. Dia sejak tadi fokus menyetir mobil. "Gak tau juga, Mas. Sebentar lagi aku pulang.""Kamu sama Nara?""Iya." Aku menjawab cukup ragu. Takut dia curiga. Diam sejenak di seberang sana. Aku menggigit bibir, berharap Mas Fahri tidak curiga. Ah, bagaimana kalau dia tahu rencana ini sedang berjalan?Masih saja diam. Aku menahan napas. Tidak ada tanda-tanda Mas Fahri akan berbicara. "Yaudah. Aku tidur di rumah teman aja. Kamu sebentar lagi pulang atau gimana?" Nah, itu masalahnya. Aku menoleh ke Nara. Butuh pendapat dari dia. Nara mendelik. Wajahnya seolah mengatakan kenapa kamu bilang begitu tadi. Aku mengangkat bahu. "Kita nginap di