Share

Titik Terang

Author: Rahma La
last update Last Updated: 2021-11-02 15:17:07

SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA KLIK SUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.

***

"Siapa di sana?"

Aku membulatkan mata, tidak sadar kalau bayanganku terlihat di balik pintu. 

Buru-buru aku mundur selangkah. Bersembunyi di balik meja. Semoga saja pembantu Zifa tidak curiga. 

"Hm. Bersembunyi? Terang-terangan saja. Aku tidak menyukai orang yang mengganggu ketenanganku."

Apakah dia tahu kalau aku yang baru saja menguping pembicaraannya? Ah, tidak mungkin.

Beberapa menit bersembunyi, akhirnya pembantu itu tidak ada lagi. Aku menghela napas pelan. Keluar dari persembunyian. 

Aku menatap ponsel yang dititipkan Mas Fahri tadi, tersenyum penuh kemenangan. 

"Untung sempat merekam tadi."

***

"Bibi pulang dulu, ya, Ngga."

"Iya. Makasih, Bi Nay. Kalau gak ada Bi Nay, saya gak tau harus ngapain lagi."

Aku menepuk pundaknya pelan. "Cari tahu penyebab Zifa meninggal, Ngga. Dia butuh ketenangan di sana."

"Pasti, Bi. Sekali lagi makasih, Bi Nay."

Kalau dari cerita tetangga, Zifa meninggal karena sakit. Entah sakit apa. 

Apalagi, Zifa meninggal tanpa luka sedikit pun. Di pinggir jalan, matanya terbuka. Sedikit mengerikan sebenarnya kalau dibayangkan. 

"Nay, ayo."

Kami menoleh. Mendapati Mas Fahri. Hari ini, aku ada janji ketemu dengan teman lama. Di wilayah kantor Mas Fahri. 

"Paman, makasih, ya. Tanpa Bi Nay dan Paman Fahri, semuanya gak bakalan bisa normal. Apalagi Mama yang terpukul banget."

"Iya. Kalau Papa kamu udah pulang, sebaiknya tanya baik-baik."

"Pasti, Paman."

Mas Fahri menggandeng tanganku. Dia mengajak segera pergi. 

Terdengar bunyi berisik di dapur. Kami saling tatap, kemudian melangkah ke sana. 

Ada pembantu Zifa dan sepupu Zifa yang baru datang—Angga menunjukkannya padaku tadi. Aku menatap lantai. Bingkai foto pecah di sana. 

Mereka yang memecahkannya?

"Ya ampun, kok bisa? Andin, Bibi. Kenapa bisa jatuh? Ini foto Zifa sama Papa."

Andin? Aku terdiam mendengarnya. Sepertinya, Zifa pernah bilang soal Andin beberapa waktu lalu. Tapi aku lupa. 

"Maaf, Bang. Bibi yang jatuhin. Aku gak salah apa-apa."

Aku berusaha mengingat siapa Andin. 

"Benar gitu, Bi?"

"I—iya, Den. Saya yang salah. Non Andin gak salah apa-apa."

Mataku menyipit mendengarnya. Entah kenapa, ada kejanggalan di nada suara pembantu Zifa. 

"Andin, Abang harap kamu gak buat masalah. Kamu gak suka kalau Abang datang kesini, 'kan? Berkali-kali kamu hadang Abang ke rumah Zifa."

"Perasaan Abang aja. Andin gak pernah ngadang Abang. Buktinya, sekarang Abang ada di sini."

Astaga. Kenapa Angga tidak pernah menceritakannya padaku. 

Remaja itu sesekali melirikku. Usianya sepertinya sama dengan Zifa. 

"Nay, ayo." 

Mas Fahri kembali menggandeng tanganku. Sejak tadi, dia tidak berhenti mengajak pergi. 

Akhirnya, aku mengangguk. Kami pamit kembali pada Angga. 

Sebelum pergi, aku sempat melirik Andin dan pembantu Zifa. Ada sesuatu di mata mereka. 

Ah, target bertambah satu. Andin. 

***

"Kamu dimana? Aku udah sampai."

"Sama aja. Aku kasih kode, ya."

Aku mematikan telepon, menatap sekitar. Ada yang melambaikan tangan. Membuatku melangkah mendekat. 

Mas Fahri ke kantor sebentar katanya. Ada yang mau diambil. 

"Aduh, makin cantik aja si Nay." 

Putri memelukku. Dia sahabat sejak SMA. Kami sudah lama tidak bertemu. Sekarang, baru ada waktu. 

Pandanganku teralih ke seorang remaja yang duduk membelakangi kami. Dia memakai pakaian yang sama dengan pakaian sehari-hari Zifa. 

Bentuk tubuhnya juga. Astaga—apakah dia Zifa?

"Sebentar, Put."

"Eh? Kamu mau kemana? Ke kamar mandi, ya?"

Pertanyaan Putri tidak aku jawab. Langkahku terhenti di belakang anak itu. 

Gemetar tanganku terangkat, menepuk pundaknya. 

Deg. 

Jantungku berdetak cepat ketika melihat Zifa. Dia tersenyum tipis, wajahnya pucat. Bibirnya bergerak, seolah mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara. 

"Zi—Zifa?" Gemetar aku menanyakan itu. 

"Nay, kamu ngapain? Ngomong sama siapa?" 

Aku menoleh. Mendapati Putri dan beberapa orang yang menoleh ke kami. Putri langsung menarik tanganku ke meja kami. 

Pandanganku kembali teralih ke meja Zifa. Eh? Kenapa tidak ada orang di sana? 

"Kamu ngapain di sana, Nay?" tanya Putri penasaran. 

"Aku ngeliat anak tetanggaku tadi, Put. Kasian dia. Meninggal gak wajar."

"Udah meninggal? Terus? Kok bisa kamu lihat?"

"Kata kamu kursinya tadi kosong."

"Oh iya. Ih, serem banget."

Wajah Putri berubah. Dia bergidik ngeri. 

"Kamu bisa lihat makhluk halus?" 

Aku menggelengkan kepala. "Enggak, ah. Mana bisa kayak gitu."

"Emang siapa yang meninggal, Nay? Rumah kamu masih yang lama, kan?"

"Udah pindah." Aku mengatakan perumahanku. 

"Serius? Ada yang aku kenal di situ. Pernah tinggal juga di sana."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Tidak tahu kalau Putri pernah tinggal di sana. 

"Siapa yang meninggal?" tanyanya sambil mengambil cangkir es teh. 

"Zifa."

Uhuk!

Eh? Aku menyodorkan tisu untuk Putri. Kenapa dia batuk-batuk?

"Kamu kenal sama Zifa?" tanyaku setelah Putri sedikit tenang. 

"Bukan cuma kenal, Nay. Aku lebih dari itu. Setiap malam dia teriak kesakitan, kan? Gara-gara papanya?"

***

Jangan lupa like dan komen, yaa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Narti Riyanto
cerita ngelindur
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Akhir (TAMAT)

    Nara menjelaskan semuanya. Aku diam saja. Kami sudah ada di dalam rumah. Sesekali, Bunda mengangguk. Mama dan Paman Pia sudah ke kamar masing-masing. Mereka butuh istirahat. "Ah, begitu."Bunda memelukku, tersenyum. "Anak Bunda ternyata sudah besar, ya. Kamu betul mau melawan Fahri, Nak?"Aku menatap Bunda yang tersenyum, kemudian mengangguk. "Ah, ayo ikut Bunda."Kami beranjak. Mengikuti Bunda dari belakang. Aku menatap Nara yang mengangkat bahu. Pintu ruang gudang terbuka. Mataku menyipit, menatap ke dalam. Ada banyak sekali pustaka di sana. Dengan langkah ringan, Bunda masuk. Aku juga ikutan, sementara Nara berdiri di luar. Entah kenapa. "Itu bukan kekuasaanku." Itu kata Nara ketika aku menoleh padanya. Baiklah. Aku menganggukkan kepala, mengekor Bunda. Buna membuka salah satu kotak yang terlihat ada sinarnya. Aku menutup mata melihat benda itu dibuka. Sebuah kristal? Untuk apa? Apakah ini untuk kami melawan Mas Fahri? Tapi tidak mungkin. "Ini lebih besar kekuasaannya. Bu

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Masalah Apa?

    "Ayo kita lanjut perjalanan.""Malam ini juga?" tanya Paman Pia sambil duduk di sebelah kami. Mama masih tertidur. Ah, aku jadi tidak tega untuk membangunkan Mama. Sementara kami harus tetap melanjutkan perjalanan. "Takutnya nanti kita terlambat. Ada banyak yang harus diselesaikan.""Oke." Paman Pia beranjak. Dia mengambil kunci mobil yang diletakkan di atas meja. "Paman manasin mobil."Aku menghela napas pelan, menoleh ke Nara yang tersenyum. "Mau bagaimanapun keadaannya, kita harus segera pergi, Nay. Aku ke kamar Mama dulu. Kamu bangunkan Mama kamu, ya."Nara beranjak. Dia meninggalkanku dan Mama yang masih tertidur. Beberapa detik terdiam, aku akhirnya memutuskan untuk membangunkan Mama. "Ma." Tidak ada jawaban. "Ma. Bangun. Kita lanjutin perjalanan.""Ksearang?" tanya Mama pelan. Ah, rasanya aku tidak sanggup membangunkan Mama. Apalagi Mama terlihat lelah sekali. Mau bagaimana lagi, kami harus segera melanjutkan perjalanan, lagi pula setelah di sana nanti, Mama bisa kembali

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Berjuang Bersama

    Aku menerima uluran tangan Mama. Ya, aku akan melatih kekuatanku. Kami akan menang melawan Mas Fahri. "Ayo. Kita ke rumah Bunda kamu."Kami menatap Paman Pia yang mengangguk. Sudah waktunya kami pergi. Tidak ada lagi yang akan menghalangi. Aku dan Nara berpegangan tangan. "Gimana kalau nanti hasilnya gak sesuai sama apa yang kita pikirkan? Aku gak bisa sehebat apa yanv kalian pikirin.""Yakin aja udah. Kamu hebat." Nara menjawab keluhanku. "Kamu juga hebat." Aku ikut memuji Nara yang tersenyum."Yaudah. Kita sama-sama hebat."Sejak tadi, aku memperhatikan Paman Pia yang mengambil remote. Dia menoleh ke kami. "Siap?" tanyanya sambil melirik kami satu persatu. "Siap."Mama ikut memegangi tanganku. Aku tersenyum, kami harus secepatnya mengembalikan itu semua. Juga ada Mertua dan Putri. "Dalam hitungan ketiga. Satu."Aku menghela napas pelan. Apa pun konsekuensinya nanti, aku akan berusaha menerimanya. "Dua."Jantungku mulai berdetak kencang. Astaga, padahal ini kedua kalinya kami

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Perkelahian Tak Bisa Dihindari

    "Mereka siapa?" tanyaku merapat ke Nara. "Suruhan Fahri. Aku yakin banget. Itu pasti orang-orang suruhan Fahri."Mendadak, tubuhku menegang mendengarnya. Benarkah itu suruhan Mas Fahri? Astaga, itu benar-benar berita buruk. Aku mengusap dahi. Gara-gara Mama dan Paman nya Pia, kami jadi terlambat untuk pergi. "Yaudah. Tinggal pergi aja. Gak usah susah mikirin semuanya." Paman Pia mengatakan itu. Aku menghela napas pelan, masalahnya bukan itu sepertinya. Kalau begitu, Nara pasti tidak sepanik itu. Dia juga sudah mengusulkan untuk pergi saja sejak tadi. "Kita gak bisa pergi dari sini sebelum orang-orang itu pergi."Kami semua menoleh ke Nara yang baru saja mengatakan itu dengan nada pelan. "Serius?" tanya Paman Pia. Wajahnya berubah serius sekali. "Ya. Coba saja."Paman Pia mengambil sesuatu. Sepertinya dia betulan ingin mencoba apa yang dikatakan oleh Nara. Benda yang hampir sama dengan kaset yang pernah kami bawa. Aku menatap benda itu. Terdengar letusan seperti dulu. Beberapa

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Didatangi Tamu Tak Diundang

    "Eh?" Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Nara. "Ngapain kita ke rumah Bunda? Makin jauh." "Semakin jauh, semakin jauh juga kita dari bahaya. Tenang aja, santai."Nara menginjak gas dalam-dalam. Dia sepertinya tidak peduli dengan jalanan yang sudah mulai sepi atau sudah mulai malam. Mobil berhenti di gang rumah Paman Pia. Kami bertiga keluar dari mobil. Aku dan Nara membantu Mama berjalan. Kami lebih dari berlari sebenarnya. "Itu cepetan, sebelum ada orang suruhan Fahri nemuin kita."Aku mengangguk. Kami mempercepat berlari. Mama bahkan sudah kelelahan kalau dilihat-lihat. Aku mengembuskan napas pelan, ketika kami sampai di depan rumah Paman Pia. Buru-buru Nara mengetuk pintu itu kuat-kuat. Ini sudah larut malam, siapa juga yang masih bangun. "Aduh, apaan sih ngetuk rumah malam-malam. Gak tahu ngantuk apa, ya?"Paman Pia membuka pintu, menguap lebar. Dia tidak melihat siapa kami. Masih sibuk dengan dirinya sendiri. "Ini kami." Ketika melihat Nara, mata Paman Pia langsung

  • Tetanggaku Kesakitan Tiap Malam   Berubah Arah

    "Aku lagi beli sesuatu di luar, Mas." Aku berusaha mencari jawaban yang tepat dan semoga tidak membuat Mas Fahri curiga. "Terus Mama kemana? Kuncinya kamu bawa?" "Aku gak bawa kunci. Tadi, Mama kamu yang ngunci pintu.""Tapi aku juga bawa kunci. Gak bisa dibuka pintunya."Mendengar itu, aku menahan napas. Ah, bagaimana cara menjawabnya? Nara melirikku. Dia sejak tadi fokus menyetir mobil. "Gak tau juga, Mas. Sebentar lagi aku pulang.""Kamu sama Nara?""Iya." Aku menjawab cukup ragu. Takut dia curiga. Diam sejenak di seberang sana. Aku menggigit bibir, berharap Mas Fahri tidak curiga. Ah, bagaimana kalau dia tahu rencana ini sedang berjalan?Masih saja diam. Aku menahan napas. Tidak ada tanda-tanda Mas Fahri akan berbicara. "Yaudah. Aku tidur di rumah teman aja. Kamu sebentar lagi pulang atau gimana?" Nah, itu masalahnya. Aku menoleh ke Nara. Butuh pendapat dari dia. Nara mendelik. Wajahnya seolah mengatakan kenapa kamu bilang begitu tadi. Aku mengangkat bahu. "Kita nginap di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status