SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA KLIK SUBSCRIBE ATAU BERLANGGANAN, YAA.
***
"Siapa di sana?"
Aku membulatkan mata, tidak sadar kalau bayanganku terlihat di balik pintu.
Buru-buru aku mundur selangkah. Bersembunyi di balik meja. Semoga saja pembantu Zifa tidak curiga.
"Hm. Bersembunyi? Terang-terangan saja. Aku tidak menyukai orang yang mengganggu ketenanganku."
Apakah dia tahu kalau aku yang baru saja menguping pembicaraannya? Ah, tidak mungkin.
Beberapa menit bersembunyi, akhirnya pembantu itu tidak ada lagi. Aku menghela napas pelan. Keluar dari persembunyian.
Aku menatap ponsel yang dititipkan Mas Fahri tadi, tersenyum penuh kemenangan.
"Untung sempat merekam tadi."
***
"Bibi pulang dulu, ya, Ngga."
"Iya. Makasih, Bi Nay. Kalau gak ada Bi Nay, saya gak tau harus ngapain lagi."
Aku menepuk pundaknya pelan. "Cari tahu penyebab Zifa meninggal, Ngga. Dia butuh ketenangan di sana."
"Pasti, Bi. Sekali lagi makasih, Bi Nay."
Kalau dari cerita tetangga, Zifa meninggal karena sakit. Entah sakit apa.
Apalagi, Zifa meninggal tanpa luka sedikit pun. Di pinggir jalan, matanya terbuka. Sedikit mengerikan sebenarnya kalau dibayangkan.
"Nay, ayo."
Kami menoleh. Mendapati Mas Fahri. Hari ini, aku ada janji ketemu dengan teman lama. Di wilayah kantor Mas Fahri.
"Paman, makasih, ya. Tanpa Bi Nay dan Paman Fahri, semuanya gak bakalan bisa normal. Apalagi Mama yang terpukul banget."
"Iya. Kalau Papa kamu udah pulang, sebaiknya tanya baik-baik."
"Pasti, Paman."
Mas Fahri menggandeng tanganku. Dia mengajak segera pergi.
Terdengar bunyi berisik di dapur. Kami saling tatap, kemudian melangkah ke sana.
Ada pembantu Zifa dan sepupu Zifa yang baru datang—Angga menunjukkannya padaku tadi. Aku menatap lantai. Bingkai foto pecah di sana.
Mereka yang memecahkannya?
"Ya ampun, kok bisa? Andin, Bibi. Kenapa bisa jatuh? Ini foto Zifa sama Papa."
Andin? Aku terdiam mendengarnya. Sepertinya, Zifa pernah bilang soal Andin beberapa waktu lalu. Tapi aku lupa.
"Maaf, Bang. Bibi yang jatuhin. Aku gak salah apa-apa."
Aku berusaha mengingat siapa Andin.
"Benar gitu, Bi?"
"I—iya, Den. Saya yang salah. Non Andin gak salah apa-apa."
Mataku menyipit mendengarnya. Entah kenapa, ada kejanggalan di nada suara pembantu Zifa.
"Andin, Abang harap kamu gak buat masalah. Kamu gak suka kalau Abang datang kesini, 'kan? Berkali-kali kamu hadang Abang ke rumah Zifa."
"Perasaan Abang aja. Andin gak pernah ngadang Abang. Buktinya, sekarang Abang ada di sini."
Astaga. Kenapa Angga tidak pernah menceritakannya padaku.
Remaja itu sesekali melirikku. Usianya sepertinya sama dengan Zifa.
"Nay, ayo."
Mas Fahri kembali menggandeng tanganku. Sejak tadi, dia tidak berhenti mengajak pergi.
Akhirnya, aku mengangguk. Kami pamit kembali pada Angga.
Sebelum pergi, aku sempat melirik Andin dan pembantu Zifa. Ada sesuatu di mata mereka.
Ah, target bertambah satu. Andin.
***
"Kamu dimana? Aku udah sampai."
"Sama aja. Aku kasih kode, ya."
Aku mematikan telepon, menatap sekitar. Ada yang melambaikan tangan. Membuatku melangkah mendekat.
Mas Fahri ke kantor sebentar katanya. Ada yang mau diambil.
"Aduh, makin cantik aja si Nay."
Putri memelukku. Dia sahabat sejak SMA. Kami sudah lama tidak bertemu. Sekarang, baru ada waktu.
Pandanganku teralih ke seorang remaja yang duduk membelakangi kami. Dia memakai pakaian yang sama dengan pakaian sehari-hari Zifa.
Bentuk tubuhnya juga. Astaga—apakah dia Zifa?
"Sebentar, Put."
"Eh? Kamu mau kemana? Ke kamar mandi, ya?"
Pertanyaan Putri tidak aku jawab. Langkahku terhenti di belakang anak itu.
Gemetar tanganku terangkat, menepuk pundaknya.
Deg.
Jantungku berdetak cepat ketika melihat Zifa. Dia tersenyum tipis, wajahnya pucat. Bibirnya bergerak, seolah mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara.
"Zi—Zifa?" Gemetar aku menanyakan itu.
"Nay, kamu ngapain? Ngomong sama siapa?"
Aku menoleh. Mendapati Putri dan beberapa orang yang menoleh ke kami. Putri langsung menarik tanganku ke meja kami.
Pandanganku kembali teralih ke meja Zifa. Eh? Kenapa tidak ada orang di sana?
"Kamu ngapain di sana, Nay?" tanya Putri penasaran.
"Aku ngeliat anak tetanggaku tadi, Put. Kasian dia. Meninggal gak wajar."
"Udah meninggal? Terus? Kok bisa kamu lihat?"
"Kata kamu kursinya tadi kosong."
"Oh iya. Ih, serem banget."
Wajah Putri berubah. Dia bergidik ngeri.
"Kamu bisa lihat makhluk halus?"
Aku menggelengkan kepala. "Enggak, ah. Mana bisa kayak gitu."
"Emang siapa yang meninggal, Nay? Rumah kamu masih yang lama, kan?"
"Udah pindah." Aku mengatakan perumahanku.
"Serius? Ada yang aku kenal di situ. Pernah tinggal juga di sana."
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Tidak tahu kalau Putri pernah tinggal di sana.
"Siapa yang meninggal?" tanyanya sambil mengambil cangkir es teh.
"Zifa."
Uhuk!
Eh? Aku menyodorkan tisu untuk Putri. Kenapa dia batuk-batuk?
"Kamu kenal sama Zifa?" tanyaku setelah Putri sedikit tenang.
"Bukan cuma kenal, Nay. Aku lebih dari itu. Setiap malam dia teriak kesakitan, kan? Gara-gara papanya?"
***
Jangan lupa like dan komen, yaa.
"Kok kamu bisa tahu? Berarti penyiksaan itu dari—""Udah aku bilang. Bukan hanya tau, aku kenal dengan Mamanya Zifa. Kamu tau Papanya Zifa meninggal gimana?""Gimana?" tanyaku penasaran.Putri mendekat. "Gak wajar. Tabrak lari, hancur semua wajahnya."Astaga. Aku tersentak di kursi. Sangat sulit dipercaya."Setelah masa iddah, Mamanya Zifa langsung nikah sama Papa tiri Zifa sekarang. Padahal, dia gak pernah dekat sama laki-laki lain."Hm. Aku merasa ada sesuatu di sana. Ini benar-benar misteri luar biasa."Kamu kenal sama Papa tirinya Zifa?""Gak terlalu kenal, sih. Setengah tahun Mamanya Zifa menikah, ada suara teriakan itu selama setengah tahun itu. Aku pindah, deh, setelah itu."Aku mengusap wajah. Semuanya harus terbongkar secepatnya."P
"Repot sekali sampai kalian datang kesini.""Enggak, Nek. Kebetulan ada yang mau kami bicarakan." Putri menyenggol lenganku. Dia melotot, menyuruh untuk menyampaikan tujuan kami kesini. Tapi bukankah Nenek tadi bilang dia sudah tahu tujuan kami?"Nenek sudah tahu mengenai Zifa yang sudah—""Sudah tahu, Nak." Nenek itu memotong perkataan Putri. "Zifa meninggal."Ah, mungkin Nenek ini tahu, karena dia memang keluarganya. "Tujuan kami mau menanyakan soal teriakan Zifa setiap malam, Nek. Siapa tahu Nenek punya alasannya."Nenek itu tertawa, terdengar menyeramkan. Beberapa detik, dia mengambil pena dan kertas. Menuliskan sesuatu di sana. "Ini alamat rumah papa tirinya Zifa, Nak. Kalian berdua bisa cari tau di sana.""Tapi, Nek—""Kalau kalian mau tahu, hanya itu solusinya.""Di sini ada kamar Zifa, Nek?" tanyaku beberapa detik setelahnya. "Ada. Mau kesana?"Aku menganggukkan kepala. Nenek itu menunjukkan jalan ke kamar Zifa. "Kamu sendiri kesana, ya. Nenek mau melanjutkan memasak mak
"Sudah selesai memeriksa kamar Zifa, Nak?"Eh? Kami berdua menoleh ke belakang. Nenek itu sudah menunggu di depan pintu. "U—udah, Nek.""Makan, yuk. Nenek udah masak.""Iya. Ayo, Nay. Beresin itu dulu."Aku mengangguk. Buru-buru membereskan kotak dan buku yang berserakan. Juga mengantongi foto dan kertas tadi. Kami sampai di dapur. Aku menelan ludah, melihat makanan yang tersaji. Seperti bubur yang diaduk-aduk saja. Entah apa rasanya. "Ayo, Nak. Dicicipi."Patah-patah aku mengangguk, mengambil sendok. Kemudian memakan bubur itu. Benar saja. Rasanya aneh, campur aduk. Baunya juga amis sekali. Aku langsung mengambil tisu, pura-pura membersihkan mulut. Putri menyenggolku. Wajahnya juga tampak aneh."Makan-makan aja, telan pakai air. Jangan dibuang, nanti Nenek itu gak suka sama kita," bisik Putri. Masalahnya, gimana cara menelan makanan ini. Entah rasanya asin, pedas, manis, campur aduk. Akhirnya, sdiaduk-aduk makan bubur ini setengah hati. Aku menghela napas pelan, rasanya peru
"Ssttt ...."Buru-buru aku menutup mulut, Putri melotot ke arahku. Barusan, ada bayangan hitam lewat di depan kami. Aku menelan ludah, memegangi tangan Putri. "Jangan berisik," bisik Putri. "Kalau ketauan, bahaya." "Gimana gak berisik. Tadi ada bayangan lewat, Put.""Halusinasi kamu. Udahlah, Nay. Kita fokus ke sini. Aku gak liat apaapa tadi."Ya ampun, ingin rasanya aku menimpuk Putri. Apa katanya tadi? Gak lihat apa-apa? Padahal jelas sekali, bayangan hitamnya. Kami berhenti di belakang rumah Zifa. Entah mau ngapain di sini. Aku juga bingung. Tidak paham dengan jalan pikiran Putri. "Kita ke kamar Zifa atau mau kemana, nih?""Kamar Zifa? Gak usahlah." Aku menggelengkan kepala. Tengah malam begini, ke kamar Zifa? Ah, itu ide yang buruk. Aku menyenderkan punggung ke dinding, mengusap peluh. Putri berdecak, dia tampak sibuk sendiri. Aku hanya meliriknya sekilas. Terserah dia saja. Semoga kami cepat pulang ke rumah. Aku tidak mau lama-lama di sini. Memang, sih, aku ingin menyelid
"Sesuatu apa, Ngga?" Angga menoleh ke sekitar. Mungkin memastikan tidak ada orang di sekitar kami. "Lihat ini, Bi."Aku menatap kalung yang ditunjukkan Angga. Apanya yang berbeda? "Mana sesuatunya?" "Yang ini, Bi." Tertulis nama seseorang di sana. Aku mengernyit, nama siapa itu? Tulisannya juga berwarna merah, berbau amis. "Maksudnya apa, Ngga?""Ini nama pembantu di sini, Bi. Kalau Angga hubungin sama maaalah ini, dia pelaku utamanya."Astaga. Aku menatap Angga tidak percaya. Benarkah itu semua? "Serius, Ngga? Tapi bukannya Papa tiri kamu pelaku utamanya? Kenapa jadi—""Ini serius banget, Bi Nay. Aku pokoknya bakalan hukum seberat-beratnya."Entah kenapa, aku masih belum yakin dengan pembantu itu. Aku menggigit bibir, berusaha mencari jalan keluar lain. Bukti kami belum banyak. Seperti robot, pasti ada sesuatu besar yang menggerakkannya. Pasti masalah ini sama seperti itu. "Ada yang tahu selain kita gak?"Angga diam sejenak. Dia menatapku aneh. "Tahu apa, Bi?" "Gak mungkin
"Apaan, sih, Put? Biasa aja kali. Gak usah panik, cuma mau ke rumah anak itu.""Coba aku lihat alamatnya."Meskipun agak bingung, aku tetap memberikan ponsel itu ke Putri. Dia ingin melihat alamatnya. "Astaga!"Eh? Aku menoleh ke belakang. Angga menghentikan mobil. Kami fokus ke Putri yang terlihat aneh. "Kenapa, Put?" Aku melirik Angga yang ikut menoleh ke belakang. "Pesannya gak sengaja ke hapus, Nay. Nomornya juga. Gimana jadinya?"Kami bertatapan sejenak. Angga mengangkat bahu, itu bukan masalah besar sebenarnya. Aku menoleh kembali ke Putri. Sebenarnya, pesan itu sulit dihapus. Tidak mungkin gak sengaja kehapusnya. Kecuali, Putri memang ada niatan untuk menghapus pesan itu. "Gak papa. Sini ponselnya."Brak!Bagus. Aku menatap ponsel yang sudah tergeletak di lantai mobil. Ada apa, sih, dengan Putri hari ini? Dia terlihat aneh sekali. Putri buru-buru mengambil ponsel milik Angga. "Gak bisa dinyalain lagi. Maaf, ya."Aku menoleh ke Angga. Wajahnya biasa saja. "Gak papa, Bi.
"Nenek tadi bilang—""Kita sudah sampai, Nak."Eh? Aku melongo mendengarnya. Belum juga Angga berbicara sesuatu. Rumah di sini seperti rumah panggung, tapi terlihat lebih tua, sepertinya rapuh juga. Aku menatap sekeliling, tidak ada yang menarik. "Kalian betul mau ke rumah Pia?"Aku mengangguk. Jelas saja. "Ayo."Nenek ini tahu di mana rumah Pia? Berarti itu berita bagus sekali. Kami tidak perlu mencari tahu sendiri. Kami kembali berjalan. Sejak tadi, Angga terus melirikku. Dia ingin mengatakan sesuatu. "Nah, ini, Nak.""Ini rumah Pia, Nek?" tanyaku sambil menatap rumah itu. Terlihat sudah rapuh sekali rumahnya. Aku menatap dari sisi samping juga. Seperti mau ambruk. "Bukan. Ini rumah Nenek, Nak. Mari, masuk."Eh? Kenapa kami malah ke rumah Nenek ini? Bukankah kami mau ke rumah Pia?Aku menoleh ke Angga. Dia menggelengkan kepala, tanda tidak membolehkanku untuk protes. "Kalian ingin menanyakan soal Zifa, bukan?"Astaga. Aku mengerjapkan mata mendengar pertanyaan nenek itu. Dia
"Ja—jadi Pia sudah meninggal, Nek?""Sebulan setelah kepindahannya kesini, Nak."Mendadak kakiku lemas mendengarnya. Masih jelas sekali di pikiranku, ketika Pia menelepon kemarin. "Kalian sempat mendengar suara Pia?"Aku mengangguk. "Kemarin kami sempat teleponan, Nek.""Serius, Nak?" Nenek itu ikut berjongkok di sebelahku. Kami sudah ada di dekat kuburan Pia. Aku menatap gundukan tanah itu, mengembuskan napas pelan. "Iya, Nek. Serius sekali, saya berbicara dengan Pia kemarin, juga Angga.""Ah, ada dua kemungkinannya, Nak." "Apa itu, Nek?""Nanti saja. Kamu sejak tadi mau berbicara dengan Pia, kan? Silakan. Kamu juga Angga?"Angga mengangguk, dia mengambil posisi jongkok di sebelahku. Sungguh, aku mengira kalau Pia masih hidup. Ternyata, dia sudah—Ah, lalu kemana lagi kami harus mencari semua informasi ini? Awalnya, aku hanya ingin mengandalkan Pia. "Ayolah, Nak. Fokus sekarang. Pikirkan nanti. Nenek sudah punya sesuatu untuk kamu."Aku menoleh ke Nenek itu, mengernyit. Dia men