Sudah satu tahun sejak insiden satu malam June bersama pria bernama Drake itu. Dendam masih membayangi hatinya, tapi ia tidak punya waktu untuk mencari pria itu ke seluruh New York. June masih punya banyak hal yang harus ia urusi. Sebagai orang yang tidak punya siapa-siapa, June harus mengandalkan dirinya sendiri untuk urusan apapun.
Sejak kecil, June tidak pernah punya siapa-siapa. Ia dibesarkan di sebuah panti asuhan kecil yang untungnya membesarkannya dengan cukup baik, meskipun dalam keadaan serba kekurangan. June masih ingat samar-samar kalau dulu ia punya kedua orang tua yang menyayanginya, hingga suatu malam orang tuanya menghilang, setidaknya begitulah kata para polisi. Dulu, June sangat yakin, seseorang dengan pedang menyala dalam gelap membunuh orang tuanya, tapi polisi tidak pernah menemukan bukti apapun yang mengarah ke sana. June dirawat di rumah sakit jiwa selama beberapa tahun akibat halusinasi yang dialaminya. Kini ia tidak yakin lagi apa yang dilihatnya itu. Entah kemana perginya kedua orangtuanya malam itu. Tidak ada jejak, tidak ada apapun.
Saat usianya menginjak tujuh belas tahun, June baru mengetahui kalau ia memiliki warisan dari kedua orangtuanya. Seorang pengacara datang ke panti asuhan, mengatakan bahwa ia mengenal ayahnya sejak kecil, lalu menyerahkan seluruh harta warisan itu. Warisannya tidak banyak, tapi lebih dari cukup. Orang tua June meninggalkan sebuah rumah yang dulu ia tempati saat masih kecil, juga uang yang cukup untuk ia hidup hingga bisa berkuliah. Ia meninggalkan panti asuhan dan memutuskan untuk tinggal sendirian setelahnya.
June lulus kuliah dengan prestasi yang memuaskan, lalu berhasil bekerja menjadi seorang excecutive secretary di sebuah perusahaan besar. Karirnya mulus hingga menjadi sekertaris dari pemilik perusahaan, sebelum akhirnya dipecat malam itu. Setelah pemecatan, tidak mudah bagi June untuk mendapat pekerjaan baru. Ia mencari kesana kemari hingga akhirnya kesempatan itu datang hari ini, kurang lebih satu tahun dari sejak ia dipecat. Ini hari pertamanya bekerja setelah sekian lama, June sangat bersemangat. Ia menatap dirinya di cermin, mengenakan blazer baru yang sengaja dibelinya untuk hari ini.
Ia menata rambutnya dengan rapi dengan cepol di belakang kepalanya agar terlihat lebih profesional. Tidak lupa, ia mengenakan high heels agar lebih percaya diri. June menghela napas lalu segera pergi ke perusahaan baru yang mau mempekerjakannya sebagai sekertaris CEO. Sebuah tangkapan bagus setelah dipecat dari sebuah perusahaan. The Burton Group, begitulah nama perusahaan tempat kerja June yang baru. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di berbagai bidang seperti properti, retail, dan masih banyak lagi.
June memarkirkan mobilnya di basement, lalu dengan senyum cerah ia memasuki lobi perusahaan yang terlihat mewah itu. Ia melangkahkan kakinya menuju meja resepsionis.
“Selamat pagi, aku sekertaris baru untuk Tuan Burton,” katanya pada resepsionis yang terlihat cantik dan rapi itu.
“Oh, Miss Hanson? Tuan Burton sudah menunggu. Naiklah ke lantai dua puluh. Di sana akan ada resepsionis yang akan membantumu,” katanya.
“Baiklah. Terima kasih banyak,” kata June. Ia merasa sedikit gugup, tapi begitu gembira. Ia masuk ke dalam elevator lalu memijit angka dua puluh. Saat pintu elevator berdenting dan terbuka, June menghela napas untuk menenangkan dirinya. Resepsionis yang ada di dekat pintu elevator langsung menyapanya.
“Hai, Anda Miss Hanson?” tanyanya.
“Ya, betul,” jawab June sambil tersenyum cerah.
“Ikuti aku. Tuan Burton sudah menunggumu,” katanya lagi sambil mulai berjalan. June mengikuti di belakangnya.
“Saya diberitahu untuk datang pukul delapan pagi. Apakah saya terlambat?” tanya June sambil melirik ke arah arloji yang melingkar di tangannya. Sekarang masih pukul delapan kurang sepuluh menit. Tidak mungkin June terlambat. Apakah dia salah dengar? Rasanya tidak mungkin. Jelas-jelas kemarin ia diberitahu untuk datang pukul delapan tepat.
“Kamu tidak terlambat, Miss Hanson. Hanya saja Tuan Burton selalu datang lebih pagi,” jawabnya.
“Panggil saja June. Biasanya jam berapa dia datang?” tanya June.
“Sekitar pukul tujuh pagi, June,” jawabnya.
June melebarkan matanya. Kalau bosnya datang pukul tujuh pagi, berarti June harus datang lebih pagi lagi. Astaga! Tapi June menghela napas dan menggelengkan kepalanya. Itu tidak jadi masalah, pikirnya. Akhirnya ia mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang bagus dengan gaji yang lebih dari yang dia harapkan. Jadi datang pagi-pagi buta seharusnya bukan masalah. June kembali tersenyum cerah, bersiap menghadapi bos barunya.
Resepsionis bernama Anne itu mengantarkannya ke sebuah ruangan di ujung yang terlihat paling besar. Ruangan itu tertutup dengan pintu kayu mewah. Anne memijit sebuah tombol, lalu sebuah suara terdengar dari dalam.
“Ya?” tanyanya. Dalam dan tegas. Tapi rasanya June pernah mendengar suara itu di suatu tempat, entah di mana.
“Sekertaris baru anda sudah tiba, Tuan Burton,” kata Anne.
“Suruh dia masuk sekarang juga,” jawabnya.
June masih mengingat-ingat ketika bunyi kunci terbuka terdengar. Anne mengisyaratkan agar June membuka pintunya dan masuk ke dalam.
“Good luck,” katanya sambil melenggang pergi dan tersenyum. June menghela napas sekali lagi lalu membuka pintu besar itu dan masuk ke dalam. Ruangan itu sepertinya lebih luas dari pada rumah peninggalan orangtua June yang sederhana. Kaca-kaca jendelanya yang besar menampakkan pemandangan kota yang indah. Lantainya berlapiskan karpet lembut yang nyaman. Ruangan ini lebih dari mewah. Seorang pria terlihat sedang duduk membelakanginya, hingga June tidak bisa melihat wajahnya. Ia sepertinya sedang membaca sesuatu. Saat interview, June tidak bertemu dengan Tuan Burtonsecara langsung sebab ia berada di luar negeri. Tapi ia diberitahu bahwa Tuan Hamilton sudah membaca CV-nya dan setuju untuk menerimanya bekerja.
“Selamat pagi, Tuan Burton. Saya June Hanson, sekertaris baru Anda,” kata June.
Pria itu berbalik, tapi saat kursi itu berputar seratus delapan puluh derajat menghadap ke arah June. Jantung June serasa membeku saat itu juga. Matanya melebar seperti melihat hantu. Pria yang ada di hadapannya adalah pria yang ia cari selama satu tahun terakhir. Rambutnya masih disisir dengan cara yang sama, mata coklatnya yang indah menatapnya tajam. Ia tersenyum profesional dengan lesung pipitnya tetap menghiasi wajahnya yang tampan. Drake. Dia pria bernama Drake itu. Di atas meja kerjanya yang mewah ada sebuah papan nama bertuliskan 'Drake Burton, CEO The Burton Group'. Rasanya June ingin menciut menjadi bola dan menggelinding ke dalam tanah saat ini juga.
“Selamat datang. Aku akan memaafkanmu karena datang terlalu siang hari ini. Besok, kamu harus lebih pagi dariku, June. Sekarang buatkan kopi,” katanya tegas.
“Drake tidak akan setuju, June,” jawab Wilona.“Aku meminta bantuanmu, bukan Drake. Tolong aku, Wilona. Aku akan memberikan apapun yang kamu mau, asalkan kamu mau membantuku,” kata June lagi.“Aku lebih takut pada Drake dibandingkan tawaran harta apapun darimu,” jawab Wilona.“Please, Wilona. Kamu tahu apa yang akan terjadi pada Drake kalau aku meninggal, bukan? Kamu ingin melihat dia hancur lagi?” tanya June.Wilona terdiam. Ia tahu apa maksud June. Drake hancur berkeping-keping setelah kehilangan Anna berabad silam. Jika itu terjadi untuk kedua kalinya, entah apa yang akan terjadi pada Drake.“Baiklah. Tapi, berjanjilah kamu akan melindungiku jika Drake marah nanti,” kata Wilona.“Tentu saja. Aku akan melakukannya,” jawab June.“Baiklah kalau begitu. Malam ini, temui aku di hutan, kamu tahu tempatnya. Pastikan Drake tidak tahu. Dan harus kamu ingat, June.
“So, what do you say?” tanya Baron pada June sambil tersenyum, menampakkan gigi taringnya yang memanjang.“Apa resikonya?” tanya June.“Nyaris tidak ada, June. Kamu hanya perlu memberikanku darahmu, tidak sampai habis,” katanya sambil berjalan mendekat. Ia mengitari tubuh June, mendekatkan kepalanya ke leher June.“Kamu bisa bersamanya selamanya, June. Say, yes...”katanya Baron lagi.“A-aku...”“Ini sangat mudah, June. Jangan membuatnya sulit. Kamu hanya perlu mengucapkan sebuah mantra yang sangat mudah diucapkan. Sebutkan mantranya dan aku akan segera memulai keabadian,” kata Baron lagi.June menelan ludah, dalam hatinya ia tahu ada sesuatu yang salah dengan semua ini, tapi keinginannya untuk bisa bersama dengan Drake selamanya, membuatnya ingin mengatakan iya. Tawaran ini terlalu menggoda untuk ditolak.“Ikuti kata-kataku, June,” ka
June akhirnya sampai ke hotel yang ia tuju. Hati June hancur saat mengingat bagaimana wajah Drake saat ia melangkahkan kaki pergi dari pria tersebut. June tahu ia sangat melukai Drake. Namun, menurut June ini adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan hati Drake dan juga hatinya sendiri.Saat sampai di kamar hotel yang sederhana itu, June langsung merebahkan diri di atas ranjang. Rongga dadanya terasa sakit, bahkan hanya untuk menarik napas. June tidak kuasa menahan tangis, hingga ia menumpahkan semuanya ke atas bantal hotel tersebut. Ia menangis cukup lama hingga ia menyadari ada seseorang yang berdiri bersandar di balkon hotelnya.“Alarick?” tanya June sambil melebarkan matanya.Pria itu melambaikan tangan sambil tersenyum. June menghapus air matanya cepat-cepat lalu membuka pintu kaca menuju balkon.“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya June.“Well, kamu tahu siapa aku. Sangat mudah untuk menemukanmu di belahan bum
Malam hari itu, June sama sekali tidak bisa tidur. Ia melirik ke arah Drake yang sedang tertidur pulas di sampingnya. June memiringkan tubuhnya untuk bisa memandangi wajah Drake lebih lama. Air mata mulai mengalir lagi di pipi June. June mulai berpikir, kenapa takdir begitu kejam padanya hingga saat ia benar-benar jatuh cinta, ia jatuh cinta pada orang yang benar-benar salah. Jika ia jatuh cinta pada manusia biasa maka semuanya akan berakhir baik-baik saja. Tapi seorang raja naga adalah hal yang amat berbeda.June amat mencintai Drake dan ia menyadari itu. Oleh karena itu, June tidak ingin menyakiti hati Drake. Lebih cepat June pergi dari kehidupan Drake selamanya, itu akan lebih baik. Drake mungkin akan sangat sedih, tapi dia akan lebih cepat pulih dan move on. June ingin Drake hidup bahagia. Bersama June, tidak ada masa depan untuk mereka. June akan menua, dia tidak akan bisa membahagiakan Drake selamanya.Karena itulah, June merencanakan sesuatu malam hari itu. Ia d
“June, kamu kenapa?” tanya Drake saat June kembali ke mejanya.Drake bisa melihat kalau June terlihat amat kesal.“Ah, tidak apa-apa,” jawab June.“Kamu yakin?” tanya Drake lagi.“Iya. Mungkin aku hanya lapar,” jawab June sambil tersenyum.“Kabar bagus, kurasa pelayannya sudah datang membawa makanan,” kata Drake sambil melirik ke arah kiri. Saat June mengikuti arah pandangnya, seorang pelayan memang datang membawa makanan pesanan mereka.“Syukurlah,” jawab June.Mereka kemudian larut dalam percakapan yang hangat dan menyenangkan. Makanannya juga enak. Namun, June masih memikirkan kata-kata Lana barusan. Ia tidak bisa berhenti memikirkannya, meskipun ia berusaha. Ia melihat wajah Drake ketika bicara. Naga berusia ribuan tahun ini masih terlihat seperti tiga puluh lima tahun dan dia akan terlihat seperti itu selamanya.Usia June kini sudah tiga puluh tiga tah
“Lana Barryfield?” tanya Drake sambil membesarkan matanya.“Ternyata itu benar kamu! Ini sebuah kebetulan yang menyenangkan. Sudah lama sekali tidak berjumpa,” kata wanita itu.Ia mendekat lalu memeluk dan mencium kedua pipi Drake, mereka terlihat amat akrab. June memaksakan sebuah senyum.“Lana, perkenalkan ini June Hanson. June, ini Lana Barryfield, teman lamaku,” kata Drake.Wanita itu menoleh melihat June, ia kemudian terdiam sejenak.“Oh, Drake. Dia sangat cantik,” katanya. Tapi June bisa menangkap sesuatu yang lain dari nada suara dan ekspresi wajahnya.“Senang bertemu denganmu, June,” katanya sambil mengulurkan tangan kanannya.“Senang bertemu denganmu juga, Lana,” jawab June.“Kapan kamu ke New York? Kudengar kamu sudah sangat lama tidak meninggalkan Roma?” tanya Drake pada Lana.“Iya. Roma adalah tempat yang paling cocok un
Drake melaju dan June berhenti bertanya. Ia menikmati pemandangan keluar jendela dan setelah setengah perjalanan, June sudah bisa menebak mereka akan pergi ke mana.“Kamu ingin membawaku nonton ke bioskop?” tebak June sambil tersenyum.“Kamu bisa menebak dengan baik. Kita akan nonton berdua. Bukankah itu yang biasa dilakukan orang-orang saat pacaran?” tanya Drake.“Jangan bilang kamu belum pernah berpacaran sebelumnya?” tanya June.“Terakhir kali aku berpacaran adalah berabad-abad yang lalu, June,” jawab Drake.June tertawa akan kenyataan itu. Drake ikut tertawa. Ia kemudian memarkirkan mobilnya di gedung bioskop. Semua orang yang lewat memperhatikan mobil mewah yang biasanya diparkirkan di depan hotel mewah atau restoran mewah. Tapi kali ini, mobil mewah itu malah terparkir di gedung bioskop sederhana.Drake turun dari mobilnya, lalu berputar untuk membukakan pintu bagi June. June melangkahkan
Drake melakukannya berulang-ulang dari belakang, hingga June hampir mencapai puncaknya. Namun, Drake masih belum puas, ia kemudian membalikkan tubuh June hingga menghadap ke arahnya. Ia kemudian melakukannya dari posisi ini, sambil menikmati pemandangan wajah June yang kini merah merona dan berkilau karena keringatnya.Drake membuat June merasa dirinya melayang sekali lagi. Waktu dan dunia serasa berhenti saat itu juga hanya untuk memberikan tempat tersendiri dan waktu yang tak terbatas untuk kedua insan yang sedang dimabuk asmara tersebut. Gairah Drake semakin memuncak saat ia melihat wajah June yang cantik merona merah tersebut, napasnya yang tersengal, dan desahan yang keluar dari bibirnya yang seksi. Mereka melakukannya hingga mencapai puncaknya bersama-sama.June berbaring kelelahan dengan napas tersengal dan tubuh berkeringat. Drake mengusap kening June lalu mengecupnya dengan lembut. Ia berbaring di sebelah June lalu merangkul wanita itu dengan lembut.&l
Sekarang June berdampingan dengan Drake di dapur. Pria itu terlihat jauh lebih luwes dibandingkan dirinya saat memasak. June tidak tahu apa yang harus ia bicarakan, jadi ia memutuskan untuk diam saja. Drake masih tersenyum sambil bersiul-siul, sesekali ia melirik ke arah June. Drake berkali-kali melihat ke arah kening June, ia hampir tidak percaya apa yang dilihatnya, tanda werewolf itu sudah menghilang dari kening June. Gerak-gerik Drake itu membuat wajah June semakin merah padam.June tidak tahan, jadi ia berbalik lalu berpura-pura mencari sesuatu di kulkas. Padahal June tidak melakukan apapun. Ia hanya mendinginkan wajahnya yang terasa panas itu. Setelah beberapa saat, June berpura-pura mengambil timun untuk tambahan acar, dan pada saat ia menutup pintu kulkasnya. June hampir melempar timunnya sebab Drake tiba-tiba sudah berada di hadapannya.“Kenapa kamu lama sekali di depan kulkas?” tanya Drake.“A-aku...”Drake berjalan mende