June Hanson berjalan masuk ke dalam club malam itu masih dengan pakaian kantornya. Ia mengenakan blazer abu-abu, kemeja putih tipis, span pendek yang senada, dilengkapi dengan high heels hitam yang mengekspos kaki jenjangnya. Rambut pirang panjangnya, yang tadinya dicepol rapi, ia lepaskan begitu saja sehingga indah tergerai ke belakang bahunya. Ia terlihat menawan dengan mata biru dan kulit tanpa celanya itu, tapi June sama sekali tidak mempedulikan penampilannya, atau banyaknya mata pria yang memandangnya. Suasana hatinya buruk, bahkan sangat buruk.
Ia langsung duduk di bar, memesan double scotch, lalu dia merenungi nasib buruk yang baru saja menghantamnya. Sebagai seorang sekertaris direktur yang terbilang mulus dalam perjalanan karirnya selama beberapa tahun terakhir, tidak diduga ia dipecat begitu saja. June dipecat hari ini hanya karena istri direkturnya menganggapnya terlalu cantik untuk menjadi sekertaris suaminya. Sebuah pemecatan yang amat tidak berdasar. June menendang kaki meja barnya, membuat ujung jarinya terasa sakit.
“Scotchmu, miss,” kata bartender sambil menyodorkan gelas bening yang terasa dingin itu. June menenggaknya cepat untuk mendinginkan kepala dan hatinya.
“Lagi!” katanya pada sang bartender.
“Okay, miss,” katanya sambil mengisi ulang scotch dan es batu di gelas June.
Entah sampai berapa kali lagi June minta gelasnya diisi ulang. Ia mulai merasa tenang, segalanya terasa numb di hatinya. Ia tidak ingin berhenti. Ia terus minum sambil menggoyang-goyangkan kepala dan badannya mengikuti irama musik yang dimainkan keras-keras itu.
“Double scotch untukku, dan untuk lady di sebelahku ini. Aku yang bayar semua,” kata seorang pria tiba-tiba.
June menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas. Pria itu mengenakan suit yang bagus dan mahal, keluaran musim terbaru designer kenamaan. Dia tinggi dan tampan, rambutnya berwarna coklat terang sewarna dengan matanya yang indah. Garis rahangnya tegas dan hidungnya mancung, mengingatkan June pada patung-patung dewa Yunani. Pria itu tersenyum memamerkan gigi-giginya yang rapi dan lesung pipitnya yang menawan. June tidak keberatan ditraktir pria seperti ini, atau mungkin karena June sudah mabuk.
“Hai, kelihatannya kamu sedang dalam masalah,” katanya ramah.
“Dari mana kamu tahu? Apakah kamu cenayang? Ah, tidak, suitmu terlalu bagus untuk itu,” jawab June sambil tersenyum dan menopang dagunya dengan satu tangan.
“Tidak perlu cenayang untuk melihat itu,” katanya sambil tertawa. Astaga, tawanya begitu menawan. Berwibawa tapi tidak berlebihan.
“Aku Drake, siapa namamu?” tanyanya sambil menyodorkan tangan kanannya.
“June,” jawab June sambil menjabat tangan yang terasa hangat itu.
Mereka larut dalam obrolan yang June sendiri tidak tahu tentang apa. Yang jelas, mereka tertawa. Rasanya pria tampan bernama Drake itu lucu. Kemudian mereka berdansa dan Drake melingkarkan tangannya di pinggang June. Hal berikutnya yang June tahu adalah mereka sudah berada di sebuah kamar hotel mewah, saling menautkan bibir satu sama lain. Pria itu membuka pakaian June dengan tidak sabar dan membuangnya ke lantai, hanya menyisakan high heels dan stocking hitam June saja.
Berikutnya, segalanya terasa samar, June nyaris tidak ingat apa yang dia lakukan. Ia hanya ingat tubuh indah penuh otot mendekap erat tubuhnya. Ia ingat betapa hangat dan menyenangkannya setiap sentuhan dari pria itu. June ingat bagaimana ia mendesah saat tubuh mereka menyatu di atas kasur empuk itu. Aroma vanila musk yang terkuar dari dada berotot itu. June menikmati sensasi lidah pria itu di setiap inci tubuhnya, membuatnya merasakan kenikmatan yang belum pernah ia rasakan. June menyukai saat Drake seolah memujanya dengan menyusuri kaki jenjangnya yang masih terbalut stoking dan memakai high heels itu.
“Aku suka kaki jenjangmu, menarik perhatianku sejak pertama kali aku masuk ke dalam club,” katanya dengan suaranya yang berat dan seakan mampu menghipnotis. Hati June bergetar.
Drake menyusuri lehernya hingga ke bagian dadanya lalu kembali lagi ke lehernya, berulang kali seperti itu. Manis dan lembut, membuat June merasa menjadi wanita paling diinginkan di seluruh dunia ini. Entah karena bergelas-gelas scotch yang telah ia minum, atau karena bercinta dengan Drake terasa senikmat ini. June tidak ingin segalanya cepat berakhir. Ia sadar saat ia seolah menari-nari di atas tubuh Drake, menikmati nikmatnya berada di sana, dengan tangan besar itu menyentuh setiap inci kulitnya.
June tidak bisa mengingat apa yang terjadi setelahnya. Hal berikutnya yang ia tahu adalah ia terbangun dalam keadaan telanjang, di atas tempat tidur yang berantakan, sendirian. Setumpuk uang yang jumlahnya mungkin ribuan dolar ada di atas nakas dengan secarik kertas bertuliskan kata 'Thank You'.
“Shit!” seru June saat menyadari apa yang terjadi.
Semalam ia dijadikan wanita bayaran oleh seorang laki-laki yang sama sekali tidak ia kenal. Harga dirinya terluka sedalam-dalamnya karena pria sialan bernama Drake itu. June berteriak sambil meremas seprai lembut itu. Air mata meluncur turun bahkan tanpa ia sadari hingga membasahi selimut tebal yang menutupi tubuhnya. June bukan wanita murahan, dia tidak pernah seperti ini. Dalam satu hari saja ia kehilangan pekerjaannya, lalu seolah-olah menjual tubuhnya pada pria tidak dikenal.
Sialnya, June harus mengambil uang ribuan dolar itu sebab ia tidak punya pekerjaan dan butuh uang untuk beberapa waktu sampai ia mendapat pekerjaan baru. Tabungannya mungkin tidak akan cukup. June mengumpat dirinya sendiri saat ia memasukkan semua uang itu ke dalam tas tangannya.
June mengutuki dirinya sendiri karena tidak menanyakan nama belakang pria itu. Sekarang bagaimana caranya menemukan pria itu di kota New York. Berapa banyak Drake di kota New York? Ia menendang kaki ranjang hotel saking kesalnya, namun itu hanya membuat jari-jari kakinya sakit dan memerah. June melompat-lompat kesakitan.
“Shit!” umpatnya lagi sambil berjongkok di atas karpet lembut yang melapisi lantai hotel itu. June memeluk lututnya, lalu terisak. Jika bertemu lagi dengan pria itu, June bersumpah akan membalas dendam. Dengan cara paling kejam di dunia, cara apapun itu, June pasti akan membalaskan dendamnya.
Sudah satu tahun sejak insiden satu malam June bersama pria bernama Drake itu. Dendam masih membayangi hatinya, tapi ia tidak punya waktu untuk mencari pria itu ke seluruh New York. June masih punya banyak hal yang harus ia urusi. Sebagai orang yang tidak punya siapa-siapa, June harus mengandalkan dirinya sendiri untuk urusan apapun.Sejak kecil, June tidak pernah punya siapa-siapa. Ia dibesarkan di sebuah panti asuhan kecil yang untungnya membesarkannya dengan cukup baik, meskipun dalam keadaan serba kekurangan. June masih ingat samar-samar kalau dulu ia punya kedua orang tua yang menyayanginya, hingga suatu malam orang tuanya menghilang, setidaknya begitulah kata para polisi. Dulu, June sangat yakin, seseorang dengan pedang menyala dalam gelap membunuh orang tuanya, tapi polisi tidak pernah menemukan bukti apapun yang mengarah ke sana. June dirawat di rumah sakit jiwa selama beberapa tahun akibat halusinasi yang dialaminya. Kini ia tidak yakin lagi apa yang dilihatnya itu.
June masih terpaku di tempatnya berdiri menatap Drake. Ia masih belum percaya kalau Drake adalah atasannya sekarang. Otaknya mulai beku, telinganya pun mendadak tuli, ia nyaris tidak mendengar apa yang Drake katakan. Ia masih mencoba mencerna kenyataan yang ada di hadapannya itu. Kalau Drake adalah atasannya, bagaimana mungkin ia membalas dendam?“June? Hey! June Hanson!”Drake memanggil-manggil June sambil melambai-lambaikan tangannya sebab June sepertinya sedang menghilang ke alam yang lain. June tiba-tiba tersadar, ia tidak boleh termangu terus seperti ini. Drake sepertinya sama sekali tidak ingat pada June, jadi June memutuskan untuk berpura-pura tidak mengenal Drake juga.“Ah, iya pak. Saya akan buatkan kopi. Bapak suka yang manis atau kopi hitam saja?” tanya June.“Kopi susu dengan sedikit gula saja. Setelah itu siapkan catatan, siang ini kita ada meeting penting,” katanya sambil langsung menatap layar laptopnya.
“June?” tanya Drake sekali lagi, menyadarkan June dari lamunannya.“Oh, hmmm... Anda mungkin akan sukar percaya, tapi... Saya dipecat karena istri direktur tidak mau suaminya mempunyai sekertaris seorang wanita muda,” jawab June jujur.“Sebuah alasan yang menarik,” kata Drake.“Ya, tapi memang begitulah yang terjadi,” jawab June.“Baiklah. Sekarang kita berangkat. Bawa laptopnya dan semua peralatan yang diperlukan,” ujar Drake.June kemudian berdiri, ia membereskan laptop yang ada di meja Drake. Saat ia mendekat seperti itu, Drake dapat mencium aroma parfum yang dikenakan June. Rasanya ia pernah mencium wangi parfum seperti ini, tapi ia tidak bisa mengingatnya sekarang. Mungkin nanti, pikir Drake.“June...” katanya lagi.“Ya, Pak?” tanya June.“Apakah kita pernah bertemu di suatu tempat sebelumnya?” tanya Drake mulai curiga. Jantung
June sangat terkejut dan juga bingung, ditambah lagi aroma vanila yang terkuar dari tubuh Drake membuatnya teringat kembali akan malam itu. Tatapan matanya yang dingin itu seakan mampu menghipnotis dirinya. “Itu hanya teknik khusus yang bisa dipelajari siapa saja. Hanya menggunakan berat badan,” jawab Drake sambil melepaskan rangkulannya dari tubuh June. “Maafkan kami tuan Burton. Kami pastikan ini tidak akan terjadi lagi. Untuk kompensasinya, kami menggratiskan semua makanan dan biaya sewa hari ini. Kami juga memberikan voucher makan malam gratis untuk Tuan,” kata sang manager yang tiba-tiba muncul. “Ini sangat berbahaya. Pastikan kalian melakukan maintenance pada gedung restoran milik kalian ini,” jawab Drake dingin dan tegas. “Kami tahu. Kami benar-benar minta maaf,” sahutnya lagi. “Baiklah,” katanya sambil merapikan jasnya. Tanpa berkata apapun lagi, Drake langsung berjalan kembali masuk ke dalam ruang meeting meninggalkan June yang masih
June bekerja hingga ia tidak sadar di luar jendela kaca matahari sudah mulai tenggelam. Ia baru menyadarinya ketika sinar kemerahan matahari menyelusup masuk melalui kaca. June melirik jam tangannya, pukul enam lewat lima belas menit. Sudah lebih dari jam kerja, tetapi pekerjaan June masih banyak. Ia harus menyelesaikannya malam ini juga.Ia membuka-buka berkas dan juga file-file di dalam jaringan komputer kantornya itu untuk mencari sumber data, tapi tetap saja di hari pertama ia tetap kesulitan. Ia sempat mengirimkan email ke beberapa divisi terkait sesuai dengan notes dari Drake dan sudah mendapatkan jawaban yang ia butuhkan. Tetapi data ini terlalu banyak untuk diselesaikan dalam waktu singkat.Pukul delapan malam, June masih juga berada di kantor dan pekerjaannya sama sekali jauh dari kata selesai. June mengumpat. Ia merasa bebas mengumpat sebab di ruangan ini ia hanya sendirian.“Bos menyebalkan! Fucking playboy!” seru June.Ia tidak mer
“Anda tidak apa-apa, nona?” tanya supir truk itu setelah turun dari truknya.Banyak orang mulai mengerubuti tempat kejadian, tetapi mata June tetap mencari-cari sosok pria misterius itu dari kerumunan orang.“Apakah Anda melihatnya?” tanya June para supir truk itu.“Melihat apa?” tanyanya bingung.“Pria tadi yang bermata abu-abu, yang menghentikan mobil dan truk ini! Kamu pasti melihatnya, kan?” tanya June sedikit panik.“Begini, nona. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba aku kehilangan kendali atas trukku,” kata supir itu.“Tapi kamu melihat pria itu, kan? Pria yang menghentikan kecelakaan?” tanya June lagi.“Aku tidak melihat siapapun, miss. Entahlah, mungkin remnya berfungsi di saat yang tepat. Aku benar-benar minta maaf,” katanya.June tidak percaya apa yang dikatakan pria itu. Ia segera turun dari mobil dan
Saat June sudah bersiap keluar dari mobilnya, betapa terkejutnya June saat melihat ada sesosok pria yang sudah berdiri di samping pintu mobilnya. Ia menundukkan badannya untuk melihat June melalui kaca jendela mobilnya.“Selamat pagi,” ucapnya sambil tersenyum.June membuka kaca jendelanya perlahan lalu mengukir senyum seprofesional mungkin.“Selamat pagi, Mr. Burton,” jawab June.Drake menyunggingkan senyum lagi, membuat lesung pipitnya nampak jelas di wajahnya yang tampan. Sialnya, jantung June malah melompat-lompat kegirangan karenanya. June ingin memaki dirinya sendiri karena itu. Ia kemudian turun dari mobil dan menguncinya.“Kebetulan kita bertemu di sini, di mobil ada tasku, tolong bawakan ya,” kata Drake sambil menunjuk mobilnya.“Baik, Pak,” jawab June sambil tersenyum sopan. Di dalam hati, June mengumpat. Dasar sial! Serunya.June menenteng tasnya sendiri sambil menuju ke pintu
June tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa diam menatap mata coklat indah yang menatapnya tanpa berkedip. Jantung June berdebar-debar tidak karuan dan tubuhnya sedikit gemetar entah karena takut atau karena terlalu gugup. June merencanakan banyak hal saat bisa bertemu kembali dengan Drake, tetapi kini saat mereka sudah berhadap-hadapan June malah tidak bisa berbuat apa-apa. Aura Drake yang mendominasi, membuat June mau tidak mau terdiam. Bagai perang mental antar hewan buas, June sudah kalah telak.Tanpa bicara apapun, Drake tiba-tiba menggendong tubuh June dan membawanya masuk ke dalam ruangannya. Dua tas besar itu ditinggalkan begitu saja di lantai. June hanya sempat membawa tas tangannya yang kebetulan masih tersampir di bahunya. June bingung, tapi ia sama sekali tidak berani bertanya. Hangatnya dekapan Drake menjalar ke tubuh June, membuatnya sama sekali tidak bisa berkutik.Mata June yang bulat melirik saat mereka masuk ke dalam ruangan kerja Drake dan lampu otom