Langkah ku terseok menyusuri lorong sekolah pagi ini, injakan kaki Sehun membuat pergelangan kakiku membiru dan lebam, akibatnya sebelah kakiku menjadi pincang. Aku berjalan menunduk, mencoba menghindari tatapan intimidasi dari murid lain. Jariku menekan tombol volume pada hape, meninggikan volume musikku yang sedang mengalun, hari ini aku sengaja ke sekolah pakai earphone supaya aku tidak dapat mendengar celaan yang mereka berikan.
Aku menghela nafas lega, sedikit lagi langkah ku sampai di depan kelas. Namun, baru saja aku melangkah masuk ke dalam kelas, rambutku langsung di jambak hingga tubuhku oleng dan membentur meja.
"DASAR PELACUR!"
"GAK TAU DIRI!"
"PECUN LO!"
"SEKOLAH GRATIS MASIH AJA OPEN BO!"
"KEBELET JADI NYONYA BESAR YA? MAKANYA NGEJEBAK SEHUN."
Beberapa teman ku berlomba - lomba menarik - narik seragam ku, menjambak dan juga mencakar wajahku. Aku menjerit, mencoba untuk memberontak, tapi tidak bisa, bahkan anak laki - laki ikut menahan pergelangan kaki dan tanganku.
Aku menangis, melirih meminta tolong, namun reaksi mereka malah tertawa dan merasa puas dengan keadaanku. Mereka semakin mendesak ku, berebut untuk melukai tubuhku. Beberapa murid juga berlomba untuk mengabadikan momen menyakitkan ini.
"Jangan merekam, aku nggak mau ibu sakit hati melihat ini.." lirihku dalam hati.
"jadi gais, ini adalah sosok pecun nya Senopati, kalau kalian berminat buat booking dia silahkan hubungi nomor di bawah ini." ujar Joana berbicara kearah kamera foto yang sedang menyorot tubuhku. Berlagak seperti reporter yang menjadikan ku objek beritanya.
"Jangan..." lirihku saat Juan menarik seragam ku hingga robek dan terlepas dari tubuhku.
Tanganku memberontak, berusaha untuk menutupi tubuhku yang hanya tersisa pakaian dalam tanpa lengan saja. Aku terus memberontak dengan sekuat tenaga, tapi hasilnya nihil, Juan dan Gio menahan tanganku begitu kuat.
"Lepasin, sakit..." lirih ku karena penyiksaan ini tak kunjung berhenti.
Aku bukan pencuri, tapi kenapa aku seakan di hakimi. Ini benar - benar menyakitkan. Apa kesalahan yang sudah aku perbuat hingga mereka begitu lancang mengoyak tubuhku.
Mereka menyeret tubuhku keluar kelas, memaksa aku untuk berdiri kemudian dihimpit kan ke dinding. Membuat mereka semakin leluasa dalam menyorot tubuhku dari atas kepala hingga ujung kaki yang hanya tersisa kaos dalam dan rok sekolah yang sudah robek - robek karena mereka mencabik nya.
PLAK!!!
Wajahku terhempas kesamping, merasakan perih yang teramat karena tangan Joana mendarat di sana. Joana mencengkram leherku, membuat nafasku tercekat.
"Beraninya lo tidur sama Sehun! Lo godain dia pakai apa hah?! Lo kira lo pantes buat dia?!" teriak Joana murka di depan wajahku kemudian menjedotkan kepalaku ke dinding.
Joana menepuk - nepuk perutku dengan kasar, "Lo gak pantes hamil anaknya Sehun!" ujar Joana mencengkram perutku.
Aku meringis, dan terasa sesak. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menangis, kalau pun aku membuka suara, mereka tidak akan mendengarnya.
Keadaan semakin ramai, murid - murid dari kelas lain mulai memenuhi lorong kelas ku untuk menonton penyiksaan ini. Tapi dari banyaknya murid yang menonton ku, tidak ada satu pun mereka yang merasa iba. Tatapan mereka meremahkan dan tertawa seolah aku pantas mendapatkan perlakuin tidak menyenangkan ini.
"Se-sehun.." cicit ku saat melihat Sehun diujung koridor, sosok jangkung itu tengah berjalan kearahku.
Joana yang mendengar cicitanku menoleh kearah yang ku lihat, "Berani ya lo manggil dia Sehun? Lo kira lo siapa?! Lo itu cuma anak pembantu!" sentak Joana kembali ingin melayangkan tamparannya membuatku tersentak dan menutup mata.
Mataku yang semula tertutup rapat terbuka perlahan karena mendengar jeritan kaget murid - murid lain. Betapa terkejutnya aku saat melihat Sehun menahan tangan Joana yang ingin menamparku.
"Kalau mau siksa orang nya, siksa aja, tapi gak usah bawa - bawa pekerjaan orang tuanya. Dia emang miskin, tapi kekayaan yang orang tua lo dapatin belum tentu dari cara yang halal." ujar Sehun berbisik dingin.
Joana membeku, ia segera menepis tangan Sehun dan beranjak pergi dengan kekesalan nya.
"Ngapain lo masih pada nontonin?" ketus Sehun menegur. Membuat mereka mendesah kecewa lalu berhamburan pergi.
Tubuhku merosot ke lantai, tenaga ku habis. Aku menunduk dan memeluk diriku. Sekujur tubuhku penuh luka cakar dan lebam, sudut bibirku juga mengeluarkan darah.
"Cepet ke UKS, mumpung belum bell." desis Sehun kemudian melangkah pergi meninggalkan ku sendirian. Dia bahkan tidak berniat untuk membantuku.
* * *
Suda jam pelajaran kedua, tapi aku masih bertahan di ruang UKS. Luka ku sudah aku obati, aku juga sudah mengganti pakaianku dengan seragam olahraga yang tersimpan di loker ku.
Aku mengubah posisi tidurku, sedikit meringis karena tubuhku terasa ngilu setiap kali aku bergerak. Aku meraih hapeku yang ku taruh di bawah bantal, mengecek apakah ada sesuatu yang baru di sana.
Hari ini hapeku belum mendapatkan notifikasi dari Sehun, mungkin dia sudah melihatku tersiksa hari ini, jadi dia membebaskan ku.
"Aresya,"
Aku tersentak kecil, kemudian membalikan tubuhku, mendapati bu Mega yang berdiri di samping ranjang.
Aku segera mendudukan tubuhku, "Ada apa, bu?" jawabku sopan.
"Ke ruangan kepala sekolah, sekarang." titah bu Mega tegas, kemudian beliau meninggalkan ku.
Aku menghela nafas, menyibak selimut yang menutupi pahaku. Sebelum keluar dari ruang UKS aku mengintip dulu, takut ada murid lain yang berkeliaran lalu kembali menyerang ku. Merasa aman, aku pun segera berjalan menuju ruang kepala sekolah.
"Permisi..." lirih ku ketika masuk kedalam pintu ruangan Pak Sugio.
Pak Sugio yang tengah fokus kepada laptopnya mendongak, melepas kaca matanya lalu menyuruhku untuk duduk melalui bahasa tubuhnya.
"Bapak memanggil saya?" tanyaku ketika sudah duduk berhadapan dengan pak Sugio.
Pak Sugio mengangguk kalem, "Iya. Begini nak Aresya, saya mendapatkan amanat dari Pak Direktur."
Tubuhku menegang, apa aku akan berhadapan dengan Papahnya Sehun setelah ini?
"Amanat apa, Pak?" tanyaku karena Pak Sugio menggantungkan ucapannya.
"Beliau meminta nak Aresya ke kantornya. Supir yang mengantar nak Aresya sudah menunggu di lobby." kata Pak Sugio membuatku membeku di tempat.
"Nak Aresya?" panggil Pak Sugio membuyarkan lamunanku.
"Iya, Pak?" sahut ku.
"Saya sudah banyak tahu tentang yang kamu alami disekolah ini. Jadi saya mohon, demi kebaikan kamu, turutin apa yang pak Ergian perintahkan." kata Pak Sugio menatapku dengan raut prihatin.
Aku berdecih samar, sedikit menyayangkan rasa simpati pak Sugio yang sayangnya kalah besar dengan sikap pengecut nya. Ya, tentu Pak Sugio tau dengan apa yang ku alami di sekolah ini, tapi beliau seakan tutup mata dan telinga demi melindungi murid - murid kaya di sekolah ini. Sedangkan aku hanya anak miskin yang sedikit beruntung karena memiliki otak pintar hingga bisa masuk ke sekolah elit ini.
"Ya sudah pak, kalau gitu saya pamit dulu." ujarku sembari bangkit lalu menyalimi tangan Pak Sugio.
"Hati - hati nak Aresya." ucap Pak Sugio yang aku angguki.
Tungkai ku segera keluar dari ruangan Pak Sugio, berjalan pelan menuju lobby sekolah. Entah aku sedang menjemput hari baik atau hari yang lebih buruk lagi setelah ini. Namun ku harap, sikap arogan Sehun tidak menurun dari Papahnya.
"Istri kamu kemana?" Renatta celingukan, mencari keberadaan Resya yang semula duduk di atas sofa, tapi kini wanita hamil itu menghilang entah kemana. "Masuk ke kamar, istirahat." jawab Sehun seraya kembali mendaratkan bokongnya di atas sofa berukuran L. Renatta manggut-manggut, "Kedatanganku ganggu kalian, ya?" tanya Renatta, wajah menyebalkannya perlahan memudar. Sehun ingin mengangguk, namun tidak enak hati. "Nggak, Resya lagi capek saja kayaknya." jawab Sehun, pandangannya bergantian memantau Aydan yang dengan anteng bermain dengan para robot dan mobilannya. "Anak kalian lucu, ya." Renatta bergumam, indra penglihatannya mengikuti arah mata Sehun memandang, ke arah Aydan yang sedang sibuk sendirian. "Gen gue gak perlu di ragukan lagi, Nat." jawab Sehun penuh percaya diri. Renatta terkekeh pelan, dia merogoh isi tasnya lalu mengeluarkan kertas undangan berwarna puti
"Kali ini salah aku apa lagi?"Sehun menghembuskan napas berusaha sabar. Memasuki bulan kelahiran anak keduanya yang semakin dekat, Resya juga semakin gencar menguji kesabarannya. Setiap hari yang ia lakukan selalu saja salah di mata istrinya. Kadang kalau saking kesalnya, Sehun sampai lebih memiliki pergi keluar bersama Aydan, dari pada menambah kacau suasana hati Resya."Aku udah bilang kalau ambil baju di lemari itu ditarik, bukan diangkat! Capek deh aku udah bilang berkali-kali tapi kamu gak dengerin!" gerutu Resya sambil melotot jengkel, ia kesal melihat Sehun mengacak lemari pakaiannya."Iya deh, maaf ya sayang, besok aku ambil bajunya di angkat." rayu Sehun sambil mendusel dibahu sempit Resya."Awas aja kalau bohong aku suruh k
"Aku mau ice cream, Sehun!""It's midnight, babe. Besok, ya?"Resya menggeleng dengan raut wajah cemberut, tak senang mendengar penolakan dari suaminya barusan, padahal ini keinginan anaknya di dalam kandungan.Tanpa berkata apapun, Resya merebahkan tubuhnya dan menarik selimut hingga atas dada, ia memiringkan tubuhnya memunggui Sehun.Sehun yang melihat itu lantas menghela napas berat, tangannya bergerak menyetuh pundak Resya."Janji besok pulang kerja aku bawain ice cream sekulkas." rayu Sehun sambil mengusap-usap pundak Resya. Namun Resya masih diam tak bergeming."Re... jangan ngambek dong, sayang, lihat tuh ini udah jam 12 malam, lhoo!"Resya memutar tubuhnya, kini tatapan tajamnya menghunus Sehun dalam. "Kamu kalau nobar bola bisa sampai jam 2 malam di rumah Julian, giliran beli ice cream buat istrinya sebentar aja ke minimarket depan gak mau!" omel
Ketika kakinya sudah berpinjak di kediaman nya, Sehun langsung masuk ke dalam kamar untuk memastikan keadaan Resya karena istrinya itu tidak datang menyambut kepulangan nya. Ya, gimana mau di sambut kalau di rumah sakit tadi Sehun memarahi dan menyindir istrinya habis-habisan. Sehun menghela napas lega saat mendapati Resya yang sudah terlelap di atas ranjang. Ia berjalan ke depan lemari pakaian, membuka jas, ikat pinggang dan jam tangan secara bergantian. Lalu Sehun mencari piyama untuk ia kenakan setelah mandi. Sehun tersenyum tipis, jarang sekali ia menyiapkan pakaiannya sendiri seperti saat ini. Sejak menikah dengan Resya lima tahun lalu, semua kebutuhannya selalu Resya yang handle, istrinya itu melayani nya dengan sangat baik. Itu mengapa sekarang Sehun menyesal sekali sudah mengatakan kalau kerjaan Resya hanya berleha-leha saja di rumah. Tanpa melupakan rasa bersalahnya Sehun beranjak masuk ke dalam kamar mandi, ini sudah larut, namun t
"Positif.."Resya membekap mulutnya dengan raut wajah tak percaya, mata yang membinar perlahan berlinang. Seperti ada yang meledak-ledak di dalam dadanya saat melihat dua garis merah yang tergambar di alat tes kehamilan yang beberapa menit lalu ia gunakan.Punggung tangannya bergerak mengusap air mata bahagia yang menetes. Rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu."Bunda."Mendengar suara Aydan yang memanggilnya dari luar, dengan cepat Resya mengusap air mata dan meletakan alat tes kehamilan yang tadi ia genggam di atas wastafel. Lalu ia keluar dari dalam kamar mandi untuk menemui Aydan."Kenapa, sayang?" tanya Resya menatap Aydan kebingungan."Boleh aku main keluar?" Aydan bertanya dengan wajah polosnya.Resya melirik kearah jam dinding, sudah jam 4 sore. Ia menggigit bibirnya, menimbang sejenak permintaan Aydan yang ingin main di luar rumah. Sebenarn
Resya POV "Berhenti merajuk dan makan nasimu!" Sehun hanya mendengus merespon omelanku. Ya, seperti ini Sehun, pemaksa, keras kepala dan tukang merajuk. Bahkan di umur pernikahan kami yang sudah ke 5 tahun, tidak ada yang berubah darinya, ia malah lebih manja dari pada Aydan. Aku menghela napas jengah melihat Sehun yang masih mengabaikanku dan fokus pada ponselnya. Raut wajahku berubah saat menatap Aydan yang sedang memakan sarapannya dengan lahap. "Habiskan sarapannya ya anak pintar." ujarku seraya mengusap rambut Aydan, Aydan hanya membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum tipis. "Aydan," Sehun mendekatkan wajahnya pada Aydan. Akhirnya ia melupakan ponselnya yang sedari tadi lepas dari tangan dan matanya. "Ya, Ayah?"&nbs