Share

Chapter 3

“Papa ....”

Darren telah menyelesaikan pekerjaannya dan duduk di ruangan kecil tempat cleaning service biasa berkumpul di sela jam kerja. Kembali Darren melihat dokumen yang tadi sempat dia foto, dan kembali dia merenung dengan semuanya.

Saat Daze Company dialihkan kepemilikannya pada orang lain, Darren masih remaja. Dia tidak tahu apa-apa saat itu. Setelah kejadian nahas itu, Darren hanya sibuk untuk meneruskan hidup. Pria itu bahkan sempat tinggal di panti asuhan selama setahun, sebelum panti itu akhirnya digusur. Berkat kebaikan hati ibu pengurus panti lah, Darren bisa berada di Kota X ini.

"Abitex, Daze." Darren terus mengulang-ulang menyebutkan perusahaan sang mertua, dengan perusahaan mendiang orangtuanya. "Aku harus bertanya kepada siapa?” keluhnya sedikit frustrasi.

Namun tiba-tiba, Darren teringat akan satu benda yang pernah papanya berikan untuk dia simpan. Tak ingin gegabah, Darren memilih untuk menunggu sampai jam bekerja selesai untuk mengetahui isi dari benda yang belum pernah dia buka sama sekali itu.

Teng!

Alarm ponsel Darren berdenting, itu artinya sudah waktunya pulang. Darren akan menyetel sebuah alarm, agar tidak terlewat. Dan jika memang ada tugas yang belum selesai, itu artinya semua akan dihitung lembur. Lembur bagi karyawan biasa seperti Darren itu sangat berarti, karena itu artinya pendapatannya akan bertambah pada saat penerimaan gaji.

Darren sudah memutuskan kalau dia akan menuju ke sebuah cafe yang terletak di pinggir salah satu danau, suasananya cukup sepi dan juga tenang. Darren memesan ojek online dan segera menuju ke tempat yang sudah ditentukannya.

Kring! Kring!

Suara telepon Darren berdering, dan seperti biasa itu pasti dari Renata atau dari ibu mertuanya yang memintanya melakukan berbagai hal yang membuat Darren benar-benar sakit kepala.

Kali ini Darren memilih untuk mengabaikan telepon tersebut. Karena Darren tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk mengetahui isi dari surat tersebut.

Dan di sinilah Darren saat ini, setelah kopi dan juga makanan tersaji di depannya. Dan Darren sengaja memilih tempat yang paling pojok agar tidak ada yang bisa mengetahui apa yang sedang dia baca.

Perlahan Darren mengeluarkan kertas lusuh tersebut, saking tidak pernah sekalipun dia buka selama puluhan tahun. Sebenarnya pernah ada niat untuk membukanya, tapi Darren takut isinya akan menyakitkan.

‘[Bank Duta, deposito sebesar 30 Triliun.]’

“Sebuah wasiat?” tanya Darren pelan sambil menggenggam surat itu dengan tangan yang masih bergetar.

Ada rasa tidak percaya dengan apa yang dia baca hari ini, dan selama ini dia hanya menyimpan surat itu di dalam dompetnya. Beruntungnya semua masih dalam keadaan baik-baik saja.

Sementara itu, ponsel Darren terus meraung. Namun, karena tidak ingin diganggu, dia pun memilih untuk menonaktifkan ponselnya. Biar nanti saja dia akan menghadapi kemarahan Renata dan Gia, sang ibu mertua.

Setelah memastikan tidak ada hal lain yang dapat mengganggunya, kembali Darren melanjutkan membaca pesan tersebut.

‘[Temui Arras Samuel, di Bank Duta. Bawa surat ini.]’

Papanya meminta Darren untuk menemui seseorang yang bernama Arras Samuel, dan itu membuat Darren cukup merasa pusing. Sebab, bank Duta di kota ini memiliki beberapa cabang. Darren masih diliputi keraguan yang mendalam, dia masih belum yakin dengan semuanya. Namun, yang membuat dia heran ini surat itu dia terima dari tangan papanya langsung. Seharusnya ini benar adanya.

“Cabang yang mana harus aku datangi?”

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status