Sunrise terdiam. Nafasnya tak beraturan, seolah paru-parunya mengecil karena tekanan atmosfer yang mendadak berubah. Ia merasa seperti telah melintasi ladang ranjau dan berhasil selamat, namun sadar bahwa ranjau berikutnya bisa meledak kapan saja.
Setelah Khairen melangkah pergi, Sunrise langsung mencari pintu keluar. Ia tak peduli jika Carmen mencarinya, atau jika beberapa rekan kerjanya menyapa. Ia hanya ingin keluar dari tempat itu. Segera. Di koridor belakang, tempat yang sepi dari lalu lalang karyawan, ia bersandar di dinding. Tangannya mencengkeram dadanya, mencoba menenangkan detak jantung yang masih belum normal. Udara dingin menyusup dari jendela kecil, membawa aroma kopi dan sedikit debu. Tapi tak cukup kuat untuk menjernihkan pikirannya. “Aku harus keluar dari masalah ini. Entah bagaimana caranya.” bisiknya begitu lelah. Sunrise tahu tak ada cara mudah. Ia tak mungkin mengundurkan diri, bukan setelah kerja kerasnya selama bertahun-tahun untuk sampai ke titik ini. Promosi yang ia dapatkan bukan keberuntungan semata. Ia membuktikan dirinya. Tapi sayangnya, semuanya terasa sia-sia jika Khairen tahu kebenaran di balik malam itu. "Ini semua karena kau Summer!" geramnya kesal. Jika saja, adiknya itu menurut untuk berhenti menjalani kencan buta dengan para pria hidung belang mungkin ini semua tidak akan terjadi. Dan lebih menyebalkan lagi, sejak malam itu Summer belum bisa dihubungi. Ia kabur begitu saja karena takut mendapatkan hukuman, karena kesalahan yang berulang kali ia lakukan. Kembali ke apartemennya malam itu, Sunrise membanting tas ke sofa. Ia menyalakan semua lampu, seolah dengan begitu ketakutannya bisa diusir. Di meja makan, ia membuka laptop, berencana memeriksa email kantor seperti biasa, tapi pikirannya tak bisa fokus. Ia membuka kembali file catatan harian digital yang ia simpan, sesuatu yang jarang ia buka lagi sejak beberapa bulan terakhir. Di sana, tercatat satu entri penting: "Malam mengerikan, kesalahan terbesar dalam hidupku, kamar 1101, aku tidak tahu siapa dia. Aku hanya ingin melindungi adikku. Lalu kabur. Sial." Kini ia tahu siapa pria itu. Khairen Crown. Pria yang tak hanya kuat secara kuasa, tapi ternyata juga punya pesona yang bisa menjebak siapa pun. Dan itu baru ia sadari setelah berhadapan jelas dengannya tadi. Karena semalam dirinya hanya fokus menghajar. Sunrise menatap dirinya sendiri di pantulan jendela. Apa yang harus ia lakukan? Mengaku? Mustahil. Menyembunyikannya? Sampai kapan? Sungguh ia frustasi. Keesokan harinya, Sunrise datang ke kantor lebih pagi dari biasanya. Ia ingin memastikan dirinya terlihat profesional, fokus, dan sepenuhnya tidak mencurigakan. Ia ingin menjadi Sunrise White yang dikenal semua orang. Pintar, efisien, dan selalu siap menghadapi tantangan. Akan tetapi, ada sedikit perubahan yang sengaja dibuat olehnya mulai hari ini. Berkamuflase. Ia mengubah penampilan wajahnya dengan menggunakan kacamata. Dan memotong pendek poninya. Berharap bisa menyamarkan wajahnya. Memang aneh, tapi ini harus dilakukan. Setidaknya ada usaha untuk melindungi diri. Suasana kantor terlihat masih sepi. Tentu ini terlalu pagi. Ia segera berjalan menuju lift. Menekan tombol lantai 25. Lantai divisi teknologi. Pintu terbuka, ia melangkah masuk. Ketika pintu lift hampir tertutup. Kembali pintu tersebut terbuka. Saat pintu lift terbuka sosok Khairen dengan seorang pria berdiri di depan pintu lift, keduanya akan masuk. Seketika semua pertahanan Sunrise hampir runtuh lagi. "Sial! Mengapa harus dia diantara ratusan orang di gedung ini?" gerutunya. "Pa..pagi Tuan Khairen!" sapa Sunrise dengan sopan sambil menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya. Ia langsung memundurkan tubuhnya hingga menempel di sudut dinding lift, lalu berpura-pura melihat jadwal pekerjaan di tabletnya. “Pagi, Nona White.” jawab Khairen dengan nada datar, namun matanya masih menyimpan kilatan penasaran. Lebih tepatnya penasaran dengan penampilan Sunrise yang berbeda dari kemarin saat acara seremonial. Kacamata dan poni anehnya. Khairen masuk diikuti dengan lelaki bertubuh tegap dan berpostur lebih gagah darinya. Penampilannya sangat formal, terdapat airphone yang terpasang di telinganya. Dia adalah asisten dan orang kepercayaan Khairen. Nick Keller. Pria beraura dingin dan kaki itu menekan tombol lantai 27. Lantai khusus para eksekutif. Keheningan di dalam lift membuat napasnya terasa nyaring di telinga sendiri. “Tadi malam, Anda terlihat sangat gugup. Biasanya wanita yang mendapatkan penghargaan besar akan tersenyum lebar, bukan berkeringat seperti baru lari maraton.” Khairen tiba-tiba membuka perbincangan memecah keheningan di dalam lift Sunrise tersenyum singkat. “Mungkin saya terlalu terbawa suasana. Saya tidak menyangka penghargaan itu akan saya dapatkan.” “Apa Nona sedang merendah?” satirnya diikuti tawa singkat. Sunrise menahan napas. Ucapan Khairen selalu berhasil membuatnya diam. Semua ini efek kecemasan yang berlebihan. Lama kelamaan Khairen akan menjadi phobia barunya. Lift berbunyi, menandakan lantai tujuan Sunrise. “Sampai jumpa di rapat siang ini, Tuan!" ucapnya cepat, lalu melangkah keluar tanpa menunggu jawaban. Begitu berada di ruangannya, Sunrise mengunci pintu dan menatap kaca di balik meja. “Tenang. Dia belum tahu.” Tapi rasa tidak aman itu tetap bersemayam, seperti bayangan gelap di belakang punggungnya. Yang tak ia sadari, saat Sunrise keluar dari lift tadi, Khairen menatap punggungnya dari dalam lift, kemudian tersenyum samar. “Aku sangat familiar dengan aroma parfum itu…" gumam Khairen mengingatkannya pada sosok wanita yang membuat wajahnya tak sempurna di hari pertama ia menampakkan wajahnya di depan publik. Dan juga, sesuatu tentang Sunrise White membuatnya ingin tahu lebih banyak. Bukan hanya karena prestasinya, tapi karena misteri yang menyelubunginya. Dan Khairen Crown tidak pernah menyukai misteri yang belum terpecahkan. Khairen membuka ponselnya, membuka rekaman kamera CCTV ballroom yang merekam percakapan singkat di malam pesta penghargaan itu. Suara wanita yang membentaknya, lalu pergi sambil mengutuk, mirip dengan Sunrise. “Cukup dekat,” gumamnya. “Terlalu dekat.” Khairen kembali menutup rekamannya. "Aku harap kau segera menemukan siapa wanita ini!" titah Khairen pada Nick. "Saya sudah memerintahkan tim khusus untuk melacak CCTV di sekitar jalan raya hotel. Kita pasti akan segera menemukannya!" ucap Nick meyakinkan tuannya.Wajah Paula memucat, seketika. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Seolah-olah jantungnya mendadak berhenti berdetak dan digantikan oleh gumpalan ketakutan yang membesar, menggulung dirinya dalam gejolak yang tak bisa ia kendalikan.“Lucas, jangan ulangi kalimat itu. Tarik kembali ucapan itu, Nak.” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Namun tatapan matanya menusuk tajam, penuh kengerian dan penyangkalan.Tapi Lucas tak berpaling. Ia menatap ibunya lurus dengan mantap, meski matanya berkabut, hatinya berdarah, dan nadanya penuh dengan rasa bersalah yang tidak bisa ia hindari.“Aku tahu ini salah di mata Ibu,” suaranya parau, bergetar di antara emosi yang menyesakkan. “Tapi aku lelah terus berpura-pura. Aku lelah menyimpan semuanya sendirian selama bertahun-tahun."Paula terhuyung, punggungnya membentur sandaran kursi. Seolah Lucas telah menamparnya dengan kenyataan paling kejam. Ia memejamkan mata sejenak, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Bahwa Lucas, tidak ben
Di sisi lain Swiss, Yayasan Kasih Ibu. Lampu-lampu bilik kamar mulai padam. Lorong-lorong yang biasa terisi suara riuh tawa riang telah sunyi oleh gelapnya malam.Mata dari anak-anak yang memiliki sejuta impian telah terpejam lelap di bawah hangatnya selimut. Napas tenang dan damai mengisi ruang.Langkah pelan menuju taman, dari wanita yang sudah puluhan tahun mengabdikan hidupnya, untuk anak-anak yang tak memiliki orang tua dan tempat tinggal. Ia Paula White, guru seni yang kini menjadi pemilik yayasan. Malaikat pelindung dan penyelamat bagi mereka.Seorang berdiri di ujung taman, menanti dengan senyum hangat. Tatapan penuh cinta dari seorang anak lelaki yang begitu menyayangi ibu dan keluarganya, Lucas Anderson."Kau sudah pulang?" ucap Paula dengan senyumnya yang damai."Ibu..." Lucas merentangkan tangannya untuk menyambut hangat sang ibu.Paula berjalan mendekat dan menerima pelukan sang putra sulung dengan penuh kasih. Lucas mengecup pucuk kepala sang ibu yang rambutnya sudah mul
“Nick, berikan kuncinya!” perintah Khairen tegas.Tanpa banyak bicara, Nick mengangguk dan menyerahkan kunci mobil berwarna hitam, lengkap dengan seluruh dokumen kendaraan kepada Sunrise.“Semuanya sudah atas nama Nyonya,” ucapnya sopan.Sunrise menatap buku kecil kepemilikan kendaraan itu. Namanya tertera jelas di halaman pertama. Meski hatinya berat, ia akhirnya menerima pemberian itu dengan sorot mata tak percaya.“Aku akan menerimanya, tapi aku tetap ingin mengangsurnya. Setiap bulan, setelah menerima gaji, aku akan membayar,” ucap Sunrise mantap, menyampaikan syaratnya.Tawa ringan lolos dari bibir Khairen. “Mengangsurnya?” Ia nyaris tak percaya kalimat itu keluar dari mulut Sunrise.Sunrise mengangguk. “Ya. Aku tidak ingin menerimanya secara cuma-cuma. Bagaimanapun, kecelakaan itu bukan sepenuhnya salahmu. Aku juga kurang fokus saat mengemudi. Jadi, aku akan terima mobil ini, jika kau setuju aku mencicilnya. Jika tidak, maka maaf, aku tak bisa menerimanya.”Ia hendak menyerahkan
Di ruangannya, Sunrise membuka laptop dan mulai merapikan berkas presentasi untuk rapat Kepala Divisi pagi ini. Tangannya cekatan menyusun laporan kinerja tim teknologi bulan ini, lengkap dengan grafik progres, kendala teknis, dan rekomendasi pengembangan berikutnya.Tak lupa ia menyelipkan juga berkas-berkas penting yang harus ditandatangani CEO. Semua ia persiapkan dengan teliti.Ia menatap bayangan dirinya di layar laptop yang memantul samar. Wajah itu masih menyimpan rona kemerahan dari kejadian semalam. Tidur bersama CEO-nya, dalam satu ranjang. Dalam pelukan di bawah selimut yang sama.Ia mendesah. “Fokus, Sunrise. Fokus!”Sepuluh menit kemudian, ia sudah duduk di ruang rapat Divisi. Semua Kepala Divisi sudah hadir, menyapanya ramah.“Pagi, Sunrise. Aku datang lebih dulu darimu" canda Kepala Divisi Keuangan yang tak pernah datang tepat waktu.“Pagi,” ia membalas pelan, mencoba tersenyum walau gugupnya tak kunjung reda.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Langkah sepatu hitam yang
Pagi masih petang, menyisakan jejak salju tipis di atas jendela apartemen Sunrise. Di dalam kamar yang hangat, detik-detik pagi mengalir pelan di antara napas sepasang suami istri kontrak yang tertidur dalam satu ranjang, dalam satu dekap sunyi yang tak pernah direncanakan.Khairen perlahan membuka mata. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada. Bau lavender yang samar, hembusan napas hangat di dada kirinya. Berat tubuh mungil yang masih bersandar erat padanya."Sunrise." Khairen menunduk sedikit, dan mendapati wajah Sunrise terlelap dengan tenang di pelukannya."Kukira hanya mimpi." lirihnya, rambut pirang gadis itu menjuntai menutupi sebagian pipi, membuat Khairen terdiam sejenak. Dadanya berdesir pelan, ia ingin lebih lama seperti ini.Pelan-pelan, ia menyibakkan rambut Sunrise, menyentuh dahi gadis itu dengan ujung jarinya. Demamnya sudah turun. Ia merasa lega.Sekali lagi ia menatap wajah itu lama, wajah yang keras kepala, berani, dan terlalu sering me
"Sunrise, aku pulang duluan. Hari ini, aku ada janji makan malam bersama keluarga." pamit Carmen yang sudah menenteng tasnya."Kau tidak masalah kan pulang sendiri? Jika, ada apa-apa hubungi aku." Carmen tetap khawatir."Aku bukan anak kecil, cepat pulanglah!" Sunrise tersenyum tipis."Bye..." Carmen meninggalkan ruang divisi.Senja menuruni langit Zurich dengan warna oranye keemasan, menelusup di balik kaca-kaca lantai tempat Sunrise bekerja, suasana mulai lengang. Satu per satu meja ditinggalkan, komputer dimatikan, dan lampu-lampu kantor mulai meredup pelan. Hanya beberapa orang yang masih bertahan, mengejar tenggat.Sunrise menghela napas panjang sambil mengemasi dokumen. Wajahnya lelah, tapi matanya menyimpan semacam kedamaian aneh.Perlakuan Khairen tadi pagi, sup, minuman herbal, dan sepatu hitam yang tiba-tiba ada di mejanya, semua masih membekas hangat.Ia berdiri dan mengganti sepatu high heelsnya dengan sepatu flat yang terletak rapi di bawah mejanya. Saat kulit kakinya men