Sunrise mencoba menenangkan diri. Segelas capucino mungkin bisa membantunya untuk rileks. Di pantry ruangan, ia membuat minuman favoritnya itu.
Tapi apa yang terjadi? Bayangan Khairen malah terus menggerus pikirannya. Bahkan, ketika ia menuang air panas. Suara CEO itu terngiang di telinganya. "Arrgggh! Aku bisa gila jika terus seperti ini! Bagaimana aku bisa bekerja dengan waras. Kapan dia akan pergi dari sini?" gerutu Sunrise. Berharap Khairen segera kembali ke habitatnya. Seperti kabar yang beredar, tujuan Khairen datang ke kantor CNC di Zurich hanya untuk menghadiri acara seremonial dan mengecek rencana proyek baru, tidak lebih. Selama ini, yang mereka tahu jika, putra Tuan Crown itu lebih suka bekerja di balik layar. Dan dia menetap di Rusia. Tanpa Sunrise sadari, ada yang sejak tadi mengintainya dari belakang. Ia terlalu fokus dengan kecamuk pikirannya, hingga tidak peka dengan keadaan sekitar. Dan ketika ia berbalik hendak kembali ke mejanya, ia dikagetkan dengan kejutan kecil di ruang divisi teknologi. Rekan-rekannya telah menyiapkan kue, balon sederhana, dan sebuah kotak hadiah dengan pita biru. “Selamat, Kepala Divisi Sunrise White!” seru semua orang serempak. Capucino di tangannya hampir saja tumpah karena terlalu terkejut. Beruntung ia kuat menahannya. Sunrise menahan air matanya. Ia benar-benar tidak menyangka akan mendapat perlakuan hangat seperti ini. “Terima kasih… kalian memang luar biasa,” ucapnya sambil memeluk Carmen yang memelopori kejutan tersebut. Divisi Teknologi memang terbilang paling kompak diantara divisi-divisi lainnya. Bukan sekedar tim saja, namun rasa kekeluargaan di antara mereka terjalin cukup baik. Itulah mengapa divisi teknologi sering mendapatkan reward. Selain kinerja mereka yang baik, kesolidan seluruh anggota tim membuat atmosfer perusahaan lebih bewarna. Inovasi mereka tak pernah habis untuk menciptakan kejutan-kejutan teknologi yang canggih bagi perusahaan. Dan tentu hampir seluruh ide proyek berasal dari Sunrise. Tak heran ia dipromosikan menjadi kepala divisi. Di tengah keceriaan itu, Sunrise mengusulkan sesuatu. “Bagaimana kalau kita rayakan di luar? Pesta kecil di kafe langganan kita malam ini?” Tentu semua orang langsung menyambut dengan antusias. Setelahnya, semua kembali ke tempat kerjanya masing-masing. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama, karena beberapa jam kemudian ia harus menghadiri rapat besar koordinasi proyek baru bersama seluruh kepala divisi dan tentu saja, Khairen. "Bagaimana perasaanmu Sunrise? Ini hari pertamamu menjabat sebagai kepala divisi." ucap Carmen yang paling antusias di antara semua. "Tidak ada yang istimewa. Aku tetaplah Sunrise. Jangan sungkan jika meminta bantuan padaku." ucap Sunrise tak ingin menjadikan jarak di antara rekan kerjanya. Meskipun terkenal cerewet dan perfeksionis, namun sifat rendah hati itulah yang membuat semua rekan kerjanya begitu menyayangi dan menghormati seorang Sunrise White. Carmen lebih mendekat ke arah Sunrise dan berbicara pelan namun cukup terdengar di sekitar. "Sunrise, hari ini kau akan rapat dengan CEO kan, apa kau tidak gugup? Kau tahu semua orang sedang membicarakannya. Ketampanannya, aura dinginnya membuat kita..." Carmen menepuk dadanya seolah meleleh. "Jaga bicaramu Carmen!" tegur Sunrise mengingatkan jika seluruh kantor dapat terlihat di CCTV. "Apa kau saja yang tidak tertarik padanya?" Carmen heran. Ia membuka layar tabletnya dan memperlihatkan foto ketika Sunrise menerima penghargaan di podium. Ekspresinya yang begitu datar seolah tak kagum pada sosok Khairen. "Lihat wajahmu ini Sunrise! Kau sangat payah!" Carmen benar-benar tidak mengerti. Sunrise menghela napas panjang, seandainya Carmen tahu jika saat itu dirinya hampir mati karena berusaha menyembunyikan masalah besar dari semua orang. "Kau tahu sendiri saat itu aku sedang tidak enak badan." Sunrise beralasan. "Dan ada apa dengan penampilanmu ini?" tanyanya keherana, ia baru sadar perubahan penampilan sahabatnya yang berponi dan berkacamata. "Apa ini termasuk gebrakan baru?" "Berhentilah bicara!" Sunrise menepis tangan Carmen yang menyentuh poninya. Carmen mencebik. "Seandainya saja sejak dulu CNC Zurich di pimpin olehnya, aku pasti tidak akan pernah mengambil jatah cutiku!" gumamnya kembali membahas CEO-nya. Bugh! Sunrise menimpuk Carmen dengan buku note yang cukup tebal. "Apa kau sudah bosan kerja di sini?" "Aaawwhh!" keluh Carmen sambil mengusik punggungnya. "Kau sangat kasar!" umpatnya. "Cepat kembali ke tempatmu, atau surat peringatan akan ada di mejamu hari ini!" ancam Sunrise menggunakan wewenangnya. "Baru beberapa jam kau menjabat, tapi sudah ingin menendangku! Awas saja kau!" gerutu Carmen yang segera beranjak pergi dari meja kerja Sunrise. Meskipun ia tahu sahabatnya itu hanya sekedar bercanda. Sebelum keluar dari ruangan Sunrise, sempat-sempatnya Carmen berpesan. "Bisakah aku menggantikanmu rapat hari ini?" "Carmen!" bentak Sunrise dengan matanya yang membulat penuh peringatan. Carmen pun segera berlari keluar sambil tertawa kecil. Siang harinya. Ruang rapat dipenuhi wajah-wajah serius. Sunrise duduk di posisi strategis, berseberangan langsung dengan Khairen. Sekali lagi, jantungnya berdebar. Tapi ia tahu, ini saatnya menunjukkan kemampuannya di hari pertama menjabat. Saat sesi pembahasan strategi teknologi dimulai, Sunrise angkat bicara. Ia mempresentasikan konsep optimalisasi AI untuk analisis data klien dengan presisi dan efisiensi yang mengesankan. Grafik, angka, dan logika di baliknya membuat ruangan hening mendengarkan. Bahkan Khairen, yang awalnya duduk santai, kini duduk lebih tegak dan memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut Sunrise. “Pendekatan itu cukup berani, tapi saya suka. Siapa yang merancang sistem algoritmanya?” tanya salah satu kepala divisi pemasaran. “Saya." jawab Sunrise dengan tenang. Tatapan Khairen tak lepas darinya. Di balik profesionalismenya, ada sesuatu yang membuatnya terpesona. Sunrise tak hanya menarik secara fisik, tapi juga punya kecemerlangan yang sulit diabaikan. “Sangat menarik,” gumam Khairen dengan senyum samar. “Baiklah, kita akan bahas lebih lanjut skema anggarannya.” Rapat berlangsung selama dua jam. Sunrise keluar dari ruangan dengan kepala tegak. Tapi di dalam pikirannya, ia masih waspada. Tatapan Khairen terlalu intens. Ia tidak tahu apakah itu pertanda kekaguman atau kecurigaan. Sunrise tak ingin ambil pusing kali ini. Ia hanya merasa lega karena rapat selesai. Dan malam nanti, ia berhak bersenang-senang. Setidaknya sekali, sebelum badai berikutnya datang. "Sunrise White...aku akan mencari tahu tentangmu." gumam Khairen sebelum ia pergi meninggalkan ruang rapat.Langkah Khairen yang berat akhirnya menghilang di balik pintu sky lounge. Hening kembali menguasai ruangan luas itu. Sunrise berdiri terpaku, tubuhnya gemetar, seolah udara di sekeliling tiba-tiba menjadi hampa. Kata-kata Khairen barusan masih berputar di kepalanya, menghantam dada berkali-kali.Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah juga. Ia meremas pagar pembatas lebih erat, punggungnya sedikit membungkuk menahan sesak. Rasanya lebih sakit dari yang ia bayangkan ketika ucapan itu terlontar dari mulut Khairen. Ia ingin berteriak melampiaskan semuanya.Namun, ia sadar, ini kantor. CNC Tower, gedung yang selalu dipenuhi mata-mata, telinga-telinga tajam, serta politik yang kejam. Sunrise buru-buru menghapus air matanya, menarik napas panjang beberapa kali, lalu berdiri tegak. Ia tidak boleh terlihat lemah. Tidak di tempat ini. Tidak di hadapan siapa pun.“Profesional, Sunrise. Ingat, profesional,” bisiknya pada diri sendiri.Ia membenarkan letak rambutnya, menyapu wajah dengan
Rapat dewan direksi bubar, tapi gemanya masih riuh di seluruh gedung CNC. Rumor tentang pergantian kursi direksi teknologi menyebar lebih cepat daripada email resmi perusahaan.Di lantai divisi teknologi, suasana riuh bukan main. Beberapa karyawan tampak bersorak kecil, berbisik sambil menahan senyum. Ada pula yang muram, khawatir akan perubahan yang terlalu drastis.“Tuan Steve benar-benar direksi baru kita?” bisik seorang analis data pada rekannya.“Ya. Katanya dia orang yang ahli di bidang teknologi. Pernah kerja sama dengan perusahaan besar di London.” sahut staf lainnya.“Kalau benar, ini bisa jadi peluang baru buat kita. Siapa tahu lebih modern dibanding gaya konservatif direksi selama ini.” timpal staf yang lain.Sunrise berjalan melewati kerumunan itu dengan langkah mantap, meski wajahnya dingin. "Jadi ini tujuan permainan Steve? Menduduki jabatan strategis di CNC. Mendapatkan dukungan para karyawan. Dan perlahan mulai meruntuhkan posisi Khairen?" Di dalam dadanya, badai berp
Tower Pusat CNC dipenuhi suasana tegang. Langkah-langkah kaki para direksi terburu-buru, sekretaris berlarian membawa map-map tebal, dan aroma kopi kuat menyeruak dari pantry lantai eksekutif. Jam besar di lobi berdentang pelan, menandai pukul delapan kurang lima menit.Di ruang kerjanya, Khairen berdiri menatap kaca besar yang memperlihatkan jalan masuk khusus VIP tower CNC. Refleksi wajahnya di permukaan kaca dingin, wajah seorang lelaki yang dipaksa untuk selalu tenang, meski hatinya sedang berperang. Menunggu gelisah kedatangan mobil Steve yang membawa Sunrise.Nick menatap jam tangannya. “Tuan, rapat dewan direksi dimulai lima menit lagi.”Khairen mengangguk tanpa menoleh. Tatapannya tetap terpaku pada pintu masuk. Setelan jas hitamnya sempurna, tapi ada ketegangan di bahunya. Ia menarik napas panjang, menahan denyut sakit di dadanya. Dan akhirnya memilih untuk beranjak pergi.Namun, sebelum langkahnya diayunkan, sebuah laporan lain muncul dari perangkat komunikasi Nick.“Tuan, m
Tower Pusat CNC, di ruang kerjanya, Khairen duduk di kursinya dengan mata tajam menatap layar tabletnya. Titik GPS dan rekaman CCTV di dalam mobil Sunrise terpampang jelas. Napasnya dalam, ritme stabil tapi dingin.Nick berdiri tegak di sampingnya, memberi laporan. “Tuan, kami mendapat rekaman tambahan. Nyonya terlihat bersama Steve menuju kemari.”Kata itu membuat udara di ruangan seakan membeku.Khairen menoleh pelan. Tatapannya tajam, menusuk seperti belati.Nick menelan ludah. “Nyonya tidak dipaksa. Ia keluar dari mobilnya sendiri dan masuk ke mobil Steve. Sopir Steve yang membawa mobil Nyonya, sementara Steve mengemudi sendiri.”Gigi Khairen terkatup rapat, urat rahangnya menegang. Ia menggeser kursinya mendekat ke layar, memutar ulang rekaman yang ditangkap tim pengintainya. Benar. Sosok Sunrise keluar dari mobilnya, wajahnya tenang tapi tegas, lalu melangkah masuk ke mobil Steve tanpa paksaan.Ada detik kecil ketika Sunrise menoleh sekilas, seakan ragu. Tapi setelah itu, pintu
Udara pagi yang harusnya menenangkan justru berubah menjadi pengap saat sosok Steve muncul dari mobil hitamnya.Sunrise membeku di balik setir, jemarinya mencengkeram kuat lingkar kemudi. Detak jantungnya memacu cepat, bercampur antara marah, takut, dan bingung."Steve? Untuk apa kau di sini?" geram Sunrise sambil menurunkan sedikit kaca mobilnya.“Keluar, Sunrise.” Suara Steve tenang, tapi penuh tekanan. “Mulai hari ini, kita akan menjalankan peran sesuai kesepakatan.”Mata Sunrise membelalak. “Kesepakatan?!” suaranya bergetar penuh amarah.Steve tersenyum tipis, senyum yang selalu membuat Sunrise ingin menamparnya. “Kau tidak sedang berpura-pura lupa kan? Kau tahu betul permainan ini sudah dimulai sejak kau menyetujuinya kemarin. Hari ini, babak pertamanya dimulai.”Sunrise menegakkan tubuhnya, sorot matanya tajam. “Jangan kira aku tidak tahu! Kau yang masuk ke apartemenku semalam, kan? Kau yang mengacak-acak semua barangku dan mengambil dokumen kontrak itu!”Mendengar itu, Steve te
Khairen menutup pintu mobil, tubuhnya bersandar lelah di kursi. Sorot matanya yang tadi hangat kini memudar menjadi gelap. “Siapa?” tanyanya tanpa basa-basi.Nick menoleh sekilas sebelum mengalihkan pandangan kembali ke jalan. Ia melesatkan mobilnya meninggalkan apartemen Sunrise.“Kami harus memastikan lewat hasil lab. Tapi, pola sidik jari ini cocok dengan data lama dari salah satu database internal Crown Group.”Khairen menyipitkan mata. “Internal? Maksudmu—”“Ya,” potong Nick pelan, nadanya hati-hati. Nick menahan napas sejenak. “Kemungkinan besar, orang dalam.” sambung Nick yakin. Karena hanya orang dari internal yang bisa menembus sistem keamanan seluruh properti milik Crown's.Keheningan menggantung di udara mobil. Khairen memejamkan mata sebentar, mencoba menahan denyut sakit di pelipisnya, tapi bayangan wajah Sunrise yang pucat di apartemen tadi terus menghantui.“Cari tahu siapa pelakunya,” perintah Khairen akhirnya. “Dan pastikan dia tidak bisa menyentuh Sunrise lagi.”Nick