Share

3. Tegang!

Auteur: DF Handayani
last update Dernière mise à jour: 2025-05-25 23:03:55

"Dia CEO?" Sunrise menundukkan wajahnya cepat, berusaha menyembunyikan ekspresi panik yang mulai menyelinap. Dunia seakan berputar cepat, tapi detak jantungnya melambat sekaligus terasa begitu keras di dadanya. Ia menyesal. Sangat menyesal. Tapi waktu tak bisa diputar ulang.

Sunrise merasa seperti dunianya telah runtuh. Ia tak percaya bahwa Khairen adalah CEO perusahaan tempatnya bekerja. Ini benar-benar mimpi buruk untuknya.

“Sunrise White, selamat atas promosi yang luar biasa. Kau layak mendapatkannya.” Seorang rekan pria dari divisi teknologi menepuk pundaknya dengan antusias, cukup mengejutkannya yang sedang termangu.

“Terima kasih,” jawab Sunrise tanpa menoleh, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil.

Matanya sesekali mencuri pandang ke arah podium, di mana Khairen sekarang berdiri, berdampingan dengan Tuan Crown. Ia mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang terjahit sempurna, sikapnya tenang dan berwibawa. Wajah tampannya begitu mencolok, dan ekspresi dingin itu membuatnya bergidik.

Carmen, yang duduk di sampingnya, menyadari perubahan drastis temannya.

“Sunrise… kau pucat sekali. Kau yakin baik-baik saja?” bisiknya khawatir.

Sunrise hanya mengangguk. “Aku hanya butuh air.”

Carmen pun segera mengambilkan minuman, sementara Sunrise berusaha menenangkan pikirannya. Ia tahu cepat atau lambat, Khairen akan mengenalinya. Dan mengingat betapa brutal pertemuan pertama mereka, ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Acara berlangsung megah. Sambutan dari Tuan Crown dan presentasi singkat dari Khairen tentang masa depan CNC memukau para hadirin. Namun telinga Sunrise hanya menangkap suara sebagai dengungan samar. Fokusnya sepenuhnya terganggu.

"Saya Khairen Crown, CEO CNC mohon untuk kerja samanya seluruh tim, terima kasih!" tutup Khairen mengakhiri sambutan sekaligus perkenalannya.

Hingga tiba saatnya penghargaan diberikan.

“…dan inilah karyawan terbaik CNC periode 2024-2025, wanita luar biasa yang telah memberikan kontribusi besar pada divisi teknologi kami. Sunrise White, selamat untuk kenaikan jabatan sebagai Kepala Divisi Teknologi!” ucap MC membacakan rangkaian penghargaan, dan mempersilahkannya agar naik ke atas podium untuk menerima jabatan sekaligus penghargaan sebagai karyawan terbaik tahun ini.

Seluruh hadirin bertepuk tangan. Sunrise berdiri perlahan dengan gemetar, langkahnya menuju panggung seperti mimpi buruk yang menjadi nyata.

Langkah Sunrise terasa berat meski ia berusaha tetap tenang. Jantungnya berdegup seperti genderang perang. Ia beranjak dari kursinya, menyembunyikan semua kepanikan di balik senyum profesional. Tak ada yang tahu, bahwa ia sedang menyusun skenario penyelamatan diri, sekaligus reputasinya.

"God, Help Me! Kau aman, Sunrise. Kau aman. Dia tidak mungkin mengenalimu!" gumamnya berisik di dalam hati meyakinkan diri sendiri.

Matanya melirik ke panggung. Di mana Khairen berdiri. Wajah itu... meski dihiasi dengan jejak luka semalam akibat ulah bodohnya, namun senyum dingin dan aura tak tersentuh, tetap membuat Khairen tampan dengan cara yang mengintimidasi.

Sesampainya di atas panggung, ia berdiri sejajar dengan Khairen, waktu seperti melambat.

"Tuhan lindungi aku kali ini, please..." mohonya sambil mengulurkan tangan dengan senyum kaku.

Tangan mereka bersentuhan. Dingin, gemetar itu yang dirasakan Khairen ketika menjabat tangan Sunrise. Ekspresi Khairen berubah, menerka tak percaya. Sosok yang banyak dibicarakan orang CNC, yang katanya wanita tangguh yang bahkan berani mengkritik internal dengan lantangnya nyatanya punya sisi gugup. Ia pun tersenyum samar.

"Ada apa dengan ekspresinya? Apa jangan-jangan dia mengenaliku?" batin Sunrise melihat perubahan wajah Khairen yang tiba-tiba. Ia hampir kehilangan daya untuk berdiri. Seumur hidup, baru kali ini ia merasa setakut ini.

Namun Sunrise tetap yakin. Malam itu, ia memakai masker. Suaranya pun sengaja ia ubah. Ia juga hanya bicara seperlunya. Tidak mungkin Khairen tahu bahwa wanita misterius yang menyerangnya adalah dia. Tidak mungkin.

"Selamat Nona White!" ucap Khairen dengan nada suaranya yang maskulin. Mata Khairen berubah menajam menatap lamat-lamat wajah Sunrise. "Kau..." ucapnya menggantung.

Sunrise memalingkan wajahnya cepat, menyesap udara seolah kehabisan napas. Kata itu cukup membuat Sunrise hampir kehilangan daya.

"Gawat!" Ia mengira Khairen sudah mengenalinya. Tamat sudah riwayatnya. Mungkin ini akan menjadi hari terakhirnya.

"Apa Anda sakit, Nona White?" sambung Khairen ketika melihat wajah Sunrise begitu pucat dan mengeluarkan banyak keringat.

Mata biru yang jernih milik Sunrise membulat. Oh, Tuhan Mahal Baik. Ternyata karena wajah pucatnya. Luruh sudah kekhawatiran Sunrise. Bagai mendapatkan banyak asupan oksigen ia bernapas panjang.

"Ya!" jawab Sunrise singkat tanpa berpikir panjang. Ia pun segera melepaskan jabatan tangannya. "Terima kasih, Tuan! Saya akan bertanggung jawab penuh dengan jabatan ini" sambungnya sambil membungkuk hormat dan segera memalingkan wajahnya. Menggeser posisi berdirinya sedikit menjauh dari Khairen.

Jujur, jika ia mendapatkan pilihan untuk memiliki kekuatan super ia akan memilih jurus menghilang. Detik ini, ia ingin menghilang dari hadapan Khairen.

"Kurasa Nona terlalu keras bekerja." ucap Khairen tak menyangka jika sosok Sunrise memiliki sisi unik. Sebelumnya ia mengira jika karyawan yang menjadi topik hari ini adalah wanita kaku.

Acara berjalan lancar. Sunrise menerima penghargaan dengan kepala tegak dan senyum terpaksa. Khairen bahkan menjabat tangannya dengan formal dan tenang, tidak menunjukkan tanda-tanda curiga sama sekali. Itu membuat Sunrise sedikit lebih tenang, meski keringat dingin masih merembes di balik kemeja dalamnya.

Saat acara selesai, ia melipir menuju sudut lounge yang sepi untuk minum. Carmen masih sibuk berbincang dengan rekan-rekan lain, memberi Sunrise waktu sendiri untuk bernapas.

Namun sepertinya ia tak diizinkan untuk bernapas, saat ia menuang kopi panas ke dalam cangkir, seseorang berdiri di sampingnya.

“Aku tidak menyangka Zurich punya wanita seperti Anda, Nona Sunrise,” suara Khairen terdengar di dekat telinganya, membuat Sunrise nyaris menjatuhkan cangkir porselen.

Ia menoleh pelan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum kecil.

Khairen mengangkat alis. “Cerdas, visioner, tegas, dan pemberani.”

“Saya mengambil itu sebagai pujian, Tuan Khairen.” ucapnya mencoba tenang, meski tangan yang sedang memegang cangkir tak bisa bohong, getaran kecil itu tercetak jelas di permukaan kopi panas.

Khairen menatap permukaan air di cangkir Sunrise yang bergelombang, ia tersenyum samar, seolah menyimpan banyak arti. Ia pun mengangguk. “Sudah lama di CNC?”

“Cukup lama untuk mengenal tiap detail gedung milik CNC.” jawab Sunrise sambil meletakkan cangkir yang menyiksanya.

Perkataan itu keluar tanpa sadar dan seketika ia menyesalinya.

Khairen tertawa ringan. “Nona terdengar seperti seseorang yang menyusup ke kamar orang lain tanpa diketahui.”

Glek! Sunrise membeku sesaat, tapi hanya sesaat. Ia tertawa kecil, pura-pura menganggap itu sebagai lelucon ringan. “Wah, saya tak cukup gila untuk melakukan hal seperti itu, Tuan!”

“Begitu ya?” tanya Khairen, nada suaranya menggantung. Matanya menatap wajah Sunrise sejenak, seolah mencari sesuatu.

Namun tak lama kemudian, dia hanya tersenyum, lalu melangkah pergi meninggalkan Sunrise yang berdiri mematung.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • The CEO'S Forbidden Bride    54. Salahkah Aku Mencintainya

    Wajah Paula memucat, seketika. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Seolah-olah jantungnya mendadak berhenti berdetak dan digantikan oleh gumpalan ketakutan yang membesar, menggulung dirinya dalam gejolak yang tak bisa ia kendalikan.“Lucas, jangan ulangi kalimat itu. Tarik kembali ucapan itu, Nak.” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Namun tatapan matanya menusuk tajam, penuh kengerian dan penyangkalan.Tapi Lucas tak berpaling. Ia menatap ibunya lurus dengan mantap, meski matanya berkabut, hatinya berdarah, dan nadanya penuh dengan rasa bersalah yang tidak bisa ia hindari.“Aku tahu ini salah di mata Ibu,” suaranya parau, bergetar di antara emosi yang menyesakkan. “Tapi aku lelah terus berpura-pura. Aku lelah menyimpan semuanya sendirian selama bertahun-tahun."Paula terhuyung, punggungnya membentur sandaran kursi. Seolah Lucas telah menamparnya dengan kenyataan paling kejam. Ia memejamkan mata sejenak, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Bahwa Lucas, tidak ben

  • The CEO'S Forbidden Bride    53. Sunrise yang Ingin Kunikahi

    Di sisi lain Swiss, Yayasan Kasih Ibu. Lampu-lampu bilik kamar mulai padam. Lorong-lorong yang biasa terisi suara riuh tawa riang telah sunyi oleh gelapnya malam.Mata dari anak-anak yang memiliki sejuta impian telah terpejam lelap di bawah hangatnya selimut. Napas tenang dan damai mengisi ruang.Langkah pelan menuju taman, dari wanita yang sudah puluhan tahun mengabdikan hidupnya, untuk anak-anak yang tak memiliki orang tua dan tempat tinggal. Ia Paula White, guru seni yang kini menjadi pemilik yayasan. Malaikat pelindung dan penyelamat bagi mereka.Seorang berdiri di ujung taman, menanti dengan senyum hangat. Tatapan penuh cinta dari seorang anak lelaki yang begitu menyayangi ibu dan keluarganya, Lucas Anderson."Kau sudah pulang?" ucap Paula dengan senyumnya yang damai."Ibu..." Lucas merentangkan tangannya untuk menyambut hangat sang ibu.Paula berjalan mendekat dan menerima pelukan sang putra sulung dengan penuh kasih. Lucas mengecup pucuk kepala sang ibu yang rambutnya sudah mul

  • The CEO'S Forbidden Bride    52. Bayar Seumur Hidupmu

    “Nick, berikan kuncinya!” perintah Khairen tegas.Tanpa banyak bicara, Nick mengangguk dan menyerahkan kunci mobil berwarna hitam, lengkap dengan seluruh dokumen kendaraan kepada Sunrise.“Semuanya sudah atas nama Nyonya,” ucapnya sopan.Sunrise menatap buku kecil kepemilikan kendaraan itu. Namanya tertera jelas di halaman pertama. Meski hatinya berat, ia akhirnya menerima pemberian itu dengan sorot mata tak percaya.“Aku akan menerimanya, tapi aku tetap ingin mengangsurnya. Setiap bulan, setelah menerima gaji, aku akan membayar,” ucap Sunrise mantap, menyampaikan syaratnya.Tawa ringan lolos dari bibir Khairen. “Mengangsurnya?” Ia nyaris tak percaya kalimat itu keluar dari mulut Sunrise.Sunrise mengangguk. “Ya. Aku tidak ingin menerimanya secara cuma-cuma. Bagaimanapun, kecelakaan itu bukan sepenuhnya salahmu. Aku juga kurang fokus saat mengemudi. Jadi, aku akan terima mobil ini, jika kau setuju aku mencicilnya. Jika tidak, maka maaf, aku tak bisa menerimanya.”Ia hendak menyerahkan

  • The CEO'S Forbidden Bride    51. Makan Malam dan Kejutan Kecil

    Di ruangannya, Sunrise membuka laptop dan mulai merapikan berkas presentasi untuk rapat Kepala Divisi pagi ini. Tangannya cekatan menyusun laporan kinerja tim teknologi bulan ini, lengkap dengan grafik progres, kendala teknis, dan rekomendasi pengembangan berikutnya.Tak lupa ia menyelipkan juga berkas-berkas penting yang harus ditandatangani CEO. Semua ia persiapkan dengan teliti.Ia menatap bayangan dirinya di layar laptop yang memantul samar. Wajah itu masih menyimpan rona kemerahan dari kejadian semalam. Tidur bersama CEO-nya, dalam satu ranjang. Dalam pelukan di bawah selimut yang sama.Ia mendesah. “Fokus, Sunrise. Fokus!”Sepuluh menit kemudian, ia sudah duduk di ruang rapat Divisi. Semua Kepala Divisi sudah hadir, menyapanya ramah.“Pagi, Sunrise. Aku datang lebih dulu darimu" canda Kepala Divisi Keuangan yang tak pernah datang tepat waktu.“Pagi,” ia membalas pelan, mencoba tersenyum walau gugupnya tak kunjung reda.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Langkah sepatu hitam yang

  • The CEO'S Forbidden Bride    50. Salah Tingkah

    Pagi masih petang, menyisakan jejak salju tipis di atas jendela apartemen Sunrise. Di dalam kamar yang hangat, detik-detik pagi mengalir pelan di antara napas sepasang suami istri kontrak yang tertidur dalam satu ranjang, dalam satu dekap sunyi yang tak pernah direncanakan.Khairen perlahan membuka mata. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada. Bau lavender yang samar, hembusan napas hangat di dada kirinya. Berat tubuh mungil yang masih bersandar erat padanya."Sunrise." Khairen menunduk sedikit, dan mendapati wajah Sunrise terlelap dengan tenang di pelukannya."Kukira hanya mimpi." lirihnya, rambut pirang gadis itu menjuntai menutupi sebagian pipi, membuat Khairen terdiam sejenak. Dadanya berdesir pelan, ia ingin lebih lama seperti ini.Pelan-pelan, ia menyibakkan rambut Sunrise, menyentuh dahi gadis itu dengan ujung jarinya. Demamnya sudah turun. Ia merasa lega.Sekali lagi ia menatap wajah itu lama, wajah yang keras kepala, berani, dan terlalu sering me

  • The CEO'S Forbidden Bride    49. Tidur Bersama

    "Sunrise, aku pulang duluan. Hari ini, aku ada janji makan malam bersama keluarga." pamit Carmen yang sudah menenteng tasnya."Kau tidak masalah kan pulang sendiri? Jika, ada apa-apa hubungi aku." Carmen tetap khawatir."Aku bukan anak kecil, cepat pulanglah!" Sunrise tersenyum tipis."Bye..." Carmen meninggalkan ruang divisi.Senja menuruni langit Zurich dengan warna oranye keemasan, menelusup di balik kaca-kaca lantai tempat Sunrise bekerja, suasana mulai lengang. Satu per satu meja ditinggalkan, komputer dimatikan, dan lampu-lampu kantor mulai meredup pelan. Hanya beberapa orang yang masih bertahan, mengejar tenggat.Sunrise menghela napas panjang sambil mengemasi dokumen. Wajahnya lelah, tapi matanya menyimpan semacam kedamaian aneh.Perlakuan Khairen tadi pagi, sup, minuman herbal, dan sepatu hitam yang tiba-tiba ada di mejanya, semua masih membekas hangat.Ia berdiri dan mengganti sepatu high heelsnya dengan sepatu flat yang terletak rapi di bawah mejanya. Saat kulit kakinya men

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status