"Dia CEO?" Sunrise menundukkan wajahnya cepat, berusaha menyembunyikan ekspresi panik yang mulai menyelinap. Dunia seakan berputar cepat, tapi detak jantungnya melambat sekaligus terasa begitu keras di dadanya. Ia menyesal. Sangat menyesal. Tapi waktu tak bisa diputar ulang.
Sunrise merasa seperti dunianya telah runtuh. Ia tak percaya bahwa Khairen adalah CEO perusahaan tempatnya bekerja. Ini benar-benar mimpi buruk untuknya. “Sunrise White, selamat atas promosi yang luar biasa. Kau layak mendapatkannya.” Seorang rekan pria dari divisi teknologi menepuk pundaknya dengan antusias, cukup mengejutkannya yang sedang termangu. “Terima kasih,” jawab Sunrise tanpa menoleh, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. Matanya sesekali mencuri pandang ke arah podium, di mana Khairen sekarang berdiri, berdampingan dengan Tuan Crown. Ia mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang terjahit sempurna, sikapnya tenang dan berwibawa. Wajah tampannya begitu mencolok, dan ekspresi dingin itu membuatnya bergidik. Carmen, yang duduk di sampingnya, menyadari perubahan drastis temannya. “Sunrise… kau pucat sekali. Kau yakin baik-baik saja?” bisiknya khawatir. Sunrise hanya mengangguk. “Aku hanya butuh air.” Carmen pun segera mengambilkan minuman, sementara Sunrise berusaha menenangkan pikirannya. Ia tahu cepat atau lambat, Khairen akan mengenalinya. Dan mengingat betapa brutal pertemuan pertama mereka, ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Acara berlangsung megah. Sambutan dari Tuan Crown dan presentasi singkat dari Khairen tentang masa depan CNC memukau para hadirin. Namun telinga Sunrise hanya menangkap suara sebagai dengungan samar. Fokusnya sepenuhnya terganggu. "Saya Khairen Crown, CEO CNC mohon untuk kerja samanya seluruh tim, terima kasih!" tutup Khairen mengakhiri sambutan sekaligus perkenalannya. Hingga tiba saatnya penghargaan diberikan. “…dan inilah karyawan terbaik CNC periode 2024-2025, wanita luar biasa yang telah memberikan kontribusi besar pada divisi teknologi kami. Sunrise White, selamat untuk kenaikan jabatan sebagai Kepala Divisi Teknologi!” ucap MC membacakan rangkaian penghargaan, dan mempersilahkannya agar naik ke atas podium untuk menerima jabatan sekaligus penghargaan sebagai karyawan terbaik tahun ini. Seluruh hadirin bertepuk tangan. Sunrise berdiri perlahan dengan gemetar, langkahnya menuju panggung seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Langkah Sunrise terasa berat meski ia berusaha tetap tenang. Jantungnya berdegup seperti genderang perang. Ia beranjak dari kursinya, menyembunyikan semua kepanikan di balik senyum profesional. Tak ada yang tahu, bahwa ia sedang menyusun skenario penyelamatan diri, sekaligus reputasinya. "God, Help Me! Kau aman, Sunrise. Kau aman. Dia tidak mungkin mengenalimu!" gumamnya berisik di dalam hati meyakinkan diri sendiri. Matanya melirik ke panggung. Di mana Khairen berdiri. Wajah itu... meski dihiasi dengan jejak luka semalam akibat ulah bodohnya, namun senyum dingin dan aura tak tersentuh, tetap membuat Khairen tampan dengan cara yang mengintimidasi. Sesampainya di atas panggung, ia berdiri sejajar dengan Khairen, waktu seperti melambat. "Tuhan lindungi aku kali ini, please..." mohonya sambil mengulurkan tangan dengan senyum kaku. Tangan mereka bersentuhan. Dingin, gemetar itu yang dirasakan Khairen ketika menjabat tangan Sunrise. Ekspresi Khairen berubah, menerka tak percaya. Sosok yang banyak dibicarakan orang CNC, yang katanya wanita tangguh yang bahkan berani mengkritik internal dengan lantangnya nyatanya punya sisi gugup. Ia pun tersenyum samar. "Ada apa dengan ekspresinya? Apa jangan-jangan dia mengenaliku?" batin Sunrise melihat perubahan wajah Khairen yang tiba-tiba. Ia hampir kehilangan daya untuk berdiri. Seumur hidup, baru kali ini ia merasa setakut ini. Namun Sunrise tetap yakin. Malam itu, ia memakai masker. Suaranya pun sengaja ia ubah. Ia juga hanya bicara seperlunya. Tidak mungkin Khairen tahu bahwa wanita misterius yang menyerangnya adalah dia. Tidak mungkin. "Selamat Nona White!" ucap Khairen dengan nada suaranya yang maskulin. Mata Khairen berubah menajam menatap lamat-lamat wajah Sunrise. "Kau..." ucapnya menggantung. Sunrise memalingkan wajahnya cepat, menyesap udara seolah kehabisan napas. Kata itu cukup membuat Sunrise hampir kehilangan daya. "Gawat!" Ia mengira Khairen sudah mengenalinya. Tamat sudah riwayatnya. Mungkin ini akan menjadi hari terakhirnya. "Apa Anda sakit, Nona White?" sambung Khairen ketika melihat wajah Sunrise begitu pucat dan mengeluarkan banyak keringat. Mata biru yang jernih milik Sunrise membulat. Oh, Tuhan Mahal Baik. Ternyata karena wajah pucatnya. Luruh sudah kekhawatiran Sunrise. Bagai mendapatkan banyak asupan oksigen ia bernapas panjang. "Ya!" jawab Sunrise singkat tanpa berpikir panjang. Ia pun segera melepaskan jabatan tangannya. "Terima kasih, Tuan! Saya akan bertanggung jawab penuh dengan jabatan ini" sambungnya sambil membungkuk hormat dan segera memalingkan wajahnya. Menggeser posisi berdirinya sedikit menjauh dari Khairen. Jujur, jika ia mendapatkan pilihan untuk memiliki kekuatan super ia akan memilih jurus menghilang. Detik ini, ia ingin menghilang dari hadapan Khairen. "Kurasa Nona terlalu keras bekerja." ucap Khairen tak menyangka jika sosok Sunrise memiliki sisi unik. Sebelumnya ia mengira jika karyawan yang menjadi topik hari ini adalah wanita kaku. Acara berjalan lancar. Sunrise menerima penghargaan dengan kepala tegak dan senyum terpaksa. Khairen bahkan menjabat tangannya dengan formal dan tenang, tidak menunjukkan tanda-tanda curiga sama sekali. Itu membuat Sunrise sedikit lebih tenang, meski keringat dingin masih merembes di balik kemeja dalamnya. Saat acara selesai, ia melipir menuju sudut lounge yang sepi untuk minum. Carmen masih sibuk berbincang dengan rekan-rekan lain, memberi Sunrise waktu sendiri untuk bernapas. Namun sepertinya ia tak diizinkan untuk bernapas, saat ia menuang kopi panas ke dalam cangkir, seseorang berdiri di sampingnya. “Aku tidak menyangka Zurich punya wanita seperti Anda, Nona Sunrise,” suara Khairen terdengar di dekat telinganya, membuat Sunrise nyaris menjatuhkan cangkir porselen. Ia menoleh pelan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum kecil. Khairen mengangkat alis. “Cerdas, visioner, tegas, dan pemberani.” “Saya mengambil itu sebagai pujian, Tuan Khairen.” ucapnya mencoba tenang, meski tangan yang sedang memegang cangkir tak bisa bohong, getaran kecil itu tercetak jelas di permukaan kopi panas. Khairen menatap permukaan air di cangkir Sunrise yang bergelombang, ia tersenyum samar, seolah menyimpan banyak arti. Ia pun mengangguk. “Sudah lama di CNC?” “Cukup lama untuk mengenal tiap detail gedung milik CNC.” jawab Sunrise sambil meletakkan cangkir yang menyiksanya. Perkataan itu keluar tanpa sadar dan seketika ia menyesalinya. Khairen tertawa ringan. “Nona terdengar seperti seseorang yang menyusup ke kamar orang lain tanpa diketahui.” Glek! Sunrise membeku sesaat, tapi hanya sesaat. Ia tertawa kecil, pura-pura menganggap itu sebagai lelucon ringan. “Wah, saya tak cukup gila untuk melakukan hal seperti itu, Tuan!” “Begitu ya?” tanya Khairen, nada suaranya menggantung. Matanya menatap wajah Sunrise sejenak, seolah mencari sesuatu. Namun tak lama kemudian, dia hanya tersenyum, lalu melangkah pergi meninggalkan Sunrise yang berdiri mematung.Langkah Khairen yang berat akhirnya menghilang di balik pintu sky lounge. Hening kembali menguasai ruangan luas itu. Sunrise berdiri terpaku, tubuhnya gemetar, seolah udara di sekeliling tiba-tiba menjadi hampa. Kata-kata Khairen barusan masih berputar di kepalanya, menghantam dada berkali-kali.Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah juga. Ia meremas pagar pembatas lebih erat, punggungnya sedikit membungkuk menahan sesak. Rasanya lebih sakit dari yang ia bayangkan ketika ucapan itu terlontar dari mulut Khairen. Ia ingin berteriak melampiaskan semuanya.Namun, ia sadar, ini kantor. CNC Tower, gedung yang selalu dipenuhi mata-mata, telinga-telinga tajam, serta politik yang kejam. Sunrise buru-buru menghapus air matanya, menarik napas panjang beberapa kali, lalu berdiri tegak. Ia tidak boleh terlihat lemah. Tidak di tempat ini. Tidak di hadapan siapa pun.“Profesional, Sunrise. Ingat, profesional,” bisiknya pada diri sendiri.Ia membenarkan letak rambutnya, menyapu wajah dengan
Rapat dewan direksi bubar, tapi gemanya masih riuh di seluruh gedung CNC. Rumor tentang pergantian kursi direksi teknologi menyebar lebih cepat daripada email resmi perusahaan.Di lantai divisi teknologi, suasana riuh bukan main. Beberapa karyawan tampak bersorak kecil, berbisik sambil menahan senyum. Ada pula yang muram, khawatir akan perubahan yang terlalu drastis.“Tuan Steve benar-benar direksi baru kita?” bisik seorang analis data pada rekannya.“Ya. Katanya dia orang yang ahli di bidang teknologi. Pernah kerja sama dengan perusahaan besar di London.” sahut staf lainnya.“Kalau benar, ini bisa jadi peluang baru buat kita. Siapa tahu lebih modern dibanding gaya konservatif direksi selama ini.” timpal staf yang lain.Sunrise berjalan melewati kerumunan itu dengan langkah mantap, meski wajahnya dingin. "Jadi ini tujuan permainan Steve? Menduduki jabatan strategis di CNC. Mendapatkan dukungan para karyawan. Dan perlahan mulai meruntuhkan posisi Khairen?" Di dalam dadanya, badai berp
Tower Pusat CNC dipenuhi suasana tegang. Langkah-langkah kaki para direksi terburu-buru, sekretaris berlarian membawa map-map tebal, dan aroma kopi kuat menyeruak dari pantry lantai eksekutif. Jam besar di lobi berdentang pelan, menandai pukul delapan kurang lima menit.Di ruang kerjanya, Khairen berdiri menatap kaca besar yang memperlihatkan jalan masuk khusus VIP tower CNC. Refleksi wajahnya di permukaan kaca dingin, wajah seorang lelaki yang dipaksa untuk selalu tenang, meski hatinya sedang berperang. Menunggu gelisah kedatangan mobil Steve yang membawa Sunrise.Nick menatap jam tangannya. “Tuan, rapat dewan direksi dimulai lima menit lagi.”Khairen mengangguk tanpa menoleh. Tatapannya tetap terpaku pada pintu masuk. Setelan jas hitamnya sempurna, tapi ada ketegangan di bahunya. Ia menarik napas panjang, menahan denyut sakit di dadanya. Dan akhirnya memilih untuk beranjak pergi.Namun, sebelum langkahnya diayunkan, sebuah laporan lain muncul dari perangkat komunikasi Nick.“Tuan, m
Tower Pusat CNC, di ruang kerjanya, Khairen duduk di kursinya dengan mata tajam menatap layar tabletnya. Titik GPS dan rekaman CCTV di dalam mobil Sunrise terpampang jelas. Napasnya dalam, ritme stabil tapi dingin.Nick berdiri tegak di sampingnya, memberi laporan. “Tuan, kami mendapat rekaman tambahan. Nyonya terlihat bersama Steve menuju kemari.”Kata itu membuat udara di ruangan seakan membeku.Khairen menoleh pelan. Tatapannya tajam, menusuk seperti belati.Nick menelan ludah. “Nyonya tidak dipaksa. Ia keluar dari mobilnya sendiri dan masuk ke mobil Steve. Sopir Steve yang membawa mobil Nyonya, sementara Steve mengemudi sendiri.”Gigi Khairen terkatup rapat, urat rahangnya menegang. Ia menggeser kursinya mendekat ke layar, memutar ulang rekaman yang ditangkap tim pengintainya. Benar. Sosok Sunrise keluar dari mobilnya, wajahnya tenang tapi tegas, lalu melangkah masuk ke mobil Steve tanpa paksaan.Ada detik kecil ketika Sunrise menoleh sekilas, seakan ragu. Tapi setelah itu, pintu
Udara pagi yang harusnya menenangkan justru berubah menjadi pengap saat sosok Steve muncul dari mobil hitamnya.Sunrise membeku di balik setir, jemarinya mencengkeram kuat lingkar kemudi. Detak jantungnya memacu cepat, bercampur antara marah, takut, dan bingung."Steve? Untuk apa kau di sini?" geram Sunrise sambil menurunkan sedikit kaca mobilnya.“Keluar, Sunrise.” Suara Steve tenang, tapi penuh tekanan. “Mulai hari ini, kita akan menjalankan peran sesuai kesepakatan.”Mata Sunrise membelalak. “Kesepakatan?!” suaranya bergetar penuh amarah.Steve tersenyum tipis, senyum yang selalu membuat Sunrise ingin menamparnya. “Kau tidak sedang berpura-pura lupa kan? Kau tahu betul permainan ini sudah dimulai sejak kau menyetujuinya kemarin. Hari ini, babak pertamanya dimulai.”Sunrise menegakkan tubuhnya, sorot matanya tajam. “Jangan kira aku tidak tahu! Kau yang masuk ke apartemenku semalam, kan? Kau yang mengacak-acak semua barangku dan mengambil dokumen kontrak itu!”Mendengar itu, Steve te
Khairen menutup pintu mobil, tubuhnya bersandar lelah di kursi. Sorot matanya yang tadi hangat kini memudar menjadi gelap. “Siapa?” tanyanya tanpa basa-basi.Nick menoleh sekilas sebelum mengalihkan pandangan kembali ke jalan. Ia melesatkan mobilnya meninggalkan apartemen Sunrise.“Kami harus memastikan lewat hasil lab. Tapi, pola sidik jari ini cocok dengan data lama dari salah satu database internal Crown Group.”Khairen menyipitkan mata. “Internal? Maksudmu—”“Ya,” potong Nick pelan, nadanya hati-hati. Nick menahan napas sejenak. “Kemungkinan besar, orang dalam.” sambung Nick yakin. Karena hanya orang dari internal yang bisa menembus sistem keamanan seluruh properti milik Crown's.Keheningan menggantung di udara mobil. Khairen memejamkan mata sebentar, mencoba menahan denyut sakit di pelipisnya, tapi bayangan wajah Sunrise yang pucat di apartemen tadi terus menghantui.“Cari tahu siapa pelakunya,” perintah Khairen akhirnya. “Dan pastikan dia tidak bisa menyentuh Sunrise lagi.”Nick