Tahukah kamu? Bagaimana rasanya tersiksa merindukanmu tapi tak mampu untuk bertemu?
***
Kepala itu mendongak, menatap gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di depannya dengan seksama. Ini kali pertamanya, seorang Tiffany Hwang memulai karirnya setelah pendidikan terakhirnya selesai. Seharusnya, hari ini ia mengurus segala pindahannya, tapi kata sang Ibu biar ia saja dan menyuruh Tiffany fokus untuk hari ini.
Kedua tangan Tiffany terlipat di depan dada. Sesekali, ia menatap beberapa karyawan lain yang berlomba-lomba masuk ke dalam karena sepertinya awan akan menumpahkan isinya. Dan, Tiffany cukup mengerti jika beberapa orang meliriknya seraya berbisik. Untuk seukuran karyawan baru, Tiffany tidaklah masuk kategori. Wajahnya angkuh sudah mendapat penghargaan kesombongan. Di tambah lagi tidak ada senyuman melainkan lirikannya yang tajam.
"Ayo, Non Tif."
Tiffany hanya mengangguk tanpa menunjukkan ekspresi apapun, ia melangkah seraya membenarkan letak tas jinjing yang ia bawa. Tiffany sangat berharap dapat ketenangan bekerja di sini, tidak ada masalah apapun sampai ia memilih pensiun. Sungguh, masalah itu sangat melelahkan.
Tiffany melirik ke sana sini, menatap takjub pada setiap arsitektur yang ada di sana. Nampak elegan dan juga berkelas. Meski tidak seluas dan selebar kantor di Seoul, tapi tempat ini cukup nyaman. Dari penglihatannya, karyawan di sini cukup ramah, mungkin akan menghapus sikapnya yang sulit berteman.
Tiba-tiba saja, Tiffany menghentikan menatap bangunan itu yang membuatnya takjub, kedua matanya melirik ke arah satu titik yang membuatnya tertarik. Langkah gadis itu berbelok ke arah kanan, ia seolah tidak peduli dengan apa yang akan terjadi di belakang sana, tapi instingnya menyuruhnya terus berjalan. Dan, sebuah pagar besi besar tinggi ia temui pertama kali.
Bugh.
Suara pukulan itu terdengar jelas. Tiffany menyembunyikan tubuhnya di balik tong besar, melirik ke arah segerombolan pria yang tengah berkelahi di ujung sana. Mulut Tiffany menganga lebar, ia terkejut saat melihat seorang pria yang di keroyok bersamaan dengan tiga orang pria lain yang menurut Tiffany nampak urakan terlihat dari penampilannya. Sedangkan, pria yang di keroyok itu nampak rapih dengan jas dan dasi. Tiffany rasa, pria itu juga bekerja di sini.
"Oh my God." Kedua mata kecil Tiffany menyaksikan segerombolan pria itu menyerang secara bersamaan hingga terjadi perkelahian. Tiffany menoleh ke arah sekelilingnya, berharap ia menemukan seseorang yang dapat ia minta pertolongannya. Tapi, tidak ada.
Namun, setelah lima menit perkelahian itu terjadi, tiga orang urakan itu sudah tergeletak di atas rumput seraya memegangi bagian tubuhnya yang sakit. Kini, hanya ada satu pria yang berdiri, yang sebelumnya Tiffany pikir akan mati. Ternyata, tiga orang pengeroyok itu yang salah.
Tiffany tanpa sengaja menginjak botol bekas yang membuat pria berjas itu melirik ke arahnya. Tubuh Tiffany gemetar. Sialnya, ia tidak bisa melakukan apapun selain berdiam diri dengan ritme jantungnya yang tak beraturan.
Dari setelan yang pria itu pakai, Tiffany tidak melihat ada tanda kriminal di sana, pria itu hanya seperti orang kantoran kebanyakan. Tak hanya itu, ia juga rapih dari segi penampilan. Sungguh, tidak ada tampang urakan seorang pria yang gemar berkelahi meski wajahnya yang terlihat menakutkan.
Ketakutannya berubah menjadi keheranan saat pria itu memberinya isyarat untuk tetap diam dengan jari telunjuk yang ia letakkan di depan bibir. Pria itu memiringkan kepalanya dengan tatapan yang masih mengarah pada Tiffany.
Pria tinggi berkulit sawo matang itu nampak gagah dengan tonjolan otot lengannya yang baru saja ia pamerkan selepas membuka jasnya. Meski itu sedikit menghipnotisnya namun ia kembali teringat dengan keselamatannya sekarang.
"Aku, a-aku tidak sengaja." Tiffany mengumpulkan segenap keberanian untuk bersuara saat pria itu malah berjalan menghampirinya.
"Berhenti, a-aku a-" Tiffany menghentikan kalimatnya saat pria itu berhenti melangkah lalu menunduk. Rupanya, pria itu mengambil sebuah tas jinjing kulit yang tergeletak di sana.
Gadis Korea itu terkesiap saat ia sekilas melihat pria itu tersenyum miring ke arahnya. Meski ia juga tidak yakin dengan penglihatannya tapi ia ingat dengan lesung pipi pria itu yang sialnya terlihat manis. Tanpa melihat Tiffany lagi, pria asing itu menghilang di balik pagar besi.
"Non Tif!" pantau Bi Sumi yang berlarian menuju ke arahnya. Ekspresi wanita paruh baya itu yang semula panik seketika lega saat mendapati Tiffany yang nampak baik-baik saja.
"Non Tif habis dari mana saja?"
"Dari sana."
"Sana? Memangnya ada apa?"
"Mengerikan."
"Mengerikan?"
***
"Tiffany!" pantau seorang gadis dengan senyuman lebar seraya melipat kedua tangannya di depan dada, berdiri di depan pintu yang bertuliskan HRD.
"Salsha!" Tiffany berdecak senang sekaligus lega. Akhirnya, ia memiliki teman bicara meski itu hanya Salsha. Selama ini, Tiffany seolah sibuk dengan dunianya sendiri sampai tak ada celah masuk bagi orang lain.
"Kau sudah di tunggu di dalam. Semoga berhasil!" seru Salsha dengan suara riangnya.
Tiffany menghela napas, ia kembali mengingat apa yang sudah ia persiapkan dari semalam. "Semoga berhasil!"
Salsha mendorong tubuh Tiffany masuk. Bi Sumi hanya mengangguk.
"Hm- permisi..." Tiffany berucap sesaat sebelum selangkah lagi ia memasuki ruangan.
Terlihat sosok pria tambun dengan kumis tebalnya sedang tersenyum melihat kedatangannya. Tiffany mulai berpikir aneh, mengapa seseorang yang memiliki tingkat jabatan yang lebih tinggi selalu kehilangan rambutnya.
"Kau yang bernama Tiffany Hwang?"
"Ya."
"Aku sudah melihat semua berkas dan juga CV-mu. Sekarang, kau bisa deskripsikan dirimu?"
Sesi wawancara itu memakan waktu hampir satu jam. Tiffany yang memang sudah mempersiapkan dirinya merasa cukup puas dengan jawabannya.
"Baiklah, kau sepertinya sudah cukup paham dan kau juga terlihat begitu antusias. Dengan ini, saya menyatakan kau di terima di perusahaan ini, Tiffany Hwang. Selamat!"
Tiffany mengerjap, lengkungan bibirnya juga ikut tertarik kala melihat pria tambun itu membentuk senyuman lebar.
"Terima kasih, Pak."
"Mungkin, kau jauh berekspektasi tinggi dengan kantor ini yang mungkin tidak sebesar dan sebagus kantor di Seoul. Tapi, percayalah kinerja di perusahaan ini tidak kalah bagus. Bahkan, hampir tidak ada masalah sejauh ini." Pria bertubuh besar itu tertawa entah karena apa.
"Benarkah?" ujar Tiffany yang terdengar basa-basi. Padahal, sebenarnya ia tidak ingin memperpanjang ini.
"Tentu saja, semua yang bekerja di sini adalah orang-orang pilihan. Tak ada perkelahian atau terlibat kasus kriminal."
"Tidak ada perkelahian? Ta-" ucapan Tiffany terhenti saat kedua matanya menangkap sesosok pria yang sebenarnya baru ia temui beberapa menit lalu melalui kaca jendela. Kebetulan, ruang untuk interview memang ada di lantai satu. Pria kulit sawo matang dengan mata elangnya itu sedang memanjat dinding perbatasan, persis di belakang pria tambun itu. Entah bagaimana bisa, pria itu dengan mudahnya memanjat dan turun tanpa luka sedikitpun. Untuk kedua kalinya, pria itu berhasil membuat Tiffany terdiam.
"Ah, iya. Setelah ini, kau bisa langsung masuk ke Divisi Keuangan yang ada di lantai tiga. Aku akan memberimu pekerjaan ringan sambil kau membiasakan diri di lingkungan kantor ini." Pria tambun itu mengeluarkan beberapa berkas dokumen dari dalam laci. Namun, Tiffany sama sekali tidak menghiraukan, pandangannya masih lurus menatap satu titik.
"Tiffany? Tiffany Hwang?"
Tiffany mengerjap, ia sama sekali tidak menghiraukan panggilan pria tua itu. Kini, pandangannya menatap lurus ke arah pria sawo matang yang kini sedang santai berjalan di depannya. Sejenak, membenarkan penampilan rambut, setelan jas juga dasinya. Sungguh, pria itu sangat tampan meski dari samping.
"Tampan..."
Pria itu menoleh ke arah Tiffany dan tatapan keduanya bertemu. Lagi, Tiffany merasa aliran darahnya seolah berhenti saat tatapan setajam elang itu kembali ia dapatkan.
"Tampan? Ah, aku tahu aku tampan, banyak orang yang juga berkata seperti itu." Pria tambun itu dengan percaya diri mengambil kaca yang sepertinya sudah ia siapkan di kantongnya lalu mengarahkan pada wajahnya.
"Eh?"
Menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya dokter yang menangani Rosa keluar. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Rosa baik-baik saja, dia hanya kelelahan saja. Bayinya juga baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Gilang yang mendengar itu, tanpa basa-basi lagi langsung menyerobot masuk ke dalam, ia ingin melihat keadaan Rosa secara langsung. Rupanya, gadis itu sudah sadar, tatapannya nampak kosong, ia hanya menatap datar ke arah Gilang yang kini sedang menatapnya sendu."Aku akan menikahimu, Rosa. Jadi, aku mohon, jangan melakukan hal yang tidak-tidak padanya, dia tidak salah apapun. Bagaimanapun aku ini ayahnya, aku ingin membesarkannya."Samar-samar, Rosa mendengar suara David yang sangat perhatian pada Tiffany, penuh kasih sayang dan sangat lembut. Rosa hanya tersenyum kecil, sedetik kemudian, ia merasa tubuhnya hangat dalam dekapan Gilang.***Satu bulan kemudian...Tiffany sedang menatap hamparan laut biru depannya, sepanjang mata memandang hanya ada keindahan air yang
Gilang yang sedang memainkan ponselnya, menanyakan bagaimana kabar Rosa sekarang. Namun, sudah dari setengah jam yang lalu, gadis itu tak kunjung membalas. Detik berikutnya, David kembali ke dalam mobil. Wajahnya kali ini nampak lebih segar dari sebelumnya, dapat ditebak jika sesuatu yang baik baru saja terjadi."Ey, ada apa, nih? Wajahmu sumringah seperti itu. Bagaimana dengan Tiffany tadi?""Tiffany akhirnya percaya padaku, tapi aku harus membuktikan semuanya.""Ya, kau memang harus melakukannya. Kebenaran yang ditutupi juga tidak akan berkunjung baik.""Jadi, apa rencanamu, David?""Aku akan melakukan tes DNA besok. Gilang, kau tolong sampaikan ini pada Rosa."***Saat ini, mereka semua berada di dalam sebuah ruangan VIP yang memang telah disediakan khusus, menunggu hasil pemeriksaan test DNA keluar. Tiffany, David, Zelo, Andre, Mario, Philip, Gilang, dan Rosa tidak ada yang bersuara. Ruangan itu nampak senyap, hanya terdengar suara jarum jam yang beputar. Dari sudut pandangnya,
"Rosa? Apa ini Rosa?" gumamnya pelan, ia sontak mengeluarkan ponselnya, meyakinkan asumsinya bahwa itu benar Rosa melalui nomor ponsel yang terdaftar di sana, ia ingin mencocokannya.Sedetik kemudian, Tiffany terkejut bukan main bahwa itu benar Rosa, sahabat David yang ia kenal selama ini. Jadi, Rosa hamil? Dengan siapa?Masih terkejut, Tiffany malah mendapati sebuah pesan email masuk dari orang yang tidak ia kenal. Ia mengklik sebuah dokumen di sana. Lagi, napasnya seperti tercekat, pasokan udara terasa menipis di dadanya. Lututnya kembali lemas dan ia terjatuh begitu saja. Ia sungguh terkejut melihat foto David dan Rosa yang berbaring tanpa busana. Jadi, mungkinkah anak yang dikandung Rosa anaknya David?"Tiffany!"Itu, suara Philip. Pria itu berlari mendekat dan mengambil posisi di samping Tiffany. Dari raut wajahnya, jelas memperlihatkan jika gadis itu sudah mengetahuinya."Tiff, kau baik-baik saja?"Tiffany menggeleng, wajahnya pucat pasi. "Philip, apa benar Rosa hamil anaknya Da
David mengkliknya dan sontak ia membulatkan kedua matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, di sana terdapat banyak sekali foto yang menampilkan dirinya dengan Rosa yang sedang berbaring tanpa busana. David jelas tahu dimana tempat itu, di sebuah ruangan kecil yang memang ia sediakam untuk beristirahat. Dalam hati, ia meronta-ronta. Sungguh, ia berani bersumpah bahwa ia tidak yakin pernah berbuat sejauh ini dengan gadis itu. Yang ia ingat, ia hanya tertidur di ruangan itu, tidak lebih. Bahkan, ia juga ingat betul jika dirinya sangat bugar dan segar saat bangun, tidak seperti orang yang baru saja mengeluarkan tenaga banyak. Lagipula, ia tidak mengingat apapun. Sekalipun mabuk, ia yakin seratus persen jika ia tidak meminum jenis alkohol apapun saat ini. "David? Kau sudah melihatnya?""Tidak, aku tidak melakukannya. Sungguh, aku tidak pernah melakukannya. Aku harus meluruskannya langsung dengan Rosa.""Kau jangan gegabah. Aku dan yang lainnya sedang menuju ke tempatm
Baru saja, saat Tiffany ingin membuka ujung antiseptik, Philip dengan cepat menahan lengannya hingga pergerakannya terhenti secara tiba-tiba."Biar aku saja yang obati." ucap pria itu seraya mengambil alih lagi antiseptik itu. Ia meneteskan antiseptik pada kapas yang sudah dibalut kain kasa."Jangan diulangi lagi, aku tidak mau kau terluka."''Tidak perlu cemas, ini hanyalah luka kecil. Tidak seberapa."Philip tidak menggubris. Ia fokus mengobati bibir tipis Tiffany. Ia terdiam mengamati pemandangan dihadapannya. Bibir merah ranum itu lebih menggiurkan ketika dilihat dengan jarak dekat. Ya, seperti buah persik, atau mungkin rasanya juga sama. Pikir Philip. Ia semakingugup sekarang ketika membayangkan bagaimana tekstur dan rasanya. Namun, dengan cepat ia menepis semua pikiran jeleknya."Sudah. Jangan diulangi lagi."Tiffany tersenyum kecil, "Terima kasih."Tidak sengaja, saat ia hendak membereskan kotak P3K, matanya tidak sengaja melirik ke arah benda pipih yang tergeletak begitu saja
Di dalam mobil, Tiffany tentu mendengar teriakan itu. Ia hanya bisa diam dan sesekali melihat ke arah kaca spion yang masih menampilkan David hingga mereka berbelok di perempatan."Kau sebaiknya beristirahat malam ini. Kau tidak usah masuk dulu besok, aku akan memberitahu staff rumah sakit."Tak ada sahutan, Tiffany hanya diam saja seraya menatap lurus ke luar jendela. Ia sudah tidak menangis lagi, tenaganya sudah habis terkuras tadi. Yang tersisa hanya jejak air mata yang mengering di wajahnya. Philip memaklumi, ia tidak akan banyak omong.***Esok paginya, Tiffany terbangun dengan tubuhnya yang masih terasa lemas, juga wajahnya yang membengkak akibat menangis. Ia berada di apartemennya. Sebenarnya, ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tapi rasanya ia sangat malas beranjak dari atas kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tidak ada yang ingin ia lakukan hari ini, apalagi mengingat kejadian semalam. Rasanya, seperti mimpi. Ia tidak pernah menyangka jika hub