Kisah kita seperti Calendula, penuh kehangatan, romansa cinta, duka dan kesedihan.
***
Tiffany Hwang, gadis cantik dengan balutan dress berwarna pink itu saat ini sedang berdiri, menatap lurus ke bangunan bertingkat dua di depannya. Sekilas, rumah ini memang terlihat mirip dengan konsep rumah Eropa pada umumnya. Karena, beberapa bulan yang ia tahu jika Anita begitu menyukai hal-hal yang berbau Eropa, entah apa alasannya.
"Jadi, apakah ibuku tinggal di sini?" Tiffany membuka kaca mata hitamnya perlahan.
"Tentu saja, ibumu bahkan menyiapkan segalanya untuk membentuk setiap ornamen rumah ini layaknya rumah Eropa sungguhan. Aku tidak mengerti dengan obsesi baru Ibumu itu."
"Orang itu sangat suka sekali bepergian ke luar kota dan luar negeri. Aku tidak habis pikir, kenapa dia membuat rumah ini sebegitu mewahnya. Toh, dia sendiri pasti akan jarang menempatinya. Buang-buang uang."
"Aku tidak tahu pasti, tapi dari yang pernah aku dengar bahwa mau sejauh manapun kau pergi tempat ternyaman yang kau singgahi adalah rumah sendiri. Mungkin, itu yang membuat Ibumu mengubah bangunan ini terlihat spesial."
"Rumah? Rumah memang begitu nyaman. Saking nyamannya, aku sampai memiliki dua rumah yang membuatku sulit menentukan mana yang lebih nyaman, sangat melelahkan. Sudahlah, kita masuk saja."
Perkataan Tiffany barusan membuat Salsha mematung di tempat. Pandangannya masih tertuju pada punggung Tiffany yang perlahan memasuki rumah berarsitektur unik dan menarik itu. Semua ornamen yang ada di sana benar-benar dibuat seperti layaknya rumah Eropa. Tiffany merasa ia seperti memasuki mesin waktu yang langsung berada di Eropa begitu membuka pintu, ah klise sekali.
"Jadi, kau tahu dimana Ibuku sekarang?"
"Yang aku tahu, Ibumu sedang berlibur ke Pangandaran. Jarak dari Pangandaran ke sini hanya memakan waktu tiga jam, jadi mungkin ibumu akan segera sampai. Sebaiknya, kau beristirahat saja. Kamarmu ada di lantai dua, kau akan menemukan namamu di depan pintu. Kau masih ingat rumahku? Ah, kalau kau lupa kirim saja pesan atau kau bisa memanggil Bi Sumi, asisten rumah di sini. Tapi, di jam seperti ini biasanya Bi Sumi sedang membeli sayuran di pasar."
Tiffany berdecih, "Dia memilih pergi padahal dia tahu bahwa aku akan sampai hari ini. Sebagai anak yang sudah lama sekali tidak dia temui seharusnya dia menyambutku."
"Sudah, Tif. Mungkin, Ibumu sedang terjebak macet."
"Jika, kau ingin melihat seorang Ibu yang tidak peduli pada anaknya, kau bisa lihat Ibuku."
"Sepertinya, ada kesalahpahaman di sini, aku memang tahu kau akan tiba hari ini, tapi aku tidak tahu kau akan tiba di siang hari. Mengingat, perjalanan dari Seoul ke Jakarta memakan waktu, maka aku pikir kau akan tiba malam nanti. Dan, satu lagi, kau sama sekali tidak mengabariku. Jadi, aku salah?"
Seorang wanita dengan pakaian ketat juga memamerkan keindahan bahunya itu bersandar di ambang pintu. Anita Larasati, wanita paruh baya yang selalu menghantui pikiran Tiffany akhir-akhir ini. Kedua tangan Tiffany terkepal erat melihat sosok Ibu yang terakhir kali ia lihat lima tahun yang lalu.
"Selamat datang, Tiffany Hwang. Tapi, maaf aku tidak menyambutmu dengan spesial. Sungguh, aku sangat lelah hari ini. Di meja makan sudah ada banyak sekali makanan kesukaanmu. Kau beristirahatlah, aku juga akan memasuki kamar." Selepas mengatakan itu, Anita meninggalkan kecupan singkat di kening Tiffany sebelum melenggang pergi.
"Astaga, aku bahkan meninggalkan keluargaku untuknya. Tapi, lihatlah dia. Sikapnya sama sekali tidak berubah. Pantas saja, Ayah menceraikannya." umpat Tiffany tertahan. Kedua matanya memerah. Salsha tahu, gadis itu sedang menahan tangisnya. Tentu saja, yang menjadi alasan atas kepulangannya malah mengacuhkannya. Seperti inilah, seperti ini yang terjadi setiap kali Tiffany berinteraksi dengan sang Ibu. Menyedihkan, bukan?
"Tif..." Salsha berjalan mendekat, merengkuh bahu Tiffany seraya memberikan usapan lembut.
"Percayalah, Ibumu juga sangat merindukanmu."
"Tidak. Aku yang memang salah, Salsha. Seharusnya, aku tidak perlu repot-repot pergi ke sini. Astaga, aku menyesali keputusan ku."
***
Seoul, Korea Selatan
"Karena sebentar lagi kita akan merayakan hari selebrasi pergantian tahun, bagaimana jika kita libur ke pulau Jeju? Tiffany? Bagaimana denganmu? Ayah akan memesan tiket dan kita akan terbang ke pulau Je-"
"Ayah."
"Ada apa, Tiffany? Kau tidak su-"
"Aku ingin pergi ke tempat Ibu." sela Tiffany lagi yang membuat suasana meja makan malam ini mendadak hening.
"Aku tidak tahu kenapa, tapi aku rasa, aku merindukannya. Meski, aku yakin dia belum tentu juga memikirkan aku, tapi setidaknya aku bisa melihatnya. Entah kenapa, aku sangat ingin pergi ke sana." lanjut Tiffany yang membuat sang Ayah menatapnya sendu. Memang, sejak perceraiannya dengan Anita, Tiffany sudah jarang sekali mendengar kabar dari sang Ibu. Terakhir kali yang ia dengar, Anita baru saja pindah ke salah satu kota besar di Indonesia dan menetap di sana.
"Baiklah, Tiffany. Ayah mengerti, kau pergilah untuk beberapa hari. Ibumu juga pasti merindukanmu."
"Tidak, Ayah. Aku- aku bukan hanya ingin berkunjung. Tapi-"
Tiffany menarik napasnya sekali sebelum melanjutkan, "Aku ingin menetap di sana bersama Ibu."
Prang.
Sendok yang berisi penuh dengan lauk itu seketika terjatuh dari tangan pria bermata sipit bernama lengkap Hwang Min Jeong. Jujur saja, kata-kata itu yang selama ini ia takuti. Ia takut jika Tiffany lebih memilih tinggal dengan Ibunya. Maka dari itu, ia mengupayakan segalanya untuk hidup Tiffany agar gadis itu merasa nyaman tinggal bersamanya.
"Mendadak sekali, sayang. Kalau Ayah boleh tahu, memangnya ada apa? Apa kau tak bahagia tinggal di sini bersama Ayah, Ibu, dan kakakmu?"
Tiffany membahasi bibirnya yang terasa kering, "Aku bahagia, tapi aku masih merasa ada yang kosong. Awalnya, aku pikir sejak perceraian kalian akan lebih merasa lebih baik jika tinggal bersama Ayah karena mendapatkan keutuhan keluarga lagi. Aku bahagia di sini tapi aku merasa kosong, aku merasa ada yang kurang. Setiap hari, aku tidak bisa mengabaikan Ibu. Aku sadar aku egois. Di sini, hidupku penuh dengan keceriaan dan kesenangan. Ayah mengupayakan segala kebahagiaanku di sini. Memberikan aku Ibu baru yang sangat baik dan juga sang kakak seperti yang selama ini aku inginkan. Namun, pikiranku terus pada Ibu. Aku tidak bisa hanya diam saja di sini menikmati kemewahan. Sedangkan, Ibu di sana sendiri tanpa siapapun yang menemaninya. Anak yang Ibu punya hanya aku. Jadi, aku tidak ingin bersikap egois kali ini. Aku ingin menemaninya sampai tua kelak meski terkadang perlakuannya sangat menyebalkan. Bagaimana pun juga, Ibu Anita adalah Ibu kandungku. Sangat tidak adil baginya. Begitulah yang aku pikirkan."
"Tiffany, kau memang anak yang baik." ujar wanita paruh baya yang kini menjadi ibu keduanya seraya menitikkan air mata.
"Maka dari itu, aku minta tolong pada Ayah untuk mengizinkan aku tinggal di sana. Aku ingin Ayah mengurus kepindahan ku."
"Bagaimana jika Ayah tidak bisa melepasmu, Tiffany?"
"Ayah, aku mohon. Kasihan Ibu. Untuk kali ini, aku hanya ingin menjadi anak yang berbakti untuknya. Biarkan aku pergi."
"Baiklah." cicit pria paruh baya itu seraya memalingkan wajahnya dengan tangan yang terkepal kuat. Tiffany mengerjap tak percaya, Ayahnya dengan mudah membiarkannya pergi. Baiklah, hari esok akan menjadi hari yang baru untuknya.
***
Tiffany menghembuskan napas panjang kala mengingat percakapannya dengan sang Ayah tempo hari. Jujur saja, tidak ada hal yang paling mengecewakan saat seseorang yang paling kau harapkan sambutannya malah menganggapmu layaknya angin lalu.
"Tak usah dipikirkan sikap Ibumu barusan. Mungkin, dia memang sangat lelah. Aku yakin, ibumu pasti menyayangimu. Sekarang, kau harus fokus bagaimana karirmu di sini. Kau baru saja menyelesaikan kuliahmu. Aku rasa, kau akan senang mendengar hal ini."
"Apa maksudmu, Sal?"
"Ibumu sudah melamarkanmu pekerjaan di kantorku. Dan, kau di terima. Kau perlu datang untuk interview besok."
"Itu berita baik."
"Tentu saja, sekarang kau istirahat. Persiapkan dirimu untuk besok. Semoga berhasil!"
"Baiklah."
Menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya dokter yang menangani Rosa keluar. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Rosa baik-baik saja, dia hanya kelelahan saja. Bayinya juga baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Gilang yang mendengar itu, tanpa basa-basi lagi langsung menyerobot masuk ke dalam, ia ingin melihat keadaan Rosa secara langsung. Rupanya, gadis itu sudah sadar, tatapannya nampak kosong, ia hanya menatap datar ke arah Gilang yang kini sedang menatapnya sendu."Aku akan menikahimu, Rosa. Jadi, aku mohon, jangan melakukan hal yang tidak-tidak padanya, dia tidak salah apapun. Bagaimanapun aku ini ayahnya, aku ingin membesarkannya."Samar-samar, Rosa mendengar suara David yang sangat perhatian pada Tiffany, penuh kasih sayang dan sangat lembut. Rosa hanya tersenyum kecil, sedetik kemudian, ia merasa tubuhnya hangat dalam dekapan Gilang.***Satu bulan kemudian...Tiffany sedang menatap hamparan laut biru depannya, sepanjang mata memandang hanya ada keindahan air yang
Gilang yang sedang memainkan ponselnya, menanyakan bagaimana kabar Rosa sekarang. Namun, sudah dari setengah jam yang lalu, gadis itu tak kunjung membalas. Detik berikutnya, David kembali ke dalam mobil. Wajahnya kali ini nampak lebih segar dari sebelumnya, dapat ditebak jika sesuatu yang baik baru saja terjadi."Ey, ada apa, nih? Wajahmu sumringah seperti itu. Bagaimana dengan Tiffany tadi?""Tiffany akhirnya percaya padaku, tapi aku harus membuktikan semuanya.""Ya, kau memang harus melakukannya. Kebenaran yang ditutupi juga tidak akan berkunjung baik.""Jadi, apa rencanamu, David?""Aku akan melakukan tes DNA besok. Gilang, kau tolong sampaikan ini pada Rosa."***Saat ini, mereka semua berada di dalam sebuah ruangan VIP yang memang telah disediakan khusus, menunggu hasil pemeriksaan test DNA keluar. Tiffany, David, Zelo, Andre, Mario, Philip, Gilang, dan Rosa tidak ada yang bersuara. Ruangan itu nampak senyap, hanya terdengar suara jarum jam yang beputar. Dari sudut pandangnya,
"Rosa? Apa ini Rosa?" gumamnya pelan, ia sontak mengeluarkan ponselnya, meyakinkan asumsinya bahwa itu benar Rosa melalui nomor ponsel yang terdaftar di sana, ia ingin mencocokannya.Sedetik kemudian, Tiffany terkejut bukan main bahwa itu benar Rosa, sahabat David yang ia kenal selama ini. Jadi, Rosa hamil? Dengan siapa?Masih terkejut, Tiffany malah mendapati sebuah pesan email masuk dari orang yang tidak ia kenal. Ia mengklik sebuah dokumen di sana. Lagi, napasnya seperti tercekat, pasokan udara terasa menipis di dadanya. Lututnya kembali lemas dan ia terjatuh begitu saja. Ia sungguh terkejut melihat foto David dan Rosa yang berbaring tanpa busana. Jadi, mungkinkah anak yang dikandung Rosa anaknya David?"Tiffany!"Itu, suara Philip. Pria itu berlari mendekat dan mengambil posisi di samping Tiffany. Dari raut wajahnya, jelas memperlihatkan jika gadis itu sudah mengetahuinya."Tiff, kau baik-baik saja?"Tiffany menggeleng, wajahnya pucat pasi. "Philip, apa benar Rosa hamil anaknya Da
David mengkliknya dan sontak ia membulatkan kedua matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, di sana terdapat banyak sekali foto yang menampilkan dirinya dengan Rosa yang sedang berbaring tanpa busana. David jelas tahu dimana tempat itu, di sebuah ruangan kecil yang memang ia sediakam untuk beristirahat. Dalam hati, ia meronta-ronta. Sungguh, ia berani bersumpah bahwa ia tidak yakin pernah berbuat sejauh ini dengan gadis itu. Yang ia ingat, ia hanya tertidur di ruangan itu, tidak lebih. Bahkan, ia juga ingat betul jika dirinya sangat bugar dan segar saat bangun, tidak seperti orang yang baru saja mengeluarkan tenaga banyak. Lagipula, ia tidak mengingat apapun. Sekalipun mabuk, ia yakin seratus persen jika ia tidak meminum jenis alkohol apapun saat ini. "David? Kau sudah melihatnya?""Tidak, aku tidak melakukannya. Sungguh, aku tidak pernah melakukannya. Aku harus meluruskannya langsung dengan Rosa.""Kau jangan gegabah. Aku dan yang lainnya sedang menuju ke tempatm
Baru saja, saat Tiffany ingin membuka ujung antiseptik, Philip dengan cepat menahan lengannya hingga pergerakannya terhenti secara tiba-tiba."Biar aku saja yang obati." ucap pria itu seraya mengambil alih lagi antiseptik itu. Ia meneteskan antiseptik pada kapas yang sudah dibalut kain kasa."Jangan diulangi lagi, aku tidak mau kau terluka."''Tidak perlu cemas, ini hanyalah luka kecil. Tidak seberapa."Philip tidak menggubris. Ia fokus mengobati bibir tipis Tiffany. Ia terdiam mengamati pemandangan dihadapannya. Bibir merah ranum itu lebih menggiurkan ketika dilihat dengan jarak dekat. Ya, seperti buah persik, atau mungkin rasanya juga sama. Pikir Philip. Ia semakingugup sekarang ketika membayangkan bagaimana tekstur dan rasanya. Namun, dengan cepat ia menepis semua pikiran jeleknya."Sudah. Jangan diulangi lagi."Tiffany tersenyum kecil, "Terima kasih."Tidak sengaja, saat ia hendak membereskan kotak P3K, matanya tidak sengaja melirik ke arah benda pipih yang tergeletak begitu saja
Di dalam mobil, Tiffany tentu mendengar teriakan itu. Ia hanya bisa diam dan sesekali melihat ke arah kaca spion yang masih menampilkan David hingga mereka berbelok di perempatan."Kau sebaiknya beristirahat malam ini. Kau tidak usah masuk dulu besok, aku akan memberitahu staff rumah sakit."Tak ada sahutan, Tiffany hanya diam saja seraya menatap lurus ke luar jendela. Ia sudah tidak menangis lagi, tenaganya sudah habis terkuras tadi. Yang tersisa hanya jejak air mata yang mengering di wajahnya. Philip memaklumi, ia tidak akan banyak omong.***Esok paginya, Tiffany terbangun dengan tubuhnya yang masih terasa lemas, juga wajahnya yang membengkak akibat menangis. Ia berada di apartemennya. Sebenarnya, ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tapi rasanya ia sangat malas beranjak dari atas kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tidak ada yang ingin ia lakukan hari ini, apalagi mengingat kejadian semalam. Rasanya, seperti mimpi. Ia tidak pernah menyangka jika hub