Share

Rais, 11 September 2001

Rais tidak melihat World Trade Center sebagai tempat yang istimewa. Ia bahkan tidak mengerti kenapa orang mau bekerja di sini. Ini hanya gedung pencakar langit, seperti gedung-gedung pencakar langit lainnya. Rais hanya pernah membaca tentang World Trade Center dari artikel, dan itu didapatnya dari internet.

Ia tahu bahwa orangtuanya memiliki saham dalam jumlah besar pada mayoritas perusahaan di dunia. Dan sebagian perusahaan itu memiliki kantor di World Trade Center.

Ayahnya ingin Rais sesekali mengunjungi kantor mereka. Kantor-kantor perusahaan di bawah bendera Hoetomo Group. Termasuk yang berada di World Trade Center.

Rais tidak mengenal New York City dengan baik. Tapi ia merasa sesekali harus memenuhi keinginan ayahnya.

Maka pagi ini ia memasuki salah satu bangunan menara kembar tersebut. Baginya ini seperti sebuah istana, tapi dengan kubik-kubik. Diliriknya arlojinya. Ini masih terlalu dini untuk memulai hari.

Baru ada sedikit orang di sini, dan sebagian di antara mereka mengenakan jas dan dasi.

“Selamat pagi, Mr. Hoetomo,” sapa seorang petugas kebersihan.

Rais menatap si petugas, mencoba mengingat apakah ia mengenal orang ini.

Si petugas tersenyum, lalu pergi.

Rais memasuki lift dan memandangi pemandangan New York City. Ia tidak pernah berpikir untuk pergi ke puncak World Trade Center, dan sekarang ia sedang melakukannya.

Ia terkesan.

Melihat ke luar jendela, Rais teringat akan Si Orang Krypton. Apakah Orang Krypton bisa terbang setinggi ini, tanyanya pada diri sendiri.

Atau apakah dirinya akan bisa terbang dan setinggi ini?

“Sangat senang bertemu dengan Anda, Sir. Akhirnya saya bisa bertemu dengan pemegang saham utama kami,” sambut seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai sekretaris, begitu Rais mencapai lantai puncak.

“Oh, kehormatan bagi saya,” jawab Rais.

“Lebih tepatnya bagi saya,” si sekretaris tersenyum.

“Baiklah,” Rais balas tersenyum.

Ia menemukan plang bertuliskan “HOETOMO, Inc.” dan memasuki ruangan. Mereka berjalan melewati sejumlah karyawan. Beberapa wajah nampak familiar bagi Rais, sebagian lagi baru dilihatnya hari ini.

Rais sedikit mengembangkan senyumnya untuk kesopanan.

Seseorang mendatangi mereka, dengan antusias dan penuh semangat, memperkenalkan dirinya sebagai direktur.

“Rais, kawanku, lihat diri Anda sekarang! Sangat dewasa dan tentu merupakan kebahagiaan serta kebanggaan bagi keluarga Hoetomo!” sang direktur menepuk hangat bahu Rais.

“Seingatku, terakhir kali kita bertemu adalah saat thanksgiving tiga tahun lalu!” lanjut sang direktur, masih dengan semangatnya.

Rais lalu tersenyum, “Ahh yaa, bagaimana saya bisa lupa akan apple chowder terbaik yang pernah saya rasakan, yang dibuat oleh putri Anda!” jawabnya.

Sang Direktur tertawa lepas, “Ya! Ya! Saya sangat bangga dengan keahlian memasaknya! Jika nanti ada kesempatan, mainlah ke rumah kami lagi. Ia akan dengan senang hati memasak untuk Anda. Ia sudah menikah sekarang, dan saya ingin menunjukkan cucu perempuan saya pada Anda!”

Mereka melanjutkan sedikit obrolan, lalu Rais beranjak memeriksa divisi-divisi lain.

Rais juga disuguhi coklat Godiva terlezat yang pernah dinikmatinya oleh sang sekretaris. Ia juga mendapat beberapa undangan dari sejumlah eksekutif, pelukan yang dapat meremukkan tulang dari orang-orang yang telah bekerja untuk ayahnya selama berdekade-dekade, dan juga ajakan minum-minum nanti malam oleh sejumlah orang muda.

Hari itu selesai dengan cepat. Setelah memeriksa arlojinya, Rais merasa bahwa kunjungannya sudah cukup. Ia akan mulai bekerja di kantor ini cepat atau lambat. Sang direktur menawari mobil dan supir untuk mengantarnya, namun Rais menolak. Ia pergi ditemani sang sekretaris. Hingga lantai paling bawah, sang sekretaris mengobrol dengan Rais.

Rais tidak terlalu ingat namanya, namun sekretaris ini sangat ramah. Tetapi tetaplah Rais terlihat bosan dengan obrolan mereka.

“Kami tidak sabar untuk menanti kunjungan Anda berikutnya,” kata sang sekretaris.

“Terima kasih...” Rais mengintip ke arah kartu pengenal sang sekretaris, “Ally, saya harap kita akan bekerja sama di waktu dekat,”

Ally tersenyum.

Rais pun pergi. Ia merasa sangat lega. Sebenarnya Rais merasa nyaman berada di sana. Untuk setiap detiknya. Setidaknya ia mendapat sambutan yang hangat dan lingkungan yang menyenangkan. Ia tahu bahwa itu adalah kemewahan yang jarang didapat oleh orang lain.

Ia berjalan, dan berjalan, melewati orang-orang yang berlari di jam sibuk.

Hari itu sungguh indah.

Lalu...

Beberapa saat kemudian, terjadilah...

Rais mendengar suara pesawat terbang, deru mesinnya sama seperti deru mesin pesawat pada umumnya. Lalu semakin lama semakin keras. Kemudian disadarinya pesawat itu memang mendekat ke arah gedung kembar. Cahaya matahari tertutup oleh tubuh pesawat sebelum Rais menyadarinya.

Semula ia berpikir bahwa itu adalah sebuah bayangan.

Bayangan yang sangat besar.

Lalu kemudian terdengar suara, seperti suara petir. Setelahnya...suara orang-orang berteriak. Teriakan yang semakin lama semakin keras. Teriakan orang-orang yang terjebak di lantainya masing-masing.

“OH MY GOOOOOOODDDD!!!” suara teriakan seorang perempuan.

“WHAT’S THAAAAAAATT???”

“IS IT A BOMB????”

Kertas-kertas putih berhamburan seperti salju. Rais mendongak dan melihat ke arah Menara Utara.

Di sanalah terlihat.

Sebuah lubang.

Lubang yang sangat besar.

Kobaran api berwarna oranye menyala, asap menyembul ke luar dari menara.

Orang-orang berteriak, berteriak, dan berteriak.

Semakin keras.

Dan semakin keras.

Rais terus memandangi Menara Utara. Benda-benda mulai berjatuhan.

Meja, kursi, pendingin udara, pemanas air, lalu diikuti dengan orang-orang yang juga mulai berjatuhan.

Mereka meloncat menjemput kematiannya.

Rais berlari ke arah menara, sambil berpikir apakah ia bisa menyelamatkan seseorang di antara mereka.

Siapapun itu.

Tolong, selamatlah, tolong...

Tetaplah hidup...

Orang-orang berlari ke arah berlawanan dari dirinya, menyelamatkan diri masing-masing. Sementara dilihatnya semakin banyak manusia berjatuhan dari menara, sebagian dari mereka meloncat dan menimpa orang-orang di bawah.

Orang-orang berlari secara reflek menjauhi menara. Bahkan di antara mereka ada yang berlari dari apartemennya tanpa sempat berpakaian.

Langkah Rais terhenti. Ia memandangi kerusuhan di hadapannya. Lalu dilihatnya seseorang jatuh, dan mendarat tepat di pinggirnya.

Dengan kepala dan tubuh yang hancur.

Namun ia dapat mengenali siapa orang itu. Dialah Sang Direktur. Rais tidak menyadari bahwa air mata mulai turun dari matanya.  

Di antara orang-orang, barang, dan kertas yang berjatuhan, Rais mendapati sesuatu yang melayang-layang jatuh.

Benda itu ringan, semakin lama semakin mendekati bumi, dan jatuh di dekat dirinya.

Rais memungutnya, dan melihat benda yang dikenalnya itu.

Sebuah kartu pengenal, sebagian sudah agak hangus, namun nama yang tertera di atasnya masih terbaca, juga fotonya.

Ally.

Kemudian sebuah suara lain mendekat. Sebuah suara mesin jet. Rais melihat ke arah suara tersebut. Sebuah pesawat lain nampak akan menghantam Menara Selatan.

Sejak awal Rais tidak berteriak.

Kali ini pun tidak.

Ia hanya melihat ke  atas, ke arah pesawat itu.

Orang-orang masih berteriak, dan berteriak.

“NOOOOOOOOOOOOOOO!!!!!!!”

“HELP MEEEEEEEEEEEEEEEEEEE!!!!!”

Rais memandangi pesawat yang mulai menghantam Menara Selatan.

Debu mulai turun.

Rais tetap memandang ke arah menara yang kini telah meledak, dengan tatapan penuh kebencian.

Beberapa saat kemudian, menara-menara mulai runtuh. Semua kemewahannya telah hilang. Tidak ada yang tersisa.

World Trade Center kini tidak lebih dari butiran debu. 

***

Seseorang menyorongkan segelas air putih kepadanya.

“Minumlah, Anda akan merasa lebih baik.”

Rais melihat ke arah si pemberi air. Ia seorang perempuan berkulit putih dan berambut pirang. Wajahnya lebih mirip orang Rusia, bermata coklat, wajahnya tampak keras namun ramah.

“Saya Andrea Izmaylov,” kata orang tersebut. “Apakah Anda menginginkan sesuatu untuk dimakan?”

Rais diam tidak menjawab.

“Apakah ada keluarga Anda di sana?” tanya perempuan itu lagi.

Rais menatap reruntuhan dan puing-puing World Trade Center. Andrea menepuk pundaknya.

“Saya ikut menyesal.” lanjut perempuan itu.

Rais mengangguk.

“Izmaylov! Anda harus melihat ini!” suara seorang pria bertubuh tambun berseragam kepolisian memecah obrolan mereka.

Andrea beranjak dan menuju pria tambun yang memanggilnya.

Seorang pria berseragam lain mendekati Rais. Ia duduk di sebelahnya dan mengajaknya bicara.

“Anda akan sangat terkejut,”

Rais menoleh.

“Mereka, atau kalian sendiri yang melakukannya,” lanjut pria tersebut.

“Melakukan...apa?” tanya Rais.

“Ini semua,” si pria menunjuk semua reruntuhan yang ada.

“Maksud Anda?”

“Menurut Anda? Muslim, ini semua perbuatan kalian!!!”

Kata-kata pria tersebut tidak lagi dapat dicerna Rais. Semua hanya terdengar seperti gumaman. Sebagian bisa didengarnya, tapi ia tidak bisa mengerti maksudnya. Rais hanya duduk dan merasakan sesuatu mengaduk-aduk perutnya.

Ia seperti seorang makhluk tanpa nyawa, melihat mayat-mayat bergelimpangan sambil masih mengenakan pakaian kerja mereka, yang sebagian besar sudah terbakar. Semua balutan keindahan mereka kini hilang, kini yang terlihat adalah mereka yang asli. Dalam kondisi yang mengenaskan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status