Share

5

The Coven

Elidma (Bagian Lima)

Oh, sepertinya keadaan bertambah buruk. Beberapa jam setelah Dannies dan ketiga penyihir itu tiba di kabin tua itu, tiga sosok yang mengejar Helea juga sampai di sana. Untungnya ketiga penyihir itu sempat beristirahat dan memulihkan energi mereka. Dannies hanya bisa melongo melihat tiga sosok yang dia lihat di cermin Helyna kini berada di depan matanya.

“Kalian pikir kalian bisa lari, huh?” ucap salah satu dari mereka. Sosok paling tinggi serta mengenakan kacamata bundar.

“Apa kita harus mealwan?” tanya Helea. “Sebaiknya minta mereka pergi baik-baik.”

“Kau bisa coba,” usul Mandy.

Helea maju dua langkah dari posisinya semula. “Maaf, tapi kami tidak ingin cari ribut. Bisa kalian pergi dari sini?” terdengar lembut tapi maksudnya tersampaikan dengan jelas. Cara mengusir yang baik dan benar, menurutku.

Sosok lainnya angkat bicara. Pria dengan rambut acak-acakan itu bersiap dengan cambuk di tangannya. “Maaf Nona, tapi kalian harus ikut dengan kami.”

“Alright, aku sudah mencobanya,” ucap Helea.

Helyna tertawa kecil. “Sepertinya memang tidak ada pilihan. Dannies, i am sorry you must see this, sebaiknya kau tetap di belakang kami.” Helyna bersiap dengan wand miliknya.

Salah satu dari paladin itu tak menunggu lebih lama. Dia langsung menyerang ke arah Helyna yang sudah siap dengan wand di tangannya. Helyna tak tinggal diam. Wand itu bergerak-gerak seolah menari bagi yang melihatnya. Dari tanah mencuat akar-akar hitam yang bergerak ke arah paladin di hadapannya. Paladin itu tak tinggal diam. Dengan cambuknya, paladin itu menghilangkan akar yang menerjang ke arahnya.

“Ah itu dia, senjata khas para paladin yang dapat menghancurkan spell sekalipun,” ucap Helyna seraya mengamati cambuk yang beradu dengan akar hitamnya.

Akar hitam itu langsung lenyap begitu bersentuhan dengan cambuk yang memiliki tegangan listrik di tangan paladin. Lawan Helyna melangkah maju, berusaha mendekati Helyna. Anehnya, Helyna tak berusaha menjaga jarak dengan paladin yang di hadapinya. Dia seolah membiarkan paladin itu melakukan rencananya.

Begitu jarak keduanya cukup dekat, paladin itu menagkat cambuknya. Tali cambuk itu berhasil melilit leher Helyna dan memberinya sengatan listrik. Helyna tidak meringis, dia malah tersenyum.

Seharunya paladin itu tidak berhadapan dengan Helyna. Mereka tidak tahu persis penyihir seperti apa yang ada di hadapannya ini.

Pria dengan jubah itu menarik Helyna agar jarak keduanya makin dekat. Helyna tak melawan, kakinya melangkah santai mendekati musuh di hadapannya.

“Kenapa kau masih bisa tersenyum, sementara keadaanmu tidak menguntungkan?” tanya paladin itu begitu jaraknya sekitar setengah meter.

Helyna tak melepas senyum lebarnya. Tanpa paladin itu menarik cambuknya, Helyna berputar sambil bergerak ke arah lawannya. Jarak mereka sangat dekat, wajah paladin itu terlihat jelas di mata Helyna. Saat itulah Helyna mengeluarkan tombak kunai dari sakunya dan menikam paladin di hadapannya.

“Ah! Bagaimana bisa? Seharusnya cambuk listrik itu membuatmu merintih kesakitan!” pria itu kini menerima luka tusukkan di perutnya. Darah pun mengucur dari sana walau tak deras.

“Maaf mengecewakanmu, but i feel nothing.” Helyna menikam musuhnya sekali lagi, tapi kali ini bukan di tempat yang sama melainkan jantungnya. Tusukan fatal itu berhasil membuat paladin itu tumbang ke tanah. Helyna segera melepaskan cambuk yang melilit lehernya lalu membersihkan tombak kunai yang terdapat noda darah di sana.

Kalian tahu tombak kunai? Sebuah senjata berbentuk ujung tombak dengan gagang pendek untuk pegangan. Senjata ini tidak sekeren senjata api, tapi cukup untuk membunuh seseorang. Seperti yang baru saja Helyna lakukan.

“Maafkan aku Bunda, manusia ini mengancam keselamatanku dan saudariku, kuharap kau bisa memaklumi tindakanku ini,” ucap Helyna pelan. Pandangannya tertunduk, mengarah pada jasad paladin di hadapannya.

Berbeda lagi dengan Helea. Dias samasekali tak berniat menyakiti paladin yang dihadapinya. Yang dia lakukan adalah mengulur waktu sampai paladin itu kelelahan sendiri. Setiap cambuk yang terarah padanya dia hindari dengan baik. Sesekali Helea menggunakan sulur yang keluar dari tanah untuk menahan cambuk itu namun tidak untuk waktu yang lama.

“Sampai kapan kau akan bermain-main denganku? Sebaiknya jadi penyihir baik dan ikut dengan kami,” ucap paladin itu seraya mengarahkan cambuknya lagi.

Helea melompat ke sisi kanan untuk menghindar. Sulur muncul dari tanah, menangkap tali cambuk itu beberapa detik sebelum akhirnya hancur. Bagi sebagian orang, mungkin bukan tindakan efektif. Tapi bagi Helea, hal itu cukup menghambat pergerakan lawannya.

Sulur kembali muncul, kali ini melilit kaki lawannya yang berhasil membuat lawannya tersungkur ke tanah. Helea hendak mengunci pergerakan paladin itu dnegan sulurnya dengan cepat agar tidak bangkit lagi.

“Bunda Alam akan kecewa jika aku merengut nyawamu, sebaiknya kau pergi dari sini segera,” ucap Helea berusaha tenang. Walau sebenarnya suaranya terdengar dingin.

Belum paladin itu mengucap kata, sesuatu bergerak ke arahnya. Sebuah ujung tombak berhasil menikam leher bagian belakang paladin itu. Spontan Helea melompat mundur.

“Apa yang ....”

“Kalau kau tidak bisa membunuhnya, let me then,” ucap Helyna dengan wajah tak berdosa khas miliknya.

“Lyn, kau membunuh lagi?” tanya Helea.

“Ya, terus?”

“Kau sadar Bunda Alam bisa marah padamu kan?” kali ini Helea terlihat sedikit panik.

Helyna tertawa kecil. “Ya i know, tapi Bunda Alam bukan hakim sembarangan, aku yakin dia paham posisiku saat ini,” jelas Helyna.

Di sisi lain, Mandy sibuk dengan lawannya sendiri. Sosok paladin bertubuh jangkung itu cukup merepotkan baginya. Setiap spell yang dia lempar selalu lebur di depan jubah paladin itu. Mandy tertawa kecil melihat paladin itu.

“Kau memang pintar, tapi tidak lebih pintar dariku.” Mandy mengambil batu kerikil di dekat kakinya lalu melemparnya ke wajah paladin itu dengan kecepatan tinggi. Paladin itu terfokus pada batu kerikil itu, berhasil menghindarinya.

“Kau pikir kerikil seperti itu akan berguna?”

Mandy tersenyum lebar. “Ya, tentu saja. Jangan remehkan batu kerikil, Paman.” Tanpa disadari paladin itu, Mandy berhasil menanamkan spell di tubuhnya ketika konsentrasinya tertuju pada kerikil yang mengarah pada wajahnya. Mandy menggerakkan kedua tangannya, membuat paladin di hadapannya berputar-putar tak jelas. Baginya, ini bukanlah perlawanan terhadap paladin melainkan pertunjukkan boneka yang sayang untuk dilewatkan.

Paladin itu tak hanya berputar, melainkan melompat dan bergerak halus seperti sedang menari. Mandy menunjukkan gigi putihnya ketika melihat lawannya tak berdaya di hadapannya. Merasa cukup puas bermain, Mandy menggerakkan tangannya lagi. Paladin itu mengangkat cambuknya dan mengarahkannya ke dirinya sendiri. Detik berikutnya, tubuhnya terkena sengatan listrik cambuknya sendiri yang membuatnya ambruk ke tanah.

Helyna tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia melempar tombak kunai miliknya hingga tepat mengenai tengkuk paladin di dekat Mandy.

“Waw, kau keren juga,” puji Helyna pada Mandy.

“Sepertinya kau menggunakan spell puppetizer, ya?” tebak Helea yang menghampiri Mandy dan Helyna.

“Begitulah, identik dengan elemenku, necromancer,” jelas Mandy.

Mandy menoleh ke arah tempat Dannies berdiri. Tampaknya Dannies akan kehilangan kesadaran, terlihat dari wajahnya yang pucat. Mandy segera berlari ke arah Dannies lalu menangkap tubuhnya yang tumbang.

“Aduh, sepertinya aku berlebihan” ucap Helyna yang kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Helea hanya menghela napas panjang. “Demi Bunda Alam.”

***

“Kak Lea belum pulang?” tanya Dannies yang sedang duduk di sofa di ruang tengah.

Mandy yang berada di sana menjawab. “Belum, mungkin sebentar lagi. Kenapa?”

“Ah tidak.” Dannies lebih memilih diam dan tidak melanjutkan perbincangan. Dia sibuk dengan isi kepalanya saat ini. Mandy duduk di sebelah gadis berkacamata itu.

“Something in your mind, huh?” tanya Mandy tiba-tiba.

“Ah bukan Kak, tidak ada kok.” Dannies berusaha menutupinya. Tapi sepertinya tidak berguna di hadapan Mandy.

“Kau masih memikirkan kejadian seminggu lalu? Tentang pembunuhan tiga paladin itu? Apa aku salah?” tebak Mandy.

Dannies menahan napasnya. Seingatnya, hanya Helea dan Helyna saja yang bisa menebak isi kepalanya dengan akurat. Dannies semakin pucat, dia menundukkan wajahnya di hadapan Mandy.

“Hei, tidak perlu menyembunyikannya dariku. Kita sudah tinggal bersama selama kurang lebih satu minggu, apa aku masih terlihat seperti orang jahat bagimu?”

“Bukan begitu sih Kak, aku heran saja, bagaimana kakak tahu isi kepalaku dengan akurat?” tanya Dannies penasaran.

“Pernah tanya hal yang sama pada Helea dan Helyna?” Mandy balik bertanya.

Dannies menggeleng. “Mereka sudah hafal, jadi aku tidak kaget lagi. Apa kakak mengamatiku juga selama seminggu ini?”

Mandy tersenyum mendengarnya. “Gadis pintar, bisa dibilang begitu. Tenang, aku tidak mengorek privasimu dan dua saudarimu itu.”

“Kejadian seminggu lalu itu, menganggu pikiranku. Aku mana pernah melihat pembunuhan sebelumnya. Apalagi yang melakukannya saudariku sendiri,” akhirnya Dannies mengeluarkan isi kepalanya. Sepertinya dia sudah menahan ueng-uneg itu cukup lama.

“I know, tapi coba pikir, jika kau membunuh untuk membela dirimu, apa itu masih sesuatu yang salah? Pernah berpikir jika kau hampir diterkam serigala dan kau tak bebruat apapun? Apa kau akan membiarkan serigala menerkam dagingmu tanpa melakukan perlawanan atau membunuhnya?” jelas Dannies.

“Ya ... but ... membunuh? Itu menyeramkan.”

Mandy tertawa kecil mendengar jawaban Dannies. “Memang menyeramkan, apa yang kau harapkan? Serigala itu berubah menjadi pegasus? My Little Piggy, dunia nyata tak seindah dunia dongeng yang sering kau baca. Bahkan di novel penyihir yang kau baca, masih ada pembunuhan penyihir yang dilakukan oleh para kesatria besi, kan?”

Dannies tak menjawab lagi. Dia berpikir ucapan Mandy ada benarnya.

“Masih ada yang ingin kau keluarkan? Pandanganmu pada Helyna tidak berubah, kan? Apa kau takut padanya?”

Dannies menggeleng. “Apapun yang Helyna lakukan, aku yakin iu untuk melidungiku. Dia pernah mengatakannya, ‘everything i did just to protect you’ dengan wajah monyongnya di akhir. Oh tidak lupa ‘my words is my bound’ yang sering dia ucapkan itu.”

“Tampaknya kau sangat berharga bagi Heyna, aku bisa melihatnya,” komentar Mandy. “Cara dia menatapmu dan memperlakukanmu, itu sangat berbeda.”

“Oh benarkah? Masa?” Dannies malah heran dengan pernyataan barusan.

Mandy menepuk pundak Dannies. “Dia beruntung memiliki saudari sepertimu, kurasa. Begitu juga Helea.”

Dannies terkikik mendengarnya. “Terbalik Kak, aku yang merasa beruntung, bukan mereka. Mereka yang kasihan karena terjebak denganku.”

Mandy memiringkan kepalanya. “Oh, terjebak ya? Sepertinya aku juga terjebak,” ucapnya diakhiri senyum lebar.

Tak lama kemudian, Helea membuka pintu. Tangan kanannya penuh dengan belanjaan dari supermarket. Memang jaraknya cukup jauh, mengingat lokasi kabin tua ini cukup jauh dari pemukiman penduduk. Mandy segera berdiri, dia membantu Helea membawa belanjaan.

“Aku akan memanggil Lyn, sudah hampir senja.” Dannies bangkit dari sofa lalu pergi keluar rumah. Biasanya Helyna berada sungai di dekat kabin mereka.

***

Malamnya, setelah Dannies dan Helyna tidur di kamar mereka, Helea duduk di meja makan. Dia sengaja tidak membereskan sisa makanan itu atau membuangnya. Helea berpikir masih ada yang bisa dia makan dari sisa makanan itu.

“Kau tak mengatakan padaku bahwa kau sendiri belum makan, benar, Lea?” Mandy rupanya. Dia belum tidur, bersandari di dinding dan mengamati Helea di meja makan.

“Kau rupanya, maaf. Aku hanya minum kopi untuk mengganjal laparku tadi. Kau sendiri, kau memberikan jatah makan malammu pada Dannies, bukan begitu?”

Mandy duduk di hadapan Helea di meja makan. “Yeah, biasanya aku tak suka berbagi, tapi aku tak bisa biarkan gadis itu tidur dengan perut belum kenyang. Ah, mungkin Dady Loki akan memberiku balasan di lain hari, hahaha ...!”

“Tampaknya dia mulai dekat denganmu juga, apa tebakanku salah?” tebak Helea.

“Sepertinya begitu, walaupun dia bukan adikku, tapi aku merasa bertanggung jawab juga, sama sepertimu. Lagipula dia anak yang manis, bukan begitu? She is naughty girl and Dady Loki loves her.”

“Kalau soal nakal, Helyna nomor satu sih menurutku.” Helea tertawa kecil di akhir kalimatnya.

“Ah iya, dia, tentu saja. Ngomong-ngomong, apa persediaan kita benar-benar menipis sampai kau harus makan makanan sisa?” Mandy menatap sisa makanan di hadapan Helea.

“Begitulah, aku mencoba berhemat sebisaku. Sebaiknya kau ikut makan bersamaku, aku tahu kau bohong mengatakan kalau kau sudah makan pada Dannies.”

Mandy akhirnya ikut makan bersama Helea. Kondisi mereka sepertinya kurang beruntung. Paman Rei memang meninggalkan uang di kabin itu, tapi tidak dalam jumlah besar. Sementara yang menghuni kabin itu adalah empat orang. Ditambah lagi Helea harus membeli beberapa pakaian karena tak sempat membawa banyak barang dari panti asuhan.

“Aku akan pergi ke suatu tempat di mana kita mencari makanan,” ucap Mandy tiba-toba. “Aku tak bisa biarkan kalian kelaparan, terutama dua adik kita itu.”

“Kau mau ke mana? Kawasan pemukiman juga cukup jauh, kau mau apa?” tanya Helea curiga.

“Mencari makanan, tentu saja. Aku bisa mendapatkan makanan dengan caraku sendiri,” sahut Mandy dengan santai.

“Dengan caramu sendiri?” Helea mengerutkan kening. “Cara apa? Mencuri?”

Mandy mengibaskan tangannya. “Mencuri kata yang kasar, sist. Lagipula bukan sesuatu yang terlalu buruk, kan?”

Helea menggeleng. “Tidak, kau tidak boleh melakukan itu.”

“Why not?” Mandy mengangkat alisnya.

“Semakin kita menunjukkan aksi kita akan membuat warga resah. Kau tahu keresahan warga dapat menarik perhatian para paladin, kan? Aku tak ingin membahayakan Dannies dan Helyna, termasuk kau dan diriku sendiri.”

Mandy mengusap dagunya. “Hmmm ....”

Tiba-tiba saja, seorang gadis dengan rambut terurai panjang yang tidak disisir muncul dari balik pintu. Dia menghampiri Helea dan Mandy di meja makan. “Maaf saudari sekalian, telingaku gatal, jadi aku menguping semuanya tadi.” Helyna memasang cengir kuda.

“Ya Lyn, bagus ya?” balas Helea.

“Aku punya usul, bagaimana kalau kembali ke panti asuhan saja?” usul Helyna.

Helea kembali menggeleng. “Tidak bisa, panti bukan rumah kita lagi. Aku menanamkan spell penghapus memori pada anak-anak di sana tentang kita dengan tujuan menutup infotmasi itu dari paladin. Jika kita kembali, ada kemungkinan paladin itu akan kembali juga,” jelas Helea.

Kali ini Helyna menghela napas.

“Sebaiknya kita tidur, sudah terlalu larut,” ucap Helea yang berdiri dari kursi. “Lyn, rahasiakan ini dari Dannies, ya? Can you do that for me?”

“Aye aye!” balas Helyna.

***

“Mad, aku titip Helyna dan Dannies padamu.” Helea bersiap untuk pergi dengan berbekal beberapa keping uang logam di sakunya.

“Kau mau ke mana?” tanya Mandy.

“Ke pemukiman penduduk, ada warung kecil di pinggir jalan di sana. Aku akan mencoba bekerja di sana, untuk menyambung hidup,” jelas Helea.

Mandy mengangguk. “Kau bisa percayakan mereka padaku.”

Pagi itu, Helea berangkat pagi sekali. Tak disangka Dannies sudah bangun pagi itu. Dia melihat Helea pergi entah ke mana.

“Kak Mad, Kak Lea mau ke mana?” tanya Dannies polos.

Mandy membalikkan badannya. “Oh darling, no need to worry. Dia pergi ke warung di desa dekat sini, untuk membeli makanan.”

Dannies tak merasa puas dengan jawaban itu. Wajahnya sedikit cemberut.

Mandy memutar otak sebentar sebelum akhirnya. “Oh hei, mau melihat pertunjukan sihirku? Kita akan melakukan sedikit eksperimen dengan burung merpati. Pernah melihat burung merpati dengan sayap burung gagak?”

Dannies membulatkan bibirnya. “Hah? Memangnya ada.”

Mandy tersenyum. “Oh sayang, tentu saja ada. Ayo pergi.” Mandy menarik tangan Dannies ke luar rumah, mengajaknya ke tanah kosong dekat kabin itu.

***

Helea akhirnya sampai di warung kecil tujuannya. Setelah membeli camilan murah, dia duduk di pojok ruangan. Kepalanya sedikit pusing memikirkan langkah ke depannya. Sesekali dia menghela napas, berusaha rileks sejenak. Jujur saja Helea merindukan susana panti asuhan yang hangat dan ramai. Namun detik berikutnya, dia sadar kalau tempat itu bukanlah tempatnya lagi.

“Bagaimana adik-adikku di sana, ya?” ucap Helea pelan.Tatapannya kosong ke arah depan.

Tiba-tiba saja, seseoang duduk di banku di depannya. Tidak persis menghadap dirinya, sedikit ke arah kanan. Sosok gadis berambut pendek mengenakan hoodie berwana hijau muda. Kacamata bundar bertengger di batang hidungnya.

“Kau baik-baik saja?” tanya gadis berkacamata itu.

“Ya aku baik. Who are you?” jawab Helea singkat. Masalah yang menumpuk di kepalanya membuat dirinya enggan beramah tamah dengan orang asing.

“Aku seseorang yang sama sepertimu,” ucap gadis asing itu. “Penyihir.”

Helea menaikkan kewaspadaannya seketika. Dia meraih saku, mencari wand miliknya untuk berjaga-jaga.

Gadis yang duduk di hadapan Helea tertawa kecil. “Hei hei, calm down. Aku tak berniat jahat. Kau tidak perlu mengeluarkan wandmu.”

Helea menyipitkan matanya pada gadis asing itu. Memang benar, dia tidak melihat aura negatif di sekitar lawan bicaranya itu. Tapi tetap saja, tak banyak penyihir di tempat dia tinggal saat ini.

“Apa kau penyihir tanpa coven juga?” tanya Helea.

Gadis itu menggeleng. “No, aku bukan penyihir bebas. Tujuanku mendatangimu adalah memberimu sebuah tawaran yang mungkin sedang kau butuhkan.”

Helea mengerutkan keningnya. “”Tawaran apa?”

“Sejak kejadian di panti asuhan itu, jujur saja aku sudah mengawasimu. Sekarang kau tinggal di kabin di dalam hutan bersama tiga saudarimu yang lain, benar? Aku ingin mengajakmu bergabung ke coven tempatku tinggal, mungkin kau akan suka. Oh, salah satu saudarimu bukan penyihir ya? Tapi tidak masalah, coven ini coven bebas, kok.”

“Coven apa yang kau bicarakan ini?” Helea harus memastikan coven yang dibicarakan gadis itu aman untuknya dan saudarinya.

“Childern Of Salem, itu nama covennya. Ngomong-ngomong, salam kenal, namaku Montana Molly. Kau bisa memanggilku Momo, nama panggilan yang lucu, bukan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status