Share

4

The Coven

Porta (Bagian Empat)

“Paladin? Paladin apa?” Dannies tak merasa bahwa tiga sosok berpakaian putih serta berjubah itu membahayakan walaupun mereka membawa cambuk. Baginya, cambuk sesuatu yang normal untuk dibawa ke manapun. Bisa saja mereka bertiga penjinak hewan liar, pikir Dannies seperti itu.

Helyna menepuk jidatnya. “Aduh, aku belum pernah jelaskan ini ya?”

Dannies menggeleng.

Dalam hati Dannies, dia heran melihat wajah panik Helyna. Biasanya gadis itu bersikap tenang dan ceria, tiba-tiba menjadi panik serta pucat. Dannies tak memahami situasinya sama sekali, tapi yang pasti situasinya sedang tidak bagus.

“Paladin itu, kelompok yang memburu penyihir. Seperti aku dan Lea. Tidak hanya penyihir, bahkan makhluk dengan kemampuan magis lain juga diburu. Mereka menganggap keberadaan kami membahayakan,” jelas Helyna. “Tak kusangka ada kelompok itu di tempat tseperti ini.”

“Lalu bagaimana sekarang? Kita harus apa? Sembunyi di kolong tempat tidur?” usul Dannies.

Helyna menggeleng. Dia memerintahkan cerminnya untuk melihat Helea. Cermin itu memperlihatkan sosok Helea yang sedang berjalan di trotoar, tampaknya dia sedang ke arah panti asuhan. Helyna memejamkan matanya, mengatur napasnya. Dia mencoba terhubung dengan Helea sepertinya.

Kuharap Dannies tidak bertanya.

“Kau sedang apa, Lyn?”

Ah sial, dia bertanya. Kau bisa merusak konsentrasi Helyna, Dannies.

Helyna tak menjawab. Bibirnya bergerak mengatakan sesuatu, tapi Dannies tak bisa membaca gerakan bibir yang cepat itu. Dannies hanya bisa menunggu Helyna membuka kedua matanya. Ah, akhirnya si gadis penyihir membuka matanya.

“Apa yang kau ....”

“Mengirim pesan ke Helea secepat yang kubisa. Jujur saja, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku sendirian tidak akan mampu menghadapi tiga orang paladin sekaligus,” jelas Helyna.

Dannies beralih ke arah cermin. Kali ini terlihat Helea menghentikan langkahnya. Gadis itu tampaknya baru menerima pesan Helyna barusan. Helea segera mengirimkan balasan dengan cara yang sama seperti adiknya. Mereka penyihir memang mempunyai cara yang unik untuk berkomunikasi jarak jauh.

Helyna menutup cerminnya. Dia bangkit lalu meraih tangan Dannies. “Kita harus pergi, sekarang.”

“Ke mana?”

“Ke halaman belakang.” Helyna menarik Dannies untuk pergi meninggalkan ruang baca secepat yang dia bisa. Dannies hanya bisa pasrah diseret oleh Helyna, dia sendiri belum mengerti dengan jelas situasinya.

***

“Aku harus cepat!” Helea yang awalnya berjalan santai, kini berlari secepat yang dia bisa. Dia tidak boleh terlambat. Dirinya harus tiba lebih dulu di panti asuhan sebelum tiga paladin itu atau akan terjadi sesuatu yang buruk. Helea sedikit bersyukur karena tujuannya adalah panti. Dia berpikir bahwa semua kejadian ini sudah direncanakan oleh Bunda Alam.

Helea tiba di depan paagar panti asuhan. Kebetulan Ms. Chamila sedang membersihkan halaman depan. Ms. Chamila segera membukakan pagar untuk Helea.

“Helea? Apa itu kau?”

Helea tersenyum tipis. “Ya ini aku, Ms. Maafkan aku, aku sedang buru-buru.” Helea berlari masuk ke dalam panti tanpa memperdulikan Ms. Chamila yang kebingungan.

“Helea datang ke sini dengan berlari? Apa yang terjadi, apa dia meninggalkan sesuatu?” kerutan terlihat jelas di kening wanita empat puluhan tahun tersebut.

Kedatangan Helea membuat anak-anak yang berada di ruang tengah menjadi heran sekaligus senang. Bagaimanapun juga, mereka merindukan Helea.

“Kak Leaa!” salah satu anak yang sibuk dengan lolipop di tangannya langsung menghampiri Helea.

Helea tersenyum lebar. Dia menyambut anak kecil itu dengan pelukan hangat. Begitu bibir Helea dekat dengan telinga anak itu, dia membisikan sesuatu. Sesuatu itu adalah spell yang aku tidak tahu spell apa. Yang pasti, tidak mungkin spell itu menyakiti anak itu.

Satu persatu Helea memeluk adik-adiknya. Dia membisikan spell yang sama pada setiap anak yang dipeluknya. Sebagian dirinya senang karena berpelukan dengan saudaranya, di sisi lain dia sedikit sedih karena spell yang dia bisikan pada mereka.

Ms. Veronica dan Ms. Chamila yang melihat tingkah Helea hanya tertawa kecil. Mereka sama sekali tidak curiga dengan sikap Helea. Di mata mereka, Helea hanya melampiaskan kerinduan pada adik-adiknya.

“Helea tidak berubah, ya?” komentar Ms. Veronica.

“Bagaimanapun juga, dia adalah kakak favorit di panti asuhan ini, bukan begitu?” balas Ms. Chamila.

Sesuatu menghantam pintu rumah itu. Pintu itu langsung roboh seketika. Ms. Chamila dan Ms. Veronica terkejut bukan main. Seingat mereka, mereka tak memiliki tamu hari ini, apalagi tamu kasar seperti tiga sosok yang kini menyelonong masuk ke dalam panti.

“Maafkan aku, Tuan-Tuan, apa ada yang bisa kami bantu?” Ms. Veronica memberanikan diri untuk bertanya. Walaupun sebenarnya dia juga ragu.

Salah satu pia yang mengenakan jubah dan berpakaian putih itu mengeluarkan cambuk di pinggangnya. Sepertinya mereka buru-buru hingga tak tertarik meladeni para pengurus panti asuhan. Cambuk itu berhasil membuat dua pengurus panti itu pingsan di tempat.

Oh ini buruk.

Sangat buruk!

Helea yang menyadari ketidak beruntungan ini mempercepat aksinya. Dia meraih salah satu serangga yang berhasil ditangkapnya, lalu menggunakan serangga itu sebagai drone. “Pergilah ke tempat Paman Rei, aku akan menyusul. Jaga diri kalian.” Serangga itu terbang cepat ke halaman belakang panti.

“Oh Bunda Alam, berilah aku kekuatan.”

***

Dannies tak bergeming dari tempatnya berpijak, sementara Helyna menarik tangannya. Tatapannya terarah pada panti asuhan yang sedikit menimbulkan keributan di dalam sana.

“Dann please, kita harus pergi.”

“Tidak tanpa Kak Lea. Apa maksudmu meninggalkannya di sini bersama tiga sosok paladin? Kau tidak peduli padanya?” Dannies geram dengan keputusan Helyna.

“Dengarkan aku, Helea sendiri yang meminta kita untuk meninggalkan tempat ini dan pergi ke kediaman Paman Rei. Ini bukan keputusanku,” jelas Helyna.

“Dia mau apa? Bunuh diri?”

Helyna menggeleng. “Helea tidak sebodoh itu by the way. Kita harus cepat.”

“But ... apa dia akan baik-baik saja?” wajah cemas Dannes tampak jelas. Dia berusaha keras menahan air matanya yang hendak tumpah.

“Bunda Alam bersamanya, dia akan baik-baik saja. Ayolah, Dann.” Helyna memelas, dia kehabisan akal untuk meyakinkan Dannies agar pergi dari panti asuhan ini sesegera mungkin.

“Kak Lea bukan orang yang suka dengan kekerasan. Aku ragu dia akan selamat, sebaiknya kita membantunya.” Dannies justru melangkah memasuki panti asuhan.

Helyna tak tinggal diam. Dia mnghentikan langkah Dannies dengan akarnya. “Kau tidak pcrcaya padaku?”

“But Lyn ....” Dannies hampir menangis. Lagi.

“”Dia akan baik-baik saja, trsut me. My word is my bound, remember?”

Walaupun Dannies masih ragu, akhirnya dia menurut juga. Dia pasrah ketika Helyna menarik lengannya menjauhi tempat itu. Untuk terakhir kalinya Dannies menoleh ke belakang, menatap bangunan tua itu.

“Be save, Sist.”

***

Kita kembali lagi pada Helea saat ini. Gadis itu masih bertahan,walau dia menerima beberapa luka lebam di kedua lengannya. Helea berlari secepat yang dia bisa meninggalkan panti asuhan yang di sana terdapat tiga sosok paladin. Helea tak menyangka, baru saja dia pulang ke rumah, sekarang dia harus pergi lagi.

“Bunda, jagalah adik-adikku di sana,” ucap Helea smabil terus berlari.

Untungnya kecepatan lari Helea sama seperti kecepatan sepeda. Walaupun menguras banyak tenaga, dia berusaha sampai di tempat ayah angkatnya secepat yang dia bisa. Yang dia cemaskan kali ini tidak hanya kedua saudarinya, tapi juga ayah angkatnya. Helea paham paladin akan menandai lokasi di mana dia menginjakkan kakinya, termasuk kediaman Paman Rei.

Helea sampai di rumah sederhana ayah angkatnya. Keadaan halaman depannya berantakan, sukses membuat Helea lebih panik dari sebelumnya. Sepertinya dia sedikit terlambat atau mungkin sudah terlambat.

Begitu Helea menyentuh pintu depan rumah itu, pintunya langsung roboh. Sepertinya pintu itu telah menerima perlakuan kasar, sungguh malang.

“Astaga, Paman!” Helea menjerit histeris melihat Paman Rei yang tergeletak di lantai dengan berselimbah darah. Helea menyentuh tubu pria itu lalu menyalurkan energi kehidupan miliknya. Kalian tahu penyihir memiliki keahlian dalam penyembuhan, Helea salah satunya.

Paman Rei tersadar setelah Helea menghentikan pendarahan di perut pria itu. “Helea, is that you?”

“Ya Paman, ini aku.”

“Pergi ke hutan, Nak. Di sana ada kabin milikku yang sudah lama kutinggalkan. Dua saudarimu sudah pergi ke sana, cepatlah.”

“Tapi Paman?” Helea ragu meninggalkan ayah angkatnya dengan keadaan seperti itu. Dia berpikir untuk membawa pria itu bersamanya.

“Jangan cemaskan aku, cepatlah pergi.”

“Aku akan telfon ambulans,” ucap Helea yang kemudian buru-buru mengangkat telefon rumah yang ada di atas meja.

Pria yang penuh noda darah itu ingin menghentikan Helea tapi tak berdaya. Akhirnya dia hanya bisa pasrah. Dalam hatinya, dia tak peduli nyawanya selamat atau tidak, asalkan nyawa anak gadisnya selamat.

“Ambulans akan tiba secepat mungkin paman, berstahanlah.” Helea menutup telefon setelahnya. Dia menghampiri pria itu namun Paman Rei memberi isyarat untuk berhenti.

“Pergi Nak, susul saudarimu.”

Helea mengangguk pelan. Helea membungkuk untuk mengucapkan terima kasih kemudian berlari meninggalkan kediaman ayah angkatnya.

“Helea anakku, kau harus selamat. Dua saudarimu lebih membutuhkanmu dibandingkan aku,” ucap pria muda itu. Di sisa kesadarannya, wajah putri kandungnya tergambar di benaknya. Sesaat pria itu tersenyum. “Jika Tuhan berkehendak, aku akan menyusulmu, Putriku.”

***

Helea tak sanggup lagi berlari. Tentu saja, kau pikir sudah berapa lama dia berlari? Walaupun dia penyihir, dia tetap punya batas. Akhirnya Helea memutuskan berjalan dengan pelan sambil merenung. Pikirannya sedikit tidak jernih karena kejadian yang menimpanya hari ini. Hangatnya cahaya matahari yang menerpa tubuhnya membuatnya bisa rileks walau sesaat.

“Aku tak menyangka akan ada paladin di kota ini,” gumam Helea pelan. Memang benar, kota tempat dia tinggal hanyalah kota kecil. Mereka para paladin pasti enggan berpatroli ke kawasan yang sepi penduduk seperti ini.

Tiba-tiba saja, Helea menjadi waspada. Dia merasakan ada pengguna sihir lain di sekitarnya. Pandangannya menajam, memperhatikan seiap detail yang ada di hadapannya. Mendadak muncul sebuah spell yang terarah padanya dari balik pohon. Helea berhasil menghindarinya.

“Siapapun kau yang ada di balik pohon itu, aku tidak ingin mencari masalah.”

Seorang gadis berpakaian serba hitam dengan rambut terurai keluar dari balik pohon. Senyum misterius itu menyambut Helea. Gadis dengan bibir tebal, hidung mancung, serta tingginya di atas Helea beberapa centi.

“Hebat juga kau bisa merasakan kehadiranku, huh. Kau pengguna sihir juga, apa tebakanku benar?” ucap gadis asing itu.

Siapa dia? Apa dia datang untuk mencari masalah?

“Ya, tebakanmu tidak salah.”

“Kalau begitu menjauh dari sini, ini adalah wilayahku!” gadis berbaju hitam itu kembali melempar spell ke arah Helea.

Helea menghindari setiap spell yang terarah padanya. “Hei dengar penjelasanku, tolong. Aku tak mau ada keributan.”

“Aku tidak tertarik mendengar penjelasanmu, pergi dari wilayahku.”

Helea menggelengkan kepalanya. “Dengar, ada sebuah kabin tua milik ayah angkatku di hutan ini, Paman Rei. Dua saudariku ada di kabin itu, aku harus menyusul mereka sekarang. Aku sedang buru-buru.”

“Kau tidak terlihat seperti sedang buru-buru, kau berjalan,” balas gadis itu.

Helea menghela napas. “Aku sudah terlalu lama berlari, aku juga bisa kelelahan, tahu.”

Gadis itu tertawa kecil. “Baik baik .... Apa kau bilang tadi Paman Rei? Paman Reigi?”

Helea mengangguk. “Kau kenal dia juga?”

Gadis berbaju hitam itu ganti mengangguk. “Ya, anak paman itu adalah temanku dulu. Putrinya mati di kabin itu, menyedihkan. Oh, apa kau anak angkatnya? Kapan dia mengadopsimu?”

“Akan kujelaskan di perjalanan, sekarang aku harus ke kabin itu dulu,” ucap Helea.

“I will guide you then.”

***

Di lain tempat, Dannies dan Helyna baru saja tiba di kabin tua yang dimaksud ayah angkat Helea. Dannies langsung duduk di kursi kayu karena kelelahan. Berbeda dengan Helyna yang berdiri di depan pintu. Helyna tak menurunkan kewaspadaannya sedikit pun.

“Kenapa kau waspada begitu, masa ada hewan buas di sekitar sini?” tanya Dannies heran.

“Tidak, bukan itu. Dalam perjalanan tadi, aku merasakan seseorang dengan magicia yang berbeda dariku dan Helea. Syukurnya kita tidak bertemu dengan orang itu.”

Dannies yang aawalnya merasa lelah langsung melompat dari kursi. “Pengguna sihir? Just like you and Kak Lea?”

“Yes, tapi berbeda elemen, sepertinya berbahaya.”

“Elemen apa? Hei beri tahu aku!”

Oh tidak, Dannies mulai lagi. Beginilah respondnya jika membahas sesuatu yang berkaitan dengan magic, tidak peduli bahaya atau tidak.

“Aku tidak tahu pasti, sih.”

“Apa memang banyak pengguna sihir di hutan ini, Lyn?” tanya Dannies antusias.

“Kalau kujawab iya, bagaiman- oh!” Helyna sedikit terkejut melihat Dannies yang melompat kegirangan.

“Bagus!”

“Kenapa? Kau mau apa?” Helyna heran melihat tingkah saudarinya itu.

“Ah tidak, tidak kok. Mungkin aku akan mendapat magic lebih banyak setelah ini. Apa kau tidak berpikir begitu?” balas Dannies.

Helyna tersenyum lebar. “Oh yeah, tentu saja.”

“Kenapa Kak Lea belum juga sampai?” Dannies tiba-tiba cemas karena kakaknya belum juga datang. “Apa dia nyasar?”

“Jangan samakan Helea denganmu yang tidak tahu arah,” balas Helyna. “Aku yakin dia akan datang sebentar lagi. Aku bisa merasakan energi kehidupannya. Hanya saja ....”

“Hanya saja apa?”

“Dia tidak datang sendiri,” ucap Helyna.

Tak lama kemudian, dua orang muncul dan mendekati Helyna yang berdiri di pintu. Dannies yang berdiri di belakang Helyna bisa melihat dua sosok itu. Salah satunya adalah Helea. Di sampingnya berdiri sosok gadis berpakaian serba hitam tersenyum.

“Kak Lea!” seru Dannies.

“Yes Dann, maaf aku sedikit terlambat. Ada sedikit masalah kecil dalam perjalanan tadi. You guys okay?” Helea mengamati dua adiknya itu secara bergantian.

“Im guuuud!” seru Helyna. Dannies membalasnya dengan anggukkan.

Dannies mengamati gadis asing yang dibawa oleh Helea. Gadis berambut lurus terurai, berpakaian serba hitam, dengan bibir tebal serta hidung mancung. Gadis asing itu balas menatap Dannies yang langsung membuat Dannies salah tingkah.

“Mm-maaf,” ucap Dannies.

“Its okay, Little Piggy. Kau pasti Dannies, adik Helea, benar?”

“Eh?” Dannies menatap Helea sesaat lalu beralih ke gadis asing itu lagi. “Iya, benar. Maaf, kakak siapa?”

“Salam kenal, Mandy Grmmie,” gadis bernama Mandy itu mengulurkan tangan, hendak mengajak Dannies bersalaman.

Dannies menyambut uluran tangan itu. “Dannies.”

“Kau penyihir seperti kami, kan?” tanya Helyna tiba-tiba.

Helea langsung menatap Helyna dengan tajam. Rasanya tidak sopan langsung bertanya seperti itu.

“Oh Helyna darling, kau benar. Im a witch, just like you and your sister. Hanya saja elemenku berbeda denganmu.”

“Apa kau punya coven? Kenapa kau hanya sendirian?” tanya Helyna lagi.

“Aku hanya penyihir bebas tanpa coven. Lagipula, aku bisa bertahan dari para paladin itu,” sahut Mandy dengan santainya.

“Coven? Apa itu?” tanya Dannies.

“Itu adalah tempat di mana para penyihir berkumpul, istiralahnya rumah para penyihirlah,” jelas Helea. “Ah, kau bilang kau bisa bertahan dari para paladin?”

Mandy tertawa kecil. “Yep, dan alasan kalian mengungsi kemari karena dikejar oleh tiga paladin, ya kan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status