Kania meraih sebuah mug polos di nakas. Ia hendak membuat secangkir kopi untuk dibawa ke ruang meeting yang sementara ini menjadi ruang kerja pribadinya di lantai tiga puluh delapan. Dua hari ini ia memakai ruang meeting yang berada tepat di sebelah ruang Barry untuk menyelesaikan pembuatan buku SOP yang menjadi project-nya bersama sang CEO.
Project tersebut digagas olehnya seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan di korporasi mereka. Dengan adanya buku panduan mengenai bisnis perusahaan mereka tersebut, diharapkan setiap ada regenerasi kepemimpinan akan mudah dalam beradaptasi, otomatis akan membuat efektivitas kerja meningkat. Selanjutnya buku panduan tersebut akan di-update setiap kali ada perkembangan bisnis mereka. Barry menunjuk Kania sebagai penanggung jawab karena di antara seluruh pegawai, hanya Kania yang cukup berkompeten pada seluruh proses bisnis perusahaan dari hulu sampai dengan hilir.
Pantry di lantai tiga puluh delapan, lantai para direksi tentu saja berbeda dengan lantai lain. Semua serba mewah di sini. Lemari pendingin raksasa, microwave, dan mesin kopi mahal hanya tersedia di lantai ini.
Kania sedang meraba-raba lagi di nakas yang cukup tinggi, mencari bubuk kopi instant. Ia akan menyeduh kopi instant saja supaya lebih cepat kembali ke ruang kerja. Hari ini paling tidak ia harus menyelesaikan separuh pekerjaan sebelum nanti akan dikonsultasikan kepada Prasetya dan Barry.
“Kamu sedang cari apa? Sini dibantu.” Suara bariton terdengar di telinga Kania. Suara tersebut sangat familiar di telinganya.
Dada bidang lelaki di belakang menghimpit punggungnya, hingga merapat ke meja dapur. Kania menahan napas.
Lima detik berlalu, terasa begitu lama. Lelaki itu sudah meraih sesuatu di atas nakas.
Kania berputar menghadap sang lelaki.
Mata tajam itu menyorot langung ke matanya. Tangan lelaki itu terulur ke depan, membawa sebuah bubuk kopi dalam toples kecil tepat ke depan dada Kania.
“Kamu mencari ini?” tanyanya dengan suara berat.
Kania seperti orang linglung. Ia hanya bergeming memperhatikan toples kopi seolah benda itu langka. Aroma maskulin lelaki itu seperti membangkitkan suatu memori di otaknya yang menolak lupa.
“Wanita pekerja keras dan penggemar kopi. Sangat memukau.” Lelaki itu berbicara dengan nada dingin walaupun arti ucapannya bisa merupakan sebuah rayuan.
“Ini, ambilah.” Suara berat lelaki itu lebih terdengar seperti desahan yang berat.
Kesadaran Kania pulih di saat yang tepat. Ia segera menyambar toples itu, dan berbalik badan memunggungi lelaki angkuh yang dibencinya. Wanita berkemeja warna kuning gading itu pura-pura sibuk membuat kopi.
“Kasar sekali, setidaknya ucapkan terima kasih untukku.”
Kania menghela napas. Ia terpaksa berbalik, dan mengubah raut mukanya sedatar mungkin.
“Terima kasih,” ujarnya.
Ia hendak berbalik memunggungi sang pria arogan, tetapi lengannya dicengkeram oleh jemari kokoh lelaki itu. Kini ia berhadapan muka dengan lelaki yang selalu membuat kesal dirinya.
“Kamu masih marah? Gara-gara kejadian di lift tempo hari?”
Kania membisu, berusaha berpaling, tetapi dagunya dipegang oleh tangan Marlo.
“Bisakah menatap lawan bicaramu.”
Kania menatap bibir yang bergerak itu. Tanpa senyum, hanya kata-kata sedingin es. Seperti biasa, kata-kata yang keluar dari mulut angkuh sang komisaris.
“Saya sedang buru-buru, Pak.”
“Buru-buru ingin membuat atasanmu puas, he? Barry bukan?” Suara Marlo terdengar nyaris seperti desahan di telinga Kania. Jarak mereka cukup rapat sekarang.
Bisakah aku memaafkan lelaki ini? Saat kata-kata setajam pisau selalu keluar dari mulutnya.
Kania tidak ingin kembali terpancing. Ia hanya bergeming.
Jemari yang memegang dagunya kini sudah mulai berani menyentuh rahang dan pipi. Sentuhan itu sangat ringan, sampai-sampai Kania merasa itu hanya ada dalam pikirannya.
Mata Marlo mengamati jemarinya yang bergerilya. Ini adalah sentuhan paling intim yang pernah dilakukan kepada Kania. Anehnya, ia sangat menyukai hal tersebut. Ia menyukai bagaimana jemarinya meluncur mulus di rahang dan pipi selembut sutera itu. Ingin rasanya terus bermain-main di sana, Marlo rela menghabiskan waktu untuk hal remeh seperti itu. Sungguh suatu yang berlawanan dengan nalarnya.
Aroma tubuh Kania adalah parfum paling harum yang pernah dicium oleh Marlo. Ia merasa bau itu bukan parfum mahal, terasa lebih alami membuat betah berlama-lama menciumnya, bahkan mengingatkan ada masa dulu ketika berada di pangkuan sang ibu ketika masih kanan-kanak.
Kania memberanikan diri mengamati mata lelaki di hadapannya, mata yang sedang asyik mengamati sentuhan ringan, seringan bulu. Marlo memiliki bulu mata yang lentik, Kania baru menyadari hal itu. Wajah di depannya cukup tampan, jika saja diimbangi dengan attitude yang bagus.
Suara derit pintu pantry yang terbuka, membuat keduanya nyaris terlonjak. Seorang office boy masuk. Dari gelagatnya, office boy itu terlihat kikuk melihat mereka berdua dalam kondisi sedekat itu. Serta merta keduanya memisahkan diri. Kania memanfaatkan kesempatan untuk segera pergi meninggalkan Marlo. Saat melewati sang office boy yang masih tertunduk kikuk, ia memesan secangkir kopi. Lalu segera meninggalkan pantry tanpa menoleh ke belakang.
***
“Barry ...” Kania melihat sang atasan sudah berada di ruang kerja sementaranya.
“Hei, dari mana?”
Kania segera menuju meja kerjanya di sebelah Barry berdiri.
“Dari pantry, mau bikin kopi, sudah pesen sama office boy, barusan.”
Barry menatap wajah Kania yang tertunduk
“Are you okey? Kania, kamu kenapa?” Barry melipat tangan di dada, masih memperhatikan wanita cantik yang buru-buru duduk di kursinya.
Kania terlihat sibuk sendiri dengan laptopnya, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard.
“Kamu sakit?”
Kania menatap Barry bingung. “Emang kenapa?”
“Muka kamu merah sekali.” Mata Barry memincing curiga. Lelaki itu lantas meletakkan punggung tangannya di dahi Kania.
“Astaga, aku enggak kenapa-kenapa.” Kania berusaha mengelak.
“Kalau kamu sakit, pulang ajalah, apa perlu aku antar?”
“Stop, Barry, aku enggak apa-apa, oke!” Kania memelotot. “Sekarang biarin aku selesaikan project kita dengan tenang, please!”
“Wo, wo, wo, oke, oke, aku enggak akan ganggu lagi, kok. Silakan lanjutkan pekerjaan, cantik.” Barry nyengir menatap Kania yang sewot, dalam hati ia mengumpat arena melihat Kania yang semakin cantik bila mulai marah seperti ini.
Dengan berat hati akhirnya Barry meninggalkan ruangan kerja wanita yang berkemauan keras itu. Ia segera kembali ke ruangannya sendiri.
***
Sebelum duduk di kursi berlengan favoritnya, ia sempat melihat melalui dinding kaca, pamannya—Marlo--lewat. Barry yakin mata Marlo melirik ke arah ruangan sebelah tempat Kania sedang bekerja. Apa Oom Marlo juga suka sama Kania?
Kania pernah bercerita kepadanya tentang perlakuan Marlo. Ia dapat maklum mengetahui tabiat adik kandung mendiang ayahnya itu. Marlo orang yang keras dan kaku, tak ada sisi humanis apalagi romantis pada pria yang jauh lebih tua darinya itu.
Ponsel Barry berdering, sebuah nama muncul di layar ponsel pintar tersebut. Mama.
“Iya, Ma?”
“Barry, Sayang, bagaimana progres pembuatan buku panduan? Kapan bisa selesai?” Suara Clarissa yang tegas di ujung telepon membuat Barry mengernyit.
“Sabar, Ma. Masih on progress sama Kania.” Barry mengetuk-ngetukan jarinya di meja.
“Lama sekali dia kerjanya. Mama mau kamu push supaya cepat selesaikan project ini.” Clarissa terdiam sesaat. “Dan kamu segera tinggalkan wanita itu. Mama mau kamu pecat dia, Barry.”
Barry terdiam syok mendengar perkataan sang ibu, harusnya ia paham sifat ibunya, tetapi barry sungguh tidak menyangka ibunya akan menjadi sekejam ini.
“Apa-apaan, Ma? Kenapa harus pecat Kania? Kania itu aset perusahaan, Ma. Aku enggak setuju.”
“Ikuti saja kata Mama, itu untuk kebaikanmu dan perusahaan. Tidak akan ada yang diuntungkan apabila ada romansa di tempat kerja! Setelah proyek kalian selesai, Mama minta kamu segera jauhin dia.” Clarissa berkata seolah-olah tak punya perasaan.
“Aku enggak mau, Ma!”
“Terserah kamu, Barry, yang jelas kamu tahu, kan , apa yang bisa Mama lakukan kepada Savitri.”
“Ma! Mama enggak bisa begitu, Ma!”
Clarissa sudah mengakhiri percakapan.
Barry meremas beberapa kertas di atas meja, lalu menghempaskannya ke lantai. Emosinya menggelegak.
Ia mencintai Kania, tetapi merasa seperti orang tolol yang diperbudak oleh ibunya sendiri.
Savitri selalu dijadikan tameng, ibunya tahu seberapa besar Savitri telah mempengaruhi hidup seorang Barry.
***
Kania melirik jam di pergelangan tangan yang sudah menunjuk angka delapan. Ia menghela napas. Sudah cukup, ia harus pulang sekarang.
Setelah membereskan meja kerja, Kania segera bersiap untuk pulang. Hari ini Barry ada rapat mendadak dengan keluarganya. Sudah sejam yang lalu lelaki itu meninggalkannya sendirian. Kania memutuskan untuk memesan taksi daring.
Kania membuka pintu ruang rapat yang telah disulap menjadi ruang kerja, dan langsung berpapasan dengan sosok jangkung di depannya menghalangi jalan keluar. Matanya yang telah terpaku pada layar ponsel untuk memesan taksi daring tidak melihat jika Marlo telah beridiri di depannya.
“Aduh, permisi, donk!” seru Kania.
Marlo berdehem, membuat Kania serta merta mendongak dan terkejut melihat Marlo sudah di depannya.
“Kalau jalan matanya jangan ke hape melulu, donk.”
“Ma-ma-maaf saya baru pesan taksi, takut kemalaman.”
Marlo mengawasi Kania dari balik bulu mata lebatnya. Tiba-tiba ia merebut ponsel pintar milik Kania. Lelaki itu memencet tombol pembatalan pesanan dengan sekali sentuh.
“Lho-lho-lho ... kok di cancel, gimana, sih?” seru Kania jengkel.
“Gak usah pake taksi, malam-malam gini, berbahaya.” Marlo mengulurkan kembali ponsel Kania.
“Ayo, saya antar pulang, sekarang.” Kata-kata Marlo seperti titah, ia tidak menerima penolakan.
“Saya enggak mau, Pak. Mending saya naik ojek saja!” Kania berjalan mendahului.
Namun, pergelangan Kania dicekal oleh lelaki bersetelan kerja itu.
“Enggak usah protes, pokoknya kamu saya antar pulang sekarang. Saya enggak mau sampai di jalan terjadi sesuatu sama kamu, nanti perusahaan saya yang disuruh tanggung jawab karena suruh karyawannya lembur sampai malam!” tegas Marlo.
Kania lebih seperti diseret oleh lelaki yang arogan itu. Setelah turun melalui lift, mereka menuju tempat parkir mobil Marlo. Tanpa banyak protes, akhirnya Kania masuk ke mobil. Ia melirik ke wajah Marlo yang mengeras. Lelaki ini memang sangat arogan dan egois, batin Kania sebal.
Mobil sedan berwarna gelap itu melucur menembus malam. Sepinya suasana di luar masih kalah sepi dari suasana di dalam mobil. Kania merasa tak perlu repot-repot mengajak bicara teman seperjalanannya. Ia tahu jawaban pendek dan dingin yang akan diterima nanti.
Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat
Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor
Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so
Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.
Clarissa bergeming di tempat duduknya, sebuah sofa tunggal dari bahan beledu cantik, warnanya senada dengan nuansa kamar tidur yang keemasan, terkesan mewah dan glamor. Mata wanita cantik itu menerawang jauh. Kacamata berbingkai emas yang ia kenakan tidak dapat menyembunyikan matanya yang nanar. Ia baru saja menerima telepon dari salah seorang kepercayaannya.“Nyonya, lelaki itu sudah buka mulut. Sepertinya lelaki tua yang mengancamnya itu adalah Arifin. Nyonya ingat? Lelaki kepercayaan mendiang Tuan Hadinegoro dulu,” ucap suara serak di ujung telepon.“Kurang ajar! Bukannya lelaki itu ada di dalam penjara? ““Betul, Nyonya, Arifin menginterogasinya di dalam penjara. Sepertinya ia punya koneksi orang dalam, hingga bisa melakukan ancaman kepada orang kita.”“Kamu habisi saja lelaki itu di dalam penjara! Sekarang! Saya tidak mau si Arifin itu sempat menemukan bukti lain!” tegas Clarissa, suaranya
"Menurut kamu, Divia sudah tahu mengenai identitas Damar?" Kania melirik ke arah Marlo yang sedang menyetir di sebelahnya."Entahlah, mungkin sudah. Sepertinya hubungan mereka semakin akrab, aku mencium bau romantis di antara mereka."Sontak Kania tertawa terpingkal-pingkal, membuat Marlo melirik kekasihnya itu dengan tatapan tersinggung."Kok malah ketawa?"Kania buru-buru menahan tawanya sambil geleng-geleng kepala. "Sorry, Sayang, kamu bilang mencium bau romantis, mendengar kamu yang bilang seperti itu membuatku geli, Tuan Serius!"Akhirnya, Marlo mengulas senyum juga di bibirnya, memang benar yang diucapkan Kania. Dia orang yang serius, tak pernah kenal istilah cinta apalagi romantis. Namun, kebersamaan dengan Kania merubah semuanya. Indra perasanya menjadi semakin peka."Aku berkali-kali menggoda Divia soal hubungannya dengan Damar, tetapi dia selalu mengalihkan pembicaraan."