Restoran Red Diamond
Barry menarik sebuah kursi, mempersilakan wanita cantik yang baru datang untuk duduk. Malam itu Jeslyn tampil sangat menawan dengan gaun cantik berwarna silver, membungkus ketat tubuhnya yang sempurna.
Ia mendekat mencium pipi kiri dan kanan Barry. "Lama tidak bertemu, Beib," bisiknya.
Barry hanya tersenyum.
Setelah memastikan Jeslyn duduk dengan nyaman, Barry kembali duduk di kursinya.
"Senang bertemu kembali, Jes. Kamu cantik sekali malam ini."
Jeslyn sudah terbiasa menerima pujian, tidak ada rasa tersipu malu.
"Well, Mama sudah bercerita mengenai rencana perjodohan kita. Bagaimana menurutmu?"
Gadis berambut cokelat itu menatap lekat wajah Barry, sementara yang ada di benak Barry hanya Savitri. Ancaman ibunya mengenai Savitri tidak bisa dianggap remeh.
"Kita coba ...," jawab Barry tak mampu memberi kepastian.
Seorang pelayan da
Berto membuka pintu depan begitu mendengar suara mobil Marlo memasuki halaman. Akhir minggu, seperti biasa, tuannya akan pulang ke rumah ini. Rumah besar peninggalan Tuan Erlangga Hadinegoro yang memang dibuat untuk adik tercinta. Lokasinya yang cukup jauh di pinggir kota dengan suasana perbukitan membuat rumah itu cukup jarang disinggahi. Di hari-hari kerja Tuan Marlo lebih memilih tinggal di apartemen tak jauh dari kantor. “Selamat Malam, Berto.” Marlo masuk dengan wajah berseri-seri. “Selamat malam, Tuan Marlo, malam yang indah sepertinya.” Marlo menepuk-nepuk bahu pria kurus itu. “Yah, begitulah.” “Mau saya siapkan makan malam sekarang, Tuan?” &nb
"Loh, Barry ngapain kamu di sini?" Kania mengangkat alis tinggi-tinggi. Hari minggu siang yang cerah, Kania baru saja selesai membuat pai buah kesukaan Nadin. Bi Darni sedang menidurkan Nadin di kamar, jadi saat bel pintu berdering, Kania sendiri yang bergegas membuka pintu. Ia berpikir Divia yang datang, rupanya Barry. "Boleh, kan, hari Minggu main? Aku suntuk di rumah." "Ya-ya, ya bolehlah, masak enggak boleh? Ayo masuk." Kania mempersilakan Barry masuk ke ruang tamu, sementara dirinya bergegas ke ruang ganti. Ia merasa seperti si upik abu dengan pakaian usang dan muka belepotan, sementara Barry seperti pangeran tampan dengan kaus polo warna navy dipadu jeans warna pudar. Bukannya ia ingin terlihat menarik di hadapan Barry, hanya untuk kesopanan saja, pikirnya. Kania memilih atasan crop warna cream dan celana kulot sebetis. Setelah membersihkan muka dan merapikan rambut, ia k
"Vi, Bapak lu manggil gue?" Kania tergopoh-gopoh menuju meja Divia, tepat di depan ruangan Prasetya. "Iya, cepetan masuk udah ditunggu." Kania segera masuk melalui pintu kaca ke ruangan Pak Prasetya "Pagi, Pak," "Kan, gawat ada problem di kebun." Mata Prasetya hanya sekilas melirik ke arah Kania yang baru saja masuk. Lelaki itu terus mengawasi layar gawainya. Feeling Kania tidak enak. "Ada apa Pak? Sesuatu terjadi?" "Terjadi bentrokan besar antara kubu pekerja pendukung kepala desa lama dan kepala desa baru." Prasetya berkata cepat, matanya masih memelotot ke arah gawainya. Kania mengerutkan kening. "Di kebun paling barat kita?" Prasetya mengangguk. Kebun paling barat adalah kebun yang sangat rawan konflik. "Sudah hubungi pihak berwajib, Pak? Bagaimana dengan mediasi?" "Pihak berwajib tidak dapat menjangkau lokasi, sudah dibarikade oleh penduduk. Mediasi dari kepala
Kania masuk ke dalam mobil van tua, dua orang pria muda mengawalnya duduk di sisi kiri dan kanan. Di bangku depan ada seorang sopir dan pria paruh baya yang tadi berbicara dengan rombongan Kania. Tak dipungkiri ada sedikit rasa takut di hati Kania. Namun, ia memberanikan diri. Alwi yang ia kenal tidak akan membahayakan nyawanya. Ia sangat percaya akan hal itu. Mobil van tua itu berjalan menerobos lebatnya tanaman sawit. Melewati turunan dan kelokan jalan tak beraturan. Tubuh Kania terlonjak lonjak karena jalan yang tidak rata. Dua puluh menit berlalu. Mereka tiba di sebuah pondok, tersembunyi di belakang bukit. Seandainya tidak sedang menghadapi konflik, pemandangan yang disuguhkan dari pondok tersebut sangat lah indah. "Sudah sampai, ayo ikut kami Nona, silakan turun, " ucap seorang pria yang duduk di sebelah kiri Kania. Lelaki itu membuka pintu, memberi jalan kepada Kania untuk turun. Kania berjalan pelan mendek
“Sebaiknya kita menuju ke penginapan dulu, Pak. Biarkan Kania beristirahat. Nanti malam kita diskusi.” Prasetya menengahi di antara Kania dan Marlo. Marlo masih menatap Kania setajam sebelumnya. Kania pun masih menatap balik ke manik mata elang itu. “Baiklah, kita pergi ke penginapan.” Akhirnya Marlo bersuara. Rombongan yang terdiri dari empat mobil segera bergerak ke arah kota Kabupaten yang berjarak satu jam perjalanan. Tak banyak penginapan yang bisa dijumpai di kota kecil tersebut. Akhirnya rombongan berhenti di sebuah penginapan kecil. Semua personil diminta untuk beristirahat dan berkump
Kania dan rombongan selesai sarapan tepat pukul 07.30. Ia diam-diam mencari keberadaan Marlo. Namun, lelaki itu tidak juga muncul untuk sarapan. “Ayo, Bu, kita berangkat!” seru Ismail yang sudah siap naik ke dalam mobil. “Iya, Pak. Saya segera ke sana.” Kania merapikan bajunya. Hari ini ia memilih kemeja longgar warna putih yang ia padukan dengan celana bahan warna abu-abu. Setelah mengambil tas selempangnya ia segera menyusul Pak Ismail. Rombongan Kania yang akan menuju markas Sidik terdiri dari Kania, Pak Ismail, Bambang Satria dan seorang sopir. Mereka berpisah dengan rombongan Prasetya yang akan kembali menuju gerbang kubu Alwi.&nb
“Apa, sih, Ma?” Barry merasa sangat suntuk, ia barusan menelepon Kania, begitu mendengar semua cerita dari Prasetya. Rasa kesal karena tidak bisa melindungi Kania bertambah dengan adanya laporan bahwa sang paman turut andil dalam menyelamatkan nyawa Kania. Semua berita itu membuat moodnya di hari itu menjadi buruk. Mendengar suara Kania secara langsung pun masih belum bisa mengurangi rasa kesalnya. Kini, ibunya datang tiba-tiba ke kamar. Melemparkan amplop besar berwarna cokelat tepat ke arah pangkuannya. “Apa ini?” Ia melirik tajam ke arah wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan gaun satin warna peach itu.
"Gimana kondisi Nadin, Vi?" Suara Kania terdengar gugup. Ia baru saja bisa mengakses gawainya setelah perjalanan masuk dan keluar kebun."Tenang, Kan. Udah gue atasin. Tadi gue bawa ke dokter. Kata dokter, si cantik kena radang tenggorokan. Udah dikasih obat.""Parah, nggak?""Si Bocah udah bobok sekarang di kamar Kan, gue rasa udah gak terlalu panas, sih. Tapi gue minta surat ijin tadi, biar anak lu libur dulu sekolahnya.”"Iya, Vi. Thanks banget ya, Vi .... Gue berutang banyak banget ke elu.""Astaga, biasa aja Kan ... udah, yang penting elu nggak usah khawatir kita semua disini pasti jagain Nadin.""Gue panik banget waktu baca chat elu kalau si Nadin panas." Kania menelan ludah. "Jadi lu bawa ke dokter siapa? Sama Bi Darni?" tana Kania penasaraan."Gue bawa ke RS Internasional, yang deket kompleks elu. Gue cari taksi susah banget kagak nemu. Akhirnya gue telepon Damar, gue minta