Share

The Curse - 05

Malam semakin larut. Namun, Leona masih juga tidak berhasil terjun ke alam bawah sadarnya. Ia masih berguling ke kanan, dan kadang ke kiri. Salah satu tangannya sudah memegangi perutnya yang sedari tadi berbunyi akibat menahan lapar.

Ia melirik jam di atas nakas. Hampir pukul sepuluh malam. Harusnya Leona segera tidur, karena ia tidak terlalu terbiasa tidur di atas jam sembilan. Tapi, ia benar-benar tidak bisa tidur dalam keadaan lapar seperti itu.

"Dia sudah tidur belum, ya? Malas sekali kalau aku keluar lalu bertemu dengannya," gumam gadis itu.

Tak tahan lagi, Leona akhirnya keluar. Ia berjalan seperti orang mengendap-endap agar lagkahnya tak terdengar oleh pemilik apartemen ini.

Ia melihat ke atas meja. Kosong. Mungkinkah makanannya sudah William masukkan ke dalam lemari pendingin?

Leona menuju ke lemari pendingin, kemudian membukanya. Ternyata benar. Ada satu porsi masakannya yang belum tersentuh sama sekali di dalamnya. Itu pasti miliknya. Tapi, di mana porsi yang satu?

"Kamu kelaparan di tengah malam seperti ini?" Leona terpenjat. Ia dapat merasakan napas hangat seseorang di lehernya. 

Hendak memutar tubuhnya, tapi ia tidak bisa. Posisi William benar-benar sangat dekat dengannya. Ia khawatir akan bersenggolan dengan laki-laki itu jika ia salah mengambil langkah.

Lagi pula, sejak kapan William berdiri di sini? Apa yang ia lakukan jam sepuluh malam di dapur? Bukankah dia sudah makan malam dengan masakan Leona tadi?

"Bisa mundur sedikit?" pinta Leona dengan nada sedatar mungkin.

"Sudah," jawabnya setelah beberapa detik. 

Leona menghela napas panjang. Ia amat yakin jika jarak antara dirinya dan William sama sekali belum berubah. Napas William bahkan masih berembus jelas di sekitaran leher Leona.

"Mundur!" suruhnya lagi.

"Aku sudah mundur sekitar satu setengan senti sejak kamu memintanya pertama kali. Apa itu kurang?" tanya William polos.

Pasrah, Leona sehati-hati mungkin, memutar tubuhnya hingga benar-benar berhadapan dengan laki-laki itu.

Leona tak sudi mengangkat kepalanya yang akan membuat tatapan mereka bertemu. Ia lebih memilih menatap lurus ke depan, ke arah dada bidang pria aneh di depannya.

"Kamu tidak jadi makan malam?" tanya William lagi.

"Aku akan makan kalau kamu kembali masuk ke kamarmu," balas Leona sinis.

Terdengar kekehan kecil dari mulut pria di depannya, yang membuat Leona merasa kebingungan.

"Aku bisa menemanimu makan malam. Aku juga sudah lapar," ujarnya. Leona menyerit.

"Bukankah kamu sudah makan masakanku tadi? Aku ingat jelas jika tadi sore aku memasak untuk dua porsi. Dan sekarang sisa satu. Itu artinya kamu-" Leona menghentikan ucapannya ketika merasakan tatapan yang tak biasa William tertuju padanya.

Apa ada yang salah?

"Kenapa? Apa menurutmu aku salah bicara lagi?" tanya Leona.

"Tidak. Hanya saja sepertinya kamu lupa, di mana kamu sekarang. Kamu baru saja melarang pemilik apartemen ini untuk melakukan apa yang dia mau," jawab William dengan nada menjengkelkan.

Leona mendorong sedikit badan William hingga menciptakan jarak yang lebih nyata di antara keduanya. Setelah itu, ia berbalik untuk mengambil satu porsi daging yang masih tersisa dan menyerahkannya pada William.

"Makanlah!" ujar Leona jengkel.

"Lalu kamu?" tanya William.

"Apa pedulimu kalau aku mau makan, ataupun tidak makan?" sembur Leona yang tak tahan lagi dengan perilaku William. Padahal ini masih terhitung hari pertama ia tinggal satu atap dengan laki-laki itu.

"Kau benar. Aku sama sekali tak peduli," jawab William sembari membawa makanan yang Leona berikan ke arah meja makan.

Leona mengerang kesal. Sebenarnya, apa sih yang diinginkan laki-laki itu? Bisa-bisanya gadis lugu seperti Leona terjebak harus tinggal satu atap dengannya. Tapi, Leona tidak ada pilihan lain. Ia harus bersabar menghadapi laki-laki itu demi impian terbesarnya untuk menjadi aktris terkenal.

Leona berusaha menenangkan dirinya. Setelah itu, ia membuka lemari atas dan mengambil sebungkus mie instan dari sana. Untung saja ia tadi membelinya saat di super market. Ia sudah menduga, ada kalanya makanan instan akan berguna seperti ini jika ia tinggal satu atap dengan manusia seperti William.

Leona memasak mie itu sambil terdiam. Ia sama sekali tak berniat untuk membuka suara sedikitpun. Setelah mie-nya matang, mau tidak mau ia harus kembali berhadapan dengan William di meja makan.

Keduanya makan dengan tenang, tanpa satupun berniat memulai pembicaraan.

Tak lama kemudian, William selesai menyantap hidangan menjelang tengah malamnya.

"Masakanmu cukup enak. Aku tidak keberatan jika kamu memasakkan untukku mulai hari ini," ujar William setelah menelan suapan terakhirnya.

Leona memutar bola matanya malas. Tadi saja laki-laki itu menolak masakannya mentah-mentah. Sekarang apa? Bahkan ia meminta secara langsung pada Leona untuk memasakkanya setiap hari.

"Kamu tidak lupa kan, kalau kamu tinggal secara gratis di sini? Setidaknya berlaku baik lah pada pemilik apartemen ini," imbuh laki-laki menjengkelkan itu.

Leona mendengus. Ia mengangkat wajahnya, dan menelan secara paksa makanan yang ada di mulutnya.

"Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku tinggal di sini?" tanya Leona.

"Yup. Dan itu demi pekerjaan. Tapi tetap saja kamu harus membayarku selaku pemilik apartemen ini," jawab William dengan wajah datar.

Dia serius? Leona harus membayar untuk tinggal di unit semewah ini? Meskipun hanya separuh harga, bukankah ini sangat mahal?

Wajah Leona langsung pucat pasi. Ia tidak punya cukup banyak uang untuk menyewa tempat semewah ini. Jangankan apartemen ini, kontrakan kecil saja ia tidak sanggup lagi menyewanya. 

Tapi, ia benar-benar harus menjadi aktris terkenal. Ia tidak bisa pergi begitu saja. Akan sangat sulit baginya mendapat tawaran bermain film, terlebih menjadi tokoh utama seperti sekarang.

"Be- be- berapa banyak yang harus aku bayar?" tanya Leona hati-hati.

Di otaknya, sudah tergambar jelas bagaimana banyaknya deretan angka yang harus ia keluarkan nantinya. Sungguh suram.

William tertawa sinis. Membuat kekesalan Leona kembali muncul.

"Tidak bisakah kita bicara serius? Aku bertanya padamu, berapa biaya sewa yang harus aku bayar?" kesal Leona.

"Kamu punya uang seberapa banyak?" tantang William.

"Kau tidak perlu tahu. Katakan saja berapa yang kamu dariku?" balas Leona.

William meletakkan kedua sikunya di atas meja. Kemudian, ia menopang kepalanya dengan tangannya itu.

"Apa menurutmu uangmu lebih banyak dariku? Apa menurutmu aku kekurangan uang hingga harus meminta darimu?" tanya William dengan nada santai.

"Kamu sendiri tadi yang bilang, aku harus bayar. Lalu berapa yang harus aku bayarkan?" balas Leona.

"Jika disewakan, unit ini mungkin akan bernilai sekitar tiga juta USD per tahunnya. Tinggal kamu hitung, akan berapa lama kamu tinggal di sini," ujar William.

Leona terdiam. Ia menelan salivanya kasar. Benarkah semahal itu? Bahkan apa bila ginjalnya dijual saja tidak akan cukup untuk membayar biaya sewa itu untuk beberapa bulan ke depan.

"Se- se- sekitar tiga setengah juta dolar per bulan?" tanya Leona ragu. Selanjutnya, William pun mengangguk membenarkan.

"Tapi kita tinggal berdua. Dan bahkan aku menempati kamar yang lebih kecil darimu. Aku juga- bisakah aku membayar seperempatnya saja? Itupun, aku akan membayarnya setelah kita mendapat bayaran dari proyek film itu," ucap Leona semakin lirih. 

Ia benar-benar sudah tidak punya uang. Dan tiga setengah juta dolar bukanlah nominal yang kecil baginya. Itu amat besar.

Lagi, tawa William pecah. Namun, kali ini tanggapan Leona berbeda dari yang sebelumnya kesal, kini ia lebih merasa seperti terintimidasi oleh suara tawa laki-laki itu.

Ia sadar posisinya saat ini. Ia tidak bisa berbuat seenaknya pada William.

"Hey hey, tenanglah! Aku tidak membutuhkan uang recehmu itu!" ujar William yang membuat Leona sontak mengangkat wajahnya.

Ia benar-benar tidak mengerti, apa yang diinginkan laki-laki itu.

"Bukankah kamu yang memintanya tadi? Kamu-"

"Lalu kamu punya uang jika aku akan memintamu untuk membayar di muka?" tantang William yang membuat mental Leona kembali down. Gadis itu menggeleng.

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Leona lirih.

"Berkerjalah untukku! Kamu bisa membersihkan apartemen, memasak, dan bersikap sebaik mungkin untukku," ujar William dengan nada lebih tenang, namun serius.

Leona menatap mata laki-laki itu. Benar-benar sempurna. Bagaimana bisa di muka bumi ini ada sosok seperti William, terlebih, sosok itu kini berada tepat di hadapan Leona.

"Dan kau harus selalu ingat aturan yang paling utama di apartemen ini," ucap William membuat Leona tersentak, kembali sadar dari lamunannya.

"Apa?" tanya cepat.

"Jangan mengganggu ketenangan dan privasiku!" jawab William.

Leona mengangguk penuh semangat. Tidak sulit. Ia yakin ia bisa melakukannya. Persetan jika memang ia harus menjadi pelayan di apartemen ini. Setidaknya ia bisa tinggal lebih lama, tanpa harus memikirkan biayanya. 

Toh, tempat ini sangat aman untuknya. Walaupun mungkin nantinya ia akan tersiksa karena tingkah polah William, tapi setidaknya ia tahu, di tempat ini, keselamatannya tidak lagi terancam. Hanya apartemen inilah tempat teraman untuk ia tinggali sebelum akhirnya ia akan menjadi aktris terkenal.

***

Bersambung...

Jangan lupa nantikan kelanjutannya :)

Untuk yang sudah kepo banget, bisa loh baca versi Bahasa Inggrisnya, sudah beberapa chapter lebih di depan dibanding versi Indo :D

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status