Di antara pejaman mata, semua hal terasa menyesakkan. Selain pemandangan yang kosong, tubuhnya yang sedang beristirahat dengan nyaman tiba-tiba terasa dingin. Punggung yang dirinya baringkan kini seakan menempel di lautan es. Bulan November baru datang, tapi tempat tidur miliknya tidak pernah sebeku ini di musim dingin. Mungkin ia terlalu banyak berpikir atau memang ranjang tuanya pun berubah menjadi alas lembek dan berair, seolah-olah kini ia berbaring di tanah becek.
"Kenapa sangat dingin?"Gejolak rasa penasaran memaksanya membatalkan tidur lelap untuk membuka mata. Sebelah tangannya mengambil benda yang sangat dingin di bawah kaki. "Salju?" gumamnya tertelan angin. Sekarang ia paham, permukaan lembek yang menjadi alas pembaringan ternyata memang bukan ranjangnya. Entah apakah ini mimpi atau sebenarnya dia sedang berhalusinasi, tapi tempatnya terduduk sekarang adalah dataran salju."Di mana ini?" tanyanya sambil menatap sekeliling.Bulan berwarna jingga kemerahan, langit gelap terhampar menjadi atapnya. Mata Zhura bergulir untuk menelaah situasi. Bukan disebabkan suhu dingin, ia sadar tubuhnya menggigil karena pemandangan yang terhampar. Dalam sepersekian detik, oksigen yang harusnya berlimpah di udara diambil paksa keluar dari paru-parunya. Daya napas gadis beriris zamrud itu seketika melemah ketika satu per satu hal gila di depan tertangkap matanya.Di penjuru dataran salju ini, banyak mayat-mayat dan bagian-bagian tubuh orang berserakan. Beberapa dari mereka masih beranggotakan tubuh lengkap, tapi sisanya hancur seolah dicabik-cabik. Cairan yang keluar dari semua itu membuat warna tempat ini yang harusnya putih menjadi merah. Apa yang terjadi masih menjadi misteri. Namun, bau anyir yang tajam akibat tiupan angin mengatakan bahwa terlalu bodoh untuk menganggap apa yang ada di depannya hanya ilusi. Sembari tertatih, diputuskannya untuk berdiri menyapukan penglihatan ke sekitar."Siapa gadis itu?" tanya Zhura pada udara ketika dia melihat dirinya sendiri terbaring di dekat kakinya.Tubuh sosok itu berlumuran darah, terkulai bak daun layu di tengah musim gugur. Tampak sebelah tangannya menggenggam pedang besar yang tajam. Zhura terkesiap mundur saat cahaya bulan memantul di gelang berbentuk untaian sayap pada tangan kanan sosok di depannya. gelang itu memiliki bentuk yang sangat indah, jelas bukan perhiasan mewah yang mungkin ia miliki.Memilih abai pada gelangnya, atensi Zhura kembali pada wajah familiar tersebut. Sekali pandang saja ia sudah mengenali rupanya yang kini tampak pada gadis yang tak sadarkan diri itu. Namun, Zhura menyadari ada yang berbeda. Gadis asing itu mempunyai rambut perak, berbaju biru lusuh, dan ia sepucat kertas. Jika diperhatikan lagi, kulitnya terlalu pucat untuk takaran standar kesehatan manusia sampai Zhura mengira bahwa gadis itu sudah mati."Sebenarnya siapa dia?" Kecuali dari rambut perak dan kulitnya, melihatnya Zhura seperti sedang bercermin.Tak puas, Zhura kembali melihat ke sekitar. Tubuhnya mengejang ketika ia melihat banyak sosok asing berdiri di tempat dingin itu. Apakah mereka baru datang atau dirinya yang tidak melihat mereka sejak awal, yang jelas mereka semua menatap ke arah Zhura dengan pandangan seragam. Dari arah jam sebelas, gadis berambut merah menatap muram. Ada sorot hancur dan gelap seakan ia menyimpan duka. Pakaian birunya pun robek di sana-sini menampilkan luka di sekujur tubuh.Di samping gadis berambut merah, terlihat eksistensi seorang gadis dengan telinga lancip yang terduduk menutup wajah. Tidak bermaksud menilai fisik, tapi dilihat dari manapun bentuk telinga gadis itu terlalu runcing dan tidak manusiawi. Tubuhnya sama terlukanya dengan gadis merah. Dari bahunya yang bergetar, Zhura rasa gadis bertelinga lancip itu sedang menangis. Bukan hanya mereka, banyak gadis berpakaian biru lain dan sosok berzirah menatapnya dengan raut aneh."Ada apa ini?! Siapa kalian?! Apa yang terjadi?!" Zhura membuka suaranya dengan lantang. Namun, semua orang bertingkah seolah-olah ia tidak terlihat. Gadis delapan belas tahun itu segera menyadari suatu hal. Pandangan orang-orang ternyata mengarah pada gadis berambut perak di depannya.Jadi, sosok gadis yang mati itu adalah sang pemeran utama.Ketika ia kelimpungan mencari penjelasan atas situasi itu, pandangan Zhura jatuh pada pemuda berambut hitam panjang di dekatnya. Sosok itu bersimpuh tak berdaya seolah seluruh energinya dikuras tak tersisa. Tidak mengejutkan bagi Zhura saat ia melihat pemuda itu juga menatap gadis berambut perak. Namun, tidak seperti keruhnya sorot orang lain, tatapan pemuda itu kosong. Begitu kosong hingga Zhura pikir dia hanya patung yang diberi berkah untuk bernapas."Hei, siapa kau? Tempat apa ini? Tolong, jangan mengabaikanku! Ada apa ini?!" tanya Zhura pada pemuda itu yang berakhir menjadi percakapan sepihak.Dengan bibir yang berlumuran darah, laki-laki itu membisu. Jantung Zhura berdebar ketika tubuh pemuda yang terbalut pakaian putih itu tiba-tiba bergetar hebat. Otot lehernya menonjol keluar bersamaan dengan rahang yang mengeras. Iris birunya menggelap terbias air di pelupuk mata. Ada perasaan tidak nyaman saat melihat wajahnya yang tak sanggup menahan tangisan. Ingin rasanya Zhura menggerakkan kaki mendekat, tapi sesuatu menahan langkahnya."Ah!" Jantung Zhura berdenyut tak terkendali ketika pemuda itu membawa tubuh gadis perak yang mati ke dalam pelukan. Tangisannya parau dan berat, seakan-akan hal paling berharga baru saja terenggut paksa darinya. Pandangan Zhura mengabur ketika pikiran gadis itu mulai diserang pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya ia rasakan. Sedih dan takut, perasaan gelap itu menyerangnya kalut. Bagaimana tubuhnya yang merespon adegan di depan dengan sangat tidak wajar membuatnya hilang akal.Dia, sosok bermata biru itu.Melihat pemuda itu bersedih, seluruh diri Zhura sakit. Lalu entah dari mana, sensasi yang panas begitu mendadak mengular di balik punggungnya yang terbalut mantel cokelat. Ia masih berharap ini mimpi, tapi rasa sakitnya menggila. Derita itulah kemudian yang berperan mengalihkannya dari sepasang kekasih di depan. Ia ingin berdiri di sisi pemuda itu, tapi sesuatu membawa tubuhnya yang letih menjauh. Kini datang sebuah ruangan senyap, di mana semua yang ia lihat hanya kegelapan yang pekat. Tidak pemilik mata biru atau gadis berambut perak yang mati, tidak ada siapa pun kecuali dirinya sendiri yang tenggelam ke dalam ke palung kehampaan.Kepingan salju menempel di jendela yang memburam akibat udara dingin. Entah itu bermain atau hanya duduk-duduk santai, angka tujuh derajat celsius tampak tidak mengurangi kebahagiaan anak-anak kecil untuk berada di luar rumah. Gejolak tak tertahan meronta ingin keluar, segera ia tutup hidung dengan tisu saat bersin itu datang. Benar-benar memalukan. Setengah musim baru terlewat, tapi sudah yang kelima kalinya gadis itu demam. Dirinya memang terlahir dengan kondisi yang rentan. Melihat keasyikan anak-anak kecil periang itu, dia merasa jadi butiran nasi kering di pinggiran piring."Kapan kau akan antarkan pesanannya? Hujan salju akan turun, bisa repot kalau terjebak." Seseorang membuka suaranya, memecah lamunan Zhura."Baiklah, aku akan pergi sekarang," ujar gadis itu kemudian memakai mantel, sejujurnya mantel cokelat itu adalah milik ibunya. Selanjutnya ia mengambil kertas dan juga bungkusan roti di atas meja. Kandelir besar yang tergantung di atas bergoyang saat pintu ruangan dibuka.
"Mungkin dia pergi lewat pintu belakang?" Wanita tua itu bisa saja keluar lewat pintu belakang rumahnya. Lalu mengenai suara benda roboh tadi, Zhura pasti salah dengar, buktinya saat berkeliling tidak ada benda yang jatuh di lantai."Sial, lebih baik aku pulang saja." Ia masukan kalung belati biru itu dalam saku celana seraya berjanji akan mengembalikannya pada lain kali.Niat untuk pulang menyeruak, dia pun berjalan keluar. Semuanya berjalan lancar dalam beberapa saat bahkan saat Zhura skeptis bisa tidur nyenyak nanti. Rumah di ujung hutan, nenek dengan penampilan aneh, dan semua kejadian ini sungguh tidak biasa. Baru saja dibahas, hal gila pun terjadi. Lantai ruangan berderit. Pijakannya bergetar, Zhura seperti berdiri di antara gempa bumi. Seolah-olah menjawabnya, goncangan kuat datang. Belum sempat ia mencerna apa yang terjadi, tempatnya berdiri sudah merekah bersamaan dengan kayu-kayunya yang jatuh ke bawah."Akh!" Zhura mengangkat sebelah kaki untuk menyelamatkan diri, tapi terl
"Aaakh! Kenapa ada centaurus?!" tanya gadis itu mengambil langkah mundur."Dasar manusia bodoh! Jangan samakan aku dengan mereka! Aku ini satir!" Dia mengikatkan tali ke tangan Zhura. Gadis itu menelan ludahnya menyadari sekawanan makhuk yang sama ternyata berdiri di sekitar. Tangan mereka menahan gadis-gadis lain, seolah baru saja menangkap kumpulan narapidana yang kabur dari sel. Menatap mereka, kandung kemih Zhura mendadak penuh, jadi selama ini dirinya asik berjalan di sekitar makhluk-makhluk aneh ini. Setelah dipikir-pikir, dihantui arwah penasaran jauh lebih baik."Sekarang waktunya kembali ke tempatmu! Sayang sekali kau menjadi budak mereka, padahal gadis sepertimu pasti laku keras di pasar," ungkap satir itu menatapnya dengan tatapan menjijikkan."Kau pikir aku sayuran?" tanya Zhura gemetar.Karena penasaran, dia memberanikan diri menatap bagian bawah satir di depannya. Seluruh jiwa kerohaniannya bergema melihat pemandangan menjijikkan di sana. Polos sekali Zhura yang menghara
"Paman, lepaskan aku! Kau salah membawa orang! Aku bukan budak!" seru Zhura kepada satir yang bertugas sebagai kusir."Diamlah!" Dia menyahut, lalu kembali menatap ke depan. "Hei, kau bodoh, ya?!" Zhura menghentakkan kaki beberapa kali pada lantai kereta. Peduli setan pada gadis-gadis di sebelahnya yang terganggu, ia akan berusaha keluar dari kereta buluk ini untuk mencari jalan pulang. Fakta bahwa tempat tujuan kereta ini mungkin adalah akhir riwayatnya membuat Zhura semakin gencar minta dilepaskan. "Paman, dengarkan aku! Aku hanya kebetulan lewat di hutan itu dan tidak ada hubungan apapun dengan mereka. Lihatlah, aku bahkan tidak mengenal siapapun di sini!"Seorang gadis asing yang duduk di sampingnya menyela, "Aku juga tidak mengenal siapa pun di sini."Mata Zhura mengerjap. Ia menutup bibir rapat-rapat menahan umpatan yang membahayakan nama baik. Di dalam kereta kini ada sepuluh gadis yang duduk bersamanya. Mereka adalah gadis-gadis yang ditangkap di hutan berkabut perak tadi. Be
"Zhura, sadarlah. Hari sudah malam."Di dalam tidurnya, Zhura merasakan tepukan di bahu seolah pelakunya sedang mencoba membuatnya terbangun. Sejujurnya ia sudah terjaga, tapi dirinya hanya enggan untuk membuka mata. Entah sudah berapa lama Zhura tidak istirahat, tapi tubuhnya benar-benar kelelahan. Diulurkan lengan ke sekitar pembaringan, kernyitan lantas menyusul di kening saat ia tidak menemukan bantal kesayangan."Hei, cepat bangun, Bocah!" teriak sosok lainnya dengan nada marah.Dikibaskan tangannya beberapa kali di udara seraya berkata, "Keluarlah, aku masih mengantuk. Ibu tahu, aku baru bermimpi masuk ke dunia dengan makhluk-makhluk konyol. Di sana aku bertemu dengan paman-paman mesum berkaki kambing yang tidak memakai celana dalam. Memimpikan itu semua membuat tubuhku sangat lelah, rasanya seperti aku baru saja mengikuti kompetisi ninja.""Dia orang gila, ya?" Suara familiar itu terdengar lagi, begitu samar seakan pemiliknya tengah berbisik."Pokoknya aku masih ingin tidur, to
"Aku terjatuh ke dalam lubang yang sangat dalam. Saat tertarik ke bawah kukira aku akan mati, tapi tubuhku justru terbawa ke dunia kalian. Lubang pada rumah kayu itu, mengarahkanku pada hutan tempat kita tertangkap para satir itu. Lalu, aku mencoba berjalan untuk mencari bantuan. Tapi, siapa sangka aku justru dikira bagian dari kalian.""Itu berarti mereka sudah salah tangkap. Dirimu tidak seharusnya berada di sini," kata Inara memperhatikan kalung yang sekarang melingkar di leher Zhura. Lalu, gadis elf itu terlihat menautkan kedua tangannya di depan dada seolah sedang memohon ampun. "Ceritamu sulit untuk dipercaya, tapi aku mengerti. Sejak di hutan, aku sadar auramu terasa berbeda. Aku sempat mengira kau berbohong saat di kereta, ternyata kau memang tidak berasal dari sini. Maafkan aku, Zhura."Udara malam berembus sedikit kencang membuat dinding tenda bergoyang. Tiupannya yang dingin teganya meninggalkan gigil pada tubuh Zhura yang bahkan sudah terbalut mantel. "Aku hanya berharap b
"Tidak ada yang tahu nasib mereka. Ada yang percaya mereka sudah mati terbunuh oleh pemilik Naga Biru, penguasa dataran Hidee. Ada juga yang bilang mereka terjebak di sana.""Kenapa gadis suci harus mencari darah pemilik Naga Biru? Apakah sosok itu adalah orang yang mengutuk dunia?""Itu memang yang kami percayai selama ini. Dialah mengutuk dataran Firmest semenjak ribuan tahun. Membuat kita harus selalu mengorbankan nyawa gadis-gadis, sebelum bulan purnama merah yang akan muncul setiap enam belas musim semi," lanjut Inara.Zhura mengalihkan pandangan pada lentera kecil yang berada tak jauh dari tempatnya terduduk. Redup, itu bergoyang tertiup angin dari sela-sela tenda. "Apa yang akan terjadi jika tidak mengobankan para gadis? Dan tidak perlu mencari darah suci pemilik Naga Biru?" "Kutukannya akan datang, dataran Firmest akan tertimpa nasib buruk. Mulai dari kekeringan, pandemi, dan bencana alam. Aku pernah mendengar ceritanya dari ayahku. Saat itu, kelima kerajaan sepakat untuk men
"Seharusnya Putera Mahkota ada di sana juga, tapi aku tidak yakin dia akan datang. Kupikir, dia adalah orang yang tertutup dan jarang keluar. Sebenarnya ada beberapa alasan juga yang menyebabkan ia sebaiknya tidak banyak pergi bertemu orang lain. Kau tahu? Putera Mahkota itu adalah sosok yang aku ceritakan tadi malam. Yang aku dengar, perangainya pun sangat dingin dan tak berperasaan.""Sosok yang kau ceritakan semalam?" Sejujurnya Zhura tidak ingat."Mereka mulai membaca mantra!" Seorang gadis berambut cokelat yang berdiri di baris paling depan tiba-tiba berseru. Zhura lantas mengedarkan pandangan, mengolah situasi. Para gadis dari kalangan biasa terlihat panik, sementara gadis-gadis bangsawan mulai mempersiapkan senjata. Yang Zhura lakukan hanya melongo karena yang ia punya hanya peniti di baju yang kebesaran. Sekarang ia bahkan tidak memegang apapun selain doa-doa yang terus dipanjatkan. Zhura berusaha tenang tapi rasa panik terus menggelayut ketika pria dengan jubah biru gelap mul