Share

Rumput Kering

"Aku terjatuh ke dalam lubang yang sangat dalam. Saat tertarik ke bawah kukira aku akan mati, tapi tubuhku justru terbawa ke dunia kalian. Lubang pada rumah kayu itu, mengarahkanku pada hutan tempat kita tertangkap para satir itu. Lalu, aku mencoba berjalan untuk mencari bantuan. Tapi, siapa sangka aku justru dikira bagian dari kalian."

"Itu berarti mereka sudah salah tangkap. Dirimu tidak seharusnya berada di sini," kata Inara memperhatikan kalung yang sekarang melingkar di leher Zhura. Lalu, gadis elf itu terlihat menautkan kedua tangannya di depan dada seolah sedang memohon ampun. "Ceritamu sulit untuk dipercaya, tapi aku mengerti. Sejak di hutan, aku sadar auramu terasa berbeda. Aku sempat mengira kau berbohong saat di kereta, ternyata kau memang tidak berasal dari sini. Maafkan aku, Zhura."

Udara malam berembus sedikit kencang membuat dinding tenda bergoyang. Tiupannya yang dingin teganya meninggalkan gigil pada tubuh Zhura yang bahkan sudah terbalut mantel. "Aku hanya berharap bisa menemukan jalan pulang."

Valea tampak mematung di tempatnya, sepertinya sibuk mencerna kisah yang baru saja diceritakan. "Jujur saja ceritamu akan lebih mudah dipercaya kalau kau itu roh terkutuk yang turun ke dunia ini untuk mengganggu warga."

"Setelah menghinaku bocah, sekarang aku dibilang roh terkutuk. Kau ini punya dendam apa padaku?" Zhura menoleh lurus sembari menunjukkan wajah sinis.

"Apa menurutmu semua kejadian yang kau alami ada sangkut pautnya dengan kalung itu? Maksudku, sesuatu pasti terjadi karena ada alasan, 'kan?" Tidak menggubris protes itu, Valea hanya menampilkan raut ketidakpedulian.

"Kau benar." Perlu Zhura periksa lagi, tapi sepertinya ini pertama kalinya gadis berambut merah itu akhirnya berkata logis. Bayangan wajah ibunya terlintas. Pikiran Zhura seketika terbayang aktivitas apa yang kira-kira sedang dia lakukan di rumah mereka. "Tapi aku tidak tahu. Yang bisa kulakukan hanya menjaga kalung ini untuk mencari petunjuk karena ada orang yang menunggu kepulanganku."

"Seandainya aku bisa membantumu, aku sendiri bahkan tidak yakin apa yang mungkin terjadi ke depan," lirih Inara tampak murung. Valea yang menyadari kesedihan gadis di sampingnya tampak mencebikkan bibir.

Melihat reaksi mereka berdua, rasa gundah Zhura datang. Kilasan saat satir yang menangkap mereka di hutan berkata bahwa Zhura dan para gadis akan mati jujur saja terdengar menakutkan. Ia membuka suara memulai kembali percakapan. "Inara, kau tadi bilang soal gadis pengorbanan. Anggap saja aku sudah termasuk di dalamnya, jadi siapa sebenarnya kita? Kenapa satir yang waktu itu mengatakan kalau para gadis akan mati?"

Untuk pertama kalinya oniks Inara menatap dengan begitu gelap. Senyuman hangat yang selalu ia kembangkan entah ke mana perginya. "Gadis pengorbanan adalah seratus gadis yang terpilih untuk dikorbankan dalam ritual pengorbanan. Sebuah ritual yang dilakukan demi mencegah roh-roh jahat bangkit sebelum bulan purnama merah muncul setiap enam belas tahun," jelasnya dengan suara bergetar.

Udara di tenda tiba-tiba terasa panas, beberapa saat waktu berjalan seakan ada tungku di bawah karpet. Auranya yang membakar itu membuat kulit Zhura mati rasa. Sekujur tubuhnya pun berhenti bekerja di saat akalnya berperang melawan insting. "Jadi, aku dan kalian ... kita semua akan mati? Tapi, kenapa harus kita? Kenapa para gadis harus dikorbankan...-" Ucapan Zhura terhenti karena sebuah genggaman dingin hinggap di tangan.

"Maaf, jika aku harus mengatakannya, Zhura. Ini mungkin terdengar seperti bencana dan tidak ada satu pun cara menanggulanginya. Lebih daripada apapun, tidak ada yang membuatku menyesal selain harus mengatakan kalau kau ada di dunia, di mana nyawa seorang gadis hanya setara dengan sejumput rumput kering."

Seperti berada di gurun putih seluas mata memandang, hawa panas yang sejak tadi melingkupi mulai terasa mematikan. Kegersangan datang di antara kegelisahan pikiran, dia menyeret Zhura masuk pada puncak manifestasi pertahanan diri yang disebut ketakutan. Suara Inara sejujurnya sangat halus, tapi zamrud Zhura melihat kesedihan di dalamnya. Ia coba menangkal berbagai hal yang mulai terbayang di kepala dengan mengumbar senyum.

"Rumput kering?"

Tak peduli seberapa keras Inara mencoba memulihkan rautnya, gambaran gelap pada hati gadis elf itu tetap terpampang. "Zhura, kau berada di dunia di mana nyawa seorang gadis hanya setara dengan rumput kering. Tentu saja itu hanya perumpamaan. Setiap kepala keluarga di Silvermist, wajib mengirimkan anak gadisnya yang terpilih untuk ritual pengorbanan. Kebanyakan para gadis-gadis akan dilatih sejak kecil untuk kemudian dikirim. Jadi, setiap seorang anak perempuan terlahir, maka yang ada di tangannya bukanlah boneka melainkan pedang dan busur panah."

"Kenapa kita harus dikorbankan?" Rasa aman mungkin belum berlaku di tempat ini karena semua yang Zhura lihat hanya hal mendebarkan.

"Gadis-gadis sengaja dikorbankan sejak ribuan tahun lalu, dalam upaya pencegahan roh jahat bangkit dan juga datangnya kutukan yang akan menyerang dataran ini," jawab Inara bergetar. Valea hanya bergeming di sisinya, sepertinya dia terlalu muak dengan cerita ini. Kerutan hinggap di kening, diri Zhura merasa belum menangkap inti dari perkataan Inara.

Gadis itu menelan ludah, ia berharap bisa minum banyak air lagi. "Apakah keluarga mereka bersedia anak gadis mereka dikorbankan begitu saja?"

Inara menggeleng, telinga lancipnya turun. "Rumput kering selalu dibuang agar rumput yang lain tidak ikut mati. Tidak pernah ada pilihan dalam kehidupan seorang gadis. Apalagi jika kita berasal dari kalangan yang lebih rendah. Para keluarga miskin yang tidak mau menuruti perintah dengan mempertahankan anak mereka akan dihukum. Sementara bagi keluarga yang kaya, mereka akan mengirim budak mereka sebagai gadis pengorbanan. Kebanyakan dari kelompok ini memang terisi oleh budak, tapi tidak sedikit juga yang merupakan masyarakat biasa sepertiku dan Valea. Kami terpilih dan tidak mempunyai pilihan untuk tidak patuh."

"Pada akhirnya sama saja, kita tetap menjadi pesuruh karena menuruti perintah," sahut Valea.

Kepala Zhura pening mendapati puluhan gagasan melewati pikiran. "Kau bilang ritual ini sudah dilakukan sejak ribuan tahun, apa itu tidak berdampak pada populasi para gadis di dunia ini?"

"Kau benar. Awalnya hanya para gadis di Silvermist yang harus ikut dalam ritual pengorbanan. Namun, seiring menipisnya jumlah gadis-gadis di sini, membuat kerajaan harus mengambil gadis dari dataran lain. Valea adalah salah satu gadis yang berasal dari dataran lain."

Mendengar penjelasan panjang itu Zhura terpaku, ia terlihat tidak habis pikir dengan kehidupan para gadis di dunia ini yang mengerikan. Mereka tidak diberi hak untuk hidup layaknya hakikat seorang wanita. Ia menatap benda yang sebelumnya Valea lempar, sebuah pakaian bewarna putih dengan tulisan di bagian punggung. Bentuk tulisannya seperti kanji tetapi berbeda, Zhura tidak bisa membacanya. Ia kira ini adalah pakaian yang akan digunakan dalam ritual mengerikan itu.

"Apa yang akan terjadi dalam ritual itu?" tanya Zhura kembali mengangkat pandangan.

"Aku tidak tahu, tidak ada yang tahu." Inara menggeleng pasrah. Lanjutnya, "Yang kutahu ritual pengorbanan berarti memakan nyawa."

Zhura ingin lari, ke mana pun asalkan ia bisa terbebas dari ritual itu. "Menurutmu, adakah peluang untuk tetap hidup?"

Valea tiba-tiba berdecak, kedua kakinya menghentak ke tikar seakan dilanda emosi. "Aku ragu itu disebut selamat, karena jika kau bisa bertahan hidup dari ritual busuk ini, maka kau akan langsung menjadi gadis suci. Sementara menjadi gadis suci, berarti kau akan mati. Bukankah pada akhirnya sama saja yaitu mati?"

"Benar kata Valea. Seandainya di antara kita ada yang bertahan hidup, kita akan langsung menjadi bagian dari kelompok gadis suci. Kelompok pencari darah Naga Biru. Jika kau berada dalam kelompok itu, maka satu-satunya hal yang harus kau lakukan adalah bertarung atau mati."

Meremas pakaian putih yang digenggam, Zhura merasa frustasi merembas ke sela-sela jarinya. Jadi bukan hanya dikorbankan dalam ritual aneh, jika selamat ia juga masih harus bertarung melawan monster. "Haruskah aku mati? Ritual pengorbanan dan kelompok gadis suci sama-sama membunuhku? Tapi, aku belum ingin mati."

Hening, kedua gadis itu bergeming.

Zhura tidak tahu apa yang mereka pikirkan, tapi mereka bertatap-tatapan dengan raut keruh. Ia membuka bibir hendak bertanya saat Valea terlebih dahulu berujar, "Sebenarnya ada satu jalan keluar. Kau bisa dinyatakan sebagai gadis bebas jika kau berhasil selamat dari pencarian darah suci itu. Hanya saja peluangmu hampir nol persen, dengan kata lain selamat itu mustahil. Kau tidak tahu seberapa besar risiko yang akan kau dapat saat menjalankan tugasnya. Para gadis suci akan melakukan perjalanan ke dataran Hidee yang terletak di utara Firmest."

"Memangnya kenapa dengan tempat itu?" Zhura membenarkan posisi duduk menghadap Valea.

Embusan napas lelahnya terdengar. "Saat waktunya tiba, para gadis suci akan dikirim ke tempat pemilik Naga Biru. Sama seperti ritual pengobanan, pencarian darah suci pun sudah dilakukan selama ribuan tahun. Namun, sampai sekarang tidak ada satu pun dari gadis suci terdahulu yang kembali dari dataran itu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status