Share

Sillvermist

"Paman, lepaskan aku! Kau salah membawa orang! Aku bukan budak!" seru Zhura kepada satir yang bertugas sebagai kusir.

"Diamlah!" Dia menyahut, lalu kembali menatap ke depan.

"Hei, kau bodoh, ya?!" Zhura menghentakkan kaki beberapa kali pada lantai kereta. Peduli setan pada gadis-gadis di sebelahnya yang terganggu, ia akan berusaha keluar dari kereta buluk ini untuk mencari jalan pulang. Fakta bahwa tempat tujuan kereta ini mungkin adalah akhir riwayatnya membuat Zhura semakin gencar minta dilepaskan. "Paman, dengarkan aku! Aku hanya kebetulan lewat di hutan itu dan tidak ada hubungan apapun dengan mereka. Lihatlah, aku bahkan tidak mengenal siapapun di sini!"

Seorang gadis asing yang duduk di sampingnya menyela, "Aku juga tidak mengenal siapa pun di sini."

Mata Zhura mengerjap. Ia menutup bibir rapat-rapat menahan umpatan yang membahayakan nama baik. Di dalam kereta kini ada sepuluh gadis yang duduk bersamanya. Mereka adalah gadis-gadis yang ditangkap di hutan berkabut perak tadi. Beberapa dari mereka duduk tenang tanpa adanya ikatan, pikir Zhura mereka adalah kelompok yang pasrah dan memilih ikut dengan sukarela. Namun, tidak sedikit juga yang diikat dengan tali bau sepertinya, sebut mereka si pemberontak.

"Paman, tolong lepaskan aku! Hentikan keretanya, aku harus keluar dari sini! Minta data gadis-gadis yang harus kalian tangkap dan pastikan sendiri aku tidak termasuk di sana!" seru Zhura masih tidak menyerah.

"Diamlah, Bocah! Suara jelekmu itu mengganggu!" Sahutan ketus terdengar dari seorang gadis.

Zhura lekas menoleh ke sumber suara, seorang gadis berambut merah duduk di sisi lain kereta kini menatapnya sinis. Tubuh gadis berambut merah itu diikat dengan tali yang sama dengan yang talinya. Mendecakkan lidah, emosi Zhura kembali datang. "Berani-beraninya kau menghinaku bocah! Umurku sudah sembilan belas tahun dan dua bulan lagi menjadi dua puluh! Kau tentu tahu, aku tidak bisa disebut bocah lagi! Aku ini sudah dewasa!"

"Gila."

Karena posisi duduknya yang berada di bagian gelap, membuat Zhu dapat melihat gerakan bibir gadis merah itu. Andai tubuhnya tidak diikat, sudah ia cekik leher gadis merah hingga menjadi sebesar timun. Kenyataan dalam hidup adalah selalu ada orang yang mempunyai sifat berlawanan dengan diri sendiri, hanya saja tidak Zhura kira akan bertemu sosok semenyebalkan dia. Melihat muka lawan bicaranya yang kesal, gadis berambut merah itu menoleh dengan raut tak berdosa.

"Apa? Aku hanya bicara sendiri," ujarnya tersenyum meledek.

Zhura berdecak. Bahkan dalam kondisinya sekarang, ia masih bisa menunjukkan bakatnya dalam seni peran. "Mana mungkin kau mengucapkannya untuk dirimu sendiri! Aku tahu kau pasti menyindirku. Sebagai sesama gadis kau harusnya punya sopan santun dalam ... uhuk!" Sialnya aksi sok kerennya harus terhalangi gatalnya tenggorokan yang meradang. Jika diingat- ingat, memang belum ada makanan atau minuman yang melewati pencernaan semenjak masuk ke dunia aneh ini. Ia coba meredakan rasa tidak nyamannya dengan berdehem. Ketika ia sibuk mendalami peran sebagai orang sakit-sakitan, sudut mata menyadari gadis yang duduk di depan ternyata memperhatikan gerak-gerik konyolnya sambil tersenyum.

Ia yang mempunyai urat malu cepat-cepat menundukkan pandangan. Pada saat itu juga, sebuah tawa renyah terdengar sangat lembut seolah dilantunkan oleh bidadari surga. Terlihat gadis yang menatap Zhura tadi, dia pemilik suara tawanya. Berbeda dengan si gadis merah, tawa gadis di depan terdengar tidak dibuat-buat dan berasal dari sisi kejenakaan terdalam. "Anu...-" Zhura membuka suara, tapi terhenti saat gadis di depan menyodorkan sesuatu tepat ke wajahnya.

"Aku mempunyai sedikit air, kau mau?" tanyanya ramah.

Tenggorokannya yang terlalu kering, memaksa Zhura untuk mengangguk sebagai respon untuknya. Gadis itu tertawa sekali lagi, lalu berbaik hati membukakan tutup botol airnya. Zhura lantas menerima botol itu dengan hati-hati karena kedua tangan masih terikat. Ia gunakan kedua telapak tangan untuk mengapit botol tersebut dan meneguknya perlahan. Jika diperhatikan, ini lebih mirip wadah kecil yang ternyata dibuat dari bambu, tapi masa bodoh pada bentuknya karena ia hanya memikirkan isinya. Satu teguk, dua teguk, tiga teguk, ia tidak sadar sudah meneguknya hingga air dalam botol itu tandas.

Tenggorokan Zhura seperti mengalami musim kemarau, lalu tiba-tiba hujan deras datang membawa kesejukan. Airnya pun terasa menyegarkan. Saking puasnya minum, sendawa bahkan ikut keluar dari mulut. Beberapa di antara mereka secara gamblang menunjukkan raut terganggu, sementara sisanya memilih berbisik-bisik menggunjing. Zhura sama sekali tidak peduli, lagipula mereka orang asing.

"Terima kasih banyak." Zhura mengembalikan botolnya pada gadis di depan.

"Sama-sama." Dia menerima botolnya. Beberapa saat berlalu, suasana di dalam kereta menjadi tenang. Tak ingin membuang waktu, Zhura pun memperhatikan setiap jengkal tali yang melilitnya. Dalam kepalanya mulai memikirkan kiat-kiat melarikan diri yang baik dan benar.

"Namaku Inara," ujar gadis pemberi air.

"Eh?" Zhura mendongak, tujukan pandangan lebar.

"Namaku Inara, kalau boleh tahu siapa namamu?" Suaranya begitu halus, hingga membuat Zhura terperangah.

Jawabnya pun terbata, "Z-Zhura ... namaku Zhura."

"Zhura. Itu nama yang indah. Terdengar seperti warna," ujar gadis bernama Inara itu memperbaiki posisi duduknya. Zhura kira mereka sudah akan mengakhiri obrolan, tapi Inara ternyata sangat antusias untuk melanjutkan percakapan. "Maaf jika ini menyinggung, tapi kenapa penampilanmu terlihat berbeda dari kami semua? Maksudku, pakaian itu."

Diliriknya dengan cermat satu per satu gadis di dalam kereta. Ia naikkan pandangan hanya untuk kebanjiran heran. Keningnya mengernyit tajam saat menerka apa sebenarnya jenis pakaian yang gadis-gadis itu kenakan. Modelnya mengingatkan Zhura dengan pakaian khas penduduk kerajaan pada opera-opera yang biasa ia tonton bersama ibu di alun-alun kota. Begitu alami dan tradisional seakan tertinggal ratusan tahun dari mode pakaian yang berkembang sekarang.

Menyadari sedang diperhatikan, para gadis itu pun melihat ke arah Zhura. Tak ingin berlama-lama melangsungkan kontak mata, ia turut menatap penampilannya sendiri dan tersadar jika ia memang berbeda di antara mereka semua. Mantel cokelat, celana denim lusuh, dan sepatu bot putih yang kini sudah berubah menjadi cokelat. Suatu perasaan malu entah bagaimana datang padahal tidak ada yang salah dengan setelannya. Rasa risih pun membuncah saat mata mereka lekat memperhatikan setiap jengkal atas kepala sampai kaki Zhura seakan baru melihatnya untuk pertama kali.

Ia sadari Inara menatap sepatu botnya dengan raut penasaran, "Apakah kau sungguh bukan bagian dari kami? Kau tidak berasal dari Silvermist? Apa kau berasal dari dataran lain?" tanyanya.

"Sil  ... apa?" Seingat Zhura tidak ada nama wilayah itu di buku sejarah. Namun, saat ia bertanya, suara gelak tawa justru terdengar dari para gadis dalam kereta. Inara tidak ikut tertawa, ia justru menampilkan raut seperti orang kebingugan, "Zhura, kau sungguh tidak tahu? Sekarang kita berada di wilayah Silvermist, salah satu kerajaan terbesar di Dataran Firmest. Lihatlah, kita tengah melewati jalanan pasar."

"Pasar?" Zhura menyingkap tirai di belakang dengan menggunakan dagu. Cahaya matahari siang yang masuk lewat kacanya seketika membuat silau. Ia mengerjapkan mata untuk membiasakan diri dengan pencahayaan. Butuh beberapa detik sebelum iris hijaunya kembali melihat dengan baik, hanya untuk melebar saat melihat pemandangan yang tersaji di luar kereta mereka. Seekor minotaur tengah membeli sesuatu pada satir penjual larutan yang ia kira adalah ramuan. Matanya beralih ke sekitarnya, ada seekor centaurus berbadan gemuk tengah melihat-lihat koleksi batu dari seorang penjual bertelinga lancip. Di pasar yang mereka lalui ini, jalanan sesak dengan sosok-sosok asing yang biasanya ia temukan di cerita-cerita dongeng anak kecil.

Jika jalan yang dipenuhi makhluk-makhluk aneh itu adalah tempat yang dimaksud Inara, maka lebih baik Zhura tidak perlu melihatnya. Air yang diberikan oleh gadis itu pun rasanya sia-sia karena kekeringan kembali menghampiri tenggorokannya. Diedarkan pandangan ke pasar di mana bangunan-bangunan dibuat dengan arsitektur yang asing. Jadi benar, ini bukan mimpi, ia benar-benar sudah tersesat di dunia lain.

Zhura memperbaiki posisi duduknya, diam-diam menyembunyikan raut terkejut. "Jadi Inara, mereka semua itu bukan manusia?"

Inara yang sibuk memperhatikan keadaan ramai pasar dari jendela di belakangnya, kini menoleh kembali. Melalui jendela itu, cahaya matahari menyinari sisi wajah Inara, yang langsung membuat Zhura sadar suatu keanehan pada sosoknya. Belum sempat Zhura membuka suara untuk mengutarakan keheranan, Inara sudah lebih dulu menatapnya dengan senyum manisnya.

"Kau tahu, Zhura? Kenyataannya di kereta ini hanya kau dan Valea yang merupakan seorang manusia."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status