Share

Sillvermist

last update Last Updated: 2022-08-07 15:56:43

"Paman, lepaskan aku! Kau salah membawa orang! Aku bukan budak!" seru Zhura kepada satir yang bertugas sebagai kusir.

"Diamlah!" Dia menyahut, lalu kembali menatap ke depan.

"Hei, kau bodoh, ya?!" Zhura menghentakkan kaki beberapa kali pada lantai kereta. Peduli setan pada gadis-gadis di sebelahnya yang terganggu, ia akan berusaha keluar dari kereta buluk ini untuk mencari jalan pulang. Fakta bahwa tempat tujuan kereta ini mungkin adalah akhir riwayatnya membuat Zhura semakin gencar minta dilepaskan. "Paman, dengarkan aku! Aku hanya kebetulan lewat di hutan itu dan tidak ada hubungan apapun dengan mereka. Lihatlah, aku bahkan tidak mengenal siapapun di sini!"

Seorang gadis asing yang duduk di sampingnya menyela, "Aku juga tidak mengenal siapa pun di sini."

Mata Zhura mengerjap. Ia menutup bibir rapat-rapat menahan umpatan yang membahayakan nama baik. Di dalam kereta kini ada sepuluh gadis yang duduk bersamanya. Mereka adalah gadis-gadis yang ditangkap di hutan berkabut perak tadi. Beberapa dari mereka duduk tenang tanpa adanya ikatan, pikir Zhura mereka adalah kelompok yang pasrah dan memilih ikut dengan sukarela. Namun, tidak sedikit juga yang diikat dengan tali bau sepertinya, sebut mereka si pemberontak.

"Paman, tolong lepaskan aku! Hentikan keretanya, aku harus keluar dari sini! Minta data gadis-gadis yang harus kalian tangkap dan pastikan sendiri aku tidak termasuk di sana!" seru Zhura masih tidak menyerah.

"Diamlah, Bocah! Suara jelekmu itu mengganggu!" Sahutan ketus terdengar dari seorang gadis.

Zhura lekas menoleh ke sumber suara, seorang gadis berambut merah duduk di sisi lain kereta kini menatapnya sinis. Tubuh gadis berambut merah itu diikat dengan tali yang sama dengan yang talinya. Mendecakkan lidah, emosi Zhura kembali datang. "Berani-beraninya kau menghinaku bocah! Umurku sudah sembilan belas tahun dan dua bulan lagi menjadi dua puluh! Kau tentu tahu, aku tidak bisa disebut bocah lagi! Aku ini sudah dewasa!"

"Gila."

Karena posisi duduknya yang berada di bagian gelap, membuat Zhu dapat melihat gerakan bibir gadis merah itu. Andai tubuhnya tidak diikat, sudah ia cekik leher gadis merah hingga menjadi sebesar timun. Kenyataan dalam hidup adalah selalu ada orang yang mempunyai sifat berlawanan dengan diri sendiri, hanya saja tidak Zhura kira akan bertemu sosok semenyebalkan dia. Melihat muka lawan bicaranya yang kesal, gadis berambut merah itu menoleh dengan raut tak berdosa.

"Apa? Aku hanya bicara sendiri," ujarnya tersenyum meledek.

Zhura berdecak. Bahkan dalam kondisinya sekarang, ia masih bisa menunjukkan bakatnya dalam seni peran. "Mana mungkin kau mengucapkannya untuk dirimu sendiri! Aku tahu kau pasti menyindirku. Sebagai sesama gadis kau harusnya punya sopan santun dalam ... uhuk!" Sialnya aksi sok kerennya harus terhalangi gatalnya tenggorokan yang meradang. Jika diingat- ingat, memang belum ada makanan atau minuman yang melewati pencernaan semenjak masuk ke dunia aneh ini. Ia coba meredakan rasa tidak nyamannya dengan berdehem. Ketika ia sibuk mendalami peran sebagai orang sakit-sakitan, sudut mata menyadari gadis yang duduk di depan ternyata memperhatikan gerak-gerik konyolnya sambil tersenyum.

Ia yang mempunyai urat malu cepat-cepat menundukkan pandangan. Pada saat itu juga, sebuah tawa renyah terdengar sangat lembut seolah dilantunkan oleh bidadari surga. Terlihat gadis yang menatap Zhura tadi, dia pemilik suara tawanya. Berbeda dengan si gadis merah, tawa gadis di depan terdengar tidak dibuat-buat dan berasal dari sisi kejenakaan terdalam. "Anu...-" Zhura membuka suara, tapi terhenti saat gadis di depan menyodorkan sesuatu tepat ke wajahnya.

"Aku mempunyai sedikit air, kau mau?" tanyanya ramah.

Tenggorokannya yang terlalu kering, memaksa Zhura untuk mengangguk sebagai respon untuknya. Gadis itu tertawa sekali lagi, lalu berbaik hati membukakan tutup botol airnya. Zhura lantas menerima botol itu dengan hati-hati karena kedua tangan masih terikat. Ia gunakan kedua telapak tangan untuk mengapit botol tersebut dan meneguknya perlahan. Jika diperhatikan, ini lebih mirip wadah kecil yang ternyata dibuat dari bambu, tapi masa bodoh pada bentuknya karena ia hanya memikirkan isinya. Satu teguk, dua teguk, tiga teguk, ia tidak sadar sudah meneguknya hingga air dalam botol itu tandas.

Tenggorokan Zhura seperti mengalami musim kemarau, lalu tiba-tiba hujan deras datang membawa kesejukan. Airnya pun terasa menyegarkan. Saking puasnya minum, sendawa bahkan ikut keluar dari mulut. Beberapa di antara mereka secara gamblang menunjukkan raut terganggu, sementara sisanya memilih berbisik-bisik menggunjing. Zhura sama sekali tidak peduli, lagipula mereka orang asing.

"Terima kasih banyak." Zhura mengembalikan botolnya pada gadis di depan.

"Sama-sama." Dia menerima botolnya. Beberapa saat berlalu, suasana di dalam kereta menjadi tenang. Tak ingin membuang waktu, Zhura pun memperhatikan setiap jengkal tali yang melilitnya. Dalam kepalanya mulai memikirkan kiat-kiat melarikan diri yang baik dan benar.

"Namaku Inara," ujar gadis pemberi air.

"Eh?" Zhura mendongak, tujukan pandangan lebar.

"Namaku Inara, kalau boleh tahu siapa namamu?" Suaranya begitu halus, hingga membuat Zhura terperangah.

Jawabnya pun terbata, "Z-Zhura ... namaku Zhura."

"Zhura. Itu nama yang indah. Terdengar seperti warna," ujar gadis bernama Inara itu memperbaiki posisi duduknya. Zhura kira mereka sudah akan mengakhiri obrolan, tapi Inara ternyata sangat antusias untuk melanjutkan percakapan. "Maaf jika ini menyinggung, tapi kenapa penampilanmu terlihat berbeda dari kami semua? Maksudku, pakaian itu."

Diliriknya dengan cermat satu per satu gadis di dalam kereta. Ia naikkan pandangan hanya untuk kebanjiran heran. Keningnya mengernyit tajam saat menerka apa sebenarnya jenis pakaian yang gadis-gadis itu kenakan. Modelnya mengingatkan Zhura dengan pakaian khas penduduk kerajaan pada opera-opera yang biasa ia tonton bersama ibu di alun-alun kota. Begitu alami dan tradisional seakan tertinggal ratusan tahun dari mode pakaian yang berkembang sekarang.

Menyadari sedang diperhatikan, para gadis itu pun melihat ke arah Zhura. Tak ingin berlama-lama melangsungkan kontak mata, ia turut menatap penampilannya sendiri dan tersadar jika ia memang berbeda di antara mereka semua. Mantel cokelat, celana denim lusuh, dan sepatu bot putih yang kini sudah berubah menjadi cokelat. Suatu perasaan malu entah bagaimana datang padahal tidak ada yang salah dengan setelannya. Rasa risih pun membuncah saat mata mereka lekat memperhatikan setiap jengkal atas kepala sampai kaki Zhura seakan baru melihatnya untuk pertama kali.

Ia sadari Inara menatap sepatu botnya dengan raut penasaran, "Apakah kau sungguh bukan bagian dari kami? Kau tidak berasal dari Silvermist? Apa kau berasal dari dataran lain?" tanyanya.

"Sil  ... apa?" Seingat Zhura tidak ada nama wilayah itu di buku sejarah. Namun, saat ia bertanya, suara gelak tawa justru terdengar dari para gadis dalam kereta. Inara tidak ikut tertawa, ia justru menampilkan raut seperti orang kebingugan, "Zhura, kau sungguh tidak tahu? Sekarang kita berada di wilayah Silvermist, salah satu kerajaan terbesar di Dataran Firmest. Lihatlah, kita tengah melewati jalanan pasar."

"Pasar?" Zhura menyingkap tirai di belakang dengan menggunakan dagu. Cahaya matahari siang yang masuk lewat kacanya seketika membuat silau. Ia mengerjapkan mata untuk membiasakan diri dengan pencahayaan. Butuh beberapa detik sebelum iris hijaunya kembali melihat dengan baik, hanya untuk melebar saat melihat pemandangan yang tersaji di luar kereta mereka. Seekor minotaur tengah membeli sesuatu pada satir penjual larutan yang ia kira adalah ramuan. Matanya beralih ke sekitarnya, ada seekor centaurus berbadan gemuk tengah melihat-lihat koleksi batu dari seorang penjual bertelinga lancip. Di pasar yang mereka lalui ini, jalanan sesak dengan sosok-sosok asing yang biasanya ia temukan di cerita-cerita dongeng anak kecil.

Jika jalan yang dipenuhi makhluk-makhluk aneh itu adalah tempat yang dimaksud Inara, maka lebih baik Zhura tidak perlu melihatnya. Air yang diberikan oleh gadis itu pun rasanya sia-sia karena kekeringan kembali menghampiri tenggorokannya. Diedarkan pandangan ke pasar di mana bangunan-bangunan dibuat dengan arsitektur yang asing. Jadi benar, ini bukan mimpi, ia benar-benar sudah tersesat di dunia lain.

Zhura memperbaiki posisi duduknya, diam-diam menyembunyikan raut terkejut. "Jadi Inara, mereka semua itu bukan manusia?"

Inara yang sibuk memperhatikan keadaan ramai pasar dari jendela di belakangnya, kini menoleh kembali. Melalui jendela itu, cahaya matahari menyinari sisi wajah Inara, yang langsung membuat Zhura sadar suatu keanehan pada sosoknya. Belum sempat Zhura membuka suara untuk mengutarakan keheranan, Inara sudah lebih dulu menatapnya dengan senyum manisnya.

"Kau tahu, Zhura? Kenyataannya di kereta ini hanya kau dan Valea yang merupakan seorang manusia."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Cursed Journey Of Zhura   Kasih Tanpa Batas Waktu

    Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu

  • The Cursed Journey Of Zhura   Geletar Jiwa

    Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d

  • The Cursed Journey Of Zhura   Segenggam Hati

    Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d

  • The Cursed Journey Of Zhura   Firasat

    Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh

  • The Cursed Journey Of Zhura   Kepergian

    "Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol

  • The Cursed Journey Of Zhura   Perpisahan

    Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status