Share

5. Ternyata Itu Adalah Kamu

Hari berikutnya. Seusai kelas pertama di kampusku berakhir, aku bergegas pergi menuju ke kantin untuk mengisi perut. Peristiwa semalam membuatku sulit untuk melelapkan diri, dan kesibukan ibuku membuatnya lupa membangunkanku. Akibatnya, aku harus bangun kesiangan yang membuatku berangkat ke kampus dengan tergesa-gesa dan tak sempat melakukan sarapan.

Begitu tiba di kantin, aku memilih duduk di bangku paling pojok setelah memesan menu kesukaanku. Seperti biasa pula, semua penghuni kampus ini tak pernah menganggapku ada, dan tak ada yang mau mendekatiku, kecuali siluman bayi berkepala dan berekor rubah dengan pakaian yang compang-camping. Makhluk itu biasa bermain-main dengan bergelantungan dan menarik-narik kain belakang bajuku. Selain makhluk itu, tidak akan ada yang peduli padaku. Bahkan pelayan kantin pun sering kali jika aku telah memesan makanan, karena memang dia tidak pernah mengingatku. Padahal aku tidak pernah alpa menduduki bangku pojok di kantin ini. Tapi di kampus ini, tidak ada yang memiliki kehidupan yang lebih sunyi dariku.

Ketika aku duduk di bangku kantin sambil menikmati jus jeruk di tanganku, telingaku tak sengaja mendengar beberapa siswa di sekitarku tengah membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa yang dituturkan Ibu kemarin malam.

“Apa kalian tahu? Beberapa bulan terakhir ini, Rumah Sakit Impian Keluarga telah beberapa kali kehilangan bayi.”

“Ouw, tentang itu. Ada yang mengatakan bayi-bayi itu dicuri makhluk aneh.”

“Vampir kali yah? Vampir suka menghisap darah, benar kan? Dia telah membawa bayi itu ke sesuatu tempat, lalu vampir itu menghisap darahnya.”

“Lebih masuk akal kalau yang mencuri bayi itu adalah leak. Soalnya, kalau vampir kan dia tidak perlu mencuri bayi, sedangkan leak kan memang suka memakan bayi manusia.”

“Benar juga sih.”

Begitulah manusia, mereka hanya bisa berasumsi. Terlalu banyak hal yang terjadi, tetapi mereka tidak bisa memastikan kebenarannya.

Setelah lebih dari lima menit aku telah duduk dengan mantap di kantin, tiba-tiba seorang gadis melambaikan tangannya di belakang tubuhku seperti memukul angin.

Beberapa detik setelah siluman kecil senyap di belakangku, gadis itu memecahkan keheningan yang terlalu lekat pada diriku, “Apakah kamu sudah memesan makanan?” lalu gadis itu duduk di sebelah kananku.

Aku tidak tahu siapa itu, aku tidak berniat menoleh ke arahnya. Sepertinya, gadis yang sok kenal itu teman sekelasku, karena siapa lagi yang akan menyapa kalau bukan teman kelasku. Entah ini sebuah keberuntungan atau malah sebuah masalah baru dalam hidupku. Yang jelas, dia adalah gadis pertama yang menegurku di kampus ini.

“Sudah, tapi paman kantin kemungkinan sudah lupa.”

“Kenapa bisa begitu?” kata gadis itu sambil menoleh ke tempat pemesanan. “Oh, hmm… nama kamu siapa?” tanya gadis itu.

“Nando,” jawabku.

“Aku baru tahu kamu juga kuliah di kampus ini.”

Kata-katanya membuatku merasa sedikit penasaran siapa dia. Namun, ketika menoleh, aku agak terkejut melihat gadis yang kini tengah duduk di sebelahku.

“Aku berpikir kalau kamu sebenarnya mengidap Avoident Personality Discover,” gadis itu menyadarkanku dari perangah yang baru saja kualami.

“Apa maksud kamu?” tanyaku.

Gadis itu menjelaskan, “Gangguan kepribadian, di mana penderitanya menghindari interaksi sosial karena merasa dirinya lebih rendah dari orang lain.”

Gadis itu terdiam sejenak dengan tatapan yang diarahkan padaku, lalu menambahkan, “Padahal kamu sangat istimewa. Aku sendiri tidak menyangka orang sepertimu memiliki kemampuan yang sangat luar biasa seperti itu.”

“Aku tidak ingin ada orang lain yang mengetahui hal ini,” kataku dengan tatapan yang lebih serius agar ia tidak menganggapku sedang bermain-main.

Gadis itu mengangguk, lalu berkata, “Tenang saja.”

Pelayan kantin menyodorkan segelas jus apel kepada gadis itu.

“Oh iya, Paman. Makanan yang dia pesan tadi kenapa belum dibuatkan?” tanya gadis itu sambil menunjukkan dengan menggunakan dagunya.

"Astaga! Maaf iya, Mas,” kata pelayan itu, lalu segera bergegas kembali.

“Siapa nama kamu?” tanyaku.

Gadis itu menyeringai. “Aku baru tahu kalau ternyata ada orang yang belum mengetahui namaku di kampus ini,” gadis itu menghentikan ucapannya, namun tidak dengan tatapannya. Sesaat kemudian, ia menyodorkan tangannya padaku. Lalu aku menjabatnya juga. “Shally,” ucap gadis itu sambil tersenyum.

Ternyata dia adalah gadis yang bernama Shally. Nama itu sering disebut mahasiswa-mahasiswa di kelasku. Sebenarnya, aku sendiri tidak memungkiri kecantikannya. Jadi, wajar saja jika banyak pemuda yang membicarakannya. Tetapi, aku bukanlah orang yang terlalu peduli dengan hal-hal semacam itu.

“Nando,” kataku sebelum melepas jabatan tanganku.

“Sudah tahu,” katanya, lalu menyesap jus apel di hadapannya.

Aku mengamati seluruh tubuh gadis itu, bukan untuk memperhatikan bentuk tubuh yang membuat begitu banyak pemuda di kampusku seperti kucing yang melihat tikus, melainkan untuk mencari luka yang tak sempat dijahit oleh Ibuku kemarin malam. Namun, peristiwa semalam seakan seperti mimpi yang tak pernah terjadi di dunia nyata. Tak ada satupun luka yang kutemukan di tubuhnya, maka dia harus menjelaskannya.

“Kenapa aku tidak menemukan satupun luka di tubuhmu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status