Vunia, 2006.
Seorang gadis dengan rambut di kepang dua dengan bahagianya bermain kincir angin yang terbuat dari bambu oleh ayahnya. Hari ini ia sangat bahagia karena ayahnya telah kembali setelah setahun lamanya. Ayahnya bekerja di luar kota dan jarang sekali pulang. Karena kesibukan dan banyak pekerjaan yang harus di selesaikan, membuat Johan jarang kembali ke rumah.
“Ayah mana sih?” Suara manja dari gadis tersebut. Peluh sudah menetes di pelipisnya karena saking semangatnya berlari. Ia melihat ke dalam rumah dan berharap agar ayahnya segera keluar menemaninya. Setelah menunggu, ia akhirnya masuk mencari keberadaan ayahnya.
“Ayah mana, Bu?” tanyanya ketika melihat ibunya yang sedang memasak di dapur.
“Ada di kamar, Emma.” Emma langsung berlari ke kamar orang tuanya. Perlahan di putarnya handle pintu dan masuk ke dalamnya. Sudah siang namun ayahnya tidak membuka tirai jendela. Dari pintu masuk, Emma melihat ayahnya seda
Lagi-lagi sebuah nama mengejutkan Ethand dan juga Ryan. Nama Melissa kembali menghantui mereka.“Apakah kamu yakin?” tanya Ethand pada Daniel. Nick name Melissa selalu menghantui hidup Ethand. Bahkan pernah meretas cctv-nya di Amerika. Yang mengetahui alamat rumahnya di Amerika hanyalah orang tuanya, namun Melissa begitu mudah menemukan keberadaannya.“Aku beberapa kali berkontak dengannya. Suaranya di samarkan. Jadi tidak bisa menentukan apakah dia pria atau wanita.” Daniel juga penasaran dengan Melissa. Dia bagaikan hantu. Ada namun tidak kasat mata.“Apakah Emma, Pak?” Bisik Ryan di samping Ethand. Kedua alis Ethand terangkat. Ketika melihat kejadian dan waktunya, bukanlah Emma pelakunya.“Dia sudah bermain sejak sepuluh tahun yang lalu. Jadi dapat dipastikan bahwa umurnya sekarang sudah tidak muda lagi.” Daniel kembali menambahkan.Jika itu adalah Emma maka dia baru lima belas tahun dan masih di s
“Apakah Ibu yang mengirimkan pesan ini kepada atasanku?” Emma terkejut dengan isi pesan yang sudah terkirim pada Ethand. Pertama kalinya Ester ikut campur dalam urusannya. Emma menatap nanar wajah ibunya. “Kenapa, Bu?” tanya Emma.Ester tertunduk. Ia tahu jika Emma tidak suka masalahnya ada yang ikut campur. “Maafin ibu. Ibu tidak mau berutang sama atasanmu.”Emma melihat ibunya dengan perasaan bingung. Ester tidak kelihatan sedang merasa utang budi atau uang tapi lebih kepada sedang menyembunyikan sesuatu. Ester juga enggan menatap matanya.“Apa yang disembunyikan Ibu dariku?” tanya Emma dengan nada pelan. Sudah dua puluh lima tahun ia bersama ibunya. Tentu ia tahu betul bagaimana Ester.“Ibu tidak menyembunyikan sesuatu, Emma.” Mata Ester sudah berkaca-kaca. Emma akhirnya tidak ingin mendesak ibunya lagi. Ia tidak tega melihat Ester terpojok.Emma dan Ester sama-sama terdiam. Ada rasa be
Mereka tampak terkejut melihat kehadiran Emma. Ethand yang sedang berkutat pada komputer di depannya langsung berhenti dari aksinya. Ia langsung melihat kea rah pintu masuk. Wajah Emma nampak pucat dan banyak keringat di wajahnya.“Apakah kamu kabur dari rumah sakit?” Sobig menghampiri Emma dengan raut wajah khawatir. Emma hanya mengangguk lalu melangkah menuju tempat dimana semuanya berkumpul. Ethand menatapnya dengan dingin. Melihat begitu banyak keringat yang keluar dari tubuh Emma, Ethand langsung naik pitam.“Ada apa dengan keringat itu?” tanya Ethand dengan nada dingin.Emma langsung menghapus keringat dengan tangannya. “Saya menggunakan tangga untuk sampai ke sini, Pak,” jawab Emma jujur. Semua menatap bingung ke arah Emma. Hanya Ethand yang menyadari mengapa Emma berbuat demikian.“Jangan membuang waktu lagi.” Ethand langsung berdiri dari kursi yang di dudukinya. Emma langsung mengambil alih. Ia meli
Emma akhirnya mengerti mengapa Ethand menanyai tentang nick name yang digunakannya kemarin. Ternyata Melissa-lah yang meretas Alves Corp akhir-akhir ini. Emma juga belum pernah bertemu dengan peretas tersebut baik langsung maupun tidak langsung.“Sudah berapa kali peretas itu melakukan aksinya?” tanya Melissa pada Sobig.“Setelah tiga tahun lamanya.” Ryan yang berdiri di samping Emma berbalik menatapnya.“Maksudnya?” tanya Emma dengan dahi berkerut. “Berarti dia pernah meretas Alves Corp sejak tiga tahun yang lalu?”Ryan mengangguk. “Dia lah yang menyebabkan kebangkrutan Alves corp tiga tahun yang lalu.” Jelas Ryan.Emma mencerna kalimat Ryan seraya memutar memorinya kembali pada tiga tahun yang lalu. “Bukankah waktu itu Alves Corp melakukan korupsi dan penggelapan dana?” tanya Emma ketika baru mengingat peristiwa menggemparkan Vunia tiga tahun yang lalu itu.“Yang
Ethand menunggu dengan tidak sabar di dalam ruangannya. Ia lagi-lagi menghubungi Ryan namun tidak ada jawaban di sana. Alhasil ponsel miliknya di buang begitu saja di atas meja kerjanya. Ia berjalan ke sana ke mari karena Ryan belum juga kembali.Lima belas menit kemudian, pintu ruangan di buka dan itu adalah sekretarisnya. Ia menatap nanar Ryan yang berjalan mendekati meja kerjanya.“Apakah panggilanku tidak begitu penting bagimu?” tanyanya dengan nada dingin. Ryan dapat merasakan hawa dingin di ruangan itu. Ia sengaja tidak membalas ucapan Ethand. Ryan hanya tertunduk dan menyembunyikan rasa lucu dalam hatinya.“Apakah mulutmu juga sudah tidak berfungsi lagi?” Ethand lagi-lagi dengan suara dingin bahkan kali ini terdengar lebih dingin dan menyeramkan dari sebelumnya.“Ma-maafkan saya, Pak. Ponsel saya di silent tadi jadi tidak mengetahui jika Bapak menelepon.” Ryan sengaja mencari alasan dan dengan wajah menuju ke lan
Emma kembali ke tempat duduknya dengan perasaan heran. Apakah karena dirinya telah mengatasi peretas itu? Namun ini berlebihan. Seorang dokter memiliki banyak pasien tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja.“Apakah itu suruhan pak Ethand?” tanya Sobig ketika melihat raut wajah Emma yang muram.“Iya.” Emma bersandar pada kursi kerjanya. “Apa tidak berlebihan yah?” tanya Emma seraya menggigit bibir bawahnya.“Apakah kamu tidak sadar?” Sobig dengan tatapan ke layar komputer.“Maksud kamu?” tanya Emma seraya duduk tegak menghadap Sobig.“Kamu adalah aset berharga Alves Corp sekarang. Jadi kesehatan dan keselamatanmu adalah perhatian utama mereka.” Emma akhirnya memahami. Ia pikir ada niat lain dari atasannya tersebut. Ia mengutuk dirinya dalam hati karena telah berpikiran macam-macam.Emma pun terdiam dan kembali fokus pada pekerjaannya. Mac melihat Sobig dan Emma sudah m
Ryan menendang udara begitu saja. Ia mengusap wajahnya kasar. Ethand hanya menggelengkan kepala ketika Ryan kembali menghampirinya.“Sejak kapan kamu begitu bodoh, Ryan?” Pertama kalinya, Ethand memanggil nama Ryan. Mendengar Ethand menyebut namanya Ryan hanya bisa tertunduk.“Maaf, Pak.”Ethand kembali masuk ke dalam lobi perusahaan. Ryan tidak berani mengejar dan membiarkan Ethand masuk sendiri ke dalam. Ia menyadari jika dirinya terlalu cepat emosi sehingga membuat Ethand menilainya bodoh.Dengan kesal ia menyusul atasannya. Ia harus mengetahui apa yang sudah terjadi dan siapa pemilik mobil tersebut.Mata Ryan menjelajahi seluruh lobi namun Ethand sudah tidak ada di sana. Bergegas ia menuju ke lift.Ryan berjalan terburu-buru ke ruangan Ethand, namun setelah mengetuk pintu dan membukanya, ia tidak menemukan Ethand di sana.“Ke mana perginya?” Ryan kembali menutup pintu dan duduk di meja kerjanya.
Buggati Chiron yang dikendarai Ethand melaju dengan kencangnya. Ia melampiaskan kemarahannya pada mobil yang dikendarainya. Ponselnya terus berdering dan itu adalah panggilan dari Ella dan juga Giorgino.Kota Vunia yang tampak ramai dan padat kendaraan, membuat Buggati Chiron milik Ethand harus berhenti melaju kencang. Ia memukul setir kemudinya.Tidak lama kemudian ponselnya kembali berdering. Ia merasa jengah dan terganggu dengan bunyi nada dering ponselnya.“Bisa biarkan ku untuk bernapas sedikit saja?” Suara dingin Ethand mampu membekukan apa saja termasuk sang penelepon.“Ma-maaf, Pak. Ka-kalau begitu saya matikan.”Ethand melihat ponselnya. Ternyata bukan Ella ataupun Giorgino tetapi sebuah nomor baru. “Emma?”Namun panggilan itu sudah di matikan. Ethand lagi-lagi memukul setir mobilnya. Ia menepikan mobilnya ke pinggir jalanan dan mencoba menghubungi Emma. Tidak menunggu lama, pada deringan ke dua E