Share

BAB 7 : Teman Lama

Cerano tidak memberikan kesempatan untuk Raveena membalas. Dia hanya melemparkan mantelnya ke atas tubuh Raveena, kemudian melangkah menaiki podium dan berhenti di depan Carlos Vincente.

“Maaf, racunnya tidak sengaja kutumpahkan,” kata Raveena di bawah undakan tangga.

Cerano kembali mengokang pistolnya, kemudian mengarahkan ujung senapannya ke depan kening Carlos. “Aku bisa menggunakan cara lain untuk membunuh seseorang.”

Carlos lantas memandangi Cerano dengan raut wajah panik. Saat di pesta, dia tidak meletakkan senapan di dekatnya, karena Carlos percaya kalau seluruh anak buahnya mampu untuk melindunginya. Namun, sekarang dia menyesali kepercayaannya itu.

“Carlos Vincente, ada dua hal yang tidak boleh kamu lupakan saat menjadi bos organisasi gelap. Pertama, jangan memprovokasi lawan yang lebih kuat darimu.”

Cerano perlahan menarik pelatuknya sedikit demi sedikit, sehingga membuat suasana di antara mereka menjadi lebih tegang. “Kedua, kamu tidak boleh meninggalkan senjatamu dengan alasan apapun. Karena ketika kamu tidak memegang senjata, maka di situlah akhir dari riwayatmu.”

Dor!

Tatkala pelatuk ditarik, peluru meluncur keluar dari senapan kemudian menembus tengkorak Carlos Vincente dalam hitungan detik. Darah merah menyembur dengan kuat, mengotori dinding dan karpet di sekitar Carlos. Untungnya, Cerano segera mundur sehingga wajah dan pakaiannya tidak terkena darah.

“Ini adalah balasan atas perbuatan busukmu.”

Umumnya, seseorang akan takut saat melihat orang di hadapannya berlumuran darah. Namun, Raveena masih bergeming di tempatnya, tanpa menunjukkan ekspresi takut yang berarti.

Seperti saat mereka pertama kali bertemu di atap.

Raveena tahu pria ini berbahaya, tapi dia masih dengan berani mendekatinya dan bahkan berbicara dengan Cerano.

“Berdirilah,” perintah Cerano. “Kita akan segera pergi.”

Raveena merapatkan mantel yang diberikan oleh Cerano ke tubuhnya, lalu mulai berjalan di belakang Cerano. “Apakah polisi akan datang?”

Cerano tertawa. “Polisi selalu menutup mata terhadap kasus pembunuhan kartel atau mafia. Para petugas pemerintah itu masih menyayangi nyawa mereka, sehingga tidak akan berani untuk mengusik kita.”

Ketika Raveena berjalan keluar, dia bisa melihat ada banyak mayat bergelimpangan di atas permukaan lantai. Masing-masing dari mereka mati dengan luka tembak di kepala ataupun dada, sehingga ada banyak darah yang keluar dari tubuh mereka.

“Raveena.” Cerano mendadak berhenti di tengah jalan. “Apa kamu akan menganggapku sebagai monster setelah melihat semua ini?”

Raveena menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan yang dihiasi oleh warna merah, kemudian kembali menatap Cerano. “Di Distrik Merah, aku sudah biasa melihat orang-orang saling membunuh karena menyimpan dendam. Kamu pun juga membunuh hari ini karena memiliki dendam. Orang luar sepertiku tidak berhak mencaci.”

“Seperti katamu sebelumnya, dunia ini tidak tercipta atas warna hitam dan putih. Jadi, aku tidak bisa menganggapmu benar atau salah,” tambah Raveena.

Cerano tidak lagi bertanya, dia kemudian menuntun Raveena kembali ke mobil. Namun, langkahnya terhenti saat Raveena juga berhenti. Wanita itu menengadahkan telapak tangannya ke atas langit, lalu menangkap satu butiran salju kecil yang terasa dingin. “Salju akhirnya turun.”

Cerano ikut mengangkat kepalanya ke atas langit, menyaksikan butiran-butiran putih itu mulai turun ke jalanan.

“Orang-orang sering berkata kalau salju selalu memberikan nostalgia tersendiri, sehingga kita bisa mengingat masa kecil kita. Namun, aku tak bisa. Sekeras apapun aku berusaha mengingat, kenangan masa kecilku akan hancur menjadi fragmen-fragmen kecil,” kata Raveena.

Sejak ia tinggal di rumah bordil, dia selalu menunggu salju.pertama, dengan harapan ia mampu memulihkan ingatannya. Akan tetapi, ingatan itu tak pernah kembali dan lambat laun, Raveena mulai melupakan keinginannya itu.

“Jika kamu tidak bisa mengingatnya, maka tak perlu dipaksakan.” Cerano lantas menarik Raveena supaya wanita itu segera masuk ke dalam mobil. “Sebentar lagi suhunya akan dingin, tidak baik berlama-lama di luar.”

Sebelum Cerano ikut masuk ke mobil, Henry Russo berlari ke arahnya sambil memberikan sebuah ponsel yang berdering. “Bos, Don [1] Dante menghubungimu.”

[1] Don, sebuah panggilan yang berasal dari Italia, yang artinya Kepala Keluarga.

Cerano segera mengambil ponsel itu dan menjawab. Suara seorang pria baruh baya lantas terdengar di telinganya. “Aku sudah mendengar perbuatanmu di Philadelphia. Kerjamu bagus, tapi aku dengar, kamu juga membunuh para tamu.”

Cerano membalas, “Maaf, Don Dante. Aku terlalu impulsif sampai tidak bisa menahan diri.”

Dante Acheron menghela napas saat mendengar penuturan Cerano. “Katakan, apa yang terjadi sampai kamu tiba-tiba bisa bertingkah impulsif?”

Dante Acheron sudah mengasuh Cerano sejak anak itu masih berusia 14 tahun. Sehingga dia sangat paham bahwa Cerano bukanlah orang yang mudah tersulut emosi dan mengacaukan rencana awalnya. Jika pria itu sampai bertindak terlalu jauh, maka Dante yakin ada sesuatu yang salah.

Di antara keheningan malam, Cerano berbisik, seolah tidak ingin ada seorang pun disekitarnya yang mendengar. “Aku berhasil menemukannya.”

Dante terdiam sebentar, sebelum melanjutkan. “Maksudmu, kamu berhasil menemukan teman lamamu itu?”

“Ya, aku berhasil menemukannya.”

Setelah beberapa saat, Dante kembali menghela napas. “Maka aku bisa mengerti tindakanmu hari ini. Pastikan saja kamu menghilangkan jejak pembunuhan hari ini.”

Cerano mengakhiri panggilan setelah dia memahami perintah Dante. Lalu segera memberikan arahan kepada Henry untuk meminta bawahannya membersihkan mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah.

Begitu menyelesaikan perintahnya, Cerano akhirnya masuk ke dalam mobil dan meminta supirnya, Steven untuk pergi ke salah satu penginapan di Philadelphia.

“Aku pikir, kamu adalah bos tertinggi di Acheron,” kata Raveena.

Sebelum Cerano menjauh, Raveena sempat melihat Cerano berbicara dengan nada sopan ke orang yang ada di seberang telepon, sehingga dia berasumsi orang itu adalah atasannya Cerano.

“Tentu saja bukan.” Cerano tertawa. “Aku hanyalah Underboss di Acheron Familia. Bos tertinggi di Acheron Familia adalah Don Dante.”

Dante Acheron dulunya adalah seseorang yang pernah menyelamatkan Cerano saat dia terluntang-lantung seperti gelandangan di jalan. Bos besar itu bahkan tidak ragu mengangkatnya sebagai seorang anak dan menjadikannya sebagai Underboss saat dewasa. Karena pertolongan Dante itulah, Cerano jadi sangat menghormati pria itu.

“Maaf, Raveena,” kata Cerano tiba-tiba. “Aku tidak bermaksud untuk mempermalukan kamu tadi.”

Raveena sedikit tersentak saat mendengar hal itu. Tapi, ekspresinya kembali datar seperti biasa. “Tidak apa, saat masih di rumah bordil, Hose juga sering memaksaku untuk melepaskan busana di depan tamu. Jadi, aku tidak terlalu memikirkannya.”

Wanita kotor seperti dia, bagaimana mungkin berani mempunyai rasa malu.

Cerano menggertakan giginya, kemudian mengalihkan pandangannya dari Raveena. “Tapi, aku bukanlah Hose. Dan aku tidak akan pernah mempermalukan kamu di depan khalayak umum.”

Usai itu, mobil itu menjadi sunyi. Raveena tidak tahu harus membalas apa, sehingga dia memutuskan untuk memejamkan matanya dan tanpa sadar tertidur. Sedangkan, Cerano sedang memikirkan masa lalu yang masih dengan jelas terukir di dalam benaknya.

Dia berhasil menemukan teman lamanya.

Raveena Hesper, wanita itu adalah seorang teman lama yang telah Cerano cari selama bertahun-tahun.

Saat ini, ingatan wanita itu telah rusak, sehingga dia tidak lagi mengingat Cerano. Namun, selama Cerano masih mengingatnya, maka itu tidaklah masalah.

• • •

Dua jam kemudian, mobil yang ditumpangj Cerano sampai di sebuah penginapan mewah yang ada di bagian barat Kota Philadelphia. Hari sudah sangat larut, sehingga tidak ada lagi tamu yang datang selain dirinya.

Ketika Steven mematikan mesin mobil, Raveena kebetulan membuka matanya dan sadar kalau mereka telah sampai di tujuan. “Di mana kita?”

“Sampai Henry mengurus passport-mu, kita akan menginap di hotel ini dulu,” balas Cerano.

Dengan kata lain, Cerano ingin mengajak Raveena pulang dengannya ke Kota Sisilia di Italia. Namun, mereka tidak bisa langsung pergi karena Raveena belum memiliki Passport.

Tatkala Cerano dan Raveena berjalan memasuki hotel, Steven turut mengekori mereka seraya membawakan tas Cerano. Ketika Cerano menyebutkan jumlah kamar yang ingin dia pesan, resepsionis di depannya menunjukkan ekspresi menyesal. “Maaf, Tuan. Saya dengan menyesal ingin menyampaikan bahwa kamar kosong di hotel kami tinggal satu.”

Cerano mengerutkan keningnya. “Benar-benar tidak ada lagi?”

“Ya, Tuan. Hari ini hotel kami kedatangan banyak tamu, jadi tidak ada lagi kamar yang tersisa.”

Cerano berpikir sejenak, hotel lain yang terdekat itu jaraknya sekitar 45 menit dari hotel ini. Cerano merasa begitu lelah, jadi sepertinya tidak akan sanggup bila harus pergi lagi.

“Kamu tidak keberatan jika kita berbagi kamar?” tanya Cerano.

Raveena, “Bertiga?”

“Tidak, hanya aku dan kamu. Steven akan menginap di hotel lain.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
ehem.. bisa ae Cerano
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status