Lampu remang club berkedip liar seiring hentakan musik yang makin cepat. Para pencari hiburan satu persatu meninggalkan gelas minumannya dan mulai bergerak sesuai tempo lagu.
Wanita penghibur yang bekerja untuk club tersebut mulai menjaring tamu dan menyebar ke berbagai sudut. Renzo memang terkenal dengan tangan dinginnya dalam mengelola hotel berkelas bintang lima yang juga memiliki club terbaik di kota Bandung. Wanita penghibur yang ia pilih juga merupakan seleksi terbaik. Dalam tempo dua tahun, Renzo berhasil membawa hotel tersebut menjadi terkenal dalam dunia hiburan malam. Dari sekian jajaran wanita koleksinya, Renzo memiliki tiga perempuan andalan; Jena, Lora dan Milly. Ketiga wanita tersebut selain cantik juga paling menawan, mereka pandai menarik tamu, kecuali Milly tentunya.Wanita yang memiliki fisik paling sempurna tersebut terkenal dengan sifat pendiam dan dingin. Namun minat semua tamu selalu tertuju padanya. Milly tidak memiliki keahlian di ranjang seperti lainnya. Mungkin kecantikannya yang bak dewi membuat para pria mabuk kepayang atau justru sikap angkuhnya yang jinak-jinak merpati menjadi tantangan tersendiri. Sayangnya, gadis itu selalu muram dan tampak tidak menikmati perannya. Berbeda dengan teman seprofesi lainnya yang selalu genit dan liar. Milly cenderung menarik diri dan duduk dalam diam. Malam itu, Milly seperti biasa hadir paling terakhir. Begitu ia memasuki club, sontak beberapa pasang mata menoleh padanya. Dengan sikap tenang dan anggun, Milly melangkah menuju meja di ujung. Baju merah ketat di atas lutut tanpa lengan tersebut memperlihatkan liuk tubuh Milly yang menggoda. Payudara yang besar, bulat dan kencang dengan pinggang ramping juga bokong sekal, mengukuhkan Milly sebagai masterpiece Tuhan yang layak diapresiasi dengan tinggi. Sayangnya, ia harus terperosok ke dalam lembah kenistaan. Siapa yang tidak ingin mendapatkan Milly? Walau begitu, berbagai pinangan untuk menjadi wanita kedua dan simpanan, Milly tolak mentah-mentah. Wanita itu memilih tetap sendiri di usianya yang kedua puluh lima tahun. Memilih bebas tanpa dimiliki oleh siapa pun menjadi prinsip yang teguh ia pegang selama ini. Baru saja ia duduk, manager club mendekat dan berbisik padanya. Milly mengangguk dan kembali menyibukkan diri dengan ponselnya. Tidak lama, hadir seorang pria yang cukup terkenal sebagai produser film nasional. Ia menyapa Milly dan menawarkan minuman padanya. Wanita itu membalas dengan anggukan lemah dan senyum tipis. Setelah melewati basa basi yang membosankan selama beberapa menit, pria yang hampir mencapai usia setengah baya tersebut mulai gerayangan. Milly mendorong halus tangannya. "Maaf, Anda hanya memesanku untuk menemani minum saja, Tuan Herto. Jika menginginkan hal lain, silahkan menemui manager club lebih dulu," pinta Milly dengan pelan tapi tegas."A-ku mana tahan cuman duduk minum, Milly. Tidurlah denganku?" pinta Herto dengan napas memburu. Pria itu tidak mampu menahan hasratnya sendiri. "Tidak malam ini," tolak Milly mulai beringsut menjauh. "Aku sanggup membayar dua kali lipat tarifmu!" serunya berusaha menahan Milly. Wanita itu menoleh walau tidak sepenuhnya dan bergeming. "Untuk tipsku?" tanya Milly. Ia membutuhkan dua puluh juta malam ini untuk keperluan yang sangat mendesak. Milly berpikir mungkin dirinya akan meminta lebih untuk pria pelit seperti Herto."Ya! Untuk tipsmu, aku akan bayar dua puluh juta!" sahut Herto. Milly menghela napas pelan. "Sayangnya, aku butuh lebih dari itu. Maaf, permisi," pamit Milly. "Tunggu! Ok-ok! Berapa yang kamu butuhkan?" bujuk Herto tidak sabar lagi. Milly menimbang dan kini berbalik sepenuhnya. "Empat puluh juta untuk satu kali melayanimu!" "Hah? Kau gila? Aku bisa mendapatkan sepuluh gadis dengan harga itu!" tolaknya. Milly bangkit tanpa beban. "Tidak apa-apa jika Tuan tidak sanggup. Lain kali saja, kalau sudah mampu," balas Milly dengan sopan tapi nadanya terdengar meremehkan. Herto mengumpat pelan dan akhirnya menyerah. Ia menyanggupi nominal tersebut dengan pandangan jengkel. "Kutunggu di kamar biasa," cetus Milly masih dengan nada datar. Herto mengangguk dan segera meminta tagihan dengan buru-buru. Siapa yang bisa memalingkan pesona dari seorang wanita seperti Milly? ***Seperti dugaannya, Herto hanya bertahan selama sepuluh menit. Milly bangkit dan menuju kamar mandi, meninggalkan Herto yang terkapar kelelahan. Setelah mandi dan membersihkan tubuhnya, Milly segera melenggang ke luar. Herto sudah tertidur dan tanpa membangunkan kliennya, Milly mengambil tumpukan uang sejumlah yang mereka sepakati. Begitu uang tersebut tersimpan rapi dalam tasnya, Milly menuju pintu. Ia menoleh sekali lagi. "Lelaki bodoh," gumamnya lirih dan membuka pintu tanpa berniat untuk menutup kembali. Langkahnya mengayun cepat menghampiri lift yang ada di tengah koridor. Rahangnya mengeras dan pandangannya angkuh. Namun sesungguhnya hatinya menjerit. Milly tidak sanggup lagi menjalani hari--hari seperti ini. Membayangkan manusia seperti Herto yang bau dan juga beringas saat menyetubuhinya, terkadang membuat Milly hampir muntah. Rasa jijik itu terkadang menghinggapi Milly hingga ia tidak bisa menikmati sedikit pun keintiman tersebut. Saat ia masuk ke dalam taxi, Milly menangis dalam diam. Supir taxi itu seperti memahami situasi yang menimpa penumpangnya, dengan penuh pengertian menyodorkan tisu padanya. "Terima kasih," balas Milly lirih. Supir itu hanya tersenyum sendu. Ia tidak lagi menanggapi dan terus melaju menembus malam. Ketika tiba di rumah, Milly segera membayar dan mengucapkan terima kasih. Supir taxi yang berusia sekitar lima puluh tahun itu menerima dengan senyum hangat kebapakan. "Berdoalah. Terkadang hati menjadi lega," ucapnya tanpa nada mengurui. Milly tertegun dan mengangguk serta bergegas membuka pagar. Rumah kecil di kompleks padat kota Bandung itu terlihat sepi. Milly masuk dengan langkah tanpa suara. Ayahnya mungkin sudah tidur dan Martin adiknya entah berada di mana. Milly kembali mandi dan ketika pikiran rumitnya kembali menyeruak, wanita itu tergugu dan melorot ke lantai dengan bahu terguncang. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya harus menempuh hidup yang begitu kelam dan memalukan seperti ini. Kecantikan yang harusnya menjadi kebanggaan Milly, berbalik menjadi beban baginya. Ketika dalam kondisi mendesak dulu, menjalani profesi ini adalah satu-satunya pilihan. Milly hanya memiliki ijazah SMP karena saat kelas dua SMA, ayahnya mengalami kecelakaan yang merenggut ibu mereka. Milly terpaksa keluar sekolah.Bapaknya yang kemudian cacat dan mengalami penyakit komplikasi jantung sekaligus ginjal, membutuhkan biaya besar. Menjadi pelayan toko tidak mencukupi biaya pengobatan cuci darah ayahnya yang berkisar lima hingga tujuh juta, untuk frekuensi tiga hingga empat kali tiap minggunya. Milly menyerah dan berkorban demi nyawa orang tua tunggalnya. Dalam relung hatinya yang terdalam, Milly berharap ia hanyalah seorang wanita biasa yang lebih memiliki kesempatan untuk bahagia. Kecantikan yang ia miliki, menempatkan dirinya sebagai wanita rupawan yang meruntuhkan para pria pencari kesenangan semalam. Sebuah kecantikan yang sangat berbahaya!Pagi itu, Milly menemani ayahnya ke rumah sakit. Ketika menunggu proses pencucian darah selesai, Milly menghabiskan waktu untuk membaca buku.Biasanya proses tersebut akan memakan waktu sekitar tiga jam lebih. Milly harus merogoh kantung untuk sekali cuci darah ayahnya sekitar satu setengah hingga dua juta rupiah, dan itu harus dilakukan tiga hingga empat kali setiap minggunya. Kondisi ayahnya sudah cukup payah.Sebetulnya ada yang lebih ekonomis, tapi bagi Milly, ia selalu memberikan rumah sakit yang terbaik.Tadi malam ia berhasil mendapatkan uang tips yang fantastis dan bisa memperpanjang kontrak rumah tahunannya sebesar dua puluh juta.Mereka menunggak tahun lalu dan setelah mendapat ancaman dari pemilik rumah, Milly terpaksa membayar untuk tahun berikutnya sekaligus.Milly juga memberikan sejumlah biaya kuliah adiknya, Martin, yang tidak sedikit. Dalam sehari ini, tiga puluh juta sudah melayang.Begitulah nasibnya. Tid
Setelah menghabiskan malam yang melelahkan tanpa penghasilan sepeser pun, Milly jatuh sakit.Derry menyelipkan uang dua ratus ribu untuknya berobat dan Milly hanya terdiam. Dalam kamar kecil rumahnya yang berukuran tiga kali tiga, Milly menarik selimutnya hingga batas leher dengan tubuh menggigil.Demam ini terasa menyiksa Milly. Bagaimana tidak jatuh sakit? Milly menghabiskan sepuluh jam lebih non-stop untuk melayani para tamu.Ingin rasanya bunuh diri, tapi ketika rintihan ayahnya terdengar dari kamar, Milly menangis sejadinya dan keinginan itu lenyap.Apa salah dan dosanya hingga harus menerima cobaan begitu berat? Kenapa hidup memperlakukan dirinya dengan sangat tidak adil?Martin muncul dengan teh hangat di tangannya."Minum dulu," ajak Martin. Milly tersenyum samar dan dengan gemetar berusaha bangun.Adiknya tertegun ketika tangan kakaknya tersentuh oleh jemarinya."Panas banget badanmu, Mb
Sejak subuh Milly sudah bangun dan mandi keringat. Tubuhnya jauh lebih segar dan demamnya hilang.Entah, obat apa yang telah dokter kemarin berikan padanya tapi Milly langsung membaik.Pagi itu ia sudah masak nasi goreng untuk sarapan adik dan ayahnya. Martin yang terbangun kemudian terlihat heran. Kakaknya tampak ceria dan sehat.Setelah membuatkan beberapa lauk untuk makan siang, Milly meminta Martin untuk menjaga ayahnya."Mau langsung kerja, Mbak?" tanya Martin heran."Iya. Tapi mau mampir ke kilinik buat ambil hasil tes darah kemarin. Sesuai saran kamu juga, harus jaga diri. Kamu nggak kuliah 'kan?""Enggak. Tapi jangan maksa diri bangetlah! Sepenting apa 'sih sampe buru-buru balik kerja lagi?" Martin terlihat kesal.Milly menelan cairan di mulut dengan resah. Ia meninggalkan meja tempat meramu obat ayahnya dan duduk di sebelah adiknya.Jarinya yang lentik walau tanpa perawatan mengelus lengan Mar
Pesta yang diadakan oleh Jetro terus berlangsung. Sementara mereka berdansa, Milly menjadi sasaran cibiran semua rekan kerjanya, terutama Jena.Beberapa tamu undangan memandang mereka seperti pasangan yang sangat serasi. Sedangkan tidak sedikit yang mencibir tentang kebersamaan mereka."Ayo, kita minum!" Jetro menggandeng pergelangan mungil Milly.Wanita itu seperti robot yang telah terprogram. Ia tidak menjawab atau merespon. Ekspresinya kadang sedih, seringkali datar.Jetro membelikan margarita untuk mereka. Setelah berdansa selama satu jam, keduanya terlihat lelah.Jetro menarik Milly untuk duduk dengannya. Dengan satu sentakan, Milly duduk. Giginya terpaut menyatu menahan lelah juga geram.Tangannya meraih gelas dan menenggak habis margarita tersebut tanpa jeda."Wah kau terlihat haus, Milly! Mau minum lagi?" tanya Jetro. Milly terdiam dan hanya melirik sinis."Herto, bisakah kau membantu mem
Milly terus menunduk tanpa bicara sepatah kata pun. Jetro baru selesai mandi dan melihat Milly duduk di tepi pembaringan dengan sikap salah tingkah.Gadis itu semakin membuat Jetro terpikat. Ia tidak pernah menemui seorang wanita panggilan yang memiliki karakter yang begitu unik dan jauh dari kata liar."Berapa lama kamu menjalani profesi ini?" tanya Jetro.Milly mengangkat wajahnya dengan tatapan tidak suka."Perlukah aku menjawab?!" tanya Milly dengan nada tersinggung. Jetro tidak terganggu dengan balasan tersebut."Aku sudah memesanmu untuk dua malam! Usahakan jangan keluar kamar selama aku pergi. Baju ganti nanti akan disiapkan oleh asistenku!"Jetro sudah rapi dengan kemeja dan celana panjang. Dengan cepat, pria itu juga memakai sepatu.Tanpa pamitan, Jetro meninggalkan Milly. Wanita itu terhenyak. Ini baru pukul lima pagi dan Jetro sudah siap ke kantor?Ini pertama kali selama menjalani pro
Milly masuk dengan hati berdebar dan jantung berdetak dengan kencang. Seakan-akan takut jika jantungnya melompat keluar, Milly mendekap bantal dengan erat.Jetro berganti pakaian tanpa risih sedikit pun di depan Milly.Tubuhnya yang terpahat sempurna dengan bahu kokoh dan dada bidang tersebut seharusnya indah untuk dipandang. Namun Milly memilih menunduk dan menutup mata dengan rapat."Ini uang tipsmu. Semua hotel beserta tagihan lainnya sudah kubayar. Lain jika kuperintahkan untuk di kamar jangan keluar tanpa ijinku! Aku kurang menyukai orang yang tidak mematuhi perintah!" Suaranya sangat lantang dan dingin.Berbeda sekali ketika mereka sedang bercinta, Jetro begitu lembut padanya. Milly beranggapan, pria itu hanya memanfaatkan dirinya saja. Semua kelembutannya adalah taktik untuk bercumbu dengan para wanita. Karakter asli Jetro yang angkuh dan arogan akan muncul kembali saat mereka tidak melakukan keintiman."Maaf," ucap Milly singkat.&
Milly duduk di teras rumah dengan wajah termenung dan pikiran penuh. Walau tubuhnya tidak lelah, tapi Milly tidak bisa mengerjakan apa pun.Pikirannya terus dijejali dengan rasa khawatir akan kondisi ayahnya yang sempat menurun tadi pagi. Untunglah, ia baru saja mendapatkan uang yang cukup fantastis dari hasil menemani Jetro selama dua malam, lima puluh juta rupiah!Setelah membawa ke rumah sakit dengan Martin, dokter mengatakan jika ayahnya harus mendapatkan ginjal baru.Harga sebuah ginjal tidak murah. Walau begitu, bukan itu bagian yang tersulit. Mendapatkan ginjal yang cocok untuk ayahnya adalah hal yang rumit dan butuh waktu.Milly juga bertemu dengan Prana yang akhir-akhir ini sering mengirim pesan yang membuat Milly segan.Tanpa alasan yang masuk akal, Prana menawari untuk membantu pengobatan ayahnya. Milly tahu kemana muara dari pertolongan tersebut. Semua bantuan, akan ada timbal baliknya."Mbak! Bapak kejang!" teriak Martin d
Milly tidak memahami pikirannya sendiri. Bagaimana ia bisa menyetujui tawaran Jetro dan menolak bantuan Prana?Keduanya pasti menuntut hal yang sama. Pernikahan. Namun Milly setidaknya bisa merasa dihargai jika memilih Prana!Menghadapi Jetro yang angkuh, kasar dan sinis sangat melelahkan emosinya.Belum lagi rasa benci yang mulai menggunung dalam batinnya. Tapi semua sudah terlanjur. Milly menggadaikan hidupnya pada pria brengsek yang menikmati tubuhnya tanpa cinta!Jetro memenuhi janjinya. Ia menyediakan fasilitas terbaik di rumah sakit untuk ayahnya dan pembayaran penuh untuk kuliah Martin.Jetro juga menawarkan mobil dan rumah, tapi Martin menolaknya."Aku nggak mau Mbak Milly makin berhutang budi!" tangkis adiknya penuh pengertian.Semua berjalan baik. Jetro bahkan menebus Milly dari hotel yang dikelola Renzo.Pria serakah itu meminta tebusan lima ratus juta untuk primadonanya. Milly yakin, semua