Share

Lust In the Dust

Pagi itu, Milly menemani ayahnya ke rumah sakit. Ketika menunggu proses pencucian darah selesai, Milly menghabiskan waktu untuk membaca buku. 

Biasanya proses tersebut akan memakan waktu sekitar tiga jam lebih. Milly harus merogoh kantung untuk sekali cuci darah ayahnya sekitar satu setengah hingga dua juta rupiah, dan itu harus dilakukan tiga hingga empat kali setiap minggunya. Kondisi ayahnya sudah cukup payah.

Sebetulnya ada yang lebih ekonomis, tapi bagi Milly, ia selalu memberikan rumah sakit yang terbaik. 

Tadi malam ia berhasil mendapatkan uang tips yang fantastis dan bisa memperpanjang kontrak rumah tahunannya sebesar dua puluh juta. 

Mereka menunggak tahun lalu dan setelah mendapat ancaman dari pemilik rumah, Milly terpaksa membayar untuk tahun berikutnya sekaligus. 

Milly juga memberikan sejumlah biaya kuliah adiknya, Martin, yang tidak sedikit. Dalam sehari ini, tiga puluh juta sudah melayang. 

Begitulah nasibnya. Tidak peduli seberapa banyak uang yang ia dapatkan, ayah dan adiknya selalu membutuhkan biaya. Dirinya tidak bisa berhenti dan meninggalkan pekerjaannya sebagai wanita penghibur. 

Walaupun perih dan menyakitkan, Milly sanggup menjalani setiap melihat ayah dan adiknya. 

Dalam renung malamnya, Milly terkadang hanya bisa merintih dalam kesesakan. 

***

"Milly!" panggil Renzo. 

Wanita yang baru saja tiba siang itu segera datang dan masuk ke kantor Renzo. Direktur utama hotel tempat ia bekerja mempersilahkan duduk. 

"Ada keluhan dari Herto, pelangganmu tadi malam!" cetus Renzo dengan mata tajam. 

Milly menunduk tanpa menanggapi. 

"Dia protes dan menolak untuk membayar kamar dan juga biaya bookingmu. Alasannya, Herto telah membayar empat puluh juta padamu, CASH!" Kata terakhir diucapkan dengan nada keras dan tegas. 

"Herto bilang ....,"

"Tuan Herto! Kau tidak pantas memanggil orang dengan cara yang tidak hormat!" potong Renzo. 

Milly menarik napas pendek. Ia mengangkat wajahnya dengan kesal.

"Tuan Herto menjanjikan tips senilai itu untukku! Tidak termasuk biaya booking dan juga pembayaran kamar!" ulang Milly kali ini dengan keras dan sinis.

Plaak! 

Tamparan melayang di wajahnya. Milly terdorong ke samping dengan wajah tertegun. Ada sedikit darah yang mengalir dari ujung bibirnya. Kemungkinan ada yang pecah dalam mulutnya.

"Dengar, Pelacur! Kau pikir nilaimu semahal itu? Mengalahkan artis saja! Jangan sok cantik dan menganggap diri terlalu tinggi!" desis Renzo penuh intimidasi. 

Milly kembali menegakkan tubuhnya. Rambutnya yang panjang dan sedikit bergelombang berantakan. 

"Bayar semua tagihan Herto dan aku mau sore ini selesai!" ancam Renzo. Ia tidak lagi mentolerir. 

Kibasan tangannya mengusir Milly dengan kasar. Tanpa berusaha menghapus darah di ujung bibirnya, Milly keluar dengan mata memanas. Rasa asin terasa dalam mulutnya dan Milly berlari ke kamar mandi terdekat. 

Ia menangis dan menahan isak sekuat tenaga dalam toilet. Hatinya begitu sakit dan dunianya terasa semakin sesak. Tidak ada lagi ruang yang tersisa untuknya bernapas lega. 

Setelah membersihkan muka dan berkumur, Milly bergegas menuju ruang manager club, Derry. Langkahnya panjang dan tergesa. Begitu dipersilahkan masuk, Milly mendorong pintu dengan cepat. 

"Milly?!" seru Derry kaget. 

"Berapa biaya yang harus Herto bayar?" tanya Milly. Pria yang baru berusia tiga puluh lima tahun itu menghela napas berat. 

"Aku udah bilang berulang kali sama kamu! Jangan pernah berhubungan sama Herto! Pria itu licik! Dia biasa dapet cewek gratis dari para artis baru! Kamu nggak dengerin!" cecar Derry jengkel. 

Milly menahan air mata yang sudah menutupi retinanya. Namun begitu berkedip, satu persatu terjatuh.

"Aku terancam akan diusir dari rumah dan adikku butuh biaya kuliah, sementara ayahku juga harus cuci darah! Katakan, Derry! Dari mana aku harus mendapatkan uang kalo nggak dari menjual diri?!" tanya Milly dengan suara bergetar. 

Derry mengumpat penuh sesal dan menyerahkan lembar kertas tagihan. Milly menyambar dan melihat nominal tersebut. Matanya terbeliak dan raut wajah Milly memucat. 

"Dua puluh lima juta?!" pekik Milly. 

"Herto tidak jadi membayar minumannya dan dia tinggal selama dua malam." 

"Tapi kenapa harus aku yang membayar tagihannya semua? Termasuk malam yang kedua?" 

"Mill, itulah kelicikan Herto. Dia akan menyeretmu hingga ke neraka terdalam untuk membalas dendam atas kerugiannya." 

"Tapi aku tidak merugikannya, Derry! Aku melayani lelaki menjijikkan tersebut dan harga itu sudah kami sepakati!" 

"Sorry. Aku nggak bisa bantu kali ini, Mill." 

Derry mengangkat kedua tangannya dengan lesu. Milly terduduk dengan lemas. Uangnya tinggal delapan juta. Dari mana dirinya mendapatkan tujuh belas juta dalam tempo enam jam?

"Aku tidak punya uang sebanyak itu, Derry. Dari mana kudapatkan uang yang begitu banyak?" keluh Milly. 

Suaranya terdengar putus asa dan tidak berdaya. Derry menautkan kedua tangan dengan wajah prihatin. 

"Sorry. Aku bener-bener nggak punya solusi buat kamu." Derry tidak bisa membantu Milly. Renzo sudah mengancam untuk tidak ikut campur. 

Milly bangkit dan mengusap air matanya sembarangan. Tanpa pamitan, ia berlalu dari hadapan Derry. 

***

Resepsionis hotel itu meminta Milly menemui manager hotel untuk pembayaran. Dengan langkah berat Milly menemui pimpinan hotel tersebut. 

Setelah menyampaikan maksud kedatangannya untuk meminta tempo pembayaran, Milly kembali kecewa. 

Manager tersebut meminta pelunasan segera sebesar dua belas juta rupiah. 

"Berikan dulu yang ada. Sisanya sore ini!" tegas pria itu dengan dingin.

Milly mengangsurkan seluruh uangnya dan dengan langkah gontai, ia meninggalkan ruangan tersebut. Tujuannya yang ingin datang lebih awal untuk meramaikan hotel berimbas kesialan untuknya. 

***

"Milly, Renzo manggil kamu!" seru Lora dengan wajah heran. Milly baru saja selesai berdandan dan mengangguk.  

Ia tahu, Renzo akan kembali mengintimidasi dirinya tentang pembayaran. Ia belum melunasi hingga pukul tujuh malam ini. 

"Masuk!" perintah Renzo yang bersiap untuk pulang. 

Milly masuk dengan wajah tertunduk. 

"Kau belum melunasi seperti yang kuperintahkan! Kemana uang yang empat puluh juta itu?! Habis untuk bersenang-senang?!" kecam Renzo tanpa simpati. 

Pria yang sudah cukup berumur itu mendekat padanya. Milly bisa mencium bau rokok yang menyengat dari mulutnya. 

"Layani sepuluh tamu malam ini! Anggap untuk bayar hutangmu! Jangan membantah atau kabur! Aku akan tuntut ke polisi atas tuduhan penipuan! Mengerti?!" bentak Renzo. 

Milly mengangguk tanpa melawan. Matanya sudah berlinang tanpa sedu sedan. Setelah puas dan berpesan pada Derry, Renzo meninggalkan Milly dengan menenteng tas kerjanya. 

Sepeninggal Renzo, Milly tergugu dan tersedak oleh isakan yang tertahan. Dirinya harus melayani sepuluh tamu. Tanpa bayaran! 

Penderitaan ini begitu mendera jiwa Milly terlalu dalam. Dirinya tenggelam dalam keserakahan orang yang lebih berkuasa. 

Tubuhnya seperti terselubung oleh nafsu berdebu yang menjijikkan tanpa bisa ia bersihkan dan akan terus melekat. Jika dirinya bisa memilih, mungkin kematian mendadak akan jauh menguntungkan dibandingkan hidupnya saat ini. 

Malam itu, di atas ranjang yang sama, Milly menangis dalam diam. Para pria bergilir menikmati tubuhnya. Kadang ia menggigit bibir sekuatnya untuk menahan sakit dan lelah. 

Air matanya terus mengalir sepanjang malam tanpa henti. Inilah kehidupan kelam seorang Milly Berliana!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status