Menata barang miliknya di kamar kecil yang sulit untuk bergerak tersebut adalah mudah. Milly membiarkan semua dalam koper karena tidak ada lemari. Tidak ada benda miliknya yang perlu dirapikan karena sebagian hanya baju dan beberapa foto tentang keluarga. Kasur tipis itu tergelar di lantai tanpa dipan. Baginya ini sudah lebih baik dari pada bayangan mengelandang.
Total jumlah kamar di mes tersebut adalah delapan. Karyawan yang lain adalah tukang pijit, kasir, tukang gunting rambut dan juga petugas admin salon yang juga orang kepercayaan Mona.
Pandangan mereka pada Milly tampak menyelidik. Tidak ada yang percaya jika wanita secantik dan semulus Milly, mau bekerja menjadi cleaning service. Anggapan miring dari para wanita yang menjadi rekan kerja Milly mulai berdengung dalam bisikan gossip yang menyebar dengan cepat. Pembatas ruangan yang hanya berupa partisi gypsum, membuat Milly mendengar jelas apa yang sedang mereka bicarakan.
Asumsi keji terlontar dari pikiran
Perlahan-lahan sapaan yang Virgo lontarkan, Jetro sadari. Kepalanya menoleh dan sahabatnya sedang menatap dengan pandangan curiga. “Kamu terlalu memikirkan perceraianmu dengan gadis tidak tahu diri itu, Jetro!” cibir Virgo. Bukan karena tidak menyukai sikap yang Jetro tunjukkan sejak Milly meninggalkan mereka, tetapi Virgo masih geram pada wanita itu karena telah ingkar. Keduanya merasakan kekecewaan yang begitu mendalam. “Jangan menebak seperti peramal gipsi, Virgo!” kelit Jetro dengan suara dingin. Ada kilatan duka dalam matanya yang hampir tidak terlihat, karena Jetro akhirnya memilih menyibukkan diri, pura-pura menatap layar laptop. Namun Virgo tahu dengan baik bahwa Jetro sedang berusaha keras untuk tidak larut dalam situasi saat ini. “Kita berdua telah tertipu oleh penampilannya yang lugu dan polos. Di balik semua sikap naifnya, ternyata dia menyimpan rencana busuk!” desis Virgo masih terdengar gusar. “Dia tidak se
Terlalu sulit menelan makanan jika hati dalam keadaan sakit. Bukan karena oleh seseorang, tapi tekanan situasi yang membuat Milly tersudut dan memikirkan hujatan pada dirinya hingga begitu dalam.“Udah, jangan terlalu dipikirkan, Mill. Nggak penting anggapan mereka tentang kita,” hibur Lusi dengan lembut.Milly tersenyum samar dan mencoba bersikap biasa. Dirinya harus menyimpan rapat-rapat perasaan yang begitu mendera batin saat ini.“Aku mendadak kenyang, Mbak. Bukan karena kejadian yang tadi,” tukas Milly meyakinkan Lusi.“Aku tahu yang kamu pikiran. Dulu semua juga menekanku dengan status janda sekaligus bekas pelacur yang kusandang. Tapi biar aja. Lama-lama capek sendiri mereka,” imbuh Lusi kembali melontarkan kalimat simpati.Tidak ada lagi yang bisa Milly ungkapkan selain diam. Baginya, menelan semua kecewa dan sakit hati adalah biasa.Jika Milly masih seperti dulu yang tidak bisa menahan mulut jika
Ruangan itu tampak dingin, gelap, tidak ada kehangatan yang biasanya mengisi selama beberapa beberapa bulan lalu. Aroma parfum Milly masih tercium saat Jetro melangkah menuju meja rias. Tidak ada satu pun benda yang Milly bawa. Semua pemberian Jetro masih lengkap tertata rapi di atas meja tersebut. Wanita itu meninggalkan semua yang pernah Jetro berikan padanya selama menjadi istrinya.Tangannya mengambil jepit rambut berwarna biru dengan batu swarozki yang pernah ia berikan sebagai hadiah saat Milly tiba. Ia menimang dan membayangkan Milly mengenakan jepit indah tersebut pada rambut lebatnya.Wajah Milly yang bersemu merah ketika ia mencumbunya, terbayang. Jetro memejamkan mata sementara memorinya memanggil kembali seluruh kenangan indah bersama Milly.Keintiman mereka melibatkan hasrat, rasa dan juga hati. Sentuhan yang begitu bergelora, tidak sekedar memuaskan nafsu belaka. Jetro mengakui jika dirinya melakukan keintiman tersebut bukan untuk mencapai puncak k
Kembali lagi, pagi itu Milly bekerja lebih awal karena Mona memintanya untuk mengambil barang di sebuah toko tak jauh dari salonnya. Matanya masih terlihat sembab dan bengkak. Lusi tahu jika semalam Milly menangis. Ia bisa mendengar dengan jelas isak tertahan dari kamar sebelah.Sejak Lusi mendengar pembicaraan Milly dan Lora, ia belum menanyakan tentang hal yang memicu Milly untuk bercerai dengan Jetro.Sikap Milly yang mendadak menjadi lebih pendiam, membuat Lusi urung dan segan. Bukan hanya iba akan kisah dari beberapa rekan mereka yang ternyata mengetahui, Milly menikah karena Jetro membiayai perawatan ayahnya, tapi Lusi juga prihatin akan nasib malang yang Milly alami. Tidak seharusnya wanita berwajah cantik dengan fisik sempurna berakhir dengan nasib yang tak jauh darinya yang penampilannya pas-pasan.Milly layak mendapatkan kesempatan yang lebih baik.Lusi melihat Milly yang kembali dengan barang banyak dan tampak kerepotan, Lusi segera membantunya
Meratapi hidup yang bergelimangan kisah pedih di sekelilingnya dengan tubuh menggigil, Martin meringkuk di sudut ruangan bekas gudang kosong. Keluarganya meninggalkan dirinya dalam kematian yang ia tidak pernah siap untuk hadapi. Martin menyalahkan Tuhan atas takdirnya.Kebencian Martin atas kakaknya, Milly, pun menumpuk. Ketergantungannya selama ini pada perempuan yang selalu menempatkan diri sebagai orang yang selalu bisa ia andalkan, membuat Martin seperti kehilangan pegangan saat Milly pergi dari kehidupan mereka. Kadang pemuda yang baru beranjak dewasa tersebut menyesal. Kenapa dirinya menjadi salah satu beban Milly. Keinginannya untuk segera mandiri dan membantu dalam ekonomi keluarga, ternyata tidak semudah yang ia pikirkan.Kehadiran seorang pria yang ia pikir membantunya berdiri tegak, mencapai kokohnya menjadi pribadi dewasa, ternyata justru menjerumuskan Martin dalam jerat psikotropika yang menenggelamkan jiwanya.Martin menghirup butira
Langkah Milly kadang terseok. Tamparan Mona yang menghajar wajahnya berkali-kali masih terasa sakit dan perih. Milly tidak tahu harus pergi ke mana. Dirinya berjalan tanpa tujuan.Denyut di kepalanya membuat Milly tidak sanggup berjalan lagi. Ia memutuskan untuk berhenti di halte dan duduk dalam kebingungan. Sinar kilat menyambar dan langit bergemuruh. Beberapa menit kemudian hujan turun deras.Milly merapatkan jaketnya dan tidak mampu berpikir jernih.Siapa yang tega memfitnah dirinya seperti itu? Bekerja dengan Mona adalah kesempatan terbaiknya untuk menata kembali hidupnya yang berantakan. Tempat itu menyediakan tempat tinggal dan makan yang cukup.Ia bisa menyimpan uang gaji untuk mimpinya nanti. Tapi kini semua hancur tidak tersisa. Milly hanya sempat mendapat gaji bulan pertama dan dua minggu bekerja berikutnya tidak ada hasil karena diusir dengan tidak hormat.Tanpa pengalaman menjalani kehidupan seperti ini, Milly mengalami kebuntuan. Keman
Air dingin itu membasuh wajah Milly dan menghilangkan rasa kantuk yang menyerangnya. Di toilet umum supermarket itu Milly membersihkan diri dan berpakaian yang lebih sopan. Ketika lari dengan terburu-buru dari rumah Ningsih, Milly hanya mengenakan celana pendek dan kaos saja. Milly menyeret kembali kopernya dan keluar dari kamar kecil. Setelah mengucapkan terima kasih pada karyawan yang baik hati sudah meminjamkan toilet padanya, Milly meninggalkan tempat itu. Tidak memiliki tujuan dan arah jelas, Milly terus berjalan. Jajaran pertokoan di jalan setia budi itu memang sangat ramai dan rapi. Matanya menatap satu persatu bangunan pertokoan dan restoran hingga ia membaca sebuah kertas yang tertempel di kaca. Dibutuhkan beberapa karyawan baru seperti chef, waiter dan waitress yang usianya tidak lebih dari tiga puluh tahun dan minimal lulusan sekolah menengah. Milly menelan ludah lemas. Sesungguhnya ia berharap tidak ada persyaratan pendidikan yang selalu menghamba
Wanita yang berusia sekitar empat puluh tahun itu menyelidiki diam-diam. Citra, karyawan yang mengurus bagian perekrutan merasa penasaran akan alasan Milly bekerja untuk Rosco tanpa persyaratan yang biasa mereka terapkan.Rosco sendiri adalah pria yang tidak memiliki anak dan istrinya meninggal sepuluh tahun yang lalu. Kecintaannya pada dunia memasak memang tidak perlu diragukan lagi. Namun sejak wanita yang dicintainya pergi, Rosco berjuang untuk terus mengobarkan semangat yang ada dalam dirinya. Semuanya menjadi meredup ketika orang yang paling penting dalam hidupnya pergi.Pernah terbersit untuk menutup restoran tersebut karena lelah. Kenangan Bunga Rampai membua Rosco terus bertahan. Istrinya berpesan untuk terus menghidupkan restoran yang telah menjadi ikonik Bandung dan mencari pengganti.Setelah menemukan beberapa manusia, yang Rosco nilai mampu menjadi pilar utama bisa menopang keberadaan restoran tersebut, kini dia butuh memilih orang yang bisa menyatuk