Share

Love for Dark Soul

Setelah menghabiskan malam yang melelahkan tanpa penghasilan sepeser pun, Milly jatuh sakit. 

Derry menyelipkan uang dua ratus ribu untuknya berobat dan Milly hanya terdiam. Dalam kamar kecil rumahnya yang berukuran tiga kali tiga, Milly menarik selimutnya hingga batas leher dengan tubuh menggigil. 

Demam ini terasa menyiksa Milly. Bagaimana tidak jatuh sakit? Milly menghabiskan sepuluh jam lebih non-stop untuk melayani para tamu. 

Ingin rasanya bunuh diri, tapi ketika rintihan ayahnya terdengar dari kamar, Milly menangis sejadinya dan keinginan itu lenyap. 

Apa salah dan dosanya hingga harus menerima cobaan begitu berat? Kenapa hidup memperlakukan dirinya dengan sangat tidak adil? 

Martin muncul dengan teh hangat di tangannya. 

"Minum dulu," ajak Martin. Milly tersenyum samar dan dengan gemetar berusaha bangun. 

Adiknya tertegun ketika tangan kakaknya tersentuh oleh jemarinya. 

"Panas banget badanmu, Mbak. Ke dokter ya?" tanya Martin cemas. 

"Ntar lagi sembuh. Aku udah minum obat flu," tukas Milly mencoba menghindar. 

"Mbak, aku tahu resikonya pekerjaan kamu. Please, berobat sekalian buat jaga diri," pinta Martin dengan suara bergetar. 

Milly tersentak oleh kenyataan itu. Ia mengelus lengan adiknya untuk menenangkan. 

"Ok, Calon Sarjana! Mbak ke dokter sekarang. Tapi kamu jaga bapak dan jangan lupa suntik insulinnya jam empat sore. Ok?" ucap Milly. 

Martin tersenyum lega. 

"Jangan khawatir. Pergi 'dah. Ati-ati, pake jaket," balas Martin. Milly kembali tersenyum. Adiknya sangat manis dan baik. Ia bangga pada Martin yang setahun lagi akan menjadi sarjana ekonomi. 

Setelah berganti pakaian, Milly menuju klinik pelayanan masyarakat gratis terdekat. Antrian sore itu lumayan banyak. Milly sabar menunggu dengan tubuh makin menggigil. 

Tidak lama, namanya dipanggil dan Milly segera masuk. 

Dokter muda itu lupa membalas salam pasiennya yang baru saja masuk. Ia begitu mengagumi makhluk menawan yang hadir di depannya. 

"Dok?" senggol asistannya. 

"Oh iya, selamat sore eh malam. Silahkan duduk di sana," jawab Prana, nama dokter itu dengan jengah. 

Milly mengangguk dan naik ke atas ranjang kecil tempat pasien biasa berbaring. 

"Keluhan?" tanya Prana sambil memasang stetoskopnya. 

"Demam tinggi dan ngilu sekujur tubuh, Dok," jawab Milly lirih. 

Prana memeriksa semuanya dan meminta Milly mengancingkan kembali blusnya. 

Setelah bertanya jawab dalam standard reguler pemeriksaan, Prana menuliskan beberapa resep.

"Dok, saya adalah wanita penghibur," akunya Milly dengan terbata-bata. Prana tercekat dan berhenti menulis. 

"Mungkinkah saya terkena penyakit dalam atau kelamin?" tanya Milly sambil menahan tangis. Prana menghela napas. 

"Tidak bisa semudah itu mengambil kesimpulan. Harus ada pemeriksaan pada daerah ... Ibu tahu yang saya maksud 'kan?" tanggap Prana. Milly mengangguk. 

"Selain itu, tes darah juga menentukan kelengkapan diagnosa. Kebetulan saya adalah spesialis penyakit dalam. Kalau tidak keberatan, bisa ambil darah dulu kemudian saya observasi bersama rekan saya, dokter spesialis kulit dan kelamin. Bagaimana?" 

"Mungkin tidak hari ini, Dok. Uang saya nggak cukup," tangkis Milly. 

"Ini bisa saya masukkan ke dalàm program bantuan untuk wanita, Bu. Lagipula, ini klinik gratis dan iIbu tidak perlu membayar," tukas Prana. Milly mengangguk dengan ragu. 

"Perawat saya nanti yang akan menindak lanjuti ya?" sambung Prana. 

Dengan hati berdebar, Milly mengiyakan. Hatinya terlalu gundah dan dirinya tidak tahu harus berpikir apa. 

Setelah mengambil darah dan juga mengisi formulir, Milly pulang. Hatinya sedikit lega. Setidaknya ia sudah mendapatkan pertolongan pertama melalui dokter yang baik tadi. 

Sepeninggal Milly, Prana mengerling dengan penasaran pada formulir yang wanita tadi telah lengkapi. Prana menyayangkan, wanita semuda itu harus menempuh hidup yang getir. Milly Berliana, Prana mengeja nama tersebut dalam hati. 

Mata dan raut wajah wanita tadi begitu melekat dalam benaknya. Dirinya menangkap sebuah kejujuran yang diucapkan dengan ekspresi putus asa. 

Pengakuan Milly begitu menyentuh dirinya. Alih-alih menilai dengan sebelah mata, Prana justru merasakan simpati yang begitu mendalam pada Milly.

Mata yang jernih dengan bulu mata lentik tanpa maskara, wajah yang polos tanpa riasan, bibir semu merah muda tanpa ulasan lipstik, dia terlihat sempurna dalam kesederhanaannya. 

Kemana wanita itu selama ini? Prana justru berpikir, seandainya saja mereka bertemu lebih awal mungkin ia bisa menyelamatkan gadis itu. 

"Dok, pasien berikutnya?" tanya asisten praktek pada Prana untuk kali ketiga. 

"Oh, boleh-boleh! Sorry," jawab Prana tergagap. Lamunannya tentang Milly mengalihkan konsentrasi saat ini. 

"Masih mikirin wanita yang tadi? Duh, Dokter ini. Cewek cakep yang normal banyak di luar," kecam asistannya dengan mimik mencemooh. Nadanya sangat merendahkan. 

"Apa yang bikin wanita tadi nggak normal di matamu?" tanya Prana sembari menuliskan catatan di jurnalnya. Asistan Prana gugup dan menyadari jika ia salah memberi saran. 

"Sorry, Dok. Nggak bermaksud ...,"

"Menghina maksudmu? Sari, masyarakat di sekeliling kita saat ini, rata-rata memiliki penilaian kayak kamu. Kalian begitu kejam menghakimi tanpa mau bertoleransi pada sebab musababnya!" sambar Prana dengan tajam. 

"Dia tetap normal seperti yang lain, bukan sampah masyarakat. Kalo mau menjuluki sampah, koruptor, penyebar kebencian dengan teroris itu lebih pantas dan tepat." Ucapan Prana lebih melunak dibandingkan yang tadi. 

Sari menunduk dengan malu. Mulutnya terlalu lancang dan hatinya terlanjur menjatuhkan sangka. 

"Maaf, Dok. Saya yang salah," sesal Sari.

Prana menghela napas dan menggelengkan kepala. Asistannya tersebut langsung memanggil pasien berikut. 

***

Milly tidur dengan kepala berat dan dada sesak. Demam tubuhnya kembali naik secara perlahan. 

Martin mengintip kakaknya yang sesekali mengigau. Pemuda yang baru memasuki usia dua puluh tahun tersebut baru menyadari jika Milly telah berjuang dengan gigih dan keras. Dirinya ingin meringankan tapi kakaknya selalu mendorong Martin untuk konsentrasi pada kuliahnya. 

"Semakin cepat kamu mandiri, makin baik. Buat bangga kami dan kamu harus jadi manusia yang punya pangkat juga martabat!" Itulah yang selalu Milly katakan pada Martin. Ia tidak pernah membantah. Milly adalah segalanya bagi Martin. 

Kini, setahun lagi ia akan diwisuda dan berharap akan segera mengambil alih beban keluarganya. Martin ingin Milly bahagia, mungkin menikah. Walaupun kini profesinya sangat memalukan, jiwa kelam seperti Milly juga butuh sebuah cinta. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status