แชร์

Love for Dark Soul

ผู้เขียน: Theresia Rini S
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2021-04-28 11:03:39

Setelah menghabiskan malam yang melelahkan tanpa penghasilan sepeser pun, Milly jatuh sakit. 

Derry menyelipkan uang dua ratus ribu untuknya berobat dan Milly hanya terdiam. Dalam kamar kecil rumahnya yang berukuran tiga kali tiga, Milly menarik selimutnya hingga batas leher dengan tubuh menggigil. 

Demam ini terasa menyiksa Milly. Bagaimana tidak jatuh sakit? Milly menghabiskan sepuluh jam lebih non-stop untuk melayani para tamu. 

Ingin rasanya bunuh diri, tapi ketika rintihan ayahnya terdengar dari kamar, Milly menangis sejadinya dan keinginan itu lenyap. 

Apa salah dan dosanya hingga harus menerima cobaan begitu berat? Kenapa hidup memperlakukan dirinya dengan sangat tidak adil? 

Martin muncul dengan teh hangat di tangannya. 

"Minum dulu," ajak Martin. Milly tersenyum samar dan dengan gemetar berusaha bangun. 

Adiknya tertegun ketika tangan kakaknya tersentuh oleh jemarinya. 

"Panas banget badanmu, Mbak. Ke dokter ya?" tanya Martin cemas. 

"Ntar lagi sembuh. Aku udah minum obat flu," tukas Milly mencoba menghindar. 

"Mbak, aku tahu resikonya pekerjaan kamu. Please, berobat sekalian buat jaga diri," pinta Martin dengan suara bergetar. 

Milly tersentak oleh kenyataan itu. Ia mengelus lengan adiknya untuk menenangkan. 

"Ok, Calon Sarjana! Mbak ke dokter sekarang. Tapi kamu jaga bapak dan jangan lupa suntik insulinnya jam empat sore. Ok?" ucap Milly. 

Martin tersenyum lega. 

"Jangan khawatir. Pergi 'dah. Ati-ati, pake jaket," balas Martin. Milly kembali tersenyum. Adiknya sangat manis dan baik. Ia bangga pada Martin yang setahun lagi akan menjadi sarjana ekonomi. 

Setelah berganti pakaian, Milly menuju klinik pelayanan masyarakat gratis terdekat. Antrian sore itu lumayan banyak. Milly sabar menunggu dengan tubuh makin menggigil. 

Tidak lama, namanya dipanggil dan Milly segera masuk. 

Dokter muda itu lupa membalas salam pasiennya yang baru saja masuk. Ia begitu mengagumi makhluk menawan yang hadir di depannya. 

"Dok?" senggol asistannya. 

"Oh iya, selamat sore eh malam. Silahkan duduk di sana," jawab Prana, nama dokter itu dengan jengah. 

Milly mengangguk dan naik ke atas ranjang kecil tempat pasien biasa berbaring. 

"Keluhan?" tanya Prana sambil memasang stetoskopnya. 

"Demam tinggi dan ngilu sekujur tubuh, Dok," jawab Milly lirih. 

Prana memeriksa semuanya dan meminta Milly mengancingkan kembali blusnya. 

Setelah bertanya jawab dalam standard reguler pemeriksaan, Prana menuliskan beberapa resep.

"Dok, saya adalah wanita penghibur," akunya Milly dengan terbata-bata. Prana tercekat dan berhenti menulis. 

"Mungkinkah saya terkena penyakit dalam atau kelamin?" tanya Milly sambil menahan tangis. Prana menghela napas. 

"Tidak bisa semudah itu mengambil kesimpulan. Harus ada pemeriksaan pada daerah ... Ibu tahu yang saya maksud 'kan?" tanggap Prana. Milly mengangguk. 

"Selain itu, tes darah juga menentukan kelengkapan diagnosa. Kebetulan saya adalah spesialis penyakit dalam. Kalau tidak keberatan, bisa ambil darah dulu kemudian saya observasi bersama rekan saya, dokter spesialis kulit dan kelamin. Bagaimana?" 

"Mungkin tidak hari ini, Dok. Uang saya nggak cukup," tangkis Milly. 

"Ini bisa saya masukkan ke dalàm program bantuan untuk wanita, Bu. Lagipula, ini klinik gratis dan iIbu tidak perlu membayar," tukas Prana. Milly mengangguk dengan ragu. 

"Perawat saya nanti yang akan menindak lanjuti ya?" sambung Prana. 

Dengan hati berdebar, Milly mengiyakan. Hatinya terlalu gundah dan dirinya tidak tahu harus berpikir apa. 

Setelah mengambil darah dan juga mengisi formulir, Milly pulang. Hatinya sedikit lega. Setidaknya ia sudah mendapatkan pertolongan pertama melalui dokter yang baik tadi. 

Sepeninggal Milly, Prana mengerling dengan penasaran pada formulir yang wanita tadi telah lengkapi. Prana menyayangkan, wanita semuda itu harus menempuh hidup yang getir. Milly Berliana, Prana mengeja nama tersebut dalam hati. 

Mata dan raut wajah wanita tadi begitu melekat dalam benaknya. Dirinya menangkap sebuah kejujuran yang diucapkan dengan ekspresi putus asa. 

Pengakuan Milly begitu menyentuh dirinya. Alih-alih menilai dengan sebelah mata, Prana justru merasakan simpati yang begitu mendalam pada Milly.

Mata yang jernih dengan bulu mata lentik tanpa maskara, wajah yang polos tanpa riasan, bibir semu merah muda tanpa ulasan lipstik, dia terlihat sempurna dalam kesederhanaannya. 

Kemana wanita itu selama ini? Prana justru berpikir, seandainya saja mereka bertemu lebih awal mungkin ia bisa menyelamatkan gadis itu. 

"Dok, pasien berikutnya?" tanya asisten praktek pada Prana untuk kali ketiga. 

"Oh, boleh-boleh! Sorry," jawab Prana tergagap. Lamunannya tentang Milly mengalihkan konsentrasi saat ini. 

"Masih mikirin wanita yang tadi? Duh, Dokter ini. Cewek cakep yang normal banyak di luar," kecam asistannya dengan mimik mencemooh. Nadanya sangat merendahkan. 

"Apa yang bikin wanita tadi nggak normal di matamu?" tanya Prana sembari menuliskan catatan di jurnalnya. Asistan Prana gugup dan menyadari jika ia salah memberi saran. 

"Sorry, Dok. Nggak bermaksud ...,"

"Menghina maksudmu? Sari, masyarakat di sekeliling kita saat ini, rata-rata memiliki penilaian kayak kamu. Kalian begitu kejam menghakimi tanpa mau bertoleransi pada sebab musababnya!" sambar Prana dengan tajam. 

"Dia tetap normal seperti yang lain, bukan sampah masyarakat. Kalo mau menjuluki sampah, koruptor, penyebar kebencian dengan teroris itu lebih pantas dan tepat." Ucapan Prana lebih melunak dibandingkan yang tadi. 

Sari menunduk dengan malu. Mulutnya terlalu lancang dan hatinya terlanjur menjatuhkan sangka. 

"Maaf, Dok. Saya yang salah," sesal Sari.

Prana menghela napas dan menggelengkan kepala. Asistannya tersebut langsung memanggil pasien berikut. 

***

Milly tidur dengan kepala berat dan dada sesak. Demam tubuhnya kembali naik secara perlahan. 

Martin mengintip kakaknya yang sesekali mengigau. Pemuda yang baru memasuki usia dua puluh tahun tersebut baru menyadari jika Milly telah berjuang dengan gigih dan keras. Dirinya ingin meringankan tapi kakaknya selalu mendorong Martin untuk konsentrasi pada kuliahnya. 

"Semakin cepat kamu mandiri, makin baik. Buat bangga kami dan kamu harus jadi manusia yang punya pangkat juga martabat!" Itulah yang selalu Milly katakan pada Martin. Ia tidak pernah membantah. Milly adalah segalanya bagi Martin. 

Kini, setahun lagi ia akan diwisuda dan berharap akan segera mengambil alih beban keluarganya. Martin ingin Milly bahagia, mungkin menikah. Walaupun kini profesinya sangat memalukan, jiwa kelam seperti Milly juga butuh sebuah cinta. 

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • The Devil's Mistress   The Devil Mistress

    Kapal pesiar yang sedang menyelenggarakan pesta pernikahan Virgo dan Joya itu tampak dihadiri oleh ratusan, bahkan mungkin ribuan tamu. Semua tampil dengan baju mahal dan elegan. Masing-masing tidak menyembunyikan diri dari wujud aslinya. Para siluman, manusia keturunan iblis, dan juga makhluk unik lainnya menunjukkan diri mereka yang sesungguhnya. Milly duduk dengan mempelai wanita, Joya, Gen, Trey dan Minerva juga Greta. Wanita tambun yang terlihat mulai bisa berbaikan dengan Jetro dan Virgo itu, terlihat ingin mengenal Milly lebih dekat lagi. Hidangan mewah terhidang terus menerus tanpa berhenti. Sementara minuman yang mahal, seperti sampanye dan wine, juga mengalir non-stop. Virgo menyalami satu persatu kawan lama yang sudah lama tidak ia temui. Mereka sangat terkejut ketika melihat Virgo akhirnya menjatuhkan pilihan pada seorang wanita cantik yang sangat eksotis. Ketika pembawa acara mengumumkan mengenai sambutan dari mempelai wanita, Mil

  • The Devil's Mistress   Jetro Six is Back

    Pagi itu, Milly terbangun dan jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Tidak biasanya ia terbangun lambat.Ia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya dan beringsut turun. Setelah mengingat ingin segera memeriksa kondisi Jetro, ia bergegas menuju kamar mandi.Tadi malam, Milly sempat menengok sebentar sebelum tidur. Betapa batu permata ajaib itu memang bereaksi sangat cepat pada Jetro. Tubuh pria yang tadinya mengalami sakit parah dan tinggal kulit yang membalut tulang, kini mulai mengubah Jetro kembali seperti sebelumnya.Sangat mengesankan!Harapan Milly, semoga pagi ini Jetro sudah pulih seutuhnya. Setelah berganti baju, Milly merapikan tempat tidur. Meski Frey selalu membongkar dan merapikan kembali, tapi Milly tetap merapikan setiap harinya.Sebelum keluar dari kamar, ia mematutkan diri di depan kaca. Pantulan bayangan yang di depannya, membuat Milly tersenyum.Baju terusan sederhana dan sedikit longgar ini, dengan kancing kecil dari

  • The Devil's Mistress   One Life Replace Another

    Ketika memasuki ruangan yang tampak terang itu, Milly melihat semua hadir. Bahkan pilot dan sopir Jetro yang tidak pernah nimbrung juga ada di sana.Virgo memberi isyarat pada Minerva untuk mendekat. Jetro dalam posisi duduk menatap Milly dengan wajah pucat. Matanya cekung dan tulang pipinya tampak tirus.Pria gagah yang pernah Milly kenal berubah menjadi mayat hidup, yang tinggal tulang belulang berbalut kulit.Minerva dan Virgo berdiri berhadapan, sementara saling berpegangan tangan. Entah apa yang mereka gumamkan, tapi Milly mendengar dengung halus seperti mantra terlontar dari semuanya. Trey memberikan tabung kaca yang berisi Blood Diamond sebesar bola kelereng itu, lalu memberikan pada Frey.Sementara dalam hati ia terus bertanya dan menebak rentetan pengembalian batu ke dalam tubuh Jetro. Frey mengambil batu tersebut lalu mendekati Jetro yang tersenyum tipis kepadanya.Tidak pernah Milly duga sebelumnya, jika proses tersebut akan begitu memil

  • The Devil's Mistress   Roller Coaster Life

    Setelah kembali ke pulau pribadi Jetro, Milly hanya duduk termenung dengan wajah melamun. Koper dan semua benda miliknya yang baru saja Maxer letakkan di kamarnya belum tersentuh sedikit pun.‘Kenapa aku menjalani kehidupan ini?’ batin Milly masih tidak mengerti bisa terjebak dalam kehidupan seperti ini.Pikirannya kembali terbayang saat merunut semua perjalanan hidupnya dari pertama bertemu mereka semua.Waktu remaja, bukan ini yang ia cita-citakan untuk terjadi. Bahkan ketika menjalani profesi sebagai pelacur pun, Milly tidak pernah memiliki imajinasi akan berada dalam lingkungan para siluman, monster, bahkan iblis.“Aku adalah manusia yang tidak pernah menginginkan hal besar terjadi dalam hidupku. Aku bukan wanita serakah. Tapi kenapa alur hidup bisa sedemikian rumit?” gumam Milly pada dirinya sendiri.Wajah cantiknya menengadah dan memandang langit-langit kamarnya.Pertama kali ia datang tiba di kamar ini, dirinya

  • The Devil's Mistress   Damn Soul Rest in Regret

    Milly memandang wajah Prana sepuasnya. Mungkin ada sekitar satu jam ia membiarkan dirinya menangis serta mengenang masa lalu mereka.Tidak terpikir dirinya akan menjadi malaikat maut, penjemput jiwa bagi Prana.Tidak juga terbayang jika Prana menyerahkan nyawanya dengan sukarela, tanpa perlawanan.Benarkah masih ada bentuk cinta yang masih sedemikian tulus dan segila ini? Memberikan nyawa demi yang dicintai?Akhirnya pintu terkuak dan Joya masuk lebih dulu.“Mill,” panggil siluman ular yang telah menjadi sahabatnya itu pelan. Joya terlihat prihatin dan tegang.Wanita yang dipanggil namanya menoleh dan kembali menangis. Joya berlari mendekat, lalu bersimpuh di hadapan Milly.“Aku tidak perlu menjadi pembunuhnya secara langsung, Joy. Dia menyerahkan nyawanya tanpa perlawanan,” adunya Milly seperti ingin meluapkan sesal yang menghimpit dadanya.Joya memeluk Milly dan mengusap punggung dengan lembut.

  • The Devil's Mistress   Every Creature Deserve

    Makan malam yang mungkin menjadi akhir dari hidup Sybil atau Prana, dipenuhi keheningan dan isak tangis pelan yang terlontar dari Milly.“Jadi hatimu lebih memilih Jetro ….” Prana seperti berkata pada dirinya sendiri.Milly masih membisu dalam sedu sedan.“Seharusnya aku sadar dan tidak memaksakan kehendakmu. Maafkan aku, Mill. Telah membuat hidupmu seperti di neraka dunia.” Prana menitikkan air mata pertama dan menatap Milly dengan kesedihan juga penyesalan mendera.“Di luar semua kekejian yang telah kulakukan padamu, satu hal yang ingin aku kembali katakan padamu, Mill Berliana. Aku sangat mencintaimu melebihi nyawaku sendiri. Seandainya untuk membuktikan seberapa besar perasaan ini harus menyerahkan napasku, aku rela.”Milly menutup wajah dengan kedua tangannya.Dengan gerakan perlahan, Prana meraih sendok dan garpu, lalu kembali menyuap makan malam. Kunyahan itu diiringi derai air matanya.

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status