“Ah, baik.” Tanpa perlu berpikir bahwa dia kesal, aku bergegas turun dengan mendorong pintu tanpa bantuannya, tidak seperti saat kami akan berangkat.
Seorang wanita tua, mungkin berusia setengah abad lebih sepuluh tahun, menyambut kami dengan senyum yang dipaksakan. Dia mengenakan terusan polkadot hitam dengan warna latar putih bersama rambut yang tersanggul rapi. Dia terlihat modis di usia tuanya.
“Tuan Muda Tom ada di kamar utama lantai satu, mari kuantar kalian ke sana.” Dia mengangguk pelan, mungkin isyarat agar kami mengikutinya.
Rumah besar bergaya klasik dan terlihat antik. Aku terpesona sejenak, tapi Rhys menarikku ke sebuah lemari besar di dekat sebuah pintu, setelah dia meminta wanita tua itu meninggalkan kami berdua saja.
Merasa sesak meski dalam sebuah lemari yang tidak terisi apapun, aku berusaha menjauh sedikit dari si menakutkan ini.
Hebatnya, dia tidak membungkuk saat berada di dalam sini. Itu menandakan, lemari kayu tua nan kokoh ini cukup besar dan melebihi tinggi tubuh Rhys.
“Dengar, Tom Jhon Parera, baru saja kehilangan kedua orang tuanya yang menentang keluarga kita. Dia juga kehilangan penglihatannya pada kecelakaan itu. Dan sekarang, tidak ada satupun orang di rumah ini yang berada di pihaknya. Kau hanya perlu merayunya dengan lembut, agar setuju menandatangani surat pernyataan jual beli tanah, milik keluarga mereka di tengah kota Yellowrin.” Rhys bicara tanpa jeda, seperti bukan dirinya, dia mencengkeram pergelangan tanganku dengan lembut.
Aku mengerjap, sampai Rhys mendekatkan tubuhnya padaku, dan mengerikan, tubuh bagian depannya menempel padaku. Napasku tertahan, aku takut.
“Apa aku akan mendapat bantahan?” Dia bertanya dengan suara yang terdengar berat di telingaku.
“Tidak.” Aku berusaha menjawab seyakin yang kubisa.
“Bagus. Ingat baik-baik, mungkin Tom akan mengajakmu bermain, tapi kau tak perlu khawatir, karen aku akan berada di sana. Memperhatikan kalian.” Dengan kedua matanya yang lebih mirip mata ular daripada mata elang, dia menatapku penuh aura mengintimidasi.
“Ya, baiklah.”
Tubuhnya mulai mundur dariku. Dan itu, menghilangkan sedikit rasa ngeri yang dirasakan oleh sekujur tubuhku.
“Dan ingat ...,” katanya lagi, menatap tajam kembali padaku, “dia menyukai wanita dengan ketukan pelan juga teratur dalam setiap langkahnya. Jangan buru-buru, lakukan semua itu dengan baik. Ada hukuman dariku jika kau gagal, ZeeZee.” Rhys mengucapkan namaku dengan lembut dan hati-hati. Itu berbeda, dia hampir tidak pernah menyebut namaku. Dan aku berusaha tenang untuk semua yang akan kuhadapi.
Dia mulai melangkah keluar dari lemari, menungguku di depan pintunya, seolah dia pria sejati yang baik hati. Rhys menahanku dengan isyarat tangannya di depan wajahku, lalu dia mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya.
Sebotol kecil parfum yang kemudian dia semprotkan di semua bagian leherku, dan sekitar blazer abu-abu yang kukenakan. Dia menatapku yang mengernyit karena aroma parfum yang menusuk hidungku, meski wangi klasiknya begitu menyenangkan.
Setelahnya, kami berjalan bersisian, dan Rhys tidak perlu memberitahuku berulang kali tentang caraku berjalan sesuai kesukaan target kami. Dan Rhys hanya menatapku sekilas, melangkah lebih dulu dan menungguku di depan pintu.
Aku mengenali siapa Tom Jhon Parera. Dia kehilangan kekasihnya yang seorang model terkenal—Lucika Holloway—karena bunuh diri. Berita tentang Tom, mulai sering menghiasi majalah dan surat kabar sejak itu. Bahkan rumor tentang Tom yang mulai berhalusinasi bahwa sang kekasih masih hidup, juga beredar kencang waktu itu. Mungkin sekitar tujuh atau delapan bulan lalu.
“Mulailah beraksi,” bisik Rhys ketika pintu sudah mulai dibuka olehnya, dan dia mempersilahkan aku masuk menghampiri si tukang berkhayal.
Tom duduk di sebuah kursi berlengan layaknya Bos besar seperti Ayahku, dan caranya duduk mirip dengan salah satu Kakakku, Adorjan si gila kekuasaan.
Tatapannya lurus, meski hanya kekosongan yang jelas terbaca dari wajahnya. Dia tampan, seimbang dengan ketampanan salah satu Kakakku, Hugo.
Meski dalam posisi duduk, dia tetap terlihat memiliki tubuh yang tinggi, kulit sawo matang, bibir dan alis yang tipis, juga rambut hitam yang disisir rapi ke belakang. Dia tidak terlihat buta, tampak normal, dan tentu baik-baik saja.
Aku sudah berada tepat dihadapannya setelah tadi melangkah sangat anggun—lambat dan teratur—untuk menghampirinya.
“Selamat pagi, Tuan Tom Jhon Parera.”
Dia menaikkan alisnya, tersenyum manis, lalu menopang dagunya. “Selamat pagi, sayang. Aku tahu kau akan datang,” katanya.
Aku ingin menoleh untuk melihat Rhys, tapi urung, karena aku tahu, ini belum apa-apa. Bukan saatnya aku meminta bantuan. Dia bisa menghukumku sampai mati.
Biasanya, aku selalu mudah membantu kelima Kakakku yang lain dalam urusan yang hampir mirip seperti ini. Aku juga terbiasa menembak mati target yang diinginkan kelima Kakakku.
Tapi tidak pada Rhys. Dia berbeda. Ini bantuan pertama yang kuberikan untuknya, dan menjadi pertama kalinya dia memberiku tugas. Dan tugas ini lebih sulit daripada menempelkan mulut pistol di kening seseorang.
“Kenapa diam? Kau sedang mengatur napas?” Dia tersenyum mengejek.
Tidak menjawab, aku melangkah pelan, berhati-hati dengan stilleto boots-ku agar dapat memberi ketukan yang rapi dan terkesan tidak buru-buru, seperti keberhasilan pertama yang kudapat tadi.
Aku sudah berdiri di sampingnya, meletakkan tangan kananku di pundaknya sesaat. Memastikan bahwa dia terpengaruh, aku langsung duduk di pangkuannya. Tentu dia akan tertawa seperti sekarang. Aku sudah menebak hal itu.
Walaupun jarang mendapatkan tugas seperti ini, tapi aku sedikit memahami tipikal pria kesepian seperti Tom. Aku melihat ke arah Rhys yang berdiri dalam jarak kurang lebih lima meter dariku.
Dia bersandar santai di tembok bercat putih dengan tangan terlipat di depan dada. Menatapku, maksudku, menatapku dan Tom dengan tatapan tak berkedip. Sempat canggung, tapi anggukan kepala dari Rhys, membuatku percaya diri, bahwa aku tidak melakukan kesalahan.
Kudekatkan tubuhku sedikit lebih rapat ke tubuh Tom. Aku tidak ingin terkesan terlalu mudah di awal perkenalan kami.
Dia mengendus, sedikit meraba dengan gerakan tak mahir. Wajar, kondisi ini bukan bawaan lahir, jadi dia akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi dengan keadaannya sekarang.
Beruntung, dia meraba wajahku, tepatnya di bagian bawah bibirku. Dia tersenyum senang, tetap dalam gerakan jari yang menyentuh dan menyapu bibirku.
Aku menahan napas, aku ingat, meski samar, seseorang pernah melakukan hal yang sama seperti ini padaku, di kamarku pada malam hari yang gelap gulita—aku tak suka tidur dengan lampu menyala—dan dia mencoba menciumku.
Aku tidak tahu siapa dia. Tapi ingatan pastiku mengatakan dia salah satu dari keenam Kakak laki-lakiku, tapi jelas, sepertinya Rhys tidak masuk dalam hitungan.
Itu terjadi tujuh tahun yang lalu. Dan sejak itu, aku selalu mengunci pintu kamar dan menyembunyikan kuncinya di balik bantalku.
Ah, kutarik kembali ucapanku tentang Rhys, karena tadi, dia bisa duduk santai di tepi ranjangku tanpa izin. Sekali lagi, itu mengerikan.
Keluargaku memang gila. Mereka semua aneh dan menjijikkan, meski aku juga termasuk salah satu dari mereka.
“Cika ... ini sungguh kau?”
Aku tersadar dari lamunan, menoleh pada Rhys, tapi dia tidak mengangguk atau memberi isyarat lain. Aku tahu, dia ingin mengujiku, menilai cara kerjaku.
“Ya, sayang ... ini aku,” bisikku lembut di telinganya.
Aku sadar dia masih mengendus, aku tahu itu caranya dalam mengenaliku sebagai Lucika Holloway.
Apa semudah ini?
Suara gedebuk membuatku lebih dulu merasa terkejut daripada sakit. Baru saja aku merasa ragu, Tom sudah melempar tubuhku ke lantai dengan wajah berang.
“Jangan coba-coba menipuku!”
Bersambung.
Rok pensil ketat pemberian Rhys, robek pada bagian kirinya. Dan itu membuatku geram, ketika menyadari paha sedikit di atas lututku terlihat dengan sempurna sekarang. Beruntung dia buta, jadi hanya Rhys yang bisa melihat kulit sensitif-ku yang terbuka.Si berengsek Tom Jhon Parera berteriak-teriak kasar dengan bahasa asing. Aku sedikit tahu artinya, dia menginginkanku keluar dari ruangan ini. Meski begitu, dia tetap duduk di kursi berlengannya.“Diam dan tenanglah, Tom.” Aku bangun dalam gerakan cepat dan kembali menghampirinya.“Wanita jalang sialan, keluar kau!” Dia sudah kembali pada bahasa aslinya. Menunjuk-nunjuk menggunakan telunjuknya yang tidak akan pernah tepat ke arahku.“Tidak, tidak. Kau tidak bisa mengusirku dulu. Ada yang harus kau lakukan untukku, sayang,” kataku sambil mengelus wajahnya dan aku mendapatkan tangan besarnya menepis dengan sangat kasar padaku.“Setelah berani menipu, kau mencoba meminta sesuatu dariku?” Wajahnya merah padam,
Dia bukan melihat pada bagian atas lututku yang terbuka, tapi tatapannya tepat menghujam kedua bola mataku.Aku tahu, selangkah lagi menuju kematian yang bukan makna sebenarnya dari kematian itu sendiri.Cukup tegang, aku melepas rok pensil ketat sialan ini dengan perlahan, dan tentu saja sulit. Beruntungnya kemeja putih polos yang menutupi celana dalamku, benar-benar menjalankan perannya yang baik. Sehingga bagian itu tertutup dari pandangan kedua matanya.“Tidak ada waktu lagi. Buka blazer-mu untuk menutupi bagian depan,” perintah Rhys. Dan kurasa itu hanya perintah konyol untuk mempermalukanku.“Lalu ini untuk bagian belakang,” katanya lagi sambil melempar jas-nya ke arahku. Tepat menutupi kepalaku saat jas itu mendarat. Dia memang tidak akan pernah memiliki secuil pun sopan santun. Tidak akan pernah.Sejujurnya, ini terlihat konyol dan memalukan. Dua bentuk luaran dari pakaian untuk menutupi bokong dan bagian depanku. Aku tahu, Rhys berniat me
Kurasakan tarikan halus di sekitar kepalaku. Rhys melakukannya. Dia menyisiri rambut cokelat-ku yang melewati bahu.“Berapa kali kau keramas dalam seminggu?”Aku hampir tertawa. Dia yang jarang bicara jika tidak ada hal penting, kenapa bertanya mengenai hal sepele?“Hampir tiap pagi aku keramas,” sahutku datar, sebisa mungkin begitu.“Ganti waktunya.”“Apa?”“Setiap sore,” katanya tanpa mau mengulangi pertanyaan kebingunganku.“Bisa beritahu aku alasannya?”“Hanya ingin.”Aku benar-benar memimpikan saat-saat di mana aku bisa memukul wajahnya, meski itu tidak akan pernah terwujud dalam kehidupan nyataku.“Hanya ingin?”“Jangan biasakan mengulangi perkataanku.”“Baik.” Aku cukup cepat menjawabnya karena tidak ingin nada mengintimidasi yang lebih dari ini.“Mulai hari ini, setiap pulang dari Oxley Family Wood aku akan singgah. Jangan biarkan siapapun masuk dan berada di kamarmu. Keramaslah satu jam sebelum ak
Dengan pelan, aku mengangguk dan menjawab, “Ya.”Rhys melanjutkan percakapannya di telepon. Aku tidak fokus pada apa yang dia bicarakan, tapi sepertinya itu ada kaitannya dengan Tom Jhon Parera.“Urus semua sisanya. Jangan ada yang terlewat.” Rhys melirikku yang kebetulan, tertangkap basah sedang mencuri pandang ke arahnya. Cengkeraman eratnya mengendur. Aku tidak paham kenapa itu terjadi. “Sebaiknya kau tidak menghubungiku sampai nanti kuizinkan.” Rhys memberi peringatan di telepon, lalu mengakhiri panggilan.Melepas cengkeraman tangannya, dia kembali naik ke ranjangku. “Ayo mulai lagi. Gangguan sudah lewat.”Semakin lama, semakin terasa bahwa aku hanyalah pecundang yang terlihat mengalami kemajuan.Hampir lima puluh lima menit ketika Rhys memintaku berhenti. Aku benar-benar menghitung dengan tepat waktunya. Detail seperti ini, sewaktu-waktu, aku akan membutuhkannya.“Besok pagi, kenakan pakaian yang akan diantarkan Peony padamu. Kau harus
Aku bergeming ketika Rhys sudah berdiri di belakangku. Posisi yang sama seperti saat dia mengepang rambutku kemarin sore.Dia membuka tatanan half ponytail-ku, dengan perlahan-lahan. Menyisiri rambutku dengan jari-jarinya. Setelah itu, aku tidak bisa merasakan apa yang dia lakukan di belakang, tepatnya pada rambutku.Diam membeku, aku menahan rasa ingin merosot duduk di lantai. Aku bergetar karena merasakan kedekatan yang mengancam dibalik punggungku.Grapefruit dan pepper dari tubuh kami seakan menyatu, aromanya sangat kuat memenuhi ruang perpustakaan yang ukurannya setengah dari perpustakaan kesatu milik Ayah dan Ibu.Kali pertama aku ke sini, sebentar, aku tidak ingat, dan sepertinya memang aku belum pernah menginjakkan kakiku ke sini. Aku juga tidak yakin kelima Kakakku yang lain pernah dibiarkan masuk oleh Rhys.“Pergilah bercermin.” Rhys berkata dengan nada memerintah, dan itu berhasil mengejutkanku.Rambutku terasa dalam balutan berbeda. Se
“Katakan sesuatu yang benar-benar setimpal dengan waktuku yang kau buang.” Rhys memandangku, terlihat menikmati caraku mencegahnya pergi.“Bisakah kita mendiskusikan ini dalam perjalanan?” Aku mengais jari-jari kaki kanan di lantai marmer honed yang anti licin. Sampai kapan aku tidak diizinkan mengenakan alas kaki seperti ini?“Apa yang ingin kau diskusikan?”“Tentang ...” Aku menoleh sekilas ke lorong menuju ruang makan, “tentang ucapan konyolku tadi.”“Kau berubah pikiran?”“Ya.”“Bagus.” Dia memutar tubuhnya. “Ikut aku.” Baru dua langkah berjalan, dia berhenti, melihatku melewati bahunya. “Jangan berjalan dibelakangku.”Menghela napas diam-diam, aku menurut. Berjalan di sisinya dengan kedua kaki telanjang. Tidak bisa kubayangkan bagaimana perihnya kedua kakiku jika digunakan saat menginjak aspal atau lantai yang terkena sinar matahari.Jelas sekali Rhys ingin membuatku menderita.Kami tiba di garasi. Sama seperti sebelumnya, a
Apel matang yang sudah berdiri di puncak kepalaku sedikit tidak menurut. Sesekali dia hampir merosot, dan aku berhasil menangkapnya.Aneh, Rhys terlihat sabar akan hal itu. Dia diam menunggu, tanpa mengatakan apapun meski pandangan kedua matanya begitu tajam dan menakutkan.Aku mengisyaratkan dengan tanganku bahwa si apel sudah siap, dan aku juga siap untuk mati. Berlebihan memang. Tapi aku hanya siap untuk terluka, bukan mati konyol.Dalam jarak terdekat, bukan seharusnya—tiga puluh meter—sekitar dua puluh meter, mungkin Rhys bisa mengenai apelnya. Berdoa saja, atau paling tidak, aku berharap tidak, jangan sampai kepalaku yang terkena bidikan anak panahnya.Mungkin jika harus memilih, lengan, bahu, atau kaki ya, sebaiknya anggota tubuh yang lain. Oh baiklah, aku sedikit panik! Ini gila!Rhys terlihat sudah menarik string. Dan ayolah, Putri bungsu Oxley, jangan tatap dia! Akan lebih baik jika aku menatap lurus ke arah lain, sambil berharap dia benar-ben
Benar, memang dia yang akan melakukannya. Setelah wajahku kering dengan sendirinya, Rhys mendekati wastafel, untuk mencuci tangannya cukup lama dari yang aku lakukan.“Jangan bergerak. Tenang dan tahanlah.” Rhys sudah selesai mencuci tangan pada akhirnya, duduk di hadapanku. Membuka tutup obat oles berbentuk gel, lalu mengoleskannya sedikit demi sedikit, dengan sangat pelan dan hati-hati di pipiku.Sekarang wajahnya sedekat saat tadi dia mengamati goresan luka di wajahku. Aku tidak paham kenapa dia sama sekali tidak memiliki kemiripan denganku.Alis matanya tidak tebal seperti milikku. Bentuk hidungnya lurus dari pangkal hingga ke ujungnya. Bibirnya tipis. Rhys juga memiliki rambut yang hitam pekat, tidak kecokelatan sepertiku.Walau Adorjan dan Leon memiliki warna rambut yang hampir mirip denganku, tapi cokelat yang lebih gelap, tetap saja aku tidak memiliki kemiripan satu persenpun dengan keenam saudara laki-lakiku, terutama Rhys.Aya