Rok pensil ketat pemberian Rhys, robek pada bagian kirinya. Dan itu membuatku geram, ketika menyadari paha sedikit di atas lututku terlihat dengan sempurna sekarang. Beruntung dia buta, jadi hanya Rhys yang bisa melihat kulit sensitif-ku yang terbuka.
Si berengsek Tom Jhon Parera berteriak-teriak kasar dengan bahasa asing. Aku sedikit tahu artinya, dia menginginkanku keluar dari ruangan ini. Meski begitu, dia tetap duduk di kursi berlengannya.
“Diam dan tenanglah, Tom.” Aku bangun dalam gerakan cepat dan kembali menghampirinya.
“Wanita jalang sialan, keluar kau!” Dia sudah kembali pada bahasa aslinya. Menunjuk-nunjuk menggunakan telunjuknya yang tidak akan pernah tepat ke arahku.
“Tidak, tidak. Kau tidak bisa mengusirku dulu. Ada yang harus kau lakukan untukku, sayang,” kataku sambil mengelus wajahnya dan aku mendapatkan tangan besarnya menepis dengan sangat kasar padaku.
“Setelah berani menipu, kau mencoba meminta sesuatu dariku?” Wajahnya merah padam, meraung dan menggeram.
“Sayang ... ini aku, Cika. Kenapa kau menuduhku menipumu?” Aku mengeluarkan suara wanita tertindas dan lemah, sehingga aku sadar, aku menyadarinya, ada rasa mual yang memenuhi tenggorokan dan mulutku sekarang.
“Cika katamu? Hei, siapapun kau, jangan coba menipuku dengan langkah kaki lambat dan ketukan teratur seperti itu, atau menyemprotkan parfum yang sama persis dengannya. Kau bukan Cika!” Dia berteriak lagi dengan tubuh yang sudah berdiri refleks melangkah maju. Walaupun sempat terhuyung, dia tampak baik-baik saja.
Aku mundur, berbalik dengan cepat, berjalan ke arah Rhys dengan emosi teratur di kepalaku. Ketukan kaki yang tak kupedulikan lagi nadanya, menjadi awal penyesalanku, memperlihatkan, dan membiarkan Rhys memilih sepatu ini sebelum datang ke hadapan Tom.
Tom Jhon Parera, dia tidak segila yang diberitakan, tapi dia bodoh dengan amarah yang mudah menguasainya dan menjadikannya meledak-ledak.
Rhys menatapku dengan pandangan dingin menembus tulang, tidak bergerak sama sekali dari tempatnya dalam posisi yang masih sama, tangan terlipat di depan dada.
Setelah ini, aku pasti akan mati di tangannya. Tapi aku tidak sempat memikirkan hal remeh itu sekarang. Ya, terluka fisik yang sering aku dan keluarga alami, tentu hal yang sangat biasa. Tapi harga diri yang terinjak, gagal dalam ajang pembuktian diri, jauh lebih menjadi aib yang tidak akan bisa dihapus semur hidup, akan terus menempel di wajahku selamanya.
Meraba tubuh Rhys, kukira akan menjadi petaka yang sama besarnya melebihi penolakan dari Tom dan kegagalanku pagi ini, tapi ternyata aku salah. Entah karena aku yang tidak begitu mengenal siapa Rhys Dimitri Oxley, tapi yang jelas, dia bergeming saat aku menemukan benda kecil itu terselip di pinggangnya, tertutup jas biru tuanya.
Aku menariknya dengan cepat, tidak kasar, karena aku masih menyimpan nyali yang menciut setiap kali tertangkap tatapan matanya. Dengan cepat aku kembali ke hadapan Tom, menodongkan mulut senjata api genggam ini di keningnya dengan tanpa belas kasih, tak terkejut saat menyadari bahwa Tom tidak takut sama sekali.
Dia mendengus kasar, wajahnya dipenuhi hinaan dan ejekan. Dia bernyali, dan dia terbiasa dengan situasi seperti ini.
“Kau mengancamku dengan senjatamu? Itu lucu sekali.” Dia menyeringai.
“Tutup mulutmu dan berdoalah sebelum tidur.” Tanpa ampun, aku menarik pelatuk, menembaki kepala dan jantungnya. Tidak akan kubiarkan dia hidup setelah ini.
Aku terbiasa menghabisi siapa saja dalam hitungan menit, membereskan hal ‘kecil’ seperti ini memang tugasku. Tapi Tom Jhon Parera pengecualian, aku harus berpura-pura dan merayunya—tapi gagal—sampai aku kehabisan akal.
Tidak ada jeritan atau permohonan dari Tom, selain tubuhnya kini ambruk di dekat kursi kekuasaannya dan dia berlumuran darah. Aku tersenyum puas, karena meski aku gagal, tapi harga diriku tetap berjaya.
Aku kembali ke hadapan Rhys, tepat di hadapannya yang tidak akan terlihat bosan berdiri dalam posisi itu. Dia menatapku dari atas sampai bawah, dan tatapannya berhenti di paha bagian kiriku yang terbuka.
Seperti tersengat listrik, aku ketakutan. Jauh lebih ketakutan daripada saat menarik pelatuk dan menembaki Tom. Berusaha memiliki nyali, meski timbul tenggelam, aku menyerahkan kembali pistol miliknya.
“Letakkan kembali pada tempat di mana kau pertama kali mengambilnya.” Itu perintah yang cepat dan mengancam.
Jadi aku maju, lebih maju, hingga berhasil mengendus aroma pepper dan grapefruit dari tubuhnya. Wangi segar dan memabukkan bagiku, dia memang tidak pernah main-main dalam urusan mengurus diri. Itu memang cocok dengannya.
Tidak perlu terlalu terkejut saat banyak wanita yang bersedia menyerahkan diri mereka demi Rhys. Mungkin, dia pantas mendapatkannya, Rhys bisa bermain-main dengan hidup siapapun, termasuk aku.
Tanganku bergetar dan aku harus memperingati diriku sendiri berulang kali di dalam hati, untuk tetap tenang dan santai.
Sesaat, aku kembali teringat saat tadi, dia menyodorkan dokumen berisi semua hal tentang Tom yang harus kubaca cepat dengan peringatan bahwa Rhys tidak ingin ada kesalahan, karena dia yang memilihku.
Ingatan itu terasa mencekik leher dan menjerat tubuhku dalam kegelapan. Sekarang tugasku mengembalikan pistol ini sebelum Rhys berubah pikiran.
Perlahan, aku sudah berhasil menyelipkan kembali pistol ke pinggangnya, bahkan sempat melirik jakunnya yang luar biasa. Beribu kali harus kukatakan, dia berasal dari dunia yang berbeda dariku, meski pekerjaan kotor kami sama saja dan akan selalu begitu.
Di rumah, dia lebih sering tidak mengacuhkanku daripada menatapku saat kami makan bersama. Rhys juga jarang berada di waktu yang bersamaan denganku entah itu di dapur, ruang keluarga, atau seluruh sudut rumah yang memungkinkan kami bertemu.
Dia memiliki dunia gelapnya sendiri. Aku sadari itu sejak lima tahun yang lalu. Saat di mana aku sudah terbiasa dan menjadi ketagihan menghabisi nyawa orang lain yang menurut keluargaku bersalah, maka aku akan dengan senang hati membereskannya, meski aku akan merasa bersalah setelahnya.
Dan perlu dicatat. Aku sering membuat masalah, salah mengartikan perintah dan senang membantah. Jadi jangan heran, ketika aku sering gagal, dan justru mendatangkan masalah baru, Ayah atau Ibu harus turun tangan untuk menyelesaikan kekacauan yang kubuat.
Tapi anehnya, tetap saja mereka semua, keluargaku, memintaku melakukannya sampai hari ini. Lebih tepatnya, mereka memaksaku menjadi bagian dari mereka. Membiarkan aku berbuat salah dan menerima hukumannya, seolah itu menjadi suatu keharusan yang menyenangkan untuk mereka, terutama Ayah dan Ibuku.
Tanpa bicara, aku menyerahkan kedua tanganku yang saling berdekatan satu sama lain, ke hadapan Rhys, seolah ingin menyatakan bahwa aku menyerah, bersiap dengan posisi di mana borgol akan membelenggu kedua tanganku.
Setidaknya aku harus mengucapkan selamat datang pada hukuman dari Rhys yang belum pernah kurasakan seumur hidupku. Ini perdana bagiku. Segala hal tentang Rhys, tentang semua ini, sensasi baru yang menakutkan.
“Buka Rokmu!”
Bersambung.Dia bukan melihat pada bagian atas lututku yang terbuka, tapi tatapannya tepat menghujam kedua bola mataku.Aku tahu, selangkah lagi menuju kematian yang bukan makna sebenarnya dari kematian itu sendiri.Cukup tegang, aku melepas rok pensil ketat sialan ini dengan perlahan, dan tentu saja sulit. Beruntungnya kemeja putih polos yang menutupi celana dalamku, benar-benar menjalankan perannya yang baik. Sehingga bagian itu tertutup dari pandangan kedua matanya.“Tidak ada waktu lagi. Buka blazer-mu untuk menutupi bagian depan,” perintah Rhys. Dan kurasa itu hanya perintah konyol untuk mempermalukanku.“Lalu ini untuk bagian belakang,” katanya lagi sambil melempar jas-nya ke arahku. Tepat menutupi kepalaku saat jas itu mendarat. Dia memang tidak akan pernah memiliki secuil pun sopan santun. Tidak akan pernah.Sejujurnya, ini terlihat konyol dan memalukan. Dua bentuk luaran dari pakaian untuk menutupi bokong dan bagian depanku. Aku tahu, Rhys berniat me
Kurasakan tarikan halus di sekitar kepalaku. Rhys melakukannya. Dia menyisiri rambut cokelat-ku yang melewati bahu.“Berapa kali kau keramas dalam seminggu?”Aku hampir tertawa. Dia yang jarang bicara jika tidak ada hal penting, kenapa bertanya mengenai hal sepele?“Hampir tiap pagi aku keramas,” sahutku datar, sebisa mungkin begitu.“Ganti waktunya.”“Apa?”“Setiap sore,” katanya tanpa mau mengulangi pertanyaan kebingunganku.“Bisa beritahu aku alasannya?”“Hanya ingin.”Aku benar-benar memimpikan saat-saat di mana aku bisa memukul wajahnya, meski itu tidak akan pernah terwujud dalam kehidupan nyataku.“Hanya ingin?”“Jangan biasakan mengulangi perkataanku.”“Baik.” Aku cukup cepat menjawabnya karena tidak ingin nada mengintimidasi yang lebih dari ini.“Mulai hari ini, setiap pulang dari Oxley Family Wood aku akan singgah. Jangan biarkan siapapun masuk dan berada di kamarmu. Keramaslah satu jam sebelum ak
Dengan pelan, aku mengangguk dan menjawab, “Ya.”Rhys melanjutkan percakapannya di telepon. Aku tidak fokus pada apa yang dia bicarakan, tapi sepertinya itu ada kaitannya dengan Tom Jhon Parera.“Urus semua sisanya. Jangan ada yang terlewat.” Rhys melirikku yang kebetulan, tertangkap basah sedang mencuri pandang ke arahnya. Cengkeraman eratnya mengendur. Aku tidak paham kenapa itu terjadi. “Sebaiknya kau tidak menghubungiku sampai nanti kuizinkan.” Rhys memberi peringatan di telepon, lalu mengakhiri panggilan.Melepas cengkeraman tangannya, dia kembali naik ke ranjangku. “Ayo mulai lagi. Gangguan sudah lewat.”Semakin lama, semakin terasa bahwa aku hanyalah pecundang yang terlihat mengalami kemajuan.Hampir lima puluh lima menit ketika Rhys memintaku berhenti. Aku benar-benar menghitung dengan tepat waktunya. Detail seperti ini, sewaktu-waktu, aku akan membutuhkannya.“Besok pagi, kenakan pakaian yang akan diantarkan Peony padamu. Kau harus
Aku bergeming ketika Rhys sudah berdiri di belakangku. Posisi yang sama seperti saat dia mengepang rambutku kemarin sore.Dia membuka tatanan half ponytail-ku, dengan perlahan-lahan. Menyisiri rambutku dengan jari-jarinya. Setelah itu, aku tidak bisa merasakan apa yang dia lakukan di belakang, tepatnya pada rambutku.Diam membeku, aku menahan rasa ingin merosot duduk di lantai. Aku bergetar karena merasakan kedekatan yang mengancam dibalik punggungku.Grapefruit dan pepper dari tubuh kami seakan menyatu, aromanya sangat kuat memenuhi ruang perpustakaan yang ukurannya setengah dari perpustakaan kesatu milik Ayah dan Ibu.Kali pertama aku ke sini, sebentar, aku tidak ingat, dan sepertinya memang aku belum pernah menginjakkan kakiku ke sini. Aku juga tidak yakin kelima Kakakku yang lain pernah dibiarkan masuk oleh Rhys.“Pergilah bercermin.” Rhys berkata dengan nada memerintah, dan itu berhasil mengejutkanku.Rambutku terasa dalam balutan berbeda. Se
“Katakan sesuatu yang benar-benar setimpal dengan waktuku yang kau buang.” Rhys memandangku, terlihat menikmati caraku mencegahnya pergi.“Bisakah kita mendiskusikan ini dalam perjalanan?” Aku mengais jari-jari kaki kanan di lantai marmer honed yang anti licin. Sampai kapan aku tidak diizinkan mengenakan alas kaki seperti ini?“Apa yang ingin kau diskusikan?”“Tentang ...” Aku menoleh sekilas ke lorong menuju ruang makan, “tentang ucapan konyolku tadi.”“Kau berubah pikiran?”“Ya.”“Bagus.” Dia memutar tubuhnya. “Ikut aku.” Baru dua langkah berjalan, dia berhenti, melihatku melewati bahunya. “Jangan berjalan dibelakangku.”Menghela napas diam-diam, aku menurut. Berjalan di sisinya dengan kedua kaki telanjang. Tidak bisa kubayangkan bagaimana perihnya kedua kakiku jika digunakan saat menginjak aspal atau lantai yang terkena sinar matahari.Jelas sekali Rhys ingin membuatku menderita.Kami tiba di garasi. Sama seperti sebelumnya, a
Apel matang yang sudah berdiri di puncak kepalaku sedikit tidak menurut. Sesekali dia hampir merosot, dan aku berhasil menangkapnya.Aneh, Rhys terlihat sabar akan hal itu. Dia diam menunggu, tanpa mengatakan apapun meski pandangan kedua matanya begitu tajam dan menakutkan.Aku mengisyaratkan dengan tanganku bahwa si apel sudah siap, dan aku juga siap untuk mati. Berlebihan memang. Tapi aku hanya siap untuk terluka, bukan mati konyol.Dalam jarak terdekat, bukan seharusnya—tiga puluh meter—sekitar dua puluh meter, mungkin Rhys bisa mengenai apelnya. Berdoa saja, atau paling tidak, aku berharap tidak, jangan sampai kepalaku yang terkena bidikan anak panahnya.Mungkin jika harus memilih, lengan, bahu, atau kaki ya, sebaiknya anggota tubuh yang lain. Oh baiklah, aku sedikit panik! Ini gila!Rhys terlihat sudah menarik string. Dan ayolah, Putri bungsu Oxley, jangan tatap dia! Akan lebih baik jika aku menatap lurus ke arah lain, sambil berharap dia benar-ben
Benar, memang dia yang akan melakukannya. Setelah wajahku kering dengan sendirinya, Rhys mendekati wastafel, untuk mencuci tangannya cukup lama dari yang aku lakukan.“Jangan bergerak. Tenang dan tahanlah.” Rhys sudah selesai mencuci tangan pada akhirnya, duduk di hadapanku. Membuka tutup obat oles berbentuk gel, lalu mengoleskannya sedikit demi sedikit, dengan sangat pelan dan hati-hati di pipiku.Sekarang wajahnya sedekat saat tadi dia mengamati goresan luka di wajahku. Aku tidak paham kenapa dia sama sekali tidak memiliki kemiripan denganku.Alis matanya tidak tebal seperti milikku. Bentuk hidungnya lurus dari pangkal hingga ke ujungnya. Bibirnya tipis. Rhys juga memiliki rambut yang hitam pekat, tidak kecokelatan sepertiku.Walau Adorjan dan Leon memiliki warna rambut yang hampir mirip denganku, tapi cokelat yang lebih gelap, tetap saja aku tidak memiliki kemiripan satu persenpun dengan keenam saudara laki-lakiku, terutama Rhys.Aya
Terburu-buru turun dari mobil, aku melihat ada banyak tamu yang datang ke rumah kami. Sebenarnya, aku tidak heran, mereka pasti mendapat undangan makan siang dari Ibu.Begitu mencintai masak memasak, Ibu nyaris mengajak semua pelayan untuk memasak dalam porsi besar setiap kali dia ingin, lalu mengundang tamu atau teman-temannya untuk menikmati hasil eksperimennya di dapur.Lagipula, aku ingin segera terbebas dari Rhys sebentar saja. Aku terlalu dekat dengannya dan itu sangat membuatku tidak nyaman. Dia terus berada di kamar pintu merah tua bersamaku, meski aku sudah terbangun dengan perdarahan di hidung yang sudah berhenti.“ZeeZee? Apa kabarmu, sayang?”Inilah alasan yang membuatku terburu-buru ingin masuk ke kamar selain karena Rhys. Aku berbalik, Bibi Meida sudah merentangkan kedua tangannya untuk memelukku.“Baik, Bi. Aku baik-baik saja.” Walau ucapanku bernada biasa, Bibi Meida tetap melanjutkan kegiatan beramah tamahnya padaku.“Oh, ZeeZee D