Share

How lucky they are

—Ujian memang selalu datang di setiap langkah yang ingin kita derapkan—

Selepas semalam bertekad untuk menjadi pribadi yang baik demi menjadi hidup yang lebih baik kelak, tentu saja Tamara harus memulai langkahnya dari sekarang, ia tidak lagi mengeluh jika harus mengerjakan pekerjaannya saat sebelum sekolah, ia tidak lagi keberatan jika harus hidup sendirian, Tamara harus semangat dalam belajar karena dengan bersemangat belajar itu akan memudahkan dirinya dalam mengejar cita-citanya.

Pagi itu seperti awal yang baru untuknya. Jika pada hari biasa Tamara berangkat ke sekolah menggunakan bus umum, hari ini Rayyan dan Tamara berangkat bersama menuju sekolah. Rayyan ingin hadir di hari pertama Tamara memulai tekadnya.

***

Begitu keduanya sampai di sekolah, Tamara pun berpamitan untuk menuju kelasnya.

“Rayyan aku ke kelas dulu ya.” 

Tamara berniat berlalu ke kelasnya, namun Rayyan justru menarik tas Tamara sehingga langkah Tamara mundur, “Astaga kenapa Ray?”

Rayyan hanya tersenyum meledek, “Ngga papa, semangat belajarnya yaa cantiknya aku.”

Kemudian Rayyan melemparkan finger heartnya kepada Tamara.

Tamara yang menyaksikannya pun bergidik geli dan langsung berlari menuju kelasnya. 

***

Sesampainya di kelas sambil menunggu jam pelajaran tiba dan kedatangan Indri, Tamara mencoba fokus pada catatan-catatan dan juga tugas-tugas yang ada di hadapannya.

Baru saja Tamara memulai fokus, tiba-tiba geng Amanda memulai kembali keributannya.

“Eh eh guysss jangan lupa hari ini ada tugas buat deskripsiin keluarga kalian masing-masing, asikk gue jadi tau nih gambaran keluarga kalian kaya gimana.”

Tamara terkejut, pasalnya ia tak memperhatikan bahwa kelasnya memang ditugaskan untuk mendeskripsikan kegiatan keluarga mereka, selain itu ia juga tak habis pikir mengapa hidup Amanda dipenuhi dengan rasa ingin tahu akan hidup dan urusan orang lain.

Tak lama kemudian Indri pun datang dan duduk di bangku sebelah Tamara.

Dengan panik Tamara langsung menanyakannya kepada Indri, “Ndri emang ada tugas buat deskripsiin tentang keluarga?”

Indri menimpali Tamara, “Ah iyaa gue lupa ngasih tau lo, but santai ajaa tugasnya ngga perlu dikumpulin kok, as you know hari jumat kan emang hari santai, ini tu cuman tugas buat ngisi-ngisi kelas aja.” 

 

Dalam batinnya bagaimana bisa ia santai? Keluarganya saja benar-benar tertutup, terlebih lagi ia tidak memiliki momen baik dengan orang-orang rumahnya, bagaimana Tamara harus bercerita? Ia tidak ingin dikasihani.

Saat Tamara larut dalam lamunannya Indri mengejutkan Tamara dengan pertanyaannya, “Lo kenapa si Mar? Lagak lo kek ngga punya keluarga aja.”

Deg! Ia sedikit tertampar dengan kata-kata Indri, kenyataannya Tamara memang hidup sendirian tanpa seorang keluarga.

“Ngga papa Ndri gue cuman panik aja karna kurang mempersiapkan tugas gue.”

Pada akhirnya Tamara berbohong dan memilih terlihat baik-baik saja. 

***

Saat jam wali kelas sudah tiba, Bu Nurul selaku wali kelas pun datang dan mempersilahkan para siswanya untuk mendekripsikan hal kecil yang ada di keluarga mereka.

“Baik anak-anak kemarin ibu sudah menyampaikan di kelas ini bahwa untuk mengisi jam wali kelas kalian dipersilahkan maju ke depan kelas untuk mendeskripsikan tentang ‘small sweet things in your family’, mulai dari kalian berangkat sekolah sampai berangkat sekolah lagi hal apa saja yang di mata kalian manis dan bisa kalian bawakan. Baik untuk maju yang pertama kali ini yaitu nomer urut yang sesuai dengan tanggal hari ini.”

Memang bukan Tamara yang menjadi nomer urut pertama dalam mendeskripsikan keluarganya. Tetapi tak lama kemudian ia juga harus dipanggil karna nomer urutnya tak jauh dari tanggal hari ini.

Baru kali ini ia merasa takut dan gugup untuk maju di depan kelas, demi Tuhan Tamara lebih rela mengerjakan soal logaritma atau trigonometri dari pada seperti ini.

Selama beberapa siswa berurut-urutan maju dalam menyampaikan ceritanya, Tamara terus berpikir bagaimana dia akan menceritakan keluarganya. Namun sedari tadi Tamara juga turut memperhatikan bagaimana teman-temannya bercerita, "How lucky they are," begitu batin Tamara saat mendengar cerita teman-temannya. 

Ada yang bercerita tentang betapa cerewetnya ibu mereka saat mereka belum juga menyetorkan daftar nilai mereka, ada yang menyampaikan tentang kakak laki-laki yang begitu jahil dan akan memanggil dengan panggilan istimewa hanya untuk memalak uang bensin, ada juga yang bercerita tentang ayah mereka yang akan menghukum mereka dengan memotongkan kuku satu sama lain apabila bertengkar dengan saudara sendiri.

Hingga akhirnya giliran Tamara maju pun tiba, sedari tadi ia buntu berpikir tiba-tiba ia teringat bahwa ia memiliki mimpi tentang keluarganya kelak. Tamara berniat menceritakan mimpinya seolah-olah itu adalah kehidupan keluarganya.

“Silahkan nomer urut 30,” ucap Bu Nurul mempersilahkan Tamara untuk bercerita.

Setelah dipersilahkan Tamara pun mulai bercerita, “Saya Tamara Ayudissa nomer absen 30, saya disini akan menyampaikan kebiasaan kecil keluarga saya yang menurut saya manis dan berkesan. Setiap pagi ibu saya akan membuatkan sarapan untuk keluarga kecil kami karena ibu saya adalah seorang IRT waktunya untuk menyiapkan sarapan jadi lebih leluasa, setiap malam sebelum saya dan kakak saya tidur ibu saya selalu menanyakan menu apa yang kami inginkan untuk dihidangkan keesokan harinya, saya juga bersekolah diantarkan oleh ayah saya, setiap kali saya dan kakak saya berangkat ibu saya selalu mencium kening saya dan kakak saya, kemudian begitu kami pulang dari sekolah ibu dan ayah saya sama sekali tidak pernah menanyakan tugas kami ataupun nilai kami, mereka senantiasa mendengarkan cerita anak-anak mereka dan bertanya “Bagaimana hari ini?” perlakuan ibu saya yang penuh kasih begitu manis. Meskipun hidup bergelimang harta tetapi mereka lebih mengutamakan kesehatan mental anak-anaknya, saya memang pantas bersyukur untuk itu.”

Kemudian Tamara pun tersenyum yang sepadahalnya itu adalah senyuman miris dari kebohongan ceritanya, “saya beruntung memiliki kedua orang tua saya dimana mereka membangun karakter dan juga kepribadian saya dengan baik, mereka selalu menanamkan untuk memiliki empati yang tinggi bahkan kepada hewan sekalipun,” Tamara menghela nafasnya, “demikian cerita yang bisa saya sampaikan, terima kasih atas waktu dan perhatiannya.” 

Selepas Tamara bercerita ia pun kembali duduk di kursi bangkunya, Indri menanggapi cerita Tamara dengan baik, “Keluarga lu manis juga Ra, jadi pengen kenalan sama tante Citra hihi.”

Tamara hanya mendengus menanggapi Indri. 

Tak lama kemudian Tamara meminta izin kepada gurunya untuk pergi ke toilet. Sejujurnya toilet hanya dalih saja bagi Tamara, ia tidak sanggup mendengarkan cerita-cerita teman kelasnya yang begitu manis dan nyata, tidak seperti cerita Tamara yang hanya manis tetapi tidak nyata. 

***

Tamara memasuki salah satu bilik di toilet dan mulai menangis di sana, padahal baru semalam ia mulai bersiap untuk memperbaiki diri dan hidupnya kedepannya namun ada saja yang membuatnya menjadi berpikir apakah ia pantas mendapatkan keluarga yang harmonis? Hari ini ia diingatkan bagaimana ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ibunya sedari ia kecil. 

Dalam diamnya ia menangis tersedu-sedu menahan lara yang menggerogoti hatinya, ia meremas pakaiannya untuk melampiaskan sakit yang ada di hatinya, “Demi Tuhan sakit banget,” begitu batin Tamara berteriak. 

Setelah menghabiskan waktunya di dalam bilik toilet dan menangis cukup puas dengan diam, Tamara memutuskan untuk keluar dari bilik toilet itu dan berniat membasuh wajahnya di wastafel. 

Baru saja ia keluar dari bilik itu Tamara bertemu dengan Kak Fira, teman satu kelas Rayyan. 

“Loh Tamara?” kakak kelasnya itu terkejut melihat wajah Tamara yang merah dan juga matanya yang sembab khas sehabis menangis. “Kamu kenapa?” 

Tamara hanya menggeleng sembari tersenyum membalas pertanyaan Fira.

“Ngga apa-apa kok kak.” lalu Tamara berlalu menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. 

Saat Tamara tengah membasuh wajahnya, Ajeng datang berniat untuk mencuci tangannya. Mereka bersebelahan menghadap wastafel, dan tiba-tiba Ajeng membuka percakapan. 

“Lo beruntung banget ya Mar, keluarga lo penuh kasih sayang, ibu lo cuman IRT yang bisa ngasih waktu penuh, ngga kaya ibu gue yang sibuk sama karirnya dan jarang pulang. Ah iya ayah lo juga meskipun anggota parlemen dia nampak ngga segan buat anter jemput lo, how sweet your family is.”

Belum sempat membalas kata-katanya Ajeng sudah berlalu begitu saja.

Lagi-lagi Tamara merasa tersinggung dengan ucapan Ajeng, seolah-olah Ajeng mengerti kebohongan dari ceritanya dan berusaha mengungkit itu untuk menyadarkannya. 

“Ngga Tamara.. lo ngga boleh mikir yang engga-engga tentang sahabat lo," batinnya.

Kemudian Tamara pun keluar dari toiletnya dan melihat Rayyan berdiri di depan pintu masuk toilet wanita.

“Astaga Rayyan! Ngapain disini?” 

Rayyan yang melihatnya hanya menunjukkan gummy smilenya itu. 

“Ngawur banget kamu ngapain ke sini nanti ada yang mikir kamu bejat gimana?” Sambil berceloteh Tamara mendorong punggung Rayyan.

“Ih iyaaa iyaaa jangan didorong donggg,” ucap Rayyan membalas dirinya.

“Ya habisnya kamu ngapain Rayyan?” 

dengan polosnya Rayyan menjawab Tamara, “Mau ngajakin bolos hehe.”

Tamara membulatkan matanya dan mengernyitkan ujung hidungnya, “Bisa-bisanya anak paralel 4 semester berturut-turut ngajakin bolos?!” 

Masih dengan wajah polosnya Rayyan tersenyum.

 “Udah ayoo kita ke rooftop, kita ngobrol sambil makan es krim di sana.” 

Tamara belum membalas apapun namun Rayyan sudah menariknya dan membawanya ke rooftop. 

To be continue . .

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status