Share

The beginning begins

Sesampainya di rooftop, Rayyan mengajak Tamara untuk melihat bagaimana pemandangan kota dari rooftop Trisakti, banyak gedung-gedung tinggi setara dengan gedung Trisakti, angin pun berhembus dengan semilir menemani hari mereka. Keduanya duduk menghadap pemandangan gedung-gedung itu.

“Gimana? Udah baikan?” Rayyan membuka orbolan tanpa memfokuskan netranya pada Tamara. "Aku tau kamu ngga baik-baik aja Mar, makanya aku bawa kamu kesini." 

Entah dari mana kekasihnya itu tau bahwa memang dirinya tengah tak baik-baik saja.

“Kamu tau dari mana Ray?” tanya Tamara

“Kepo,” begitu balas Rayyan.

“Serius Rayyan, kalau kamu ngga jawab nanti aku mikir kamu cenayang gimana?" 

 

Rayyan terbahak-bahak mendengar yang Tamara ucapkan, “Kalau aku punya ilmu cenayang udah aku jadiin lahan duit Mar.”

“Dasar duit mulu.” 

 

“Loh bener kan? Duit itu mendatangkan kebahagiaan loh, kalau aku punya duit aku bakalan nraktir kamu apa aja.” 

 

Tamara hanya mencibir bibirnya.

“Jadi kamu tau dari siapa?” 

 “Tadi Fira yang ngasih tau.” 

 Ah iya! Tamara lupa, kenapa ia tidak menduganya sejak awal, kakak kelasnya yang satu itu kan memang teman yang cukup akrab dengan Rayyan.

Melihat bagaimana pemandangan Jakarta melalui rooftop Trisakti suasana hati Tamara menjadi lebih baik.

“Mar mungkin aku ngga akan pernah bisa menghapus rasa sakit di hati kamu, atau membalikkan keadaan supaya lebih memihak kamu,” Rayyan menghela nafasnya, “tapi aku selalu ada buat dengerin cerita kamu, aku bakal ada di sisi kamu, jadi tolong mulai sekarang jangan pendam apapun ya?”

Tanpa sadar Tamara meneteskan air matanya kembali. “Ray kayaknya selama ini aku jahat banget selalu ngeluh ke Tuhan, padahal aku punya kamu, harusnya aku lebih bersyukur dari kadar syukurku biasanya. Kamu bener-bener hadiah istimewa buat aku Ray.” Untuk sejenak Tamara membiarkan isakannya, bahunya semakin bergetar,

“Makasih ya? Makasih banyak udah dateng di hidup aku dan berbuat baik ke aku.” 

Rayyan tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk menyeka air mata Tamara,

“Jadi? Ada apa Mar? Mau ceritain ke aku ngga? Siapa tau rasa sakit kamu berkurang.”

Tamara mengangguk. “Hari ini ternyata jam wali kelas di isi buat cerita tentang kebiasaan kecil manis yang ada di keluarga masing-masing, tentu aja aku yang ngga pernah ngerasain manisnya keluarga gugup, bingung apa yang harus aku ceritain sedangkan aku ngga mau orang-orang tau masalahku, alhasil aku bohong. Tapi yang bikin aku tambah sakit adalah cerita orang-orang manis dan nyata, beda sama ceritaku yang manis tapi palsu.”

Tamara mengatur nafasnya karena isakannya. “Aku cuma bisa cerita tentang keluarga khayalan aku, dari berangkat sekolah aku ngga pernah dibuatin mamah sarapan karena setiap pagi mamah udah pergi dan pulang malem, aku ngga tau dia kemana.”

Riyyan masih memberikan waktu agar Tamara lebih tenang dan reda sebelum ikut berbicara. "Cuma bi Ijah yang selalu masakin sarapan buat aku, dan papah yang selalu sayang sama aku dari awal. Mamah dan Mas Abim? Ngga pernah. Dan sekarang? Papah juga pergi, Ray."

“Mar, yang perlu kamu pahami adalah setiap kali ujian datang di hidup kamu dan ketika kamu berhasil melewati ujian itu tandanya kamu udah lebih kuat dari kamu yang sebelumnya. Mungkin sekarang kamu harus berjuang, tapi suatu hari kamu pasti bahagia Mar. Meskipun mungkin itu bukan aku, tapi aku yakin pasangan kamu nanti pasti bakal selalu mengusahakan kebahagiaan kamu." Rayyan menatap lekat Tamara. "Kamu udah bertahan sejauh ini, jangan nyerah ya? Semua yang kamu usahakan bakal sia-sia kalau kamu nyerah. Semangat ya Tamaraku."

Yang dikatakan Rayyan memang benar hidup Tamara pasti tidak selamanya menyakitkan akan ada masanya hidupnya dalam keadaan lebih baik dari masa kini. Terkadang rasa sakit diberikan untuk memberikan kekuatan di kemudian hari. Tamara merasa lebih tenang setelah Rayyan menyampaikan kata-katanya. “Makasih banyak ya Rayyan, aku pasti bakalan berjuang kok.” 

Rayyan tersenyum teduh kepada Tamara. “Nahh gitu dongg!”

.

.

Mungkin beberapa dari kalian bertanya-tanya apa sebetulnya yang dialami Tamara? Kemana seluruh keluarganya menghilang? Apa penyebabnya dan mengapa mereka betul-betul meninggalkan Tamara sendiri tanpa siapapun? 

Jawabannya adalah semua bermula dari perjodohan antara Danis dan juga Citra, siapakah mereka? Mereka adalah orang tua Tamara. 

Pernikahan Danis dan Citra terjadi karena perjodohan dua keluarga mereka, keluarga Danis yaitu Cokroaminoto, ia berhutang atas bisnis mereka yang dahulu sempat mengalami jatuh bangun, untuk membalas kebaikan keluarga Citra yang turut mendampingi perkembangan bisnis milik Cokroaminoto, Janu Hardinata ayah dari Citra meminta Yuda Cokroaminoto untuk menjodohkan anak mereka. 

"Aku dengar putramu masih lajang kan?” tanya Janu.

“Benar, anakku belum menikah, tapi aku juga kurang tahu apakah dia sudah memiliki tambatan hati atau belum.” 

Janu pun terkekeh mendengarnya, “Tepat sekali bagaimana jika kita menjodohkan mereka? Aku rasa mereka akan menjadi pasangan yang cocok.” 

Yuda tampak merenung sesaat, Janu yang menyadari itupun bertanya kembali, “Apa yang kamu pikirkan Yuda? Bukankah mereka akan menjadi pasangan yang serasi?” 

“Tapi anakku masih belum sukses dalam bisnisnya, kita berdua sama-sama tau bahwa kita akan membesarkan anak kita murni dengan kerja keras mereka, apa kau mau putrimu dibawa oleh anak laki-lakiku yang belum cukup mapan?” dengan sedikit cemas Yuda menyampaikan kekhawatirannya.

“Tenang saja Yuda, anakku Citra sudah aku didik untuk menjadi wanita sederhana,  ia tidak pernah kuajarkan untuk menjadi seseorang yang gemar meminta-minta, dengan hatinya yang tulus aku akan pastikan ia bisa menerima putramu dengan baik.”

 

Yuda pun mulai memikirkan perjodohan kedua anak mereka, siapa yang tidak merasa beruntung memiliki istri seperti Citra, Yuda juga akan merasa bahagia memiliki menantu seperti Citra, Yuda berpikir anaknya akan beruntung memiliki Citra.

*** 

Keesokan malam saat Yuda sedang duduk di meja makan untuk menyantap makan malam bersama keluarganya ia membuka topik obrolan untuk putranya.

“Danis, umurmu sudah 25 tahun kapan rencanamu menikah?” tanya Yuda berbasa-basi.

Danis yang mendengar pertanyaan ayahnya terkekeh, “Ayah, aku masih 25 tahun, aku bahkan belum sesukses itu, kenapa ayah sudah membahasnya? Apa ayah mau menjodohkan aku?” Danis berujar dengan bercanda namun tak disangka-sangka Yuda menanggapi itu dengan serius.

“Benar, kamu ingat putri keluarga Hardinata yang turut membantu bisnis kita saat masih jatuh bangun? Putrinya berumur 22 tahun dan baru lulus kuliah tahun ini, Janu berencana untuk menjodohkanmu dengannya.” 

Untuk sesaat Danis terdiam, ia terkejut di umurnya yang menurutnya masih memiliki banyak waktu justru sudah diperingatkan untuk menikah, terlebih lagi wanita yang tidak ia kenal sama sekali.  

***

Beberapa hari kemudian Yuda memulai kembali pembicaraannya mengenai perjodohan putranya dengan Citra setelah memberi waktu kepada putranya untuk memikirkannya matang-matang.

“Danis, mengenai perjodohanmu akan bagaimana kelanjutannya?” 

Jika boleh jujur Danis ingin sekali menolak perjodohan ini, namun ia juga ingat bagaimana jasa keluarga Hardinata untuk keluarganya, Danis pun tahu diri, ia juga ingin membalas budinya kepada keluarga Janu.

“Sudah saatnya keluarga kita membalas kebaikan dan juga hutang budi kita kepada mereka,” ucap Yuda.

Tari, istri Janu juga turut meyakinkan Danis mengenai perjodohan ini, “Nak, calon istrimu itu cantik sekali, parasnya ayu, ia juga memiliki kepribadian yang baik, kalau kamu mau nanti kita atur pertemuan dengan keluarga Pak Janu, kamu bisa bertemu Citra dan mengenalnya sebelum kalian memutuskan pernikahan kalian.” 

 

Mau tak mau Danis pun harus menyetujui pernikahan ini, ia memilih meng-iyakan ajakan orang tuanya, paling tidak ia bisa mengenal calon istrinya terlebih dahulu melalui pertemuan itu. 

*** 

Keesokan harinya di kediaman Citra. Dinda, ibu Citra meminta Citra untuk membantu dirinya menyiapkan makanan jamuan dan tempat mereka, hari itu keluarga Hardinata sibuk sekali dikarenakan dua keluarga yang tengah merencanakan perjodohan akan bertemu. Saat itu Citra masih belum tahu, ia tidak diinformasikan apapun baik oleh ibunya, ayahnya ataupun kakaknya, yang ia tahu membantu orang tuanya saat akan atau tidak diadakan acara adalah kewajibannya. 

Setelah seluruh persiapan selesai, Janu meminta keluarganya berkumpul. Mereka berkumpul di ruang tengah, kemudian Janu mulai membuka pembicaraannya.

“Citra, kamu tahu hari ini akan ada apa?” Citra hanya menggeleng tak mengerti saat itu, namun Citra melihat ekspresi ibunya yang begitu antusius.

“Kamu akan ayah jodohkan nak dengan putra keluarga Cokroaminoto.” 

Bagas, si sulung yang mendengarnya begitu antusias.

“WAHHH SELAMAT ADEKKU, CIYE NGEDULUIN KAKAK NIH.” 

Bagas memeluk erat Citra hingga Citra kesulitan bernafas.

“K-kak Ba-gas le-pas-in..” pintanya sembari memukul punggung kakaknya, Citra pun mulai membuka kembali suaranya setelah Bagas melepaskan pelukannya. 

“Tapi ayah, Citra ngga tahu siapa laki-laki yang akan ayah jodohkan sama Citra.”

“Perjamuan hari ini diadakan untuk menjodohkan kalian, hari ini kamu akan bertemu dengannya dan berkenalan, manfaatkan waktumu dengan baik ya, ayah harap kamu juga menyetujui itu.” 

“Kalau kamu mau bekerja dan menjadi wanita karir kamu bisa diskusikan itu dengan calon suamimu ya nak, ibu harap dia akan menghargai apapun itu keputusanmu," ucap Dinda seolah mengerti dengan isi pikiran Citra.

Selain menjadi ibu, sudah menjadi cita-citanya bahwa Citra ingin fokus terhadap karirnya. Apa yang terjadi bila calonnya tak mendukung mimpinya tersebut?

To be continue . .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status