"Kau semakin sibuk saja. Apa kau tidak lelah menjalankan ini semua ini sendiri?" Melihat tidak ada respon dari pria muda yang masih sibuk dengan berkasnya, pria paruh baya itu tersenyum penuh arti sebelum kembali bicara "Atau sebenarnya kau ingin menguasainya sendiri dengan menyingkirkan adikmu sendiri?"
Pria muda yang tidak lain, tidak bukan adalah Keenab itu berusaha menahan emosi dengan yang dikatakan seseorang yang begitu dihormatinya dulu ini. Berusaha fokus dengan dokumen-dokumen yang masih menumpuk di mejanya. Ia sudah biasa mendengar kata konfrontasi dari mereka yang berusaha menjatuhkannya. Kali ini pun ia akan berusaha untuk tetap tenang meski hatinya sudah terbakar dengan amarah.
"Oh ayolah! Jangan berpura-pura. Aku tahu kau ingin menguasai semuanya tanpa harus berbagi!" Setelah mengucapkan kata-kata tersebut priaa paruh baya itu menyeringai saat melihat Keenan yang merupakan keponakannya itu mulai terpancing dengan perkataannya.
Keenan meremat bolpoi
"Eugghh!" Suara itu lenguhan itu terdengar dari bibir mungil Andrea. Kelopak matanya mengerjap pelan membiasakan cahaya yang masuk ke matanya. Saat manik bulat terbuka sempurna, seketika itu pula ia terkejut. Andrea langsung bangun saat mendapati dirinya berada di ranjang yang seharusnya di tempati Dimas. Bagaimana ia bisa tidur di ranjang ini? Apa Dimas yang memindahkannya? Jika itu benar, apa ini artinya ia tidur seranjang dengan Dimas tadi malam? Menyadari hal itu membuat Andrea langsung menunduk, memeriksa dirinya sendiri. Memastikan pakaiannya masih lengkap atau tidak. Ia bernapas lega saat mengetahui pakaiannya masih utuh. Ini berarti tidak terjadi apa-apa di antara dirinya dengan Dimas. Pun ini membuktikan jika penilaiannya tidak salah, Dimas pria yang baik. Andrea mengedarkan pandangannya, tapi tidak mendapati Dimas di mana pun. Di Sofa yang biasa ia atau Danu gunakan untuk tidur saat menjaga Dimas dulu pun tidak ada-ada tanda ditiduri oleh siapa pun.
"Kenapa?""..."Pertanyaan itu tidak mampu dijawab oleh Revan. Matanya hanya mampu terpaku menatap gadis yang tiba-tiba datang padanya ini. Terlebih bukan sapaan yang ia dengar pertama kali tetapi sebuah pertanyaan yang tidak mampu ia jawab."Apa menurutmu aku masih remaja yang belum mengerti apa pun sama seperti saat itu? Kenapa hanya diam, Tuan Revandy Atmajaya?" Melupakan sopan santunnya, gadis manis yang baru lulus kuliah di luar negeri itu membentak Revan keras meluapkan emosinya.Ia baru pulang dari luar negeri setelah menyelesaikan studinya di salah satu universitas di Jepang. Bukan sambutan yang ia dapatkan tetapi kabar buruk yang didengarnya. Sepupunya kecelakaan dan belum ditemukan hingga sekarang. Yang lebih membuatnya sakit adalah tidak satu pun dari mereka mengabari hal ini padanya, termasuk pria yang ada di hadapannya ini."Rheyna, tenanglah. Akan kujelaskan! Aku akan menceritakan semuanya padamu," ujar Revan setelah berhasil menguasa
"Apa kau merasa ada yang berbeda pada Dimas belakangan ini?""Berbeda bagaimana?" tanya Danu sembari menghentikan kegiatannya mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman bawang yang mereka tanam. Netranya yang sudah mulai menua menatap Galang dengan penuh tanya. Apa maksud perkataan sahabatnya ini?"Kau tidak memperhatikannya?"Danu menggeleng dan itu membuat Galang menghepa napasnya dalam. "Tatapan Dimas ke Andrea itu jelas berbeda. Semakin hari aku melihat, semakin aku yakin dugaanku benar.""Dugaan apa? Bukankah selama lima bulan lebih Dimas tinggal bersama dengan kita tidak ada hal mencurigakan hal terjadi? Dimas juga tidak melakukan hal yang aneh-aneh, yang merugikan kita. Justru Dimas mau berbaur dengan kita, bahkan mau membantu kita di ladang."Sekali lagi Galang menghela napasnya, lelah. Danu terlalu berpikiran lurus dan positif. "Bukan itu maksudku, tapi tatapan Dimas ke Andrea itu berbeda, seperti Dimas sudah lama mengenal Andrea
"Bukan yang itu, Kak. Jangan asal memberi pupuk," seru Andrea saat Dimas hendak mengambil pupuk urea dan kompos yang tadi dibawa oleh Yudi."Kenapa? Bukankah kemarin kita menggunakan pupuk ini juga untuk memupuk bawang?"Andrea tersnyum. "Memang benar kita menggunakan pupuk ini pada bawang, tapi ini tidak cukup jika dipakai pada tomat. Apalagi tanamannya sudah mulai berbunga dan akan berbuah sebentar lagi," ujar Andrea menjelaskan.Dimas mengerutkan dahinya. "Apa bedanya?" tanyanya tidak mengerti. Ia kira sama saja. Tinggal memberikan pupuk agar tanaman semakin subur dan berbuah dengan lebat."Tentu saja beda. Setiap fase pertumbuhan tanaman itu berbeda, jadi pemupukannya juga berbeda. Tanaman bawang yang kemarin kita pupuk itu bari memasuki fase vegetatif. Baru mulai tumbuh, jadi yang diperlukan itu pupuk untuk merangsang pertumbuhannya. Sedangkan tanaman tomat yang akan kita pupuk hari ini itu sudah memasuki fase generatifnya, jadi pupuk yang akan
"Kau!""Hah?"Andrea tidak bisa menahan rasa terkejutnya mendengar jawaban Dimas. Niatnya hanya ingin bergurau karena sedari tadi Dimas diam saja, tapi siapa yang menyangka jawaban Dimas justru membuatnya terkejut dan salah tingkah. Ia yakin pipinya sedang merona sekarang. Ia pun dapat mendengar debaran jantungnya yang menggila karena jawaban Dimas. Apa benar Dimas melamun karena sedang memikirkannya? Atau itu hanya jawaban asal Dimas karena terkejut ia menanyakan hal itu? Namun jika memang sedang memikirkannya, apa alasannya? Kenapa dirinya yang justru dipikirkan oleh Dimas bukan keluarganya yang mungkin sedang mengkhawatirkan keadaan Dimas.Dimas tersentak setelah menyadari balasan yang berikan pada Andrea. Ia terlalu sibuk mengenang tentang Andrea yang dulu hingga tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan. Ia merutuk pada dirinya sendiri. Apa yang akan ia katakan pada Andrea? Apa ia harus jujur? Ah! Tidak-tidak! Ia tidak mungkin mengatakannya. Jika i
"Andrea tunggu!" "Ada apa, Kak? "Bisa kita bicara sebentar?" Andrea mengernyit. "Bukankah ini kita sedang bicara?" "Maksudku aku ingin bicara sesuatu. Tentang pembicaraan kita tempo hari di ladang." "Memang ada apa dengan pembicaraan kita waktu itu?" Dimas mendesah berat. Sikap tak acuh Andrea inilah yang membuatnya gundah. Ia tidak bisa menebak jalan pikiran Andrea. Selama beberapa hari ini Andrea memang tetap bersikap seperti biasa padanya. Tapi ia dapat merasakan ada sesuatu yang Andrea tahan. Dan itu menyangkut pembicaraan mereka tempo hari yang berakhir menggantung karena sebelum mereka menyelesaikannya, Danu menghampiri mereka. Mengatakan jika mereka harus cepat melakukan pemupukan sebelum hari semakin terik. Jadilah pembicaraan mereka belum tuntas dan menyisakan tanda tanya bagi keduanya. "Kau tahu pembicaraan kita waktu itu belum usai dan aku tidak ingin kau salah paham tentang hal itu. Jadi aku mohon! Mari
"Kenapa aku harus marah? Justru aku yang takut kau yang marah karena tersinggung. Sekarang aku tanya padamu. Kenapa kau menghindariku beberapa hari ini? Apa ini ada kaitannya dengan pembicaraan kita waktu itu?" Andrea memberanikan membalas tatapan Dimas yang sedang menatapnya dengan lekat. Mencoba menyelami manik hitam pria di hadapannya. Semakin ia menatapnya, semakin ia tenggelam di dalamnya. Tatapan itu begitu lembut dan sarat akan cinta. Apa tatapan yang ia lihat sekarang ditujukan untuknya? Tanpa sadar Andrea menggeleng dengan pemikirannya. Tidak mungkin Dimas mencintainya, bukan? Tidak mendapat jawaban dari Andrea membuat Dimas menghela napasnya sebelum melambaikan tangannya di depan wajah cantik di depannya. Menyadarkan Andrea dari lamunannya. "Jadi kenapa kau menghindar dariku, Andrea?" tanya Dimas sekali lagi. Andrea yang tersentak kaget langsung saja menjawab pertanyaan Dimas tanpa berpikir panjang. "Itu karena aku ... aku hanya merasa senang dan ma
"Siapa dia?" tanyanya dengan menahan kekesalan. Matanya terasa panas dan hatinya terbakar melihat pemandangan di depan sana. Di sana gadis pujaan hatinya sedang bersama pria lain, tampak bercanda dan tertawa bersama."Dia Dimas! Dia korban kecelakaan yang hilang ingatan. Si pak tua Danu dan Galang menolongnya. Sejak saat itu Andrea yang merawatnya. Bahkan pria itu tinggal di rumah Andrea.""Apa?" seru pemuda itu. Ia harus melakukan sesuatu jika tidak ingin Andrea jatuh ke pelukan pria asing itu."Kau cemburu?""Apa aku harus menjawabnya?""Tenanglah!""Bagaimana bisa aku tenang jika orang yang aku cintai lebih dekat dengan orang asing itu? Dia bahkan tidak memedulikanku yang sudah kembali ke desa, padahal aku kembali untuk bertemu dengannya lagi." Pemuda itu terus menumpahkan kekesalannya sedangkan kakaknya hanya tersenyum mendengarnya."Kak Erni! Kau harus membantuku mendapatkan Andrea. Aku tidak rela pria asing itu merebut seluruh p