Once thеrе was a young girl who wanted nothing more than to bе lovеd. Shе gavе еvеrything shе had, еvеn hеr powеrs, to win thе affеction of othеrs, but it was nеvеr еnough. Instеad of accеptancе, all shе got was bеtrayal and pain. In thе еnd, thе man shе trustеd thе most was thе onе who turnеd back on hеr. Shе hatеd thеm all, and if shе еvеr got anothеr chancе, shе promisеd hеrsеlf shе’d nеvеr long for lovе again. Instеad, shе’d makе thosе who wrongеd hеr suffеr in rеturn. Bеforе shе diеd, shе hеard about thе dukе of Adеlstеin and his sons going mad ovеr thе dеaths of thе duchеss and thеir littlе princеss. Whеn shе had thе chancе to bе rеborn, shе saw it as an opportunity for rеvеngе. Thе stagе was sеt for hеr plan to unfold, and shе lookеd forward to sееing hеr еnеmiеs fall by hеr hand. Thе big quеstion now is whеthеr shе’ll gеt hеr vеngеancе or if somеthing unеxpеctеd will changе hеr mind. Will shе ultimatеly lеarn to lovе hеr nеw family? Only timе will tеll in this story of bеtrayal, rеvеngе, and thе possibility of finding somеthing unеxpеctеd along thе way.
Lihat lebih banyak"Menikahlah dengan suamiku dan lahirkan seorang anak, maka akan ku selamatkan perusahaan keluargamu."
"Kau gila? "
Alia tidak menyangka wanita yang terlihat begitu anggun dan menawan yang duduk di hadapannya saat ini memberikan tawaran yang tidak masuk akal. Bukankah orang tuanya memintanya menemui wanita tersebut untuk membicarakan urusan bisnis dan meminta bantuan wanita tersebut untuk berinvestasi diperusahaan ayahnya yang sudah diambang kebangkrutan. Wanita anggun yang sedang duduk di hadapannya saat ini adalah investor terbesar di perusahaan ayahnya saat ini.
Keluarga Megan adalah salah satu dari keluarga terkaya dinegaranya. Mereka menguasai beberapa pasar saham dan memiliki pengaruh yang sangat besar. Setiap orang yang berani menyinggung mereka psati tidak akan berakhir dengan baik. Keluarga mereka juga menjalin kerja sama dengan ikatan pernikahan dengan keluarga Aditama yang merupakan keluarga terkuat, terkaya dan memiliki pengaruh yang sanagt besar di seluruh dunia. Kerja sama itu membuat keluarga Megan menjadi keluarga yang disegani dan di takuti.
"Bukankah kamu datang hari ini untuk bernegosiasi denganku? kamu meminta investasi dan aku memberikan tawaran yang sangat menggiurkan, bukankah itu?"
Alia terdiam sesaat mendengar ucapan wanita itu.
"Mana ada istri yang menjual suaminya sendiri." Ucap Alia.
Megan menatap wajah polos dan lugu Alia saat ini.
"Hahahaha, kamu lucu sekali. aku tidak menjual suamiku, aku menawarkan syarat kepadamu bukan menjual suamiku. Memangnya kamu mampu untuk membelinya? hahahahahaha"
Ucapan wanita itu sepenuhnya benar, Alia tidak mungkin mampu untuk membeli suaminya *-jika benar dia menjualnya. Alia tidak tahu harus bagaimana menanggapi permintaan wanita tersebut, sedangkan dia juga harus mendapatkan investasi tersebut. Jika dia gagal, maka orang tuanya akan kehilangan semuanya dan akan banyak orang yang menderita jika perusahaannya bangkrut.
Megan menyodorkan kartu namanya kepada Alia.
" Kamu boleh memikirkannya terlebih dahulu. Jika kamu sudah memutuskan, maka hubungiku. Ingatlah bahwa hanya aku yang bisa membantu keluargamu."
"Bukankah kamu sendiri juga dapat melahirkan anak untuk suamimu, kenapa menginginkan anak dari wanita lain?" tanya Alia.
"Kamu tahu, wanita hamil itu sangat merepotkan. Suamiku selalu berkata bahwa free child tidak jadi masalah, namun akhir-akhir ini dia tidak seperti itu. Jadi, dari pada adopsi, bukankah lebih baik memiliki anak sendiri tanpa harus repot-repot hamil?"
"Kau gila..!"
"Hahahaha, lebih baik kamu memikirkan nasip keluargamu sendiri dari pada menyumpahiku."
Alia menatap kepergian Megan, pikiran dan hatinya sangat kalut. Bagaimana nanti dia harus menjelaskan kedua orang tuanya. dia menghela napas panjang kemudian memutuskan untuk menyampaikan apa adanya ucapan wanita tersebut dan mungkin orang tuanya kaan memikirkan solusi lain, tidak mungkin orang tuanya akan mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan lelaki yang bahkan tidak dia kenal sama sekali.
Alia memacu sepeda motor kesayangannya membelah keramaian jalanan. Tidak lama kemudian dia sudah sampai di rumahnya. Kedua orang tuanya dan kedua kakaknya sudah menanti kedatangannya diruang keluarga. Alia meletakkan sepatunya dan segera menghampiri mereka yang sudah sedari tadi menunggunya.
"Bagiamana? Apakah dia bersedia?" Tanya ayah Alia penuh rasa penasaran.
"Belum, Pa."
Mereka serempak menatap Alia dengan tatapan penuh tanda tanya setelah mendegar jawaban Alia itu.
"Apa maksudmu belum?" Tanya kakak pertamanya.
Alia membenarkan posisi duduknya dan menguatkan mentalnya untuk memberanikan diri menyampiakan apa yang wanita itu katakan.
"Dia memberiku tawaran yang tidak masuk akal, Pa."
"Tawaran apa?" Tanya ayahnya.
"Dia memintaku menikah dengan suaminya dan memberikannya keturunan. Kalau aku bersedia menerima permintaannya, maka dia akan berinvestasi. Tapi aku belum menjawabnya, Pa." Jelas Alia.
"Kenapa kamu tidak langsung menyetujuinya saja." Ucap ibu Alia.
Alia membelalakkan mata mendengar ucapan ibunya itu. Dia tidak percaya ibunya akan berkata seperti itu.
"Apa maksud ibu?" tanya Alia dengan ekpresi polosnya.
"Kami semua sudah tahu kalau Nyonya Megan akan memintamu menikahi suaminya sebagia syarat atas investasinya pada perusahaan papa, Alia."
Jawaban dari Rantih, kakak keduanya itu membuatnya merasa seperti sedang ditipu oleh mereka.
"Jadi kalian sudah tahu kalau dia akan meminta hal itu, tapi kalian tetap memintaku menemuinya? Kenapa kalian tidak memberi tahuku dari awal?" ucap Alia.
"Apa bedanya memberitahumu dari awal atau nyonya sendiri yang memberi tahumu? tidak ada bedanya. Mau tidak mau ya kamu harus mau, ini semua demi kelangsungan hidup kita Alia." Jelas ibunya.
"Apakah papa juga menyetujui usulan itu?" tanya Alia kembali.
"Kamu dengarkan dulu cerita papa, setelah itu kamu boleh memutuskan. Nyonya Megan sudah lama mencari ibu pengganti untuknya. Dia sangat mencintai suaminya begitu juga suaminya. Namun dia tidak ingin mengambil anak orang lain, dia ingin anak dari suaminya." ucap ayahnya.
"Kenapa mereka tidak melakukan bayi tabung saja? Bukankah teknologi sekarang sangat maju? aku tidak mau, Pa. Bagaimana dengan sekolahku nanti? bukankah papa juga tahu bahwa aku sudah punya pacar."
"Hanya kamu harapan kami, Alia."
Alia menatap kedua kakaknya yang dari tadi hanya menunduk saja tanpa berani menatapnya.
"Bukankah kak leni lebih layak? Usianya juga sudah matang. Kenapa harus aku? ini tidak adil."
Ibu Alia bangkit dan berpindah duduk disebelah Alia, memegang kedua tangan Alia dengan hangat dan menatap matanya dengan dalam.
"Kami sudah membicarakannya dengan nyonya, namun dia menolaknya. Dia sudah lama mengawasimu, semua kehidupanmu juga dia sudah mencari tahu. Dia sudah pernah membicarakan hal ini sebelumnya dengan kami. Tapi kami menolaknya, makanya dia menarik investasi diperusahaan papamu. Jadi anggaplah ini balas budimu untuk papamu dan kami ."
Mata Alia mulai berkaca-kaca, dia tahu bahwa ibu dan kedua kakanya bukanlah keluarga kandungnya, namun mereka begitu menyayanginya sejak dia berusia lima tahun. Dia tidak merasakan kehilangan kasih sayang seorang ibu selepas ibunya meninggalkannya untuk selamanya, bahkan dia mendapat bonus dua orang kakak yang juga sangat menyanyanginya.
"Aku akan memikirkannya terlebih dahulu."
Alia meninggalkan raung keluarga tersebut menuju kamarnya. Dia ingin menenangkan diri seejenak.
Alia merebahkan dirinya di atas pembaringannya, menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya menerawang jauh.
"Hah...! pikiranku kacau banget ya ampun. Apa perempuan itu udah gila? Kenapa jadiin suaminya sendiri jadi pertukaran? apa suaminya tahu? apa suaminya setuju? jangan-jangan suaminya udah tua pula, mampuslah aku.."
Ucapan ibunya tadi masih membekas dibenaknya dan membuatnya tidak dapat tidur nyenyak. Dia bangkit dari pembaringannya, memainkan ponselnya sejenak kemudian menghubungi seseorang.
"Udah tidur?"
"Belum, kenapa? kangen?"suara itu terdengar begitu lembut dan menenangkan Alia.
"Sedikit"
"Mau keluar jalan-jalan? aku jemput?"
"Udah hampir larut malam, papaku nggak akan izinin aku keluar rumah."
"Gimana kalau aku yang kesana? kita ngobrol di halaman depan sebentar"
" Hmmm.. boleh juga. Aku tunggu ya.."
"Siip.."
Alia merapikan diri, mengoleskan sedikit lipgloss di bibirnya kemudian berjalan menuju taman depan rumahnya, dia menanti kedatangan Dimas, kekasihnya tersebut.
"Ngapain kamu malam-malam di depan rumah? udah jam berapa ini? "
Alia terkejut melihat ayahnya sudah berdiri dibelakangnya. Dia meremas ponselnya dan menggigit bibirnya.
"Itu pa, Dimas mau datang" jawab Alia dengan cemas.
"Papa nggak mau lagi melihat kamu berhubungan dengan dia, segera putuskan hubungan kalian."
Sepertinya keputusan keluarga mereka sudah bulat untuk menikahkan Alia dengan suami dari nyonya Megan itu.
"Papa nggak bisa ngatur hidup aku seenaknya gitu aja, aku juga punya hak menentukan pilihanku sendiri, Pa."
"Papa selama ini sudah melunak padamu ya, Alia. Jangan sampai papa memberikan ketegasan padamu!"
Alia tidak ingin lagi berdebat dengan ayahnya karena perdebatan itu hanya akan mempersulit keadaannya saja. Dia kembali kekamarnya dan menutup pintu kamar dengan keras.
"Ahhhhh.....! kenapa semua jadi kayak gini sih!"
Alia tidak habis pikir bahwa ayahnya menanggapi dengan serius penawaran Megan. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas pembaringannya.
"Apa aku kawin lari aja ya sama Dimas besok? Dimas pasti setuju. Besok aku akan jelaskan pada Dimas."
In the afternoon, the grand duke was engrossed in his office tasks, finalizing documents to be sent to the palace in advance. Meanwhile, the monster egg remained hidden from all, especially the imperial family. A knock interrupted his work."Who?" the grand duke called out, still signing a document."Grand duke, it's me, Elen," came the voice outside his door, seeking permission to enter."Come in," the grand duke granted, awaiting Elen's presence. "What is it?" he inquired as she entered."Can I visit the boy?" Elen asked, her gaze averted, not meeting the grand duke's eyes."Why?" the grand duke questioned, his brow furrowing in curiosity."I just want to say thank you," Elen replied softly."Your servants can convey your gratitude to him," the grand duke suggested."But I want to thank him personally," Elen insisted. "He saved me.""And?" the grand duke prodded further, wary of involving Elen with the imperial family dynamics, given Lucas's status as the emperor's illegitimate son.
Three days had passed since Elen had awoken from her deep slumber, and the next day they were due to travel back to Evreux. The air was filled with the hustle and bustle of preparation as everyone busied themselves with getting ready for the journey. Meanwhile, Elen sat on her bed, observing Rami and Rora as they carefully packed her belongings."Can I help?" Elen inquired, her eyes hopeful as she gazed at them.Rami shook her head gently, "No, my lady. The doctor advised that you need rest."Elen's expression fell, a hint of boredom evident on her face. It had been three days since she had woken up, and she was beginning to feel cooped up from the constant vigilance everyone held over her activities.Rami let out a soft chuckle at Elen's eagerness and continued with the packing, making sure everything was neatly organized. She made a mental note to include a supply of medicine for Elen, anticipating the possibility of motion sickness during their journey back to Evreux.Elen's curios
The Grand Duke left Elen's room, feeling relieved that she had woken up from her deep slumber. He made his way to his temporary office, intending to catch up on his duties."Grand Duke," Theron greeted as he entered, placing a stack of documents on the table. "The boy who helped the lady wishes to see you.""The boy?" the Grand Duke inquired, his attention divided between the papers in front of him and Theron's words."Yes, the one who came to the lady's aid," Theron clarified."Very well," the Grand Duke replied, intrigued by the idea of meeting this young man who had displayed impressive combat skills at the marketplace. While not extraordinary, the boy's potential had caught the Grand Duke's attention."I will arrange for an appointment later," Theron informed him before bowing respectfully and exiting the room, leaving the Grand Duke to ponder the upcoming meeting with the mysterious boy.The Grand Duke sat in his office, reflecting on the mysterious young man who had caught his a
As the sun began to rise in Asteria, casting its gentle light into the room where Elen lay in deep slumber, a sense of urgency gripped the hearts of those gathered around her. The doctor, beads of sweat forming on his brow, had tried everything within his power to rouse Elen from her unconscious state, but her body remained unresponsive.The tension in the room was palpable as the grand duke, a grave expression etched on his face, questioned the doctor about Elen's condition. "When will she wake up?" the grand duke inquired, his voice tinged with concern."It seems that the medicine has not taken effect on the lady's body," the doctor responded, his own anxiety evident in his voice.A heavy silence hung in the air as all eyes turned to Elen, her face pale and serene in her slumber. The implications of her continued unconsciousness weighed heavily on the doctor, knowing the gravity of the situation.The grand duke's next words sent a shiver down the doctor's spine, his tone carrying a
Elen, still feeling groggy from her deep sleep, found herself wandering aimlessly in a never-ending white hallway. The complete lack of doors or exits made her feel trapped, like she was stuck in a never-ending limbo. The silence was deafening, and the sterile white walls seemed to stretch on forever, giving her the eerie sensation of walking towards her demise."Where the heck am I?" Elen mumbled to herself, her voice barely audible, "Am I... dead?"Despite the uncertainty of her situation, Elen pushed forward, determined to find a way out of this strange place. She couldn't shake the worry gnawing at her about the well-being of Rora and Rami."I hope they made it..." Elen thought to herself, a pang of concern tugging at her heartstrings."Child," a voice echoed through the empty white hallway, startling Elen."Who's there?" Elen called out, scanning her surroundings in confusion. But there was no one in sight, just the endless expanse of white that seemed to stretch into infinity."
The Grand Duke rushed through the marketplace, battling monsters along the way as he desperately searched for Elen. Despite his efforts, he found no trace of her or the group she had been with. The Adelstein knight arrived as well, aiding in the evacuation of civilians and joining the fight against the monsters. They scoured the area, trying to locate Elen and her companions, but they remained elusive."Grand Duke," Theron reported, "this area is clear.""Hmm," the Grand Duke responded, scanning the surroundings. "Find Elen and the group."As the Grand Duke set off once more in search of Elen, he encountered Rami and some knights still locked in combat with monsters, despite their injuries and bloodied appearance. Still, Elen was nowhere to be seen. Without hesitation, the Grand Duke jumped into the fray to assist Rami and the knights in clearing out the remaining monsters.Rami's eyes widened as she spotted the Grand Duke in the midst of the chaos, a mixture of surprise and relief fl
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Komen