Kedua manik bening itu bertatapan begitu dekat dengan dua mata tajam David. Debaran di dada keduanya makin tak beraturan. David mendekatkan wajahnya lagi …
"Kak Di, aku bawa belanjaan ke dapur, ya!?" Suara Wulan terdengar dari ruang tengah.
Lintang mendorong David dan memutar badan dengan cepat. David menggaruk kepalanya, lalu mengecup puncak kepala Lintang dari belakang gadis itu.
"Aku mandi dulu," katanya, lalu meninggalkan dapur.
"Ya Tuhan, hampir saja," batin Lintang. Wajahnya masih terasa panas. Nafasnya masih belum kembali normal.
"Kakak! Masak apa?" Wulan nongol dengan tentengan di kedua tangannya. Dia melihat ke atas meja, gado-gado yang Lintang masak hampir siap.
"A
Lintang menatap Marisa. Ternyata gadis ini memiliki sisi baik juga. Selama ini Lintang sudah sangat kesal setiap kali mendengar namanya. "Aku, tidak mudah, Risa ... Aku ...." "Setidaknya ayahmu masih hidup.” Marisa memotong kalimat Lintang yang ragu-ragu diucapkan. “Aku sering merindukan ayahku, tapi aku tak pernah bisa memeluknya lagi. Karena itu aku sering menyalahkan paman. Setelah melihat kamu dan Wulan, aku sadar, keegoisanku dan ibu, membuat kamu dan Wulan harus kehilangan ayah kalian bertahun-tahun.” Lintang terdiam. Mungkin sudah saatnya dia membuka pintu untuk ayah. Tidak boleh dia hanya menunjukkan dirinya saja yang jadi korban dan menderita. Dia harus berani melihat dari sisi ayah, apa yang sebenarnya terjadi. "Aku mau minta maaf, Lin," kata Marisa. Lintang mengangkat wajah dan melihat Marisa. Maaf? Marisa mengatakan maaf? "Karena David, aku berbuat bodoh," ucap Marisa. Ini penyesalan yang sungguh-sungguh. "Dan, dengan Mas Mito?" Tiba-tiba Lintang ingat Mito. Dia jadi
Mata Lintang melebar melihat pria setengah baya yang berdiri memandang padanya. "Ehh ... aku membawakanmu ..." Farid mengulurkan tangan, memberikan bungkusan untuk Lintang. Dari aromanya Lintang tahu apa yang Farid bawa. Kue kesukaan Lintang, putu. "Sebenarnya aku ..." Farid melihat Lintang. Tatapan Lintang masih dingin. Farid tidak meneruskan kalimatnya. Dia berbalik, beranjak pergi. Hati Lintang bergemuruh. Masih ada kekakuan di sana. Tapi mungkin saja ini saatnya dia bicara dengan ayahnya. "Ayah!" panggil Lintang. Farid menghentikan langkah dan menoleh, memandang putrinya. Lintang memanggilnya ayah, dengan sangat jelas. "Ayah tidak ingin duduk dulu?" tanya Lintang. Dia berusaha menenangkan hatinya yang bergejolak. "Eh ... aku ..." Farid sedikit bingung. Dia masih merasa takut Lintang akan marah dan meledak. "Aku ingin bicara dengan Ayah." Lintang berkata dengan wajah serius, tidak ada senyum. Farid kembali mendekat, duduk di kursi di teras itu. Lintang melangkah, duduk di d
Tyas menggenggam tangan suaminya. Pria yang sangat dia cintai. Pria yang kepadanya dia serahkan semua harapan dan masa depannya."Baiklah. Aku akan tetap mendukung kamu. Aku dan anak-anak menunggu kamu di sini." Walau berat, Tyas melepas Farid."Jika aku tak segera pulang, kembalilah pada keluarga kamu. Aku yakin, setelah sekian lama, mereka merindukan kamu," pesan Farid."Mas, kamu dan anak-anak adalah keluargaku. Bagi Romo, aku sudah mati. Aku tak mau anak-anak tahu masalah pelik yang terjadi antara kita dan keluarga Angkasajaya," tegas Tyas."Tyas, aku tak tahu apa yang akan terjadi denganku nanti. Aku pergi dengan tangan kosong. Aku tak meninggalkan apa-apa untuk kamu. Berjanjilah, jika aku tak segera pulang, kembalilah pada keluarga kamu." Lebih tegas, Farid berpesa
Sejak pagi, Lintang sibuk di dapur. Dia membersihkan rumah, menyiapkan makanan, dan keperluan lain untuk perjalanan ke desa. Mereka akan pergi ke desa asal Lintang dan Wulan. Perjalanan kali ini lengkap semua ikut. Hero, Diana, dan Tio juga akan menyertai perjalanan. Mereka berencana akan menginap di salah satu lokasi wisata pantai di sana. Wulan sangat bersemangat. Apalagi Lintang setuju waktu dia minta ayah ikut dalam perjalanan ini. Dengan gembira Wulan membantu kakaknya menyiapkan semua yang mereka butuhkan. David bertugas menjemput Farid, lalu berangkat dari rumah bersama. "Oleh-oleh buat bapak dan ibu Lurah sudah, Lin?" Diana mengingatkan. "Iya, Kak. Sudah aku siapkan." Lintang membuat di macam kue untuk mereka. Dia sudah memasaknya kemarin sore. Juga dia siapkan hadiah pakaian untuk Pak Lurah, Bu Lurah, dan Mak Imah. "Wulan, jangan lupa baju ganti untuk basah-basahan di pantai." Diana menoleh pada Wulan. "Ah, iya. Bentar, hampir lupa!" Dengan sigap Wulan ke kamar, mengambil
Farid masih mematung. Dia menatap lurus pada pusara di depan Lintang. Itu makam istrinya. Tyas benar-benar telah tiada. "Ayah ...." panggil Lintang pilu. Farid masih tak bergerak. Tapi dia merasa tubuhnya lemas. Hatinya hancur. Sangat sakit dan sedih. Dia tinggalkan istrinya dalam keadaan miskin dan menderita. Tak pernah berkabar, apalagi bertemu. Setelah hampir sembilan tahun, dia hanya mendapati nisan yang menunjukkan wanita yang dicintainya sudah beristirahat untuk selamanya. "Ayah ...." Wulan menarik pelan tangan Farid. Dengan tubuh gemetar, Farid melangkah mendekati nisan Tyas. Begitu dekat, dia terduduk. Dan meledaklah tangisnya. "Hhuuukk ... Uuhhhhuukkk ...." Tak ada yang bisa menahan kepedihannya. Rasa bersalah, merasa bodoh, merasa tak berguna, kembali memenuhi dirinya. Farid menelungkupkan kepala sampai dahinya menyentuh tanah makam itu. Lintang dan Wulan bersimpuh di kiri dan kanannya. Mereka tak bicara apa-apa. Mereka hanya bisa menangis meski tanpa suara. Hati mereka
Setelah saling menyapa dan melepas rindu, mereka duduk di kursi di ruang tamu. "Kamu berjasa banyak padaku saat aku belum ada kerjaan dulu. Kamu juga banyak ngajarin aku, bukan hal yang sangat istimewa kalau aku bisa bantu sedikit Lintang dan Wulan," ujar Pak Lurah. Dia mengenang kisah lama antara dia dan Farid. "Syukurlah, kalian bisa sama-sama lagi," sahut Bu Lurah. "Ya, akhirnya kami dipertemukan lagi. Walau tanpa Tyas." Farid tersenyum, terdengar sedih dari nada suaranya. Pak Lurah sempat melihat Farid yang agak pincang berjalan. Agak canggung bicara, tapi dia menanyakannya juga. Farid bercerita apa adanya pada Pak Lurah. Mereka tampak begitu akrab meskipun sekian lama tidak pernah bertemu. Terasa getir di hati Pak Lurah mendengar kisah Farid yang begitu malang. Bu Lurah masuk ke rumah belakang. Tak lama dia kembali dengan Mak Imah. "Mak!" Wulan langsung memanggil wanita tua itu dan berdiri mendekatinya. Lalu memeluk Mak Imah dengan senyum lebar. "Duh, Gusti, ini Wulan??" Mb
David tersenyum, merasa lucu melihat ekspresi Wulan. "Ga apa-apa. Ayo ..." Lagi David mengajak. "Hmm ... baiklah." Akhirnya Wulan mau juga. "Ajak Kak Alin, pakai jaket, angin lumayan kencang di pantai," kata David. Wulan bergegas masuk dalam cottage. Di sana dia lihat Lintang duduk dengan Farid sedang mengobrol, sambil menikmati kopi panas. "Kak, Kak Dave mau ajak jalan ke pantai. Ayo, temani," Wulan mendekati kakaknya. Lintang melihat Farid. Dia masih belum ingin meninggalkan ayahnya. Lintang mulai suka berlama-lama di dekat Farid. "Pergi sana, temani adikmu. Asal jangan terlalu dekat pantai saja," kata Farid. "Ya, sudah. Ayo." Lintang berdiri. Wulan lari ke dalam kamar, mengambil dua jaket. Dia berikan satu untuk Lintang, satu dia kenakan untuk dirinya. Lalu mereka ke depan menemui David yang sudah turun dari teras cottage dan berjalan pelan ke arah pantai. Wulan terlihat sangat senang. Ternyata tidak seram seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Mereka berdiri cukup dekat p
Tak lama, mereka bergerak, setelah Tio sudah bangun. Hero dan David langsung menenggelamkan diri di air, berenang ke sana sini nampak senang sekali. Diana menggelar tikar di bawah pohon, lalu meninggalkan Tio di sana dengan Lintang. Baru dia berlari dan melompat ke air nyusul suami dan adiknya. Sementara Wulan dan Farid asyik di tepi pantai, membuat istana pasir. Sesekali terdengar tawa Wulan yang lepas karena girangnya. "Tio, mau main air juga?" Lintang memegang badan Tio. Anak kecil itu memaksa ingin turun ke pantai. Lintang menahannya agar dia tidak lepas dari pegangannya. "Maamma ... mammaaa ..." gumam Tio. "Nanti mama ke sini kalau sudah selesai," ucap Lintang. "Tatak ... ttaataakk ..." Bocah lucu itu memanggil Wulan. "Kak Wulan lagi main. Kamu mau ke sana?" Lintang mencoba menahan. Tio malah nangis karena tidak diajak main ke pantai. Akhirnya Lintang menggendong Tio dan membawanya ke dekat Wulan dan Farid. Begitu dekat Wulan, Tio tertawa. "Taattaakk ..." panggilnya. "Hei