Share

6. Kepingan ke Delapan

“Kak He Ting!”

Gadis bermata hitam itu mengerjap, tersentak pelan, lalu menoleh ke belakang. Seorang anak perempuan berusia delapan tahun, berlari sedikit tertatih ke arahnya. Wajahnya pucat, air mata mengalir deras dari mata bulatnya.

“Kak He Ting! Tolong…,” katanya terisak pelan. Dia jatuh berlutut di depan He Ting dan menarik rok sambil tersedu-sedu. “Tolong selamatkan nenek!”

“Adik, ada apa dengan Nenek Tao Lan?” Wanita muda dengan rambut hitam panjang sepunggung itu berlutut. Bertanya lembut sambil menyeka wajah dengan ujung lengan. “Bicaralah pelan-pelan, Kakak mendengarmu.”

“Ta-tadi ada beberapa pria dewasa datang ke rumah. Nenek keluar untuk bicara dengan mereka, tiba-tiba terdengar suara ribut. A-aku segera keluar untuk melihat, ternyata mereka membawa paksa nenek dan menuduhnya telah mencuri.”

Tangan He Ting yang sejak tadi mengusap punggung gadis kecil itu seketika terhenti. Dia berusaha mengatur kembali ekspresi kagetnya.

“Apa adik tahu, mereka membawa nenek kemana?”

Gadis kecil itu mengangguk, “rumah Pak Hakim.”

“Sekarang kamu tunggu nenek di rumah. Kakak akan menjemput nenek pulang sekarang.” He Ting mengusap lembut kepala gadis kecil itu. “Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja.”

Tanpa membuang waktu, He Ting berlari menuju ke satu rumah berukuran sedang. Bangunan cukup megah yang terletak di samping lapangan luas. Dia membuka pintu gerbang yang memang tidak memiliki penjaga. Namun setiba di depan pintu rumah utama, seorang dayang menyambutnya dengan sopan.

“Aku ingin bertemu dengan Tuan Hakim Huang Duyi.”

Pelayan muda itu menjawab dengan sopan, “Mohon maaf, Nona. Saat ini Tuan Besar sedang menerima tamu.”

“Katakan bahwa He Ting datang sebagai wali dari Nenek Tao Lan. Beliau seharusnya paham dan membiarkanku masuk.”

He Ting menunggu di depan pintu rumah. Sekitar lima menit kemudian, pelayan itu kembali dan membukakan pintu rumah lebar-lebar untuknya. Gadis itu melesat menuju ruang tengah tanpa dipandu. Dia seakan sudah hafal denah rumah ini, seperti rumahnya sendiri. 

“Selamat siang, Tuan Huang Duyi.” He Ting menyapa anggun pada seorang pria paruh baya yang tengah duduk bersama tiga orang pria dewasa dan satu wanita tua. “Mohon maaf telah berlaku tidak sopan dan terima kasih atas pengertian Tuan.”

Manik hitam He Ting melirik pada sosok nenek Tao Lan yang menunduk sambil menangis. Wanita tua berusia hampir tujuh puluh tahun itu nampak ringkih dan tertekan. 

“Silahkan duduk, Nona He Ting.” Suara Huang Duyi terdengar lelah.

Tanpa disuruh dua kali, gadis muda itu segera duduk di samping nenek Tao Lan. Dia juga menarik tangan kurus penuh urat itu dan menggenggamnya lembut. Wanita tua itu menatap He Ting dengan mata abu-abunya yang termakan usia. Matanya merah dengan jejak air mata di pipi keriputnya. 

“Tidak apa-apa, Nek. He Ting di sini.” katanya berusaha menenangkan. 

“Mudah sekali anda mengatakan tidak apa-apa, Nona He Ting!” Herdik seorang laki-laki bertubuh tinggi dan kurus. Matanya mendelik marah, “Nenek itu pencuri! Dia mencuri kentang di ladang saya!”

“Saya minta maaf Tuan…,” Nenek Tao Lan tiba-tiba mengatupkan tangan, meminta maaf sambil menangis. “Sa-saya bersalah, saya telah mencuri kentang di ladang Tuan. Saya bersalah…”

“Kau pikir semua ini akan selesai hanya dengan minta maaf?!” Pria itu kembali mengherdik, bahkan nada suaranya lebih tinggi. “Jika semua maling minta maaf, jeruji besi pasti kosong dan orang-orang sepertiku terus merugi karena perbuatan kalian!”

“Tuan Fu Xiang!” Huang Duyi segera memotong, “saya paham dengan perasaan, Tuan. Tapi tolong kendalikan amarah Tuan.”

Berkat teguran Huang Duyi, suasana kembali kondusif. Meski Nenek Tao Lan masih menangis dan Fu Xiang menggerutu kesal. He Ting memandang sedih pada wanita tua di sampingnya. Di umurnya yang telah lanjut, badai datang menerpa. Membawa pergi anak dan menantunya sekaligus. Kekayaan yang dulu berlimpah bersama dengan status kini hilang tanpa sisa. Hanya menyisakan cucu perempuan dan segubuk rumah untuk ditinggali. 

“Kau sudah mendengar alasan kenapa Nenek Tao Lan mencuri. Itu dia lakukan karena cucunya sudah tiga hari tidak makan.” Huang Duyi bicara dengan suara tercekat. “Apa Tuan masih ingin membawa masalah ini ke ranah hukum?”

“Tuan Fu Xiang!” He Ting tiba-tiba berseru, “saya percaya kalau Tuan masih memiliki hati nurani. Masalah ini bisa kita selesaikan secara kekeluargaan.”

“Dan membiarkan dia kembali mencuri kentang saat cucunya lapar?” Fu Xiang mendengus kesal. “Saya ini pemilik ladang, bukan donatur orang-orang miskin!”

“Saya tidak akan mengulanginya lagi, Tuan. Saya berjanji atas nyawa saya sendiri…” Nenek Tao Lan hampir bersujud jika tidak dihentikan He Ting.

Manik hitam Fu Xiang menatap jengah pada Nenek Tao Lan. Namun tidak saat memandang He Ting, sudut bibirnya malah naik sedikit. 

***

“He Ting, kau ini benar-benar wanita menyebalkan!” 

Selepas mediasi, laki-laki itu meminta waktu He Ting untuk bicara empat mata. Namun begitu mereka hanya berdua, Fu Xiang mendorong kasar pundak gadis muda itu sampai menabrak dinding.

“Mau sampai kapan kau ikut campur dalam hukum di desa ini? Aku sampai merasa kasihan dengan Tuan Hakim. Keputusan menjadikanmu murid adalah suatu kesalahan besar!”

He Ting menanggapi semua herdikan itu dengan raut datar. Dia melepaskan cengkraman tangan Fu Xiang di pundaknya. Maniknya teguh, tidak ada goyah sedikitpun. 

“Hukum merupakan serangkaian peraturan yang bersifat mengikat dan memaksa. Tapi hukum juga menjadi penengah bagi kedua belah pihak yang sedang berselisih. Melihat dari kasus ini, sudah sewajarnya jika aku dan Tuan Hakim menjadi penengah.”

“Hah! Aku tidak butuh penengah, aku hanya ingin nenek tua itu dijebloskan kedalam penjara karena mencuri kentang di ladangku!”

He Ting menghela napas lelah. Pemuda ini begitu keras kepala dan tidak memiliki hati. 

“Aku tidak membenarkan tindakan nenek Tao Lan. Tapi kita bisa mencari penyelesaian yang lebih baik untuk kedua pihak. Hukuman yang Tuan inginkan terlalu kejam untuk sekadar tiga buah kentang.”

Fu Xiang memandang gadis itu sambil bersedekap dada. Baginya hukuman penjara sudah termasuk ringan. Dia harus bersikap tegas, agar tidak ada orang bodoh yang mengikuti jejak Nenek Tao Lan. Namun berkat He Ting, gadis tidak tahu diri yang selalu ikut campur ini, membuatnya berpikir lebih kritis. 

“Baiklah, kita ikuti caramu.” 

Mendengar perkataan Fu Xiang, gadis itu menatapnya dengan binar di manik hitamnya. Lelaki tinggi kurus itu segera menambahkan perkataannya. “Kau tidak boleh lagi protes dengan permintaanku sebagai pelapor sekaligus pihak yang dirugikan.”

“Terima kasih atas kemurahan hati Tuan.” Gadis itu memberikan hormat dengan mengatupkan kedua tangan di depan dada dan menunduk. 

Fu Xiang berbalik, senyum di wajahnya tampak mengerikan. “Kita lihat nanti, apakah kau masih bisa tersenyum seperti itu, Nona He Ting?”

***

Hari kedua mediasi dilakukan. He Ting mendampingi Nenek Tao Lan di rumah Tuan Hakim. Suasana tegang masih terasa, terlebih hari ini akan jadi penentuan. He Ting berharap masalah ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Tidak apa jika harus membayar denda, gadis itu akan berusaha untuk membantu membayarnya.

“Pihak pelapor telah meminta perubahan hukuman yang akan diterima Nenek Tao Lan.” Nada suara hakim Huang Duyi terdengar lugas. “Tuan Fu Xiang tidak akan menuntut Nenek Tao Lan ke penjara.”

Raut wajah He Ting berubah cerah mendengarnya. 

“Sebagai gantinya, Tuan Fu Xiang meminta uang ganti rugi sebesar 50 yuan.” Kening He Ting berkedut pelan, mulai menghitung uang tabungannya. “Dan hukum cambuk 100 kali.”

“Apa?!” He Ting sontak berseru. Tidak percaya dengan hukuman terakhir yang diberikan. “Tuan Fu Xiang, saya yakin membayar denda sudah lebih dari cukup. Bagaimana bisa, Tuan tega memberi hukuman cambuk pada wanita tua?”

Fu Xiang duduk di seberang He Ting hanya melempar senyum miring. “Sudah saya bilang, hukuman penjara itu sudah ringan daripada hukum lama yang berlaku dulu.”

Pria tinggi kurus itu menggelengkan kepala dengan tawa rendah. “Tapi belas kasih saya masih disangka kejam oleh, Nona He Ting. Setidaknya saya sudah menepati janji pada Anda untuk tidak memenjarakan si Pencuri.”

Tatapan tajam Fu Xiang pada He Ting seakan memberitahu, kalau giliran gadis itu yang menepati janji. Dia tidak boleh protes lagi, karena pelapor sudah berbaik hati mengubah tuntutannya. Namun bukan He Ting namanya, jika dia menyerah begitu saja. Jika dia membiarkan Nenek Tao Lan menerima hukuman cambuk. Wanita tua itu tidak akan bertahan sampai pukulan terakhir. 

“Tuan Hakim, saya mengajukan permohonan sebagai wali Nenek Tao Lan.” He Ting mengalihkan tatapannya pada sang guru. Manik hitamnya berpendar teguh, seakan dia siap dengan konsekuensi dari perkataannya.  

“Izinkan saya menggantikan Nenek Tao Lan menerima hukuman cambuk.”

Seluruh orang yang berada di ruang tamu tersentak kaget. Nenek Tao Lan segera menyentuh lengan He Ting, rautnya terlihat panik. 

“Tidak, jangan lakukan itu, Nak!” air mata sudah mulai menggenang di pelupuk mata. “Nenek sangat berterima kasih atas dukunganmu. Bantuanmu lebih dari cukup, janganlah kau berkorban lebih dari ini.”

He Ting menyentuh lembut tangan keriput yang masih saja terasa kehangatannya. Gadis itu tersenyum penuh sayang. “Tidak apa, Nek. Ini aku lakukan tulus karena aku sayang nenek. Apa nenek tega melihat cucu nenek menangis saat hukuman cambuk nanti?”

Nenek Tao Lan tidak menjawab, dan He Ting tahu betul perasaan sang Nenek. Gadis itu memeluk wanita tua itu, mengusap punggung ringkihnya. 

“Tidak apa-apa. Nenek tidak perlu merasa bersalah.”

“Terima kasih, Nak. Sungguh…, terima kasih…”

***

Hukuman cambuk dilakukan di lapangan terbuka. Seluruh warga menyaksikan sosok He Ting dengan pakaian serba putih, berlutut. Seorang pria menghampiri dengan cambuk hitam di tangan. Dia ditugaskan untuk memberikan hukuman pada mereka yang bersalah. He Ting menggigit bibir bawahnya, bersiap menerima pukulan di punggung. 

Pria besar itu mengayunkan cambuk dengan sekuat tenaga. Satu pukulan, dua pukulan, tiga pukulan, He Ting setengah mati menahan suaranya. Dia tidak akan berteriak, dia tidak akan memperlihatkan Nenek Tao Lan dan cucunya, sosok payah dirinya. Ini adalah keputusan yang dia ambil. Dan He Ting tidak menyesalinya. 

Seratus pukulan cambuk selesai dilayangkan. He Ting dibawa, diseret ke rumahnya. Ia dibiarkan terbujur di kasur jerami miliknya. Tidak ada yang boleh menjenguknya sampai besok pagi sesuai peraturan yang berlaku. Di tengah kesadaran yang hampir hilang, manik hitam itu menangkap sosok tidak asing di depan pintu kamar. 

“He Ting yang malang, dan juga bodoh.” Suara itu bicara entah pada siapa. “Seandainya saja kau bersikap selayaknya perempuan. Tidak berpikir untuk belajar tentang hukum, dan hanya mengurus dapur. Kau tidak akan berakhir seperti ini, mati seorang diri.”

Huang Duyi, menatapnya muridnya dengan tatapan dingin, dan datar. Dia lalu balik badan, meninggalkan He Ting meregang nyawa akibat pukulan cambuk yang sudah diberi racun mematikan. Tidak butuh waktu lama, sampai racun itu menyebar lewat luka pukulan dan mengambil nyawa sang gadis. 

“Selamat tinggal, He Ting, muridku tersayang. Semoga di kehidupan berikutnya kau terlahir sebagai laki-laki.”

Continue…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status