“Kak He Ting!”
Gadis bermata hitam itu mengerjap, tersentak pelan, lalu menoleh ke belakang. Seorang anak perempuan berusia delapan tahun, berlari sedikit tertatih ke arahnya. Wajahnya pucat, air mata mengalir deras dari mata bulatnya.
“Kak He Ting! Tolong…,” katanya terisak pelan. Dia jatuh berlutut di depan He Ting dan menarik rok sambil tersedu-sedu. “Tolong selamatkan nenek!”
“Adik, ada apa dengan Nenek Tao Lan?” Wanita muda dengan rambut hitam panjang sepunggung itu berlutut. Bertanya lembut sambil menyeka wajah dengan ujung lengan. “Bicaralah pelan-pelan, Kakak mendengarmu.”
“Ta-tadi ada beberapa pria dewasa datang ke rumah. Nenek keluar untuk bicara dengan mereka, tiba-tiba terdengar suara ribut. A-aku segera keluar untuk melihat, ternyata mereka membawa paksa nenek dan menuduhnya telah mencuri.”
Tangan He Ting yang sejak tadi mengusap punggung gadis kecil itu seketika terhenti. Dia berusaha mengatur kembali ekspresi kagetnya.
“Apa adik tahu, mereka membawa nenek kemana?”
Gadis kecil itu mengangguk, “rumah Pak Hakim.”
“Sekarang kamu tunggu nenek di rumah. Kakak akan menjemput nenek pulang sekarang.” He Ting mengusap lembut kepala gadis kecil itu. “Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja.”
Tanpa membuang waktu, He Ting berlari menuju ke satu rumah berukuran sedang. Bangunan cukup megah yang terletak di samping lapangan luas. Dia membuka pintu gerbang yang memang tidak memiliki penjaga. Namun setiba di depan pintu rumah utama, seorang dayang menyambutnya dengan sopan.
“Aku ingin bertemu dengan Tuan Hakim Huang Duyi.”
Pelayan muda itu menjawab dengan sopan, “Mohon maaf, Nona. Saat ini Tuan Besar sedang menerima tamu.”
“Katakan bahwa He Ting datang sebagai wali dari Nenek Tao Lan. Beliau seharusnya paham dan membiarkanku masuk.”
He Ting menunggu di depan pintu rumah. Sekitar lima menit kemudian, pelayan itu kembali dan membukakan pintu rumah lebar-lebar untuknya. Gadis itu melesat menuju ruang tengah tanpa dipandu. Dia seakan sudah hafal denah rumah ini, seperti rumahnya sendiri.
“Selamat siang, Tuan Huang Duyi.” He Ting menyapa anggun pada seorang pria paruh baya yang tengah duduk bersama tiga orang pria dewasa dan satu wanita tua. “Mohon maaf telah berlaku tidak sopan dan terima kasih atas pengertian Tuan.”
Manik hitam He Ting melirik pada sosok nenek Tao Lan yang menunduk sambil menangis. Wanita tua berusia hampir tujuh puluh tahun itu nampak ringkih dan tertekan.
“Silahkan duduk, Nona He Ting.” Suara Huang Duyi terdengar lelah.
Tanpa disuruh dua kali, gadis muda itu segera duduk di samping nenek Tao Lan. Dia juga menarik tangan kurus penuh urat itu dan menggenggamnya lembut. Wanita tua itu menatap He Ting dengan mata abu-abunya yang termakan usia. Matanya merah dengan jejak air mata di pipi keriputnya.
“Tidak apa-apa, Nek. He Ting di sini.” katanya berusaha menenangkan.
“Mudah sekali anda mengatakan tidak apa-apa, Nona He Ting!” Herdik seorang laki-laki bertubuh tinggi dan kurus. Matanya mendelik marah, “Nenek itu pencuri! Dia mencuri kentang di ladang saya!”
“Saya minta maaf Tuan…,” Nenek Tao Lan tiba-tiba mengatupkan tangan, meminta maaf sambil menangis. “Sa-saya bersalah, saya telah mencuri kentang di ladang Tuan. Saya bersalah…”
“Kau pikir semua ini akan selesai hanya dengan minta maaf?!” Pria itu kembali mengherdik, bahkan nada suaranya lebih tinggi. “Jika semua maling minta maaf, jeruji besi pasti kosong dan orang-orang sepertiku terus merugi karena perbuatan kalian!”
“Tuan Fu Xiang!” Huang Duyi segera memotong, “saya paham dengan perasaan, Tuan. Tapi tolong kendalikan amarah Tuan.”
Berkat teguran Huang Duyi, suasana kembali kondusif. Meski Nenek Tao Lan masih menangis dan Fu Xiang menggerutu kesal. He Ting memandang sedih pada wanita tua di sampingnya. Di umurnya yang telah lanjut, badai datang menerpa. Membawa pergi anak dan menantunya sekaligus. Kekayaan yang dulu berlimpah bersama dengan status kini hilang tanpa sisa. Hanya menyisakan cucu perempuan dan segubuk rumah untuk ditinggali.
“Kau sudah mendengar alasan kenapa Nenek Tao Lan mencuri. Itu dia lakukan karena cucunya sudah tiga hari tidak makan.” Huang Duyi bicara dengan suara tercekat. “Apa Tuan masih ingin membawa masalah ini ke ranah hukum?”
“Tuan Fu Xiang!” He Ting tiba-tiba berseru, “saya percaya kalau Tuan masih memiliki hati nurani. Masalah ini bisa kita selesaikan secara kekeluargaan.”
“Dan membiarkan dia kembali mencuri kentang saat cucunya lapar?” Fu Xiang mendengus kesal. “Saya ini pemilik ladang, bukan donatur orang-orang miskin!”
“Saya tidak akan mengulanginya lagi, Tuan. Saya berjanji atas nyawa saya sendiri…” Nenek Tao Lan hampir bersujud jika tidak dihentikan He Ting.
Manik hitam Fu Xiang menatap jengah pada Nenek Tao Lan. Namun tidak saat memandang He Ting, sudut bibirnya malah naik sedikit.
***
“He Ting, kau ini benar-benar wanita menyebalkan!”
Selepas mediasi, laki-laki itu meminta waktu He Ting untuk bicara empat mata. Namun begitu mereka hanya berdua, Fu Xiang mendorong kasar pundak gadis muda itu sampai menabrak dinding.
“Mau sampai kapan kau ikut campur dalam hukum di desa ini? Aku sampai merasa kasihan dengan Tuan Hakim. Keputusan menjadikanmu murid adalah suatu kesalahan besar!”
He Ting menanggapi semua herdikan itu dengan raut datar. Dia melepaskan cengkraman tangan Fu Xiang di pundaknya. Maniknya teguh, tidak ada goyah sedikitpun.
“Hukum merupakan serangkaian peraturan yang bersifat mengikat dan memaksa. Tapi hukum juga menjadi penengah bagi kedua belah pihak yang sedang berselisih. Melihat dari kasus ini, sudah sewajarnya jika aku dan Tuan Hakim menjadi penengah.”
“Hah! Aku tidak butuh penengah, aku hanya ingin nenek tua itu dijebloskan kedalam penjara karena mencuri kentang di ladangku!”
He Ting menghela napas lelah. Pemuda ini begitu keras kepala dan tidak memiliki hati.
“Aku tidak membenarkan tindakan nenek Tao Lan. Tapi kita bisa mencari penyelesaian yang lebih baik untuk kedua pihak. Hukuman yang Tuan inginkan terlalu kejam untuk sekadar tiga buah kentang.”
Fu Xiang memandang gadis itu sambil bersedekap dada. Baginya hukuman penjara sudah termasuk ringan. Dia harus bersikap tegas, agar tidak ada orang bodoh yang mengikuti jejak Nenek Tao Lan. Namun berkat He Ting, gadis tidak tahu diri yang selalu ikut campur ini, membuatnya berpikir lebih kritis.
“Baiklah, kita ikuti caramu.”
Mendengar perkataan Fu Xiang, gadis itu menatapnya dengan binar di manik hitamnya. Lelaki tinggi kurus itu segera menambahkan perkataannya. “Kau tidak boleh lagi protes dengan permintaanku sebagai pelapor sekaligus pihak yang dirugikan.”
“Terima kasih atas kemurahan hati Tuan.” Gadis itu memberikan hormat dengan mengatupkan kedua tangan di depan dada dan menunduk.
Fu Xiang berbalik, senyum di wajahnya tampak mengerikan. “Kita lihat nanti, apakah kau masih bisa tersenyum seperti itu, Nona He Ting?”
***
Hari kedua mediasi dilakukan. He Ting mendampingi Nenek Tao Lan di rumah Tuan Hakim. Suasana tegang masih terasa, terlebih hari ini akan jadi penentuan. He Ting berharap masalah ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Tidak apa jika harus membayar denda, gadis itu akan berusaha untuk membantu membayarnya.
“Pihak pelapor telah meminta perubahan hukuman yang akan diterima Nenek Tao Lan.” Nada suara hakim Huang Duyi terdengar lugas. “Tuan Fu Xiang tidak akan menuntut Nenek Tao Lan ke penjara.”
Raut wajah He Ting berubah cerah mendengarnya.
“Sebagai gantinya, Tuan Fu Xiang meminta uang ganti rugi sebesar 50 yuan.” Kening He Ting berkedut pelan, mulai menghitung uang tabungannya. “Dan hukum cambuk 100 kali.”
“Apa?!” He Ting sontak berseru. Tidak percaya dengan hukuman terakhir yang diberikan. “Tuan Fu Xiang, saya yakin membayar denda sudah lebih dari cukup. Bagaimana bisa, Tuan tega memberi hukuman cambuk pada wanita tua?”
Fu Xiang duduk di seberang He Ting hanya melempar senyum miring. “Sudah saya bilang, hukuman penjara itu sudah ringan daripada hukum lama yang berlaku dulu.”
Pria tinggi kurus itu menggelengkan kepala dengan tawa rendah. “Tapi belas kasih saya masih disangka kejam oleh, Nona He Ting. Setidaknya saya sudah menepati janji pada Anda untuk tidak memenjarakan si Pencuri.”
Tatapan tajam Fu Xiang pada He Ting seakan memberitahu, kalau giliran gadis itu yang menepati janji. Dia tidak boleh protes lagi, karena pelapor sudah berbaik hati mengubah tuntutannya. Namun bukan He Ting namanya, jika dia menyerah begitu saja. Jika dia membiarkan Nenek Tao Lan menerima hukuman cambuk. Wanita tua itu tidak akan bertahan sampai pukulan terakhir.
“Tuan Hakim, saya mengajukan permohonan sebagai wali Nenek Tao Lan.” He Ting mengalihkan tatapannya pada sang guru. Manik hitamnya berpendar teguh, seakan dia siap dengan konsekuensi dari perkataannya.
“Izinkan saya menggantikan Nenek Tao Lan menerima hukuman cambuk.”
Seluruh orang yang berada di ruang tamu tersentak kaget. Nenek Tao Lan segera menyentuh lengan He Ting, rautnya terlihat panik.
“Tidak, jangan lakukan itu, Nak!” air mata sudah mulai menggenang di pelupuk mata. “Nenek sangat berterima kasih atas dukunganmu. Bantuanmu lebih dari cukup, janganlah kau berkorban lebih dari ini.”
He Ting menyentuh lembut tangan keriput yang masih saja terasa kehangatannya. Gadis itu tersenyum penuh sayang. “Tidak apa, Nek. Ini aku lakukan tulus karena aku sayang nenek. Apa nenek tega melihat cucu nenek menangis saat hukuman cambuk nanti?”
Nenek Tao Lan tidak menjawab, dan He Ting tahu betul perasaan sang Nenek. Gadis itu memeluk wanita tua itu, mengusap punggung ringkihnya.
“Tidak apa-apa. Nenek tidak perlu merasa bersalah.”
“Terima kasih, Nak. Sungguh…, terima kasih…”
***
Hukuman cambuk dilakukan di lapangan terbuka. Seluruh warga menyaksikan sosok He Ting dengan pakaian serba putih, berlutut. Seorang pria menghampiri dengan cambuk hitam di tangan. Dia ditugaskan untuk memberikan hukuman pada mereka yang bersalah. He Ting menggigit bibir bawahnya, bersiap menerima pukulan di punggung.
Pria besar itu mengayunkan cambuk dengan sekuat tenaga. Satu pukulan, dua pukulan, tiga pukulan, He Ting setengah mati menahan suaranya. Dia tidak akan berteriak, dia tidak akan memperlihatkan Nenek Tao Lan dan cucunya, sosok payah dirinya. Ini adalah keputusan yang dia ambil. Dan He Ting tidak menyesalinya.
Seratus pukulan cambuk selesai dilayangkan. He Ting dibawa, diseret ke rumahnya. Ia dibiarkan terbujur di kasur jerami miliknya. Tidak ada yang boleh menjenguknya sampai besok pagi sesuai peraturan yang berlaku. Di tengah kesadaran yang hampir hilang, manik hitam itu menangkap sosok tidak asing di depan pintu kamar.
“He Ting yang malang, dan juga bodoh.” Suara itu bicara entah pada siapa. “Seandainya saja kau bersikap selayaknya perempuan. Tidak berpikir untuk belajar tentang hukum, dan hanya mengurus dapur. Kau tidak akan berakhir seperti ini, mati seorang diri.”
Huang Duyi, menatapnya muridnya dengan tatapan dingin, dan datar. Dia lalu balik badan, meninggalkan He Ting meregang nyawa akibat pukulan cambuk yang sudah diberi racun mematikan. Tidak butuh waktu lama, sampai racun itu menyebar lewat luka pukulan dan mengambil nyawa sang gadis.
“Selamat tinggal, He Ting, muridku tersayang. Semoga di kehidupan berikutnya kau terlahir sebagai laki-laki.”
Continue…
“...Jiu.”Suara hilang-timbul tidak asing itu terdengar sayup-sayup. Memanggilnya berulang kali, seakan memberitahu sudah waktunya dia kembali. Gadis itu menoleh untuk terakhir kali, pada seorang perempuan muda tengah meregang nyawa sendirian di ranjang jerami. Air mata jatuh membasahi pipi. Hatinya sakit, semakin sakit saat seorang laki-laki muda menerobos masuk dan memeluk He Ting yang telah tiada. Pemuda itu memiliki mata kuning cerah, rambut hitam yang diikat tinggi. Dia menangis tersedu-sedu, beberapa kali membelai hati-hati wajah putih kian memucat itu. “Tidak, jangan tinggalkan aku, He Ting!” Pria itu memohon, suaranya serak dan bergetar.“Mengapa… harus berapa kali lagi kau menderita karena manusia?!” Pria itu mencium kening dan pipi He Ting. Pundak lebarnya bergetar pelan, mencoba menahan rasa sakit di dada dan amarah yang kian menumpuk. “Maaf…” Jiu tiba-tiba berucap. Matanya merah dan sembab, “Maafkan aku… maaf….”“Jiu…”Sekali lagi suara itu memanggilnya. Jiu menoleh, b
Dua hari sebelumnya…Feng Ju tidak beranjak dari tempatnya sejak melepas kepergian Jiu. Pemuda itu menunggu dengan sabar dan diam-diam berharap. Semoga dewa berbelas kasih pada sang gadis, dan membiarkan Naga Huanglong tidak membunuhnya. Namun doa dalam diam itu terpaksa pupus. ketika gemuruh langit, dan tanah bergetar tidak lagi nampak. Feng Ju menatap cemas, apakah itu artinya pertempuran telah usai? Lalu bagaimana kabar sang gadis dalam ramalan?Feng Yi menghampiri, begitu juga para anggota dua klan ternama saat ini. Mereka memandang jauh pada lembah di belakang bukit. Mereka semua menunggu, sampai bulan purnama tepat di atas kepala. “Inilah jawabannya, wahai saudaraku.” Feng Yi menepuk pundak Feng Ju. “Dia bukan yang kita cari. Mari pergi tidur. Besok kita harus kembali dan melaporkannya pada sembilan pemimpin sekte.”Feng Ju tidak kunjung bergeming, kakinya seakan mengakar di tanah. Tak lama dia menghela napas panjang. Mengapa pula dia keras kepala seperti ini? padahal gadis it
Perjalanan menuju kota Shihezi membutuhkan waktu satu hari bagi para pejuang murim. Untuk manusia biasa, tentu saja lebih lama. Terlebih selama perjalanan ini, Shenlong menggunakan waktu untuk mengajari Jiu mengenai inner ki. Pemuda itu juga membimbing sang gadis melakukan Teknik Enam Kombinasi. Sehingga perjalanan ini menjadi lebih panjang dari yang seharusnya. “Cara mempelajari inner ki bagi pemula adalah melalui latihan pernapasan. Sebab saluran pernapasan adalah kunci tubuh bisa mendapatkan asupan oksigen dengan maksimal.” Shenlong menaruh kedua telapak tangannya di punggung Jiu. “Selain itu dengan pernapasan yang baik, kau bisa membangun fondasi dasar yang kuat untuk menara tenaga dalam dalam tubuhmu.”Jiu menarik napas panjang selama tujuh detik, tahan napas lima detik, lalu menghembuskannya perlahan selama tujuh detik. Dia melakukannya berulang kali sesuai arahan Shenlong. Sementara pemuda itu menyalurkan energi pada tubuh sang gadis. Dia memastikan secara tepat membersihkan e
Suara guntur semakin sering terdengar, perubahan cuaca ekstrim ini kerap terjadi di wilayah sekitar Gunung Tianzi. Padahal tidak sampai setengah jam lalu, sinar matahari terasa hangat. Kini udara dingin disertai angin kencang menerpa. Sebagian pedagang sudah menutup jualan mereka, tidak ingin terlambat berteduh. Suara langkah kaki kecil bertalu cepat, dalam gendongannya terdapat bingkisan daging dan keranjang bunga. Gadis kecil dengan rambut dikuncir dua itu sesekali menoleh kebelakang. Dia berlari seakan dikejar sesuatu. Zhang Xue, gadis penjual bunga itu belok kiri, masuk ke gang sempit. Napasnya sudah putus-putus akibat lelah berlari. Namun dia harus secepatnya pergi ke tempat aman. Sayangnya, kaki kecil itu terantuk batu, membuatnya jatuh tersungkur. Belum sempat Zhang Xue beranjak, sesuatu memegang kedua kakinya. “Ti-tidak!! Lepaskan aku!” Dia meronta, kedua tangan menggapai apapun yang bisa dijadikan pegangan. “Tolong! Tolong aku!!” Namun kekuatan tangan besar yang mencengkr
Langit senja berubah penuh bintang tak lama setelah Jiu dan Shenlong sampai di depan penginapan. Jiu menikmati jalan-jalan sorenya bersama Shenlong. Udara di kota Shihezi sejuk, mengingat wilayah ini terletak tepat di bawah Gunung Tianzi. Tidak hanya itu lampu-lampu gantung sepanjang perjalanan juga menambah keindahan malam kota ini. Namun kedamaian itu seakan ilusi, ketika seorang wanita mondar-mandir di depan penginapan. Bertanya pada pejalan kaki. “Maaf, Kakak. Apakah kalian melihat anak kecil perempuan penjual bunga?” “Maaf, aku tidak lihat.” “Ah! Maaf, Kak! Apakah kau melihat putriku, Zhang Xue?” “Tidak, aku tidak lihat sejak kemarin.” kening Jiu mengerut samar, mengapa nama itu terdengar tidak asing ditelinganya? “Hei, kalian sudah kembali!” Huanglong tiba-tiba menyapa, entah darimana pemuda itu. Muncul begitu saja, mengejutkan Jiu. “Apa terjadi sesuatu, Huanglong?” Jiu bertanya sambil berbisik pelan dan menunjuk wanita di depan penginapan. “Siapa wanita itu?” “Kau ingat
Matahari sudah tenggelam sejak lima menit yang lalu. Udara sejuk kini menjadi sedikit dingin ketika Jiu berjalan di salah satu distrik kumuh. Pertengkaran kecil yang terjadi membuat gadis itu memutuskan untuk berjalan-jalan untuk mendinginkan kepalanya. Seperti yang dikatakan Huanglong, tidak seharusnya Jiu mendesak Shenlong. “Sebenarnya aku paham betul, ini ulah manusia. Tapi karena tidak ada petunjuk apapun, membuatnya terlihat ini ulah Shenlong.” Jiu menendang kaleng bekas saking kesalnya. “Jika aku tidak mengenal Shenlong, mungkin aku juga sepemikiran dengan Huang Jiang.” Suara kaleng yang ditendang Jiu menimbulkan suara gaduh. Gadis itu berjengit, baru sadar dia tidak kenal lingkungan sekitar. Terlebih banyak mata memandangnya ingin tahu, juga melihatnya dengan tajam. Sang gadis menelan ludah gugup, mencoba untuk tetap tenang. Bodoh sekali dia berjalan tanpa tahu arah dan berakhir tersesat di gang kecil. “Kau yakin barangnya sudah siap?” Suara samar-samar terdengar menarik per
Kondisi Jiu di dalam kotak cukup aman, selama gadis itu tidak mengeluarkan suara. Tubuhnya sedikit terguncang, saat beberapa kali merasakan pergerakan. Itu terjadi saat para penjaga sibuk mengeluarkan kotak dari kereta kuda. “Astaga, kotak ini berat sekali!” Seorang penjaga mengeluh saat mengangkat kotak kayu berukuran 24 inchi. “Berapa kilo berat daging ini?!”Dia sama sekali tidak menyadari bahwa apa yang ada di dalam kotak bukanlah tumpukan daging. Dengan susah payah, pemuda itu membawa kotak kayu masuk ke dalam rumah. Begitu dia sampai di ruang tengah, salah satu atasannya memberi arahan. “Beritahu yang lain, kotak isi daging tua simpan di gudang belakang. Sementara daging muda bawa ke bawah tanah.”“Baik, Kak!”Jiu menahan napas ketika mendengar hal itu. Dia lalu kembali merasakan kotak bergoyang pelan. Sebelum tidak lama suara keras terdengar bersamaan hentakan yang dirasakan Jiu. Gadis itu harus menggigit bibir bawah demi meredam teriakannya. Astaga, penjaga satu ini tidak bi
Suara ketukan pintu terdengar dua kali, sebelum seorang pemuda masuk ke dalam ruangan berukuran 6x3. Laki-laki berambut hitam pendek dengan pakaian putih bergaris biru dongker dan celana hitam. Dia menghadap pada seorang pria lebih tua dua tahun darinya. Menyerahkan beberapa gulungan berisi berkas penting. “Kak Feng Ju, ini berkas yang diminta.”Pemuda itu tidak melepaskan fokus pada pekerjaannya meski menjawab saudara seperguruannya. “Terima kasih, kau boleh pergi.”“...”Tidak ada pergerakan membuat atensi Feng Ju teralih pada adik perguruannya. Wu Kong masih berdiri, menunduk, dengan sebuah gulungan berkas yang digenggam erat. Pemuda yang memiliki status tertinggi setelah Wakil Pemimpin Sekte itu menaruh pena bulu. Dia beranjak dari duduk dan menghampiri adiknya. “Apa ada yang ingin kau katakan?”Wu Kong melihat Feng Ju dengan tatapan ragu, “Apakah Kak Feng Ju tidak merasa Tetua Qin agak…, aneh?”“Aneh bagaimana?”Bukannya menjawab, pemuda itu malah melihat sekitar seakan takut a