Home / Romansa / The Hot chef and me / Part 6. Canggung

Share

Part 6. Canggung

Author: Rianievy
last update Last Updated: 2021-05-17 09:49:39

Maden mendapati Jena yang diam tak berkutik setelah ia meletakkan ponselnya kembali ke dalam saku celana. Pria itu mendekati dan menepuk pelan bahu Jena. Tolehan kepala Jena membuat Maden tersenyum seraya menanyakan kenapa wanita itu diam. 

Jena menggeleng cepat, ia lalu kembali menyiapkan makanan pencuci mulut seraya meminta Maden kembali ke ruang makan. Jena terkejut karena ternyata Madenlah pria yang selama ini selalu mengirimkan bunga dengan kartu ucapan penyemangat dan kata-kata romantis lainnya. Reese tak mungkin berbohong, ia jauh lebih dekat dan memahami Maden. Mungkin, beberapa rahasia lain juga Maden ceritakan kepada Reese. 

"Duduklah kembali ke tempatmu, Maden, aku akan membawakan es krim strawbery buatan ku, aku baru tau jika kalian memiliki alat pembuat es krim," Jena menoleh dan melemparkan senyum ke Maden. Pria itu mengangguk, lalu berjalan kembali ke ruang makan. 

Jena menghela nafas manakala sosok Maden sudah tak lagi tampak di dapur, ia memejamkan mata. "Tidak-tidak, aku tak boleh canggung,"ucap Jena dalam hati. Ia lalu membawa empat mangkuk kristal berisi es krim buatannya dengan nampan perak. Setelah mengatur nafasnya, ia berjalan sambil tersenyum. 

"Ini es krim starwbery buatan ku, aku melihat alat pembuat es krim di lemari penyimpanan, jadi kugunakan, silahkan menikmati," ucap Jena seraya meletakkan mangkuk es krim di hadapan masing-masing orang yang setia duduk di meja makan. 

"Jena, my darling, kau akan membuat kami gemuk," tawa renyah Valery membuat semua ikut tertawa. 

"Tidak nyonya, aku membuat ini dengan krim rendah lemak, potongan buah segar, dan gula diet, jadi, aman ... lagi pula, aku mendapat bisikan, kalau, kalian memiliki ruanh fitnes di belakang, dekat kolam renang, aku rasa, utu bisa dimanfaatkan," lalu, tawa menggema di ruang makan itu. James begitu bahagia, ia mengangguk setuju. 

"Besok kami akan kembali menggunakan ruangan itu, betul, istriku," James melirik ke Valery yang mengangguk setuju. 

Maden tersenyum lebar, ia merasakan perubahan suasana di rumah semenjak Jena bekerja dengannya di rumah itu. Tatapan Maden semakin penuh harap kepada sosok wanita cantik, manis dan mempesona di hadapannya. James, yang memperhatikan sejak awal ekspresi Maden jika Jena sedang berada di dekat mereka, ikut tersenyum. Ia senang, putranya tak lagi seperti seorang yang kaku dan antisosial, setidaknya, ada seseorang yang mampu membuatnya tersenyum.

"Jena, tinggalah di sini, kau bisa menyimpan uang sewa apartemenmu bukan?" Celetuk Valery. James lalu menimpali dengan pernyataan yang sama. Setidaknya, dengan Jena tinggal di rumah mereka, mobilisasi Jena juga singkat, tak perlu mondar mandir setiap harinya, walau tak selalu dengan taksi, bis pun bisa, hanya berjalan sepuluh menit hingga ke halte dekat perumahan elite itu. 

"Maafkan aku, aku harus menolak tawaran kalian, aku ingin di apartemenku saja," Jena tersenyum. 

"Baiklah, jika itu maumu, tapi, jika kau berubah pikiran, kami dengan tangan terbuka menyambutmu, Darling," Valery menggenggam jemari Jena yang berdiri di dekatnya. Anggukan kepala Jena menjadi jawabannya. Ia lalu kembali berjalan ke dapur, ia membersihkan dapur bersama salah satu Maid, tak lupa, ia membagikan es krim itu kepada para pekerja di rumah megah tersebut. 

"Jena," suara Maden membuat Jena sedikit melonjak lalu berbalik badan. Ia menatap Maden sedikit ragu dan kikuk. 

"Terima kasih, belum satu minggu kau bekerja dengan ku, rumah ini serasa hidup, kami makan bersama dan tertawa bersama, kebahagiaan sederhana ini, yang aku tunggu, terima kasih, Jen .... " Maden tersenyum kaku, tampak dari sudut bibirnya yang sedikit bergetar. Jena bingung, jika ia bersikap perhatian dan membalas sikap Maden dengan hangat, Maden akan seolah mendapat harapan darinya. Sedangkan Jena, ia hanya menganggap Maden teman biasa. Tak lebih. 

"Iya Maden," hanya itu jawaban yang diberikan Jena. 

***

Es krim cone dengan rasa rum raisin, begitu memikat lidah Jena sambil asik duduk di taman kota dekat apartemen sederhananya. Jam sudah menunjukan pukul delapan malam. Ia butuh sesuatu yang manis sebelum pergi beristirahat. Rambut panjang berwarna coklat tua miliknya terbang tertiup angin malam, ia tak perduli. Baginya, angin tetaplah angin, yang fungsinya memang membuat kesejukan. 

Sosok pria tinggi besar dengan pakaian atasan pres body dan celana jins sobek-sobek berdiri di hadapannya. Jena diam, mulutnya menganga. Debaran jantungnya berpacu cepat, ia ingin menghilang saat itu juga rasanya. 

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa tujuan mu mengacak-ngacak makananku dan bilang kalau selera penataanku buruk." Dengan angkuh dan ketus, Drew berbicara kepada Jena yang tampak ketakukan. Es krimnya meleleh. Tatapan Drew menguncinya. 

"Aku ... aku hanya," Jena melotot. Saat Drew tiba-tiba berjongkok di hadapannya dan menjilati es krim yang meleleh di jemarinya. Rasa geli bercampur desiran lain, membuat reaksi lain disekujur tubuh Jena. 

BUGH 

Jena menendang dada bidang dan berotot Drew yang tercetak sempurna dipakaian yang ia kenakan dengan lututnya. Ia beranjak dan menatap judes ke Drew. 

"Tidak waras!" Jena bersingut dan berjalan cepat. Es krim di tangannya semakin meleleh dan ia buang ke tempat sampah. Drew terkekeh sinis. Ia bersedekap dan kembali berjalan mengikuti Jena. 

Jena yang menyadari Drew mengikutinya terus mengomel hingga ia berbalik badan dan bersedekap menatap Drew yang berhenti melangkah. 

"Apa maumu koki yang tak punya selera penataan yang baik?!" Pertanyaan sekaligus cemooh Jena membuat Drew semakin kesal dan menatapnya sinis. 

"Apa tujuanmu. Apa karena kau food vlogger, kau bisa mengomentari penataan masakanku, huh?!" Drew menatap tajam. 

"Ya! Benar. Itu pekerjaanku." Jawab Jena ketus. Drew terkekeh sinis sambil membuang pandangannya. Ia berjalan mendekat dan mengankat tubuh langsing Jena seperti karung beras. Jena meronta. Drew tak perduli, ia menekan remote mobil dan memaksa Jena masuk ke dalam mobil SUV hitam miliknya. 

"KAU INGIN MENCULIKKU HAH!" Maki Jena. 

"YA! Aku akan mencincang tubuhmu untuk anjing peliharaanku. Puas?!" Lalu Drew menginjak pedal gas dan membawa Jena pergi. 

Jena diam. Ia terus mematung tak mau menatap bahkan melirik Drew yang fokus menyetir. Tak lama, mereka sampai di gedung apartemen mewah, Drew menarik tangan Jena saat berjalan bersamanya menuju lift. 

"Buang mayatku yang jauh. Atau bakar hingga habis tak tersisa. Supaya kedua orang tua dan Kakakku tak perlu susah payah mencariku." Celetuk Jena. Drew hanya diam sambil menekan angka delapan di tombol sudut pintu lift. Menghiraukan ocehan Jena. 

Jena melirik ke tubuh tinggi besar di sampingnya, ciptaan Tuhan yang semlurna, pahatan wajah, tubuh dan bibir sexy itu membuat Jena seolah lemas dan terpukau. Suara pintu lift terbuka. Kedua mata Jena terbelalak saat melihat apartemen mewah dengan nuansa hitam dan abu-abu mendominasi interiornya. Drew masih menyeret Jena. Kali ini ke arah dapur. 

Drew membuka laci di sudut dapur, dan mengeluarkan beberapa pisau besar. 

"Tuhan, ampuni dosaku. Jika aku harus mati ditangan bedebah gila ini, tempatkan aku di surgamu yang indah," Jena memejamkan mata seraya merapalkan doa. Drew melepas cengkraman tangannya dan bersedekap. 

"Masaklah untukku. Apapun, dan hias dengan baik. Aku ingin lihat seleramu seperti apa nona food vlogger." Jena membuka mata dan ia ternganga. Sedangkan Drew berjalan ke arah lain yang sepertinya kamarnya. 

"Tiga puluh menit! Hanya itu waktumu. Selesaikan. Atau aku akan benar-benar mencincang tubuhmu untuk makanan anjing-anjing ku!" Lalu pintu kamar terbanting kencang dan keras. Jena menghela nafas lega. Ia berdecak sebal, lalu membuka lemari es super besar di belakangnya dan melihat ada bahan apa saja yang bisa ia pergunakan. 

***

Tepat tiga puluh menit. Jena selesai membuat hidangan sederhana. Telur orak arik, roti panggang, dan jamur yang ia tumis dengan beberapa bumbu racikannya. Tak mungkin dalam waktu singkat ia akan membuat hidangan makanan utama. Tak lupa, ia membuat es teh leci dengan campura  mint yang membuat segar di mulut. 

Jena bersedekap. Menatap pintu kamar Drew yang masih tertutup rapat. 

'Apa ia tertidur?' ucap Jena dalam hati. Detik berganti, lalu pintu terbuka dan sosok pria itu berjalan keluar kamar dengan keadaan topless, membuat Jena tak bisa untuk tak menikmati kesegaran pemandangan untuk kedua matanya. Tubuh berotot kekar dan keras itu semakin mendekat. Jena akhirnya membuang tatapan dan menyodorkan piring serta gelas yang sudah terisi ke hadapan Drew yang duduk di meja dapur. 

Drew diam. Ia mengamati penyajian Jena. Ia menelan air liurnya susah payah. Begitu menggugah selera. Ia tak mau memperlihatkannya kepada Jena. Tetap dengan kesombongannya. Ia mulai makan, dengan tubuh bagian atas yang terbuka. Jena salah tingkah, ia merasa aneh dengan dirinya. Bukan sekali ia melihat pria bertelanjang dada, namun kali ini, ia begitu tak bisa berpaling dan merasakan hal lain di dirinya. 

"Kau gunakan apa di dalam telur ini?" Tunjuk Drew dengan garpu ke arah telur orak arik di atas piring. 

"Krim, dan sedikit gula pasir." Jawab Jena santai. 

"Dan ini, jamur ini?" Drew ganti menunjuk ke jamur yang ia makan terus menerus. Jena tersenyum. Ia punya ide jahil. Wajahnya mendekat ke wajah Drew. Lalu tersenyum, "Pakai resep cin-ta," Jena tersenyum. 

Suara garpu terjatuh ke atas piring, terdengar nyaring. Drew dengan cepat menyambar bibir Jena dan memberikan ciuman yang begitu dalam. Jena mendorong dada bidang Drew dan menamparnya dengan keras. 

"KURANG AJAR." ucap Jena pelan dan dalam. Jena berjalan meninggalkan Drew ke arah pintu lift. Ia diam. Disela rasa marah dan kesal, Jena juga berdebar hebat. Ia masuk ke dalam lift, ia menekan tombol menuju ke loby. 

'Sialan. Ciuman pertamaku.' 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marrygoldie
lucu banget sih wkwkwk...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • The Hot chef and me   72. Kebahagiaan bersama

    Satu tahun berlalu, Jena dan Drew begitu sibuk mengelola bisnis mereka, tetapi tak melupakan urusan keluarga, hal itu tetap menjadi prioritas utamanya. Restoran mahal yang dibangun Drew dengan mengusung nama Phil's Steak house by Drew and Jena, perlahan menarik banyak orang untuk menikmati kelezatan masakan Drew, walaupun Drew hanya sesekali terjun langsung ke dapur, ia tak ingin begitu menonjol, takut jika akan memancing kaum hawa yang akan terkesima melihatnya beraksi di dapur. Ia tak mau kehidupan pribadinya juga kembali tersorot media.Lain dengan Jena yang toko kue dan pastrynya tak pernah sepi, Nina bahkan dipercayakan sebagai manajer toko. Jena sendiri lebih senang berada di dapur untuk membuat makanannya.Ayah Mark, bekerja dan mengelola steak dengan konsep merakyat, jangkauan masyarakat sekitar dan perkantoran ya

  • The Hot chef and me   71. Philippe Andrew Sebastian

    Pahit, perih, kecewa, seolah menjadi kata yang mampu mengungkapkan masa lalu keduanya. Jelas sepele, hanya salah paham, tetapi bagi beberapa manusia, hak itu tetaplah menjadi momok perkara besar dari hal sepele.Dengan perut besarnya, Jena menatap interior toko kue dan pastry miliknya. Bernuansa putih dan merah muda. Drew yang duduk di kursi tinggi itu ikut menatap kagum sembari mengusap pinggang Jena yang katanya pegal. Memasuki kehamilan 39 minggu sudah membuatnya semakin lelah dan pegal sana sini.Kecupan Drew mendarat di lengan Jena yang kali itu memakai pakaian hamil lengan buntung. Mengekspos lengan putihnya, lalu tangannya mengusap perut Jena yang begitu keras."Jena, aku pikir oven ini cukup, kita akan mempekerjakan dua karyawan saja, kan?" ucap ibu

  • The Hot chef and me   70. Rencana masa depan

    Jena dan Drew sudah merapikan kamar mereka yang di tambah dengan lemari pakaian anak, dan juga hiasan lainnya. Keduanya tampak puas dengan hasil yang mereka kerjakan berdua."Apa kau tahu, Jen, aku merasa hidupku jauh berbeda semenjak akan menjadi seorang Ayah, malaikat kecil di dalam sini sungguh membuatku bertekuk lutut," ucap Drew sembari mengusap perut isrinya dengan posisi ia duduk di kursi sedangkan Jena berdiri di samping lemari pakaian bayi."Kadang, kita memang harus menerjang badai untuk bisa melihat lautan tenang yang luas, dengan sinar matahari yang terang. Aku hanya berharap, dirimu jangan mengulangi kesalahan yang sama, karena akan berimbas ke keluarga kita.Aku kecewa padamu, karena kamu tidak mempercayai kata-kataku, wanita yang kau cintai,

  • The Hot chef and me   69. Tersentuh

    Victor memberi tahu arah rumah teman sekolahnya. Mereka bertiga kini menuju ke rumah tersebut."Vic, kau yakin itu rumahnya?" tanya Drew meyakinkan lagi sebelum menepikan mobil."Iya, itu. Dan kau lihat, temanku dan dua adiknya sedang duduk di teras, temanku selalu berusaha terlihat tegar." Lanjut Victor."Siapa nama temanku, aku lupa?" Kini Jena bertanya."Mark. Dia anak berprestasi di sekolah, Kak, aku terkejut saat mengetahui kondisi keluarganya." Victor melepaskan sabuk pengaman, ia dan kedua kakaknya bersiap turun."Vic, jangan kau bawa turun dulu yang tadi kita beli, nanti saja." Perintah Drew, Victor paham.

  • The Hot chef and me   68. Daddy baby boy

    Jena berdecak sebal ke Drew, pria itu dengan seenaknya membuat daftar kebutuhan belanja perlengkapan bayi. Jena bahkan terkejut saat melihat jumlah yang harus mereka bayar."Drew, kau pikir anakmu membutuhkan semua ini? Jangan berlebihan." Jena mencoret beberapa barang yang ditulis suaminya, dan hampir semuanya mainan. "Philippe butuh pakaian, popok, selimut, itu yang utama, bukan ini. Kau gila," keluh Jena. Drew lalu meregangkan otot-otot tubuhnya, ia bersandar pada kursi meja makan, menatap Jena yang mencatat ulang barang belanjaan.Hari itu mereka memutuskan mulai membeli perlengkapan bayi, usia kandungan Jena memang masih enam bulan, mereka melakukan itu karena akan mulai memikirkan membangun usaha, takut terlalu fokus lalu mendadak lupa untuk menyiapkan hal terpenting lainnya.

  • The Hot chef and me   Part 67. Pillow talk

    Drew sudah beranjak lebih dulu ke atas ranjang, ia merasa nyaman bisa tidur di kasur yang luar biasa empuk. Jena menatap suaminya dari pantulan cermin, ia masih sibuk mengoleskan lotion untuk perutnya. Drew memiringkan badan, menatap pemandangan itu sembari tersenyum. Ia mengagumi istrinya melebihi apa pun."Apa yang kau lihat?" tanya Jena judes. Drew terkekeh."Tidak ada," jawabnya namun diakhiri senyuman. Jena mendengkus, ia berjalan mendekat ke arah ranjang, lalu duduk bersila di atasnya."Kau mau apa, Drew?" Jena menatap suaminya itu."Aku mencintaimu, Jena," ucap Drew setelahnya ia mengulum senyum. Jena diam, ia merebahkan dirinya, memiringkan tubuhnya ke kiri."Aku membencimu," balas Jena.&

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status