Nina menapaki jalan sempit yang mirip dengan lorong panjang. Pemukiman kumuh itu menggambarkan dengan jelas bagaimana kondisi negaranya tercinta saat ini. Nina sesekali meringis. Bahunya terkena tembakan dan perutnya tergores oleh peluru meleset.
Langkahnya terhuyung serta limbung. Dia terus berjalan dan sesekali menoleh ke belakang, melihat jika ada yang mengikutinya. Bau got dan sampah menyengat, tapi Nina tidak peduli. Saat tiba di sebuah pintu yang gemboknya telah rusak, dia mendobrak dengan sisa tenaga dan masuk ke dalam.
Sebuah gudang yang tidak terpakai. Sempurna, batinnya. Semua gelap dan tidak ada cahaya sedikit pun, tangannya meraih senter kecil di saku dan menyalakan. Nina yakin dirinya telah kehilangan banyak darah. Pergi ke rumah sakit adalah tidak mungkin. Semua identitasnya akan terungkap, lagipula dia tidak memiliki uang untuk menebus obat apalagi membayar perawatan.
Nina tertatih dan mencoba bertahan. Pandangannya menebar ke sekeliling ruangan luas yang dipenuhi dengan kotak kayu dan kardus kosong. Di ujung ruangan ada sebuah ruangan kecil. Nina berjalan mendekat dan berharap menemukan kotak p3k untuk setidaknya membersihkan lukanya saat ini.
Napasnya terengah dan pandangannya mulai kabur. Ketika berhasil masuk ke ruangan kecil tersebut, Nina mencari kotak p3k dan bingo!
Dia menemukan kotak berwarna putih dengan lambang merah silang. Tidak sabar dia membuka dan menemukan betadine juga alkohol. Ada kain kassa yang mulai berwarna kuning namun dia tidak peduli.
Dengan cepat tangannya mengambil kapas dan alkohol tersebut. Setelah membersihkan luka, Nina mengambil pisau lipat miliknya dan mencongkel peluru keparat yang bersarang di bahunya. Nina menggigit gumpalan kain dan meringis menahan sakit yang terasa menusuk hingga ke tulang. Gadis itu mengumpat dalam bahasa Rusia dan bersumpah akan membunuh para penyerangnya jika memiliki kesempatan!
***
Tiga jam sebelumnya.
Peter Baskin adalah target berikut yang ada dalam daftar tugasnya. Setelah melakukan penyelidikan dan pengawasan diam-diam, Nina mencari waktu yang tepat untuk membunuh seluruh keluarga tersebut. Dalam profil yang dia terima di ponselnya, Peter Baskin adalah politikus miskin yang harus dimusnahkan. Nina tidak pernah peduli apa penyebabnya. Menjadi salah satu pembunuh bayaran adalah profesi yang dia jalani selama belasan tahun sejak kecil.
Ya, Nina Averin adalah wanita berusia dua puluh tiga tahun yang menjadi mesin pembunuh sebuah sindikat kriminal yang memiliki jaringan internasional, berasal dari Serbia. Nina tidak pernah mengenal keluarga juga asal-usulnya.
Bersama sebelas orang anak yatim piatu, Nina dididik sejak dini untuk belajar berbagai hal. Dari menggunakan senjata tajam, senjata api hingga merakit bom dan menguasai teknologi. Mereka juga menguasai berbagai bahasa hingga tingkat fasih. Para anggota sindikat tersebut juga sangat mahir dalam ilmu bela diri.
Dari Taekwondo, Kungfu hingga martial arts lainnya. Nina adalah salah satu yang terbaik karena pandai menyamar dan menjadi penembak ulung. Kiprahnya sebagai sniper terbaik sudah malang melintang.
Nina mengayunkan tubuhnya dengan ringan dan mendarat di teras belakang kediaman Baskin. Tanpa suara dia mengendap dan mendekati pintu belakang. Dari suara yang terdengar, semua sedang berkumpul untuk makan malam.
‘Mudah, tidak perlu repot’ batinnya senang. Gadis itu dilatih untuk mematikan perasaannya dan tidak memiliki emosi apa pun. Membunuh bisa dia lakukan tanpa rasa penyesalan ataupun ragu.
“Apa yang kamu lakukan?” suara seorang anak gadis mengejutkan Nina. Dengan cepat dia menyambar tubuh anak perempuan kecil yang usianya sekitar lima tahun. Jerit ketakutan terdengar dari mulut gadis kecil tersebut, ia mulai menangis juga meronta. Dengan gesit Nina berlari menuju ruang makan. Istri Baskin memekik histeris saat Nina menyandera putri mereka.
"Si-siapa kau!" seru Peter Baskin.
“Malaikat mautmu!” seru Nina sambil mengacungkan senjata pada pria tersebut. Pria berambut botak itu tampak tidak terkejut walaupun bibirnya gemetar. Putrinya berada dalam rengkuhan Nina. Baskin terlihat sendu dan matanya memancarkan kesedihan. Istrinya berusaha menahan anak sulung mereka untuk berlari mendapatkan adiknya.
“Jika harus mati malam ini, maka bunuhlah aku. Tapi aku mohon, selamatkan keluargaku. Biarkan mereka hidup,” ucap Baskin dengan lembut, suaranya terdengar bergetar. Istrinya terus memeluk anak pertama mereka, lelaki yang beranjak remaja, dan dari matanya tampak berani.
“Ayahku seorang pembela masyarakat Serbia! Dia tidak pantas mati karena seluruh hidupnya berjuang demi hak rakyat yang layak mereka dapatkan!” pekik remaja tersebut tanpa gentar sedikit pun. Nina terdiam. Bibirnya masih membeku dan wajahnya datar tanpa ekspresi.
“Aku mohon … biarkan mereka hidup,” ucap Baskin kembali dengan pelan dan penuh harapan. Nina sekilas melihat hidangan di atas meja. Hanya kentang tumbuk dalam mangkuk kecil dan telur rebus dan juga daging kering yang sebesar telapak tangan. Sangat sederhana dan bahkan Nina tidak yakin cukup untuk mengenyangkan mereka berempat.
“Apa yang telah kamu lakukan selama ini? Kenapa mereka membuatmu sebagai target?” tanya Nina. Entah kenapa kali ini dia ingin mendengar itu. Satu hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Ada sesuatu yang menggelitik jiwanya saat melihat hidangan makan malam yang sangat miris. Selama dia besar, Nina beserta anak-anak lainnya harus puas makan dengan sup bening tanpa rasa dan sekerat roti keras. Jatah makannya hanya satu kali sehari.
“A-aku hanya menemukan fakta bahwa tunjangan pemerintah untuk tentara yang pensiun dikorupsi oleh pihak tertentu, termasuk dana subsidi rumah sakit bagi rakyat kalangan bawah,” jawab Baskin dengan langkah pelan dan hati-hati mengambil kertas dokumen yang tidak jauh dari meja makan.
Dia kembali melangkah perlahan dan meletakkan di dekat Nina. Dengan cepat Nina membalik serta menganalisa dokumen tersebut serta membiarkan gadis kecil tersebut lepas darinya. Ucapan penuh syukur mengalir dari ibu dan saudara lelakinya. Baskin pun tampak lega.
Mungkin ini saatnya berhenti. Nurani Nina terus berteriak untuk mengampuni dan membiarkan mereka hidup. Nina sudah lelah menjalani kehidupan laknat sebagai pembunuh!
“Sebutkan alasan yang paling tepat untukku mengampuni nyawamu,” cetus Nina kemudian setelah membaca sekilas dokumen. Baskin menggelengkan kepala dengan lesu.
“Mungkin alasanku tidak terdengar hebat. Aku hanya ingin negara kita berjaya seperti dulu, sejahtera dan tidak terbelenggu politik kotor. Anak-anak kita berhak mendapat masa depan yang lebih baik,” jawab Baskin pasrah. Seandainya jawaban tersebut tidak memuaskan Nina, maka detik berikutnya adalah maut.
Nina membayangkan kematian massal jika terjadi pemberontakan dan juga nasib anak-anak yang akan terlantar. Beberapa negara di Rusia sudah memisahkan diri dan tumbang. Tahun 2003 ini adalah masa krisis yang terburuk bagi Serbia.
“Aku harus meredam konflik di bawah dan menjadi pejuang bagi mereka untuk menyingkirkan pemimpin yang tidak pantas menjabat,” lanjut Baskin, mencoba untuk meyakinkan Nina.
Tanpa diduga, Nina menyimpan kembali pistolnya. Semua terdengar menghela napas lega. Istri Baskin menangis tersedu dan memeluk kedua anaknya dengan doa yang tak kunjung berhenti, terlontar dari mulutnya.
“Waktumu dua jam sebelum pembunuh lain datang dan memastikan kematian kalian. Aku akan membakar rumah ini dan kalian bisa pergi secepatnya. Lima menit dari sekarang!” ucap Nina.
Peter Baskin mengucapkan terima kasih dan membawa semua yang penting serta segera mengungsi. Nina menyiram seluruh rumah dengan bensin hingga merata. Ia melemparkan batang korek menyala dan bersiap meninggalkan tempat tersebut. Api menjalar dengan cepat.
“Sejak kapan kamu menjadi malaikat pelindung, Averin?!”
Nina menoleh dan melihat Katya, teman sesama pembunuh bayaran, berdiri di kejauhan.
“Bukan urusanmu,” jawab Nina. Dia berbalik meninggalkan Katya yang segera mengejar dan menghantam Nina dengan telak. Nina tersungkur. Katya memang terkenal dengan kecepatannya.
“Aku bosan menjadi boneka mereka, Katya!” teriak Nina.
“Aku dan kau tidak ada pilihan! Tidak ada yang bisa memilih, kau tahu itu!” bentak Katya dengan wajah merah padam. Nina bangkit dan mengusap bibirnya yang berdarah.
“Aku akan tetap pergi dan berlari, Kat.”
“Mereka akan mengirimku beserta segenap pasukan lainnya untuk membunuhmu.”
“Aku tidak peduli. Yang penting aku terbebas.”
“Bodoh! Tidak ada kebebasan dalam pelarian, Nina!”
“Katya, biarkan aku pergi.”
“Maafkan aku, Nina.” Katya tetap mengacungkan senjata dan menarik pelatuk.
Katya salah perkiraan, jika dia gesit dalam berlari, Nina tangkas dan menggunakan senjata. Dengan satu lompatan indah, Nina melesatkan peluru dan sengaja dia buat melesat hanya untuk melumpuhkan Katya.
Begitu terdengar letusan peluru, sontak beberapa orang dengan baju hitam tertutup muncul dan menghujani Nina dengan rentetan tembakan. Nina melesat pergi. Katya terbaring dengan perut tertembak.
“Brengsek kau, Nina. Sampai jumpa, lari dan terbanglah cepat!”
Katya tidak pandai menyembunyikan perasaannya jika menyangkut Nina. Mereka berdua hidup bersama dan saling menghibur dalam diam. Katya seperti kakak bagi Nina yang selalu menyanyikan lagu bernada sumbang setiap malam dan memeluknya setiap usai menerima hukuman atas kesalahan mereka. Ada ikatan emosional yang terjalin, dan Katya hanya bisa mengenangnya dengan getir.
***
Nina membungkus lukanya dengan kain kasa. Dia hanya bisa bersembunyi karena tidak memiliki kendaraan yang membantunya bergerak cepat.
Setelah selesai, dia memutuskan melanjutkan pelariannya. Kereta api hanya berjarak sepuluh menit dari tempat dia berada sekarang. Jika dirinya berhasil memasuki salah satu gerbong, maka pukul dua pagi kereta akan berangkat dan dia akan bisa meninggalkan tempat terkutuk ini selamanya.
Waktunya hanya tiga puluh menit dari detik ini. Dengan tekad yang kuat, Nina mulai berlari dan melupakan rasa sakit di pundak juga perutnya. Dia harus berjuang mendapatkan kebebasannya!
Entah tertidur atau pingsan, Nina terkapar sekitar dua jam. Begitu terbangun, dia menggigil. Demam mulai menyerangnya. Nina duduk dengan susah payah. Kereta masih bergerak dan dia berada di antara barang muatan yang akan dikirim ke kota tujuan.Hidung Nina mencium bau whisky. Dengan tubuh demam dan mata sedikit buram, Nina mencari asal sumber bau tersebut dan menemukan kotak kayu penuh dengan botol whiskey. Tangannya dengan susah payah mencongkel kotak dan membuka segel paku. Jarinya terluka dan kukunya terbeset, tapi ia tidak peduli.Dirinya butuh minuman tersebut untuk mengurangi nyeri dan membersihkan luka bekas peluru yang mungkin kini mulai terinfeksi. Setelah berhasil membongkar, Nina menyambar satu botol dan membuka lukanya yang kini terasa panas. Dia menyiram luka di perut juga pundaknya dengan whisky. Kemudian mencari kain yang cukup bersih dan membalut kembali. Muatan kargo menyimpan beberapa barang yang cukup menguntungkan.Sembari menenggak whisky, N
Guncangan kereta dan peluit panjang terdengar sangat memekakkan telinga Nina. Dengan kaget dia terbangun dan memandang ke sekeliling. Pria tua bernama Ben sudah tidak ada bersamanya. Nina menebarkan pandangan ke sekeliling dan tidak ada tanda-tanda keberadaan Ben. Nina mengencangkan tali sepatu boot-nya. Begitu dia bangkit, matanya menangkap amplop coklat yang tergeletak di samping. Nina mengambil dan membukanya.‘Sedikit bekal untukmu. Semoga berhasil semua tujuanmu, jika terdesak, mampirlah ke rumahku.’Sejumlah uang terdapat di dalam amplop. Nina terkesiap. Bertambah keheranannya ketika dia meraba pundak dan perutnya yang telah sembuh total!Nina merasakan bulu kuduknya berdiri. Siapakah pria tersebut? Caranya berbicara untuk mampir di rumahnya seakan-akan Nina mengetahui alamat dan tahu. Pria yang aneh. Kereta berhenti dan Nina menyimpan semuanya untuk segera bergegas keluar dari gerbong tersebut.***Sebuah tendangan menghantam tubuh Katya d
Setelah Nadja dan pengikutnya menemukan dua anggota mereka tewas, kelompok pembunuh bayaran tersebut segera melakukan pengejaran.“Brengsek!” teriak Nadja dengan geram. Ternyata tidak semudah itu melumpuhkan Nina. Gadis itu benar-benar tangguh dan masih selicin belut. Nadja selalu membenci Nina karena dia tidak pernah mengungguli kemampuannya.“Cari sampai dapat!” pekik Nadja terlihat kalap.Mereka menelusuri tetes darah yang berceceran di sepanjang jalan. Sangat mudah untuk mengikuti arah lari Nina, begitu anggapan mereka. Namun begitu tiba di depan sebuah gereja yang gelap dan tertutup, jejak darah tersebut hilang. Raib dan Nina seperti tidak pernah melalui jalan tersebut.“Dia pasti naik menumpang salah satu mobil yang lewat,” analisa seorang anggota. Nadja dengan tidak sabar segera memerintahkan untuk menyusul.“Kali ini aku mau dia mati!” teriak Nadja geram. Murkanya sudah mencapai puncak.***Kelopak mata Nina bergerak dan perla
Kota kecil di Amerika ini memang terkenal sebagai kota terdingin kedua di dunia. Roger Pass, Montana. Musim panas hanya terjadi singkat dan sepanjang tahun mengalami musim dingin yang panjang. Abigail berlari dengan sepatu boot merahnya. Rambutnya yang pirang sebahu tampak lepek dan basah oleh udara lembab. Matanya biru dan sangat menawan. Gadis berumur sepuluh tahun tersebut tertawa sambil berlari dari kejaran ibunya yang membawa sayuran dan buah murah yang mereka beli di pasar petani.“Mama, ayo tangkap aku!” seru Abigail dengan ceria. Ibunya tampak masih muda dan terlihat kecantikan Abigail didapatkan dari gen ibunya, Jean.“Keranjang ini terlalu berat, Abe. Mama tidak akan bisa mengejarmu. Langkahmu juga terlalu cepat,” gelak Jean sekaligus membuat besar kepala putrinya.“Sebentar lagi aku besar dan dewasa, Mama. Paman Lexi akan mempekerjakan aku menjadi asistan dapurnya,” balas Abigail dengan bangga. Lexi adalah pemilik restoran kecil yang
Mobil terus meluncur melewati perbatasan meninggalkan Roger Pass jauh di belakang. Nina mulai merasa lega dan kini satu-satunya kendala adalah apa yang selanjutnya mesti dia perbuat terhadap Abigail.“Mama ….”Terdengar Abigail memanggil mamanya dan mulai siuman. Semua terjadi tepat saat mereka tiba di depan sebuah motel yang bisa Nina pilih untuk merapikan Abigail yang masih berlumuran darah. Mobil memasuki halaman dan Nina menoleh ke belakang.“Kamukah yang menyelamatkan aku tadi?” tanya Abigail dengan mata sedikit terpicing. Nina mengangguk namun kemudian menyadari kondisi gelap dan Abigail tidak mungkin melihat anggukan kepalanya.“Ya, aku Nina,” sahutnya dengan suara datar.“Kenapa kamu membawaku? Apakah kamu termasuk orang jahat yang membunuh kakek dan nenek?” tanya Abigail dengan cepat dan bersiap mengacungkan tangannya untuk memukul.“Tidak! Aku dikirim oleh seseorang untuk menyelamatkanmu,” jawab Nina tidak kalah cepat. Dia tidak ingin ad
Sheriff itu masih menunggu jawaban dari Nina. Sesaat wanita itu merasa hampir hilang kesabaran dan ingin menempuh jalan pintas. Akal sehatnya kembali dengan cepat dan akhirnya Nina menutup wajahnya, mulai menangis.“Tenang-tenang … kami tidak bermaksud jahat,” seru Sheriff itu mendadak terlihat bersimpati. Rekannya yang ternyata perempuan yang cukup matang keluar.“Ada apa, Bill?” seru wanita tersebut dari jauh.“Kurasa nyonya ini membutuhkan bantuan kita,” ucap sheriff yang bernama Bill tersebut. Petugas wanita tersebut turut mendekat dan bergabung bersama mereka.“Nyonya, apakah Anda dalam kesulitan?” tanyanya lembut. Nina membuka tangan yang menutup wajahnya.“Aku lari dari suamiku dan kami tidak sempat membawa apa pun kecuali dompet dan sedikit baju. Dia memukuli aku dan juga anakku. Aku mohon jangan tangkap kami,” tangis Nina dengan pilu.“Oh Tuhan, anakmu lebam di
Markus menutup pintu ruang kerjanya di salah satu kantor di Vatikan, Roma. Sebagai kardinal yang baru terpilih, dia harus bekerja lumayan berat. Beberapa urusan yang berhubungan dengan dokumen rahasia dan juga barang bersejarah yang memiliki unsur ajaib, menjadi tanggung jawab Markus. Dengan pelan dia menekan telepon dan nada sambung terdengar.Begitu selesai menelepon, pintunya diketuk dan Markus menjawab lantang untuk masuk. Seorang frater, atau calon pastor masuk. Wajahnya sangat tampan dan menawan. Rambutnya sedikit ikal berwarna cokelat tua dengan mata hijau lumut dan tubuh tinggi tegap. Jubah warna hitam dengan collar putih menambah ketampanan dan membuat wajahnya bersinar. Seorang pemuda berhati bersih juga baik.“Oliver, tahukah kamu jika keponakanku Abigail sedang dalam perjalanan menuju ke Vatikan?” tanya Markus sembari duduk di meja kerjanya. Oliver masih berdiri dan mengangguk.“Ya, Kardinal Castain. Aku sudah menyiapkan semua kebutuhan ke
Guncangan terasa dan Abigail mendengar Nina memintanya bangun untuk bergegas pergi. Abigail mengusap mata dan dengan lambat meraih ransel pinknya untuk mengikuti Nina yang sudah keluar.“Kita menjauh dari pusat kota!” seru Nina dan masuk ke dalam mobil van tua. Nina membeli mobil itu dengan harga murah dan kini mereka akan memulai perjalanan untuk terus menghindar hingga kejelasan langkah berikutnya.Nina membaca peta dengan cepat dan menemukan tujuannya yang segera dia tandai. Abigail duduk di depan dan memasang sabuk pengaman dalam diam. Nina melirik sekilas. Wajah Abigail terlihat pucat dan tidak bercahaya. Ada sedikit rasa iba dalam hati Nina, namun segera ia tepis. Mengikuti perasaan bukanlah hal yang ia dalami selama ini. Mobil meluncur meninggalkan motel dan menuju Philadelpia.Pagi mulai berganti siang dan setelah mengisi bensin juga bersantap, Nina melanjutkan perjalanan.Dalam hati dia mengumpat karena Alter Fidelis tidak memberi kabar