Share

The Last Queen
The Last Queen
Author: Noviares

1. MIMPI

Dahulu, berabad-abad yang lalu, jauh sebelum Nusantara bersatu menjadi sebuah negara kesatuan, pulau-pulau yang terbentang dari ujung barat hingga ke timur negeri ini terbagi menjadi banyak wilayah kerajaan, tak terkecuali Pulau Jawa. Sudah banyak kerajaan Jawa yang telah berhasil mengukir tinta emas, tak sedikit pula yang pada akhirnya harus tumbang sebelum sampai mencatatkan diri dalam sejarah peradaban negeri ini. Hal itu akibat peperangan demi peperangan perebutan wilayah untuk memperluas daerah kekuasaan. Tanah yang subur serta kekayaan alam yang berlimpah menjadikan tanah Jawa bak gula yang selalu diperebutkan para semut. Adu gengsi dan ambisi juga menjadi salah satu alasan yang tak bisa dikesampingkan. Hal itu membuat kerajaan-kerajaan kecil tak memiliki banyak pilihan kecuali tunduk di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan besar agar tetap bisa bertahan, alih-alih mencatatkan diri dalam sejarah. 

Sementara itu di sebuah desa kecil yang asri dan damai jauh dari hiruk pikuk aktifitas warga di pusat kuta raja,

Hantaman gada terdengar silih berganti di sebuah rumah berpekarangan luas di pinggiran desa. Teriknya sinar matahari serta panasnya tungku pembakaran besi tak menghalangi semangat para pekerja untuk terus menempa besi-besi itu guna mendapatkan senjata dengan kualitas terbaik. Kualitas senjata yang mereka buat memang telah tersohor di khalayak luas, bahkan istana. Senjata-senjata buatan Mpu Geger membuat Kerajaan Welirang cukup disegani di tanah Jawa. Gagahnya prajurit di medan perang, kecerdasan para panglima perangnya, ditambah dengan senjata-senjata hebat yang mereka gunakan sudah cukup membuat ciut nyali musuh meski sebenarnya Welirang bukanlah kerajaan besar.

"Hei, Parwan," kata seorang pria berambut putih dengan jenggot panjang berwarna senada di antara suara hantaman palu.

"Iya, Mpu," jawab lelaki yang bernama Parwan.

"Kemana sahabatmu yang satu itu ? kenapa belum kembali juga setelah pamit makan siang ?" tanya Mpu Geger.

"Entahlah, Mpu. Saya belum menjumpainya."

"Carilah dia. Aku khawatir telah terjadi sesuatu dengannya."

"Baik, Mpu," jawab Parwan lalu segera pergi mencari sahabatnya.

Setelah mencari ke sana ke mari, akhirnya Parwan menemukan sahabatnya. Saat itu ia melihat sahabatnya sedang tidur dengan nyaman di atas dahan pohon. Rupanya semilir angin, ditambah perut yang kenyang membuat pria itu terlena lalu tertidur disana hingga lupa untuk kembali ke pekerjaannya. Parwan berjalan pelan-pelan mendekati pria itu. Parwan yang memang jahil, lalu menusuk pantat pria itu dengan ranting hingga ia terjatuh dari dahan pohon. Untungnya dahan itu tidak terlalu tinggi. 

"Ahh, aduh," pekik pria itu sambil memegangi pinggangnya.

"Hahahaha ..." 

Bukannya menolong Parwan malah menertawai sahabatnya yang sedang meringis kesakitan di tanah. 

"Sial kau," hardik pria itu sambil melemparkan ranting kering ke arah Parwan. Parwan tak bergeming, ia masih terus menertawakan pria itu.

"Hei Damar, teman-temanmu sedang sibuk bekerja dan kau malah enak-enakan tidur di sini," kata Parwan setelah puas menertawakan Damar.

"Kau ini merusak mimpi indahku saja," jawab Damar kesal.

"Kau masih memimpikan gadis itu ?"

"Hari ini ia menunggangi kuda dengan pedang di tangannya."

"Ohh, mungkin dia ingin membunuhmu."

"Ngawur ..." jawab Damar sambil memukul Parwan.

"Sakit, Mar," pekik Parwan. "Secantik apa sih gadis itu ?" tanya Parwan lagi, penasaran.

"Aku tak bisa menggambarkannya. Bak dewi yang jatuh dari kahyangan."

"Putri Sekar Ayu, lewat ?"

"Hmm, aku belum pernah bertemu Putri Sekar Ayu, tapi aku yakin gadisku jauh lebih cantik darinya," jawab Damar dengan penuh keyakinan.

"Jangan-jangan dia lelembut yang menyukaimu, lalu diam-diam menemuimu di alam mimpi."

"Huss. Jangan menakutiku !!"

"Habisnya mimpimu itu aneh."

"Sudahlah. Susah bicara dengan orang yang tak paham sepertimu."

"Loh, kok aku ? kau itu yang aneh," kata Parwan kesal. 

Damar dan Parwan berjalan menuju tempat mereka bekerja. Sepanjang jalan Damar lebih banyak diam, ia memikirkan kembali perkataan Parwan. Benar juga kata Parwan, mana mungkin gadis secantik itu hidup di dunia nyata. Ada banyak gadis cantik di desanya, namun tak pernah ia menjumpai yang secantik gadis yang sering muncul di dalam mimpinya. Bagaimana jika memang ia bangsa lelembut yang sengaja mengganggunya di alam mimpi ? Damar jadi merinding saat membayangkan hal itu.

Selama beberapa bulan belakangan, Damar selalu bermimpi melihat seorang gadis yang belum pernah ia temui sebelumnya. Kecantikannya membuat Damar susah menjalani hidup di dunia nyata karena dunia mimpi jauh lebih menyenangkan. Gadis itu bak seorang putri, memakai selendang hijau dan bermahkotakan emas di kepalanya. Jika biasanya seorang putri bangsawan menaiki kereta emas, gadis ini justru gemar menunggang kuda. Rambut panjangnya hitam berkilau diterpa sinar matahari, terurai diterpa angin di atas kuda yang ia tunggangi. Sorot matanya tajam namun tetap tersirat keanggunanan pada dirinya. 

"Kau tak mendengarkanku ?" tanya Parwan membuyarkan lamunan Damar.

"Iya iya aku dengar," jawab Damar pura-pura. Padahal dari tadi ia tak paham apa yang dikatakan Parwan.

"Permisi anak muda," kata seorang kakek tua yang entah darimana asalnya tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Damar dan Parwan.

"Kau ini mengagetkanku saja, Ki," kata parwan spontan, lalu Damar memelototinya agar ia lebih sopan pada orang tua.

"Maafkan aku anak muda," jawab kakek tua itu.

"Ada yang bisa kami bantu, Ki ?" tanya Damar.

"Begini anak muda ..."

Kakek tua itu mengaku datang dari jauh untuk mengunjungi candi suci yang berada di atas Bukit Pujon, namun karena usianya yang tak lagi muda ia tak sanggup lagi untuk berjalan. Ia juga mengaku telah kehabisan bekal. Jangankan untuk menyewa kereta kuda, untuk perbekalan selama perjalanan saja sudah tak ada lagi. Jadi kakek tua itu bermaksud meminta bantuan Damar dan Parwan untuk mengantarkannya ke Bukit Pujon.

"Baiklah, Ki, tunggulah di sini aku akan menjemputmu dengan kuda milik majikanku," kata Damar.

"Tidak anak muda, punggungku tak kuat jika harus naik kuda."

Damar dan Parwan saling melempar pandang, lalu mereka bedua kembali memandangi kakek itu dengan tatapan bingung. Si kakek hanya tersenyum memperlihatkan giginya yang mulai habis termakan usia. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status