Share

5. DILEMA

Damar benar-benar dilema. Mustahil rasanya jika harus menerima orang baru saat hatinya telah terisi oleh orang lain. Entahlah, mengapa sedikit pun tak ada cinta untuk gadis itu. Padahal Utari adalah gadis yang cantik dan baik. Damar hanya takut nanti Utari tak bahagia hidup dengan suami yang tak pernah mencintainya. Namun menolaknya juga bukan pilihan yang tepat, Utari tetap akan terluka. Jadi menerima ataupun menolak, dua-duanya hanya akan menyakiti hati Utari entah hari ini atau pun esok. Bagai buah simalakama semua keputusan yang akan ia ambil tak akan bisa membuat dirinya dan semua orang bahagia. Damar benar-benar tak tahu lagi harus beebuat apa. Jika sudah seperti itu, rasanya ia ingin menghilang saja agar semua kecemasannya ikut hilang bersamanya.

Lain halnya dengar Damar, Utari merasa sangat bahagia mendengar rencana pernikahan itu. Ia sangat berterimakasih pada ayahnya yang telah mewujudkan mimpinya sedari dulu yaitu bisa hidup bahagia bersama Damar, pemuda yang sangat ia cintai. Siang itu Utari meminta Damar menemuinya di pondok bambu dekat sungai tempat dimana ia sering menghabiskan waktu sambil melakukan kegemarannya membatik.

"Ada apa, Utari, kau memanggilku kemari ?"

"Pangeranmu sudah datang, Utari. Ayo pergi, dari pada jadi nyamuk di sini," ledek teman-teman Utari. Ia hanya tersipu malu.

Setelah Damar datang, mereka segera menghentikan seluruh kegiatannya lalu bergegas pergi meninggalkan Damar dan Utari berdua saja.

"Apa yang ingin kau bicarakan, Utari ?"

"Pernikahan kita."

"Utari, apa, apa kau benar mencintaiku ?" tanya Damar ragu-ragu. Dalam hati ia berharap Utari akan mengatakan tidak, namun ...

"Aku sangat mencintaimu," jawab Utari yakin sambil tersenyum lebar di depan Damar.

"Kakang mencintaiku juga kan ?" kata Utari lagi.

"Tidak Utari, cintaku untuk orang lain," jawab Damar dalam hati namun tak sampai hati untuk mengungkapkannya pada Utari.

"Kakang, kau mencintaiku kan ?" tanya Utari lagi memastikan.

"I, iya," jawab Damar tak yakin. Bahkan ia tak mampu menatap wajah Utari saat mengatakannya. Bagaimana bisa tiba-tiba ia mengiyakan pernikahan itu, padahal sebelumnya ia telah menyusun banyak kata-kata penolakan secara halus agar tak sampai melukai hati Utari. Namun saat melihat senyum bahagia Utari, Damar jadi tak tega mengatakannya. Damar hanya bisa pasrah dengan takdirnya.

"Terimakasih, Kakang. Aku bahagia sekali. Aku berjanji akan menjadi istri yang baik untukmu." Utari memeluk Damar dengan bahagia.

Beberapa hari sebelum acara pernikahan berlangsung,

Utari tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya agar bisa tampil sempurna di hari bahagianya nanti. Sementara itu Damar masih sibuk mengerjakan pesanan pedang seperti biasa. Beberapa kali pukulah palu itu terdengar sangat keras. Orang lain akan menganggap itu sebagai sebuah kerja keras, namun Parwan tahu itu adalah pukulan kemarahan dan keputusasaan. Parwan paham betul bagaimana perasaan sahabatnya itu namun ia pun tak dapat berbuat apa-apa.

"Hentikan, Mar," kata Parwan sambil menghalau tangan Damar, memintanya untuk berhenti memukul besi.

"Singkirkan tanganmu, aku harus segera menyelesaikannya," jawab Damar dingin tak seperti biasanya.

"Kenapa kau memaksakan diri ?"

"Diamlah. Aku sedang tak ingin berdebat denganmu."

"Katakan sejujurnya pada Utari sebelum semuanya terlambat."

"Andai aku bisa," kata Damar masih sambil memalingkan wajahnya dari Parwan, sementara tangannya masih sibuk memukul pedang.

"Mar, kau hanya akan menyakitinya."

"Menyakiti siapa ?" Utari tiba-tiba muncul dari arah belakang mereka. Parwan jadi gelagapan dibuatnya.

"Ini ... Damar, kalau terlalu keras memukul akan menyakiti tangannya," kilah Parwan.

"Kakang kenapa kau masih bekerja ? pernikahan kita sudah semakin dekat."

"Pedang-pedang ini harus segera dikirim ke istana, Utari."

"Pergilah bersama Utari, temani ia memilih beberapa perhiasan," timpal Mpu Geger yang juga tiba-tiba muncul dari arah lain. 

"Baik, Mpu." Melihat kedatangan Mpu Geger, Damar akhirnya melunak. Ia tinggalkan pekerjaannya demi menemani Utari memilih perhiasan yang akan ia kenakan di hari pernikahan mereka nanti. Ia tak bisa berbuat banyak kecuali menuruti permintaan Mpu Geger. Damar pergi menemui tukang perhiasan yang secara khusus didatangkan Mpu Geger ke rumahnya. 

"Apa ini bagus untukku ?" tanya Utari sambil menunjukkan sebuah kalung emas di lehernya pada Damar.

"Semuanya cantik saat kau yang memakainya," jawab Damar.

Utari sangat tersanjung, padahal Damar berkata demikian agar Utari dapat segera menentukan pilihannya. Ia mulai bosan melihat Utari yang tak kunjung usai memilih perhiasan. Semua perhiasan di tangan Utari terlihat bagus, namun gadis itu tetap saja tak merasa puas. Damar benar-benar bosan, namun ia harus tetap bersabar sampai Utari benar-benar menemukan perhiasan yang ia inginkan. Kalau bisa berteriak, mungkin ia akan berteriak dengan kencang untuk sedikit melegakan sesak di dadanya akibat tercekik oleh keadaan ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status