“Ketika menginginkanmu hanya sebuah ambisi. Maka, biarkan aku terus berjuang meski hanya sendiri.”
***
Ada keanehan dalam raut wajah Selena setelah sadar apa yang terjadi pada rumahnya. Seluruh perabotan hancur dan sebagian sudah dibersihkan oleh Henry. Matt yang berjalan di belakangnya tidak bersuara. Dia hanya diam dan menunggu Selena bertanya. Tetapi kalau Selena tidak mengajukan pertanyaan, maka Matt tidak perlu mengatakan apapun untuk menjelaskan.
“Henry,” panggil Selena.
Henry melepas headphone yang terpasang menutupi kedua telinganya. Di tangannya memegang karung berisi pecahan vas bunga. Dia menoleh ke belakang dan tersenyum lebar melihat Selena yang menyapanya terlebih dulu.
“Hey … senang melihatmu baik-baik saja, Elle.” Henry tersenyum tulus seperti biasa. Dia menatap sekilas Matt yang berdiri canggung di belakang perempuan itu.
“Apa yang terjadi?” tanya Selena bingung.
Sekali lagi Henry melirik Matt yang memberikan kode untuknya mencari alasan lain. Tidak usah berkata jujur kalau dia tengah berperang dengan Bianca karena saudarinya itu tidak dapat mengontrol diri saat melihat darah manusia.
“Umm … tidak ada.” Henry belum bisa menemukan jawaban yang cocok.
Selena mengerutkan keningnya. “Tidak ada?” ulangnya.
“Ya.”
“Kenapa semuanya … hancur?” heran Selena lagi.
“Oh ini ….” Henry melihat sekelilingnya yang sudah lima puluh persen membaik daripada sebelumnya. “Aku dan Bianca tengah bermain,” jawabnya.
“Permainan apa yang kalian lakukan hingga hampir menghancurkan rumah seperti ini?” cecar Selena dengan pertanyaan lainnya.
“Latihan perang,” jawab Henry asal.
“Ha‒?” Selena semakin tidak mengerti.
“Sudahlah … ini tidak terlalu penting. Kamu mau coklat? Biar aku ambilkan di dapur,” tawar Henry dengan senang hati.
“Tidak, terima kasih. Rasanya aku sekarang merasa sangat kenyang. Tidak tahu kenapa,” jawab Selena sambil memegang perutnya.
Kenyataan bahwa dia tidak merasa dahaga atau lapar seperti biasa. Bahkan tenaganya seperti terisi sempurna setelah sadar di atas tempat tidur tadi. Itu aneh, pikirnya. Namun, dia tidak ingin terlalu mempermasalahkan hal ini.
“Hmm … baguslah kalau begitu. Lebih baik kamu jalan-jalan keluar saja, Elle. Mungkin kamu butuh udara segar,” usul Henry.
“Memangnya kita bisa menghirup udara?” tanya Selena dengan sarkas.
Henry langsung terdiam dan merasa kalau tidak ada perubahan signifikan dengan sifat Selena yang masih saja dingin.
“Maafkan aku,” ucap Henry menundukkan kepala.
“Aku harus pergi ke suatu tempat,” lanjut Selena.
“Kau ingin kemana, Elle?” Akhirnya Matt membuka suara. Dia bertanya pada Selena yang mengatakan akan pergi. Matt hanya cemas kalau nanti terjadi sesuatu pada Selena saat di luar nanti.
Dan seperti biasa Selena akan menjawab, “Bukan urusanmu.”
“Aku harus tahu kau pergi kemana, Elle.” Matt masih mendesak Selena agar memberitahunya.
“Jangan memaksaku untuk memberitahumu.”
“Kau ingat apa yang terjadi setelah pulang sekolah kau tidak bersama kami? Kau pulang dengan wajah ketakutan seperti itu. Kau pikir aku bisa tenang saja membiarkanmu pergi?” debat Matt tidak ingin kalah.
“Meski ada sesuatu yang buruk terjadi padaku. Itu tetap bukan urusanmu, Matt!” Selena semakin merasa sangat kesal dengan tingkah Matt yang mulai mengatur dirinya.
“Jangan bertingkah keras kepala seperti itu sementara kamu masih membutuhkan bantuan kami ketika dalam bahaya!” tegas Matt. Rasanya dia tidak perlu melunak lagi pada Selena. Keegoisan gadis itu membuat Matt jengah sendiri. Dia sudah terlalu sering mengalah.
Namun, bukannya membuat Selena menjadi merasa salah, justru sebaliknya gadis itu semakin membenci Matt.
“Kalau aku dalam bahaya, sudah jelas aku akan menyalahkanmu lebih dulu, Matt! Kau yang membuatku jadi seperti itu!” ucapnya kasar sambil mendorong dada Matt dengan ujung jarinya. Wajahnya penuh kemarahan.
Henry yang ada di sana jadi bingung harus melakukan apa. Matt dan Selena memang tidak pernah akur. Bahkan bahan debat mereka selalu hal yang sama dan diulang-ulang. Bukankah seharusnya itu sangat membosankan.
“Hey, hey, hey … tenang ….” Henry memegang pundak Matt.
Mata Matt masih membalas tatapan tajam Selena. Dia menunjukkan kalau sekarang tidak akan mengalah lagi.
“Kita itu bersaudara. Apa kalian ingin ayah yang menegur kita?” tanya Henry dengan suara pelan.
“Aku hanya berusaha tetap bersabar dengannya, Henry.” Matt berkata pelan namun dalam dan berat.
Selena memutar bola mata dengan malas. Dia bersedekap dengan wajah menantang dan tidak suka. “Aku tidak butuh kesabaran darimu, Matt.”
“Elle!” bentak Matt sangat marah.
“Terserah! Aku ingin pergi!” jawab Selena membangkang.
Dia langsung melesat pergi keluar rumah dan membiarkan Henry dan Matt berdiri terpaku di tempatnya. Matt mengusap kasar wajahnya, dia sangat frustasi. Sedangkan Henry masih menepuk-nepuk pundak Matt agar lebih tenang.
“Bukankah kita tahu bagaimana Selena. Menjadi keras padanya juga adalah pilihan yang salah,” kata Henry memberitahu Matt.
“Tapi terlalu mengalah juga tidak akan membuat rasa bencinya berkurang!”
“Setidaknya rasa benci dia padamu tidak bertambah,” celetuk Henry tanpa sengaja.
Matt langsung melirik tajam pada Henry dan tersinggung dengan kata-kata lelaki memiliki bola mata berwarna coklat terang itu.
“Ups! Hehehe. Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggungmu,” jawab Henry lalu pergi membawa karung yang sejak tadi dia pegang. Saatnya kembali meneruskan bersih-bersih rumah.
***
Selena berjalan sendirian menyusuri trotoar kota Breavork. Melihat aktifitas orang-orang di senja hari. Kebanyakan dari mereka adalah para pekerja yang mengendarai mobil sepulang kerja menuju rumah. Ada pula sebagian anak remaja yang membawa bola basket bersama rombongan teman-teman lainnya.
Tawa, canda dan kontak fisik yang dilakukan orang-orang membuat Selena tertarik untuk memperhatikannya. Sebenarnya dia sendiri tidak tahu harus kemana sekarang. Dia ingin menemui Syilea dan meminta maaf atas kejadian tidak menyenangkan di depan rumah Rain. Namun, dia tidak tahu alamat gadis itu berada.
“Di mana rumahnya?” gumam Selena terus melangkah maju tanpa tujuan.
Hingga tanpa sadar kakinya sampai di depan gerbang besar lusuh yang tadi siang sempat dia datangi. Itu adalah gerbang menuju rumah Rain.
“Kenapa aku ke sini?”
Selena menadahkan kepalanya, menatap puncak gerbang yang dihinggapi seekor burung gagak. Mata hitam gagak itu menatap Selena dan jelas ditatap balik olehnya. Tidak ada ketakutan sedikit pun.
“Tidak mungkin Syilea masih ada di dalam,” gumamnya lagi lalu menatap lurus ke depan.
Rumah besar itu tampak sedikit kecil dari kejauhan. Selena bisa melihat jelas ada satu kamar yang menyala. Bukan dengan lampu melainkan lilin. Terlihat bagaimana cahaya yang bergoyang-goyang seperti api kecil yang tertiup angin.
“Dia ada di rumah?”
Tiba-tiba saja tanpa disadari atau dikontrol oleh Selena. Kakinya melangkah masuk ke dalam dengan tatapan lurus ke depan. Jiwanya seolah menarik dirinya untuk mendekati rumah yang dia yakini di dalam ada Rain.
Tanpa menoleh kiri dan kanan, Selena terus berjalan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jaketnya. Gerimis mulai turun di senja hari. Tanpa sadar dia sudah berdiri di depan pintu kembar terbuat dari kayu jati tersebut.
“Eh‒?” Selena mengerjapkan matanya dua kali seolah sadar dengan hipnotis yang dilakukan semesta pada jiwanya. “Kenapa aku di sini?” lirihnya kebingungan.
Di waktu bersamaan, tiba-tiba saja terdengar suara derit dari engsel pintu yang berkarat. Pintu akan dibuka dari dalam. Selena membelalakkan matanya, tidak percaya kalau dia akan tertangkap basah oleh pemilik rumah.
-Bersambung-
“Rasa penasaran ini mencambuk hingga membuat memar hatiku.” *** Langit senja begitu mendung. Rain yakin kalau sebentar lagi akan turun hujan. Sebelum keroyokan air dari langit itu menjatuhi bumi, lebih baik dia mengunci pintu depan rumahnya. Sambil memegang sebatang lilin yang diletakkkan dalam wadah mirip gelas berwarna perak, Rain berjalan menuruni anak tangganya. Rumahnya mulai gelap karena tirai-tirai yang tidak pernah lagi dibuka sejak kematian kedua orang tuanya. Uang untuk hidup pun hanya dari sisa-sisa warisan keluarga yang masih bisa disimpannya dengan baik. Itulah sebabnya dia sangat ingin cepat lulus sekolah agar bisa bekerja dan hidup di kota yang jauh dari Breavork. Memulai hidup baru dengan menjadi Rain yang lain. Bukan Rain yang tenggelam karena masa lalu. Tap … tap … tap …. Rain mengerutkan keningnya saat mendengar suara dari depan pintunya. Siapa? … batinnya. Rain memindahkan gelas li
“Mungkin kita pernah bertemu sebelumnya. Hanya kau saja yang tidak menyadarinya.”***Syilea masih beringsut ke tepi tempat tidur ketika suara ketukan semakin cepat dan berulang-ulang. Dida tidak yakin kalau itu adalah manusia. Namun, tiba-tiba sebuah suara terdengar dan membuatnya mengernyit.“Lea!” panggilnya dari luar.Syilea menyibak selimut yang melindungi dirinya. Turun dari tempat tidur dan mencoba berjalan menuju jendela meski sangat ketakutan. Hanya karena dia kenal suara tersebut, makanya dia meyakinkan diri.Krieet … Syilea menggeser tirai dan melihat dari balik kaca. Tampak di bawah ada Selena yang berdiri menatap lurus ke arah jendelanya.“ELLE?!” seru Syilea lalu membuka jendela dan berbicara dari atas. Dia melihat di tangan Selena memegang beberapa kerikil. Ternyata Selena melempari jendelanya dengan benda kecil itu. Malu rasanya ketika Syilea sadar bahwa dia berpikir sudah d
“Apa saja yang kau lakukan, selalu menyita atensiku. Kenapa?”***Keesokan harinya. Tidak ada yang spesial atau berubah dari hari-hari sebelumnya. Selena yang masih dengan sifat pendiamnya dan Bianca yang masih sebal karena kejadian kemarin. Gadis itu merengut dan tidak ingin bicara pada siapa pun termasuk John. Dia tengah mengajukan protes tutup mulut dengan wajah datar.“Ayolah, Bia … aku kan sudah minta maaf padamu,” rengek Henry yang mengikuti langkah kaki Bianca menuju mobil yang siap mengantar mereka ke sekolah.Bianca yang berjalan menuju mobil sambil bersedekap tidak ingin menjawab bahkan menoleh pun tidak.“Biaaa ….” Suara Henry terdengar seperti anak kecil yang meminta gula-gula pada orang tuanya. Dia tidak menyerah meminta maaf pada Bianca meski itu bukan salahnya sepenuhnya.Sementara itu Selena yang duduk tenang di dalam mobil sambil membaca novel mulai risih dengan kela
“Andai aku memiliki jantung. Mungkin sekarang detakannya akan terdengar sampai keluar.”***Selena tidak dapat membuka suara. Dia bungkam dan seolah semua yang ada di bumi berhenti bergerak. Bumi berhenti berputar dan waktu menjadi terhenti. Tatapan dalam dan teduh dari sepasang netra biru itu menyita seluruh perhatiannya. Dua mata indah penuh kesedihan yang mendalam tersimpan di dalamnya. Selena tidak dapat membaca apa yang ada di dalam pikiran Rain.Sementara lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Untuk pertama kalinya dia melihat wajah Selena lebih dari tiga detik. Mengagumi paras yang terpahat sempurna dimiliki gadis bertubuh kurus dan tinggi itu. Bibirnya begitu merah seperti darah yang menetes di atas tumpukan salju putih. Rambut hitamnya bergelombang dan tersisir rapi. Hidung mancungnya begitu kecil sama seperti bibirnya yang sekarang tengah sedikit terbuka. Rain belum pernah melihat perempuan berwajah malaikat seperti Selena.
Selena bak bintang lapangan, dia begitu menguasai olahraga voli. Bukan hanya Selena, bahkan saudaranya juga seperti itu. Matt tidak ingin kalah oleh adiknya. Dia terlihat begitu unggul dalam permainan ini. Seolah paket sempurna dimiliki mereka berdua, semua murid langsung saja mengidolakan Selena dan Matt.Selama jam pelajaran olahraga berlangsung, Selena tidak melihat kehadiran Rain. Lelaki itu lagi-lagi bolos pelajaran ini.Apa yang dia inginkan di sekolah kalau apa saja dia lewatkan? Kenapa dia harus sekolah? Lebih baik dia di rumah saja. Dasar manusia aneh! … Selena terus memaki dalam hati saat sadar Rain hanya duduk di tribun sambil membaca buku.“Lea,” panggil Selena pada Syilea yang sedang duduk di lantai meluruskan kakinya yang pegal-pegal.“Ya?”Selena duduk di samping Syilea. Dia tidak tampak kelelahan sedikit pun meski sudah mengeluarkan banyak tenaga dan itu aneh pikir Syilea.“Kenapa
“Hal yang paling kubenci adalah saat aku tidak bisa membenci orang yang membenciku.”***Bianca begitu berani karena dia memutuskan untuk keluar dari sekolah sementara pelajaran masih berlangsung. Dia menyelinap keluar lalu berjalan lewat belakang sekolah, di mana tidak banyak orang-orang yang akan lewat sana.Pohon pinus yang tinggi dan besar menjulang ke langit. Dia terus berjalan dengan mata mengawasi sekitar. Memperhatikan apakah aka nada mangsa yang bisa dia buru hari ini. Dahaga yang dia rasakan sudah sangat tidak tertahankan.Diam-diam dia menyetujui permintaan Henry untuk tidak membuat onar dengan cara mencari manusia untuk dijadikan tumbal. Cukup dia mencari rusa di hutan untuk diambil darahnya lalu mencabik sehingga terlihat bahwa si rusa malang itu telah dimakan binatang buas. Setidaknya itu yang selalu mereka lakukan.“Kenapa tidak ada rusa satu pun?!” geram Bianca.Tenggorokannya semakin terasa p
“Berterima kasih lah pada semesta dan Tuhan karena kau masih diberikan napas.”***Syilea tampak merasa sangat bersalah. Beberapa kali dia berbisik pada Selena selama jam pelajaran untuk memaafkan dirinya. Meski bingung apa yang terjadi pada teman sebangkunya, setidaknya Syilea merasa tidak enak hati karena sudah membuat Selena mual hingga muntah seperti itu.“Padahal coklatnya masih bagus. Mana mungkin aku memberikanmu coklat yang sudah basi,” ucap Syilea setelah pulang sekolah. Dia terus berjalan mengimbangi langkah cepat Selena yang menuju ke pintu gerbang.“Sudah kubilang tidak masalah, Lea … aku hanya sedang tidak sehat. Pencernaanku begitu buruk hari ini, makanya aku mual,” jawab Selena mencoba menenangkan Syilea dari perasaan bersalah.“Benarkah? Aku sungguh-sungguh meminta maaf,” ucapnya lagi.Selena memaksakan senyumnya dan mengangguk. Di depan sana berjarak sekitar lim
“Entah manusia bahkan mahkluk abadi, mereka tidak bisa menahan satu hal yaitu nafsu.”***Selena mengepalkan tangannya. Tubuhnya mendadak gemetar. Lidahnya kelu dan matanya membulat sempurna. Dalam batinnya terus berperang untuk menahan diri agar tidak tergoda dengan wangi darah yang memenuhi kamar Bianca.Sementara di depan mata Selena tampak John yang memegangi badan Bianca yang berontak. Gadis itu seperti bukan dirinya. Matanya merah menyala sama seperti Selena dan wajahnya berlumuran dengan darah segar.“ELLE! TELPON SAUDARA-SAUDARAMU!” perintah John dengan nada tinggi untuk mengimbangi suara musik opera yang begitu keras.Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menghubungi mereka. Badanku tidak bisa bergerak.Selena membatin. Dalam kepalanya terdengar suara-suara untuk mencicipi darah itu. Kejadian ini seperti dejavu, di mana saat dia melihat darah yang keluar dari kaki Syilea.“ELLE!”