"The Lycan's Mate" is an enchanting novel that weaves a spellbinding tapestry of love, loss, and the unveiling of a hidden world. The story revolves around our protagonist, a werewolf whose life takes an unforeseen tragic turn, thrusting her into a realm where lycans exist. With an unwavering determination to survive and find solace, she crosses paths with a captivating lycan who ignites a spark within her. As their relationship evolves, they must confront numerous trials and tribulations, both external and internal, testing their love and commitment. Together, they navigate the intricate labyrinth of the lycan society, unearthing its long-held secrets and traditions.
View MoreTIN
BRUM
BRUM
CITTT
Sebuah mobil sport berjenis Mclaren 720s berwarna silver menarik perhatian semua siswa SMA High School bagaimana tidak? Mobil itu bkn hanya bagus tapi juga sangat mahal dan pasti harga nya bukan kaleng kaleng bahkan autor saja tidak sangup beli wkwk
"Njir mclaren bro, gua yg holkay aja gak sanggup beli tuh mobil gileee sekaya apa ni orang"
"Aaaaaa klo cowo yg punya gue bakal jadiin dia pacar"
"Holkay semua njir isi sekolah nya apalah daya ku yg hanya potato huhu"
"Jemputan gue dah sampe ni byebye"
"Halu lu ketinggian cuk"
Pintu utama terbuka memperlihatkan gadis yg berpakaian urakan alias badgirl dengan surai kecoklatan sepunggung nya. Tak lama mobil berjenis Honda Acura NSX datang, dan parkir disebelah mobil sang gadis membuat gadis pemilik mobil mewah itu mendengus. Pintu itu terbuka menampilkan 2 gadis yg tidak beda jauh dengan nya
Tanpa memperdulikan sekitar nya, ketiga gadis itu melangkahkan kaki jenjang nya menyusuri koridor yg sepi, karena memang jam pelajaran telah berlangsung dari sejam yang lalu. Mereka Naira Zanna, Azahra Priyanka Atmaja dan juga Arabella Cahaya Anderson.
"AERR TUNGGUIN GUE!!" Teriak salah seorang dari mereka yg memiliki tubuh sedikit berisi
"Berisik bego ra!" Sarkas gadis satu nya yg memiliki netra berwarna hitam.
"Bodo amat suka suka gue"
Naira tetap berjalan, tidak mengidahkan adu mulut kedua nya yg membuat ia jengah. Untung saja di koridor tidak banyak orang, jika iya dia akan benar benar malu.
"Hosh hosh hosh gile Ai, lu jalan kebelet berak apa begimana cepet banget njir" seru Ara
Aza memutar mata nya malas. "Lu nya aja ra yg gedean badan! Makanya sering sering olahraga jan makan doang yg lu gedein!"
Sebenarnya Ara tidak gendut hanya saja badan nya sedikit berisi dari Naira dan juga Aza.
Aira berdecak. "Halah lo berdua kan sama aja, udah diem gua mau ketok ni pintu"
Tok tok tok
"ASSALAMUALAIKUM BIDADARI UTUSAN SURGA SUDAH DATANG" suara Naira menggelegar di sepanjang koridor tempat ruangan kepala sekolah berada.
"Anjing lah kaga kebuka-buka ni pintu dobrak aja kli ya?" Tanya Naira meminta persetujuan kedua teman nya yg dibalas anggukan oleh mereka
Ketika Naira hendak memasang kuqa kuqa untuk mendobrak pintu yg bertuliskan "headmaster". Pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu. Alhasil Naira tidak jadi mengeluarkan tenaga hulk nya.
"Allahuakbar kalian saha, kenapa kalian teriak teriak. Bapa masih muda ya, jangan sampe bapa jadi budek gara gara kalian" jelas lelaki paruh baya yg menginjak umur 65 tahun.
Mereka bertiga melongo melihat penampilan kepala sekolah ini bagaimana tidak? Rambut nya sangat klimis karena memakai powmed, 2 kancing kemeja bermotif bunga yg atas nya dibiarkan terbuka, dan jangan lupakan celana cutbray menghiasi kaki pendek nya.
Melihat itu kompak mereka bertiga menahan tawa nya. "Ehh bapa ganteng banget si. Gini kita kan murid baru, perkenalkan nama saya Naira kembaran nya bidadari surga, nah mereka berdua yg satu namanya Ara dan satu nya Aza. " jelas Aira. Menunjuk kedua teman nya.
Kepala sekolah yg bernama Pak Gugun itu mengangguk tanda mengerti. "Lalu?" Tanya nya
"Nah kita gak dapet duit pa, gara-gara kesiangan terus belum sarapan" ujar Naira sambil menampilkan pupy eyes milik nya.
Ara dan Zahra yg mengerti arah pembicaraan Naira melirik satu sama lain kemudian berjalan ke arah Naira. "Iyaa pa, ya ampun bapa massa mau liat saya kurus gak montok lagi dong" timbal Ara.
Walaupun mereka dari keluarga orang kaya, tapi tetap saja itu bukan hasil keringat mereka sendiri alhasil mereka bekerja. Ya bekerja menjahili orang dengan tampang Naira yg sungguh ingin sekali Aza celupkan ke bak sampah.
Pak Gugun tertegun melihat wajah imut Naira, sungguh ia seperti melihat cucu nya yg berusia 5 tahun yg sekarang berada di jerman.
Lelaki yg menjabat sebagai kepala sekolah itu mengambil nafas pelan lalu di buang. "Baiklah baiklah bapa kasih, kalian mau berapa"
Naira melirik ketika kedua sahabat nya, mengkode lewat mata seolah bertanya "berapa ni?"
Aza memegang kuping nya dengan jari menunjukkan angka 5, sedangkan Ara memainkan kuku nya dengan semua jari yg dia keluarkan
Naira berfikir 10:5 dia mengambil jajal tengah saja yaitu 15
Nahloh bego si Naira, canda Naira
"Hmm kita minta 1,5jt deh pa, gak kebanyakan kan" ucap Naira dengan nada manja.
Kepala sekolah yg mempunyai 2 istri itu pun berfikir sejenak, mengangkat 1 tangan dan mengetuk mengetuk di dagu dengan kacamata yg melorot terus menerus.
Naira, Aza dan Ara saling melirik apakah misi kali ini berhasil atau tidak.
Gue beli skincare mahal mahal cuma buat godain aki aki tua bangka ini. Astagfirullah Aira otak lo diloakin di pasar mana -batin Naira
Maafkan kakak mah, kakak seperti ini karena anak anak kakak sudah demo meminta makanan -batin ara
ewh bat njing muka nya, mau gua tabok klo bukan duit ge ogah gua -batin Zahra
Hening melanda keempat manusia yg berbeda jenis kelamin dan usia, hingga gerakan singkat dari pak gugun mampu mengembangkan senyuman mereka. Misi berhasil!
Ketiga nya bertos ria, "Mau cash atau transfer?" Tawar pak Gugun.
"Hmm cash aja deh pa, soalnya buat makan nanti dikantin" jawab Naira jika dia tidak cepat menjawab nya, maka akan ada guru yg lewat dan aksi tipu menipu nya pun gatot alias gagal total
Zahra dan Ara hanya menganggukan kepala nya saja seperti mainan yg ada di mobil super mewah Naira.
Lelaki itu mengangguk singkat. "Yauda tunggu sebentar bapa mau ambil dompet, kebetulan bapa abis ambil duit tadi di atm" seru pak Gugun
menginterupsi mereka bertiga untuk tetap diam, kemudian ia segera menyambar dompet yg berada di meja kebesaran nya. Ketika pak Gugun tengah membuka dompet nya, mata mereka berbinar cerah seperti habis dari sorum mobil
Naira mengintip ehh ralat tidak mengintip, karena pak Gugun ini pendek jadi dia bsa melihat dengan jelas berapa banyak duit yg berwarna merah dan biru yg ada didompet pria tua ini
Aira menerima nya dengan senang hati dan mengedipkan sebelah mata nya kepada dua teman nya."Mission accomplished"
"Makasih pak Gugun yg ganteng" ucap mereka serempak
Pak gugun menganggukan kepala nya sambil tersenyum. "Iyaa sama-sama, di bagi sama rata ya"
"Pasti ko pak. Oiya bapa, kita kelas berapa ya" seru Ara karena mereka hampir saja melupakan tujuan awal mereka menemui kepala sekolah anti menstream ini
"Oiya kalian IPS 4 ya 1 kls ko" balas pak Gugun karena ia pun lupa untuk memberitahukan kelas mereka
Naira, Zahra dan Ara menganggukan kepala nya mengerti
"Klo begitu kami permisi ya pa, makasih atas uang nya bapa baik banget" ucap Naira dengan menoel pelan dagu keriput pak Gugun
"Sering-sering ya pa kasih kita, soalnya kita sering bangen dihukum sama mami papih gak dapet uang jajan" timbal Ara dengan mencubit pelan pipi keriput pak Gugun
"Makasih ya pak" Aza hanya mengedipkan sebelah mata nya saja
"Iyaiya sana kalian pergi nanti telat loh"
Mereka beruntung biasanya om om yg sering mereka jaili, rata rata memiliki otak mesum, padahal sudah berkarat tidak ingat umur memang.
••_••
Manik tajam nan dingin itu menelusuri seluruh koridor sekolah, mencari papan nama yg bertuliskan XII IPS 4 kelas yg di tuju nya. Dan kelas itu berada di ujung koridor.
Tok tok tok
Pintu terbuka memperlihatkan guru muda berusia 26 tahun, dengan hijab menghiasi kepala nya. "Ohh kalian murid baru ya?" Seru guru itu. Mereka mengangguk.
Ketukan sepatu yg bersahutan membuat keheningan di dalam kelas XII IPS 4. Kelas yg terkenal dengan murid nya yg sudah diatur. Seketika kelas yg berisik menjadi sunyi akibat ketukan sepatu Naira dan teman teman nya.
"Nah anak anak, perkenalkan mereka murid baru di kelas ini perkenalkan diri kalian masing masing ya" ucap nya.
"Hai perkenalkan nama gue Arabella cahaya Anderson, panggil Ara juga gak papa." ucap Ara dengan nada polos nya.
"Azahra Priyanka Atmaja, biasa dipanggil Aza" imbuh Aza.
"Naira Zanna Syaquilla" singkat jelas padat. Ciri khas seorang Aira.
"Aduh neng geulis geulis amat si, akang boleh ke rumah sama keluarga akang engga, buat ngelamar eneng"
"Jangan judes judes woi kan babang makin sayang"
"Aaaa Ara imut bat sumpah"
"Najis bitch!!"
"Ewh bat si ngapain juga sekolah nerima cewe cewe yg sombong kaya mereka"
Salah satu murid terkocak di kelas itu mengangkat tangan nya, sontak 1 kelas menanti pertanyaan lelaki yg dijuluki badut nya IPS 5
Semua hening. Lelaki itu menampilkan cengiran bodoh sambil berucap. "Bu saya boleh engga nikahin tiga tiga nya?" Ucapnya dengan percaya diri.
"Yeee kebiasaan bu si jamet mah, gak bisa liat yg bening dikit" ujar lelaki berkacamata yg berada di sebelah nya.
"Iri bilang babu". Seisi kelas kembali ricuh. Aira menulikan pendengeran nya dan terus menatap lurus kedepan.
"Nama saya Aisyah Putri, wali kelas kalian mulai sekarang, kalo gitu Naira, Aza dan Ara kalian boleh duduk di bangku belakang ya" seru nya. "Iya bu" jawab mereka serempak
Naira duduk sendirian, sedangkan Ara dan Aza berdua. Memang sejak dulu Aira tidak mengizinkan orang lain untuk menjadi teman sebangku nya.
"Baiklah, mari kita lanjutkan pelajaran yg tertunda tadi, letak indonesia bla bla bla"
"Ai lu laper kaga" bisik Ara
Suara bisik-bisik terdengar di telinga Aira, menghentikan kegiatan Aiira melihat keluar jendela yg sedang memperlihatkan awan mendung dengan gumpalan awan berwarna hitam.
Aira menoleh "Iya njir gua laper lu bawa makanan kaga, biasanya kan isi tas lo itu kaya supermarket, komplit ama jajanan" seru Aira.
"Yeeee dugong giliran makanan aja lu cepet" kesal Ara
Ara mengeluarkan makanan ringan dari dalam tas nya yg berisi citato, lays, happytos, dsb. Sekarang meja Aza dan Ara sudah penuh dengan makanan yg dikeluarkan Ara.
"Za lu mau kaga, ni dari tadi loyo amat udah kaya sarung nya pak mimin lu" ledek Ara. Pak mimin itu sopir pribadi nya Aza atau Azahra.
Aza menggelengkan kepala nya melihat meja itu sudah terisi oleh banyak nya makanan. "Ra-ra lu kapan si kurus nya, bawa makanan banyak mulu" heran Aza
"Heh maimunah suka suka gue dong ko lu yang sewot, toh juga lu ikutan makan kan" skak Ara yg mampu membuat Aza tertawa pelan.
Sedangkan di sisi lain Aira menikmati makanan nya dengan hikmat "Ayo teruskan generasi roy kiyoshi perdebatan ini saya sangat suka" ujar Aira.
"Si bangsul TikTak bagian gue aerrrrr!! Hueee mamah tiktak Ara di makan aer comberan huee" tangis Ara
Bu Aisyah yg tengah mengajar menghentikan kegiatan mencatat di papan tulis dan menengok ke belakang, lebih tepat nya ke bangku Aira dll.
Melihat kelakuan murid baru nya membuat Bu guru berhijab itu naik pitam. "Ara Naira Zahra, keluar kalian dari kelas saya!! Hormat dilapangan bendera sampai istirahat pertama!"
Bu Aisyah memang terkenal akan kelembutan nya dalam mengajar. Tapi jika ada siswa yg berani makan di kelas ia akan segera menerima hukuman.
Aira berdecak. "Ck lu si berdua gua lagi enak enak makan juga tai lo!" Kesal Aira
"Dah-dah banyak cincong kau lah, mending ke luar adem liat spesies cogan kali aja banyak di sekolahan ini" jawab Aza
"Nah betul banget tuh aer zimbabwe jum kita ke lapangan je la" timbal Ara menggunakan kosa kata kembar botak.
Ketiga nya keluar dari kelas tanpa memperdulikan adanya guru yg tengah mengajar, sontak 1 kelas melongo melihat nya.
••_••
Aira berhenti di tengah lapangan, manik kecoklatan nya melihat bola besar berwarna oranye yg tergeletak di bawah ring basket, tanpa membuang waktu Aira mengambil bola itu dan memainkan nya.
Tuk tuk tuk
Aira melakukan shoot dari jarak jauh dan bola berhasil masuk dengan sempurna ke dalam ring basket. Ara dan Aza yg melihat skill Aira hanya mendengkus. Lagi dan lagi karena bola oranye itu mereka tidak dipedulikan.
Aira atau yg biasa di panggil Ai oleh kedua sahabatnya adalah gadis super aktif jika menyangkut soal bola basket, dia akan lupa waktu dan lupa dunia jika sudah memegang bola oranye itu.
Aira terus memantulkan bola basket itu ke dalam ring dan tidak ada satu pun bola yg meleset.
Tapi ternyata perkiraan Aira salah. Bola yang seharus nya masuk ke dalam ring melambung tinggi ke arah lain, lebih tepat nya mengenai botol minuman yg sedang dipegang oleh salah satu lelaki yg tengah berkumpul ditepi lapangan.
Aira panik melihat nya. "Mampus gue!" Ujar nya, karena selama ia bersekolah ia jarang berhubungan dengan laki laki. Apa lg mencari masalah seperti sekarang
"Anjing!! Siapa yg ngelempar bola woi" ucap laki laki itu.
Ia kesal, kegiatan nya yg tengah meminum kopi hangat harus terhentikan dengan kedatangan bola dari tengah lapangan, dan parah nya menumpahkan cairan kafein itu ke bagian bawah seragam yg tidak ia masukan ke dalam celana
"Wah nyari ribut dia sama Si alpabet" ucap teman nya yang berkulit sawo matang.
"Arah jam 9 lapangan basket" timbal laki laki berparas tampan teman nya juga
TBC
[Gabriel's POV]The weight of my new role as alpha pressed heavily on me, a mix of uncertainty and an odd sense of acceptance swirling within. My fingers involuntarily tangled in my hair as I muttered to myself, questioning my own actions. What had I done? I hadn't sought this title, yet there was an undeniable allure to it that I couldn't ignore.With a deep breath, I approached the gathered pack members, their hushed murmurs and whispered conversations dying down as I cleared my throat. Their expectant faces turned toward me, waiting for words that I wasn't entirely sure of myself. Gathering my thoughts, I began to speak."Today has been a long day," I started, my voice resonating with a mix of exhaustion and determination. "But with your support, we've taken down Jake, the one responsible for Marcus' disappearance and betrayal." I could feel their eyes on me, their attention unwavering. "However," I continued, "we can't let emotions dictate our actions."I paused, the weight of my
[Gabriel's POV]Amidst the gathering dusk, the tension crackled in the air as accusations flew. Jake's voice rang out, venom dripping from his words as he accused me of being a traitor. His words struck like daggers, and I knew I had to defend myself."I'm not a traitor," I retorted, my voice unwavering despite the chaos that was unraveling around us. The gathered pack members watched, divided between curiosity and apprehension.The argument escalated rapidly, the anger between us igniting like a wildfire. Jake's face contorted with rage as he lunged, his transformation into his wolf form both intimidating and terrifying. I braced myself as his powerful blow sent me hurtling into the air, my instincts kicking in to right myself before I landed.In an instant, my own wolf took over, and I met Jake's ferocity with equal force. Our bodies clashed, fur and muscle colliding as we fought tooth and nail. It was a battle of strength, strategy, and a desperate drive to prove my innocence.The
[Lowell's POV]Some of the pack members exchanged wary glances, unsure of what to make of the situation. Gabriel's ability to elude them raised doubts about Jake's leadership."You're a traitor!" Jake roared, pointing an accusing finger at Gabriel. "You betrayed us!"Gabriel's expression turned serious, and he spoke with conviction, "I'm not a traitor. I never did anything he must have told you," referring to the crowd who stood still in awe.Jake scoffed, refusing to believe Gabriel's words. "You're a cunning liar! You were the last one seen with him!"Gabriel's eyes flashed with frustration, but he maintained his composure. He turned towards the gathering, his voice charged with anticipation. "You're all itching to uncover the mystery of Marcus, aren't you?" He gestured dramatically, his finger pointing directly at Jake, whose anger had erupted like a tempest. "Then ask him." The clenching of his trembling hands, stark against his furious demeanor, gave insight into the turmoil he c
[Gabriel's POV]When Jake first mentioned that we might have to wait until nightfall if his spies failed to locate Gabriel, I didn't take it seriously until now. It had been more than three hours since we gathered in this hideout, and the sun's relentless rays were beating down on us. I occasionally glanced around at the tired and yawning members, including myself, who were growing more restless by the minute. Diana had been keeping me company, but even her presence couldn't distract me from the rumbling in my stomach.As the sun rose higher in the sky, the hunger became more pronounced, and I knew I couldn't wait until noon, my usual breakfast time. Nathan, one of our pack members, finally approached the group, with a pen and a book, asking if anyone was hungry and collecting money to buy lunch. I considered giving him my last five dollars, but then I realized it was my only transport fare, and I couldn't risk being stranded after the meeting. I tried to play it cool, hoping Nathan w
The pressure in the meeting room was suffocating as Nathan and his group collected everyone's cellphones, searching for any hidden devices and dealing harshly with those who attempted to conceal theirs. The fear and tension were palpable as we all knew Jake could be ruthless. They were thorough, even breaking the noses of those who tried to hide their phones. I felt a pang of fear and anxiety as they came closer to me, but I had to remain calm and collected.Once all the cellphones were confiscated, Jake addressed the pack again, his voice filled with authority and threat. He mocked those who had tried to hide their phones, questioning their next move. "Was it to call the human police as if they stood a chance against werewolves? Or was it to call Gabriel, the traitor they were all after?"My heart pounded in my chest as Jake mentioned the consequences of Gabriel fleeing before being caught. If that happened, he would assume there was a spy amongst us and go through every member's cel
[Lowell's POV]Waking up early the next day, I began going about my chores, trying to clear my mind from the anxiety that lingered. Gabriel had returned to the city, and I couldn't help but wonder what changes he might have made to the plan. As I was lost in my thoughts, my phone beeped, and I saw a message from Alpha Jake. It sent shivers down my spine as it mentioned an urgent meeting at 10. The coincidence was too unsettling.Without wasting any time, I dialed Gabriel's number and called him, my heart pounding in my chest. I quickly relayed the message about the meeting and my apprehension about the timing. Gabriel's calm voice came through the phone, and he informed me that Lewis had already informed him about it. He asked me to head to the meeting and give him feedback on whatever announcement Jake made.Arriving at the Silver Crescent Inn, I found myself there ten minutes ahead of schedule, just like before. However, this time, neither Jake nor Marcus's mate had arrived yet. The
[Rachel's POV]As I finished my evening sprint around the large compound, my mind was still filled with a whirlwind of emotions. Gabriel's call earlier had left me feeling lost and confused. I couldn't fully comprehend the situation among his pack, and I desperately needed his explanations. Trying to push aside troubling thoughts, I focused on my exercise, something common among pack members but not usually done in the evening like I was doing. I was determined to distract myself from the turmoil in my heart.As I jumped over one of the roadblocks that were set up for pack members' races, my ankle landed awkwardly, causing a sharp pain. I whispered to myself, "Not again," knowing that I had dislocated it. Sarah, my friend and confidant, ran up to me with concern evident in her eyes. She had been recording my jumps over the roadblocks, and now she was more worried about my well-being. I tried to stand up and walk normally, pretending that I was okay, but it was clear I needed help.We
The clock was ticking towards the night, and the sky looked like the full moon would be out tonight as I hurriedly made my way to the clothing store. I needed to find the perfect birthday present for Rachel. I could vividly recall Rachel gazing at a garment as we strolled together before Jake and his troubles came into our lives. The store was called "Enchanted Wardrobe," and it was known for its exquisite collection of dresses and elegant attires.As I stepped inside, the air was filled with the aroma of fresh fabrics. My heart pounded with excitement and nervousness as I scanned the racks of beautiful dresses. I recalled Rachel staring at one dress on our previous visit, and I thought that would be the perfect choice. But as I looked around, I found myself surrounded by numerous stunning dresses, each vying for my attention.Confused, I decided to seek help from the seller. "Excuse me," I called out to a friendly-looking woman behind the counter. "My girlfriend loved one of the dres
[Gabriel's POV]As I stepped off the bus and returned to the city, my heart pounded with a mix of excitement and anxiety. I knew I needed to be cautious, as the plan with Lowell and Lewis required precise timing, but the worry for Rachel's safety weighed heavily on my mind. I hailed a cab and instructed the driver to drop me off a fair distance away from my apartment, fearing that Jake's accomplices might be lurking nearby, waiting for any sign of me.As I approached my apartment building, I closed my eyes and focused on my senses, trying to detect any presence of fellow lycans. Thankfully, there were none, so I proceeded cautiously, not wanting to take any chances. However, when I reached my apartment door, I noticed that the handle had been tampered with, a clear sign that someone had broken in.My heart raced as I entered my once neat and organized apartment, now a chaotic mess. Expensive belongings were scattered around, and my clothes lay in disarray inside the wardrobe. I search
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments