Share

Bab 6 : Masa Lalu

Kabut tipis menyelimuti kota setelah hujan menambah sejuk akan suasana yang tersaji pada kehidupan.  Air yang tertampung pada dedaunan berlomba untuk turun jatuh ke bumi berkumpul dengan yang lain. Aktivitas kota kembali aktif  berjalan yang tadinya sempat terhenti karena hujan. Kendaraan mulai ramai memadati pusat kota yang tadinya dalam sekejap menjadi sunyi. Aktivitas manusia yang terus berjalan dari masa ke masa dan turun menurun tidak pernah berhenti hingga teknologi mengalami kemajuan dengan pesat dan cepat, tapi manusia tetap saja merasa tidak pernah puas dengan hasil yang diperoleh.

Senin, 1 Januari 2035 pukul 10.00 am pagi hari, di lembaga penelitian pusat provinsi devisi Fisika Komputasi. 

"Sati gimana proyek penelitian perkembangan obat terbaru yang diluncurkan perusahan farmasi Salam, apakah mengandung bahan berbahaya?" Viya yang duduk di belakang Sati karena meja kerja yang saling membelakangi.

"Sementara ini saya belum menemukan ada bahan berbahaya bagi tubuh." Sati menyampaikan kesimpulan dari hasil uji coba yang dilakukan timnya di laboratorium.

"Berarti obat itu aman untuk dikonsumsi?" Vinya menanyakan kejelasan Sati.

"Sepertinya begitu Viya."

"Kenapa sepertinya?" Viya bertanya kembali kepada Sati karena seakan ragu dengan pencapaian yang diperoleh.

"Karena saya masih ragu." Ternyata benar insting viya bahwa Sati masih ragu.

Keduanya mengobrol sambil mengerjakan pekerjaan masing-masing di komputer yang ada dihadapan keduanya. Dua orang sahabat yang memiliki hobi musik yang sama merupakan patner kerja di tempat yang sama dan pada devisi yang sama. Merupakan teman kuliah dahulu dijurusan yang sama.

"Sati, bagaimana jadi nanti malam diner dengan Aries?" Bertanya dengan nada serius dengan tetap mengerjakan pekerjaan di layar komputer.

"Tentu jadi, kami sudah lama tidak bertemu." Sati selalu senang mendengar tentang Aries.

"Kamu bisa tahan ya Sati berbulan-bulan dia tidak ada kabar. Jika saya berada di posisi kamu pasti pacar saya sudah saya habisi atau saya tinggalkan cari pacar baru." Menegaskan dengan kata-kata bahwa betapa bodohnya sahabat yang dimiliki.

"Jangan Viya." Merasa keberatan dengan cara Viya memperlakukan pacar jika dalam situasi yang sama.

"Ekhm.... Yang pacaran tujuh tahun, seperti kredit mobil aja. Jika saya benar ambil kredit mobil sudah dapat dua." Dengan nada sindiran agar Sati lebih bijak pada hubungannya.

"Apaan.... Nyindir terus."

"Iya minta kepastian Sati, jangan nyaman-nyaman aja diajak terus pacaran, seorang wanita butuh dihalalin bukan hanya dipacarin. Sorang wanita pasti ingin menjadi istri, memiliki seutuhnya dan tanpa batas dalam setiap melakukan hal mengenai dirinya." Memberikan pandangan kepada Sati untuk memperjelas hubungannya.

"Iya... Iya mama tersayang." Dengan nada sindiran.

"Sejak kapan saya jadi mama kamu?" Viya merasa tidak setuju dengan sindiran dari Sati.

"Sejak kebawelan kamu mulai keluar, seperti tante-tante yang memiliki banyak anak." Memutar kursi melihat ke arah Viya.

"Sati awas kamu ya." Viya membalikkan kursi dan menggelitik sati yang duduk di belakangnya kini menghadapnya, ruangan dipenuhi oleh suara tertawa keduanya.

"Iya nanti malam saya akan tanya kejelasan kembali ke dia tentang hubungan kita." Sati mencoba menenangkan rasa kawatir sahabatnya terhadap dirinya.

"Ok"

"Siap." Tangan sati horma kepada Viya dengan senyuman manis. 

Tiba-tiba atasan devisi masuk ruangan, menyebabkan Sati dan Viya buru-buru ketempat masing-masing untuk melanjutkan kerja. Keduanya hanya dapat tersenyum kecil dengan tingkah laku masing-masing.

Restoran Seafood bergaya romantis pada pukul 09.00 pm malam hari. Bintang-bintang bersinar dengan cahaya maksimal seakan menyambut hari yang menegangkan. Suara musik mendayu menambah suasana romantis di dalam restoran. Sati dan Aries duduk berhadapan yang dihalangi oleh meja tepat berada di tengah ruangan. 

"Sayang, saya masih tidak percaya kamu mengajak untuk makan di sini. Biasanya jika ada waktu kita bertemu, makan di cafe atau warung di pinggir jalan. Tapi sekarang kita makan di restoran mewah." Sati merasa takjub atas keberhasilan Aries dalam pekerjaan yang menghasilkan pemberian nyata.

"Kamu senang?" Memancarkan tatapan hangat yang selalu dirindukan Sati.

"Saya sangat senang, terima kasih sayang." Menyentuh tangan Aries yang berada di atas meja.

"Iya sayang, tidak apa-apa. Saya ingin minta maaf kepada kamu, tiga bulan saya tidak bisa memberi kabar kepada kamu karena semenjak saya naik pangkat saya sangat sibuk dengan semua pekerjaan yang ada." Menjelaskan dengan tenang situasi yang sedang dihadapi di dunia kerja.

"Tidak apa, saya paham. Kamu sibuk di pusat ibu kota negara untuk melindungi rakyat. Seperti biasa saya akan selalu sabar menunggu kamu." Dengan polos menjawab penjelasan yang baru didengar.

"Terima kasih sayang, ayo kita makan dulu nanti makanan  yang disajikan akan menjadi dingin." Memberi isyarat dengan menatap makanan di atas meja bahwa siap untuk disantap.

"Iya sayang." 

Sati dan Aries memakan dengan perlahan tapi pasti, tanpa berbicara antara keduanya karena adab makan menjadi alasan kuat untuk diam saat makan. Setelah selesai makanan utama datang makanan penutup yang tersaji di atas meja. Ice cream rasa Vanila yang sangat disukai Sati dan kue karamel sebagai pasangan pencuci mulut. Sedangkan Aries hanya memesan teh yang harumnya tercium sampai ke hidung Sati. 

"Bagaimana makanannya?" Menanyakan pendapat Sati atas fasilitas yang tersaji di malam luar biasa.

"Enak banget."

"Makanan penutup ini kesukaan kamu"

"Kamu masih ingat dengan makanan dan minuman kesukaan saya." Sati berfikir karena lama tanpa kabar, Aries akan melupakannya.

"Tentu saja, silakan dimakan."

"Iya." Sati memakan dengan lahapnya, hingga sati berhenti makan kue, ketika ingat dengan perkataan Viya.

"Saya ingin berbicara serius kepada kamu." Mengelap bibir dengan tisu menandakan mengakhiri makan.

"Berbicaralah." Mempersilakan dengan sopan.

"Saya ingin tanya lagi keseriusan kamu terhadap saya, kapan kamu akan mendatangi orang tua saya untuk melamar." Untuk kesekian kalinya Sati meminta kepastian kepada Aries.

"Hmm.. Bukannya saya tidak ingin menikah dengan kamu, tapi kamu tahu saya selalu sibuk dengan pekerjaan saya yang tidak dapat ditinggal." Memberikan alasan yang tetap sama seperti dahulu, masalah pekerjaan yang belum bisa mengambil cuti.

"Saya tahu seperti apa situasi kamu,, tapi..." Sati terus mendesak Aries untuk mengambil sikap tegas pada hubungan yang sudah lama terjalin.

"Baiklah sayang, sepertinya saya tidak bisa memendam ini lebih lama lagi. Maafkan saya sayang, saya harus bilang hal ini kepada kamu, rencananya saya ingin menyampaikan sebelum saya pulang besok ke pusat ibu kota negara. Saya ingin bilang di bandara, tapi saya tidak menyangka harus berbicara lebih cepat dari yang saya rencanakan." Menatap mata Sati dengan tatapan serius.

"Apa?" Firasat tidak enak mulai mengusai Sati.

"Saya merasa hubungan kita cukup sampai disini." Masih menatap Sati dengan serius, untuk meyakinkan keinginan untuk terlaksana.

"Apa?!!!!" Sati berteriak karena kaget mendengarkan perkataan Aries yang menyebabkan orang-orang disekitar memusatkan pendangan ke arah mereka berdua.

"Pelankan suara kamu, semua orang melihat kita."

"Apa salahku?" Air mata mulai menurun ke pipi tanpa disadari.

"Kamu tidak ada yang salah, tapi kita memang harus mengakhiri semua ini." Menegaskan kembali perkataan yang diucapkan.

"Mengakhiri kamu bilang? Kamu fikir tujuh tahun waktu yang sebentar bagi saya menjalani hubungan kita? Selama itu saya percaya dan menghabiskan waktu saya hanya untuk kamu yang pada akhirnya menyia-nyiakan saya seperti ini?" Sati mengomel menumpahkan kekecewannya kepada Aries, pria yang sangat dicintainya.

"Sati maafkan saya." Meminta maaf atas keputusan yang diberikan tapi tidak dengan nada penyesalan.

"Maaf.... Maaf... Kamu tidak tahu seperti apa perasaan saya saat ini?"

"Saya sangat tahu Sati, maka dari itu saya meminta maaf kepada kamu."

"Saya sangat mencintai kamu Aries, jika ada sikap saya yang tidak kamu suka akan saya perbaiki. Tapi tolong jangan akhiri hubungan kita." Mencoba memohon kepada Aries.

"Maafkan saya Sati."

"Jadi ini adalah pesta perpisahan kita? Kamus sengaja buat sangat romantis agar menjadi perpisahan termanis? Tega kamu Aries." Air mata terus menetes tanpa tanpa bisa dikendalikan.

"Maafkan saya Sati." Tiba-tiba smartphone Aries berdering, sebuah inbox pesan masuk, ketika selesai membaca memaksa Aries untuk segera pergi meninggalkan Sati di restoran.

"Sati saya harus pergi, maaf tidak bisa mengantar kamu pulang. Saya harus pergi."

Aries pergi dengan terburu-buru seakan pesan di smartphonenya lebih penting dari pada Sati. Langkah Aries terhenti ketika mendengar panggilan Sati yang mencoba mengejar kepergiannya berjalan ke pintu keluar.

"Aries...!! Aries.....!!"

Aries berbalik badan memandang Sati yang tepat berdiri di belakangnya.

"Kamu bercandakan?!" Dengan nada keras berkata kepada Aries.

"Saya tidak bercanda, saya serius dengan perkataan saya. Tolong pahami dan maafkan saya." Wajah Aries berubah sangat dingin dan berbicara dengan nada datar tapi sedikit keras. Sati sangat paham dengan keadaan seperti ini bahwa Aries sedang serius dengan perkataan dan sikapnya. 

Aries meninggalkan Sati yang berdiri diam di pintu masuk restoran, memasuki mobil yang diparkiran  di area parkir. Aries pergi tanpa rasa bersalah, sedangkan Sati hanya melihat kepergian cintanya dengan air mata sampai mobil Aries tidak terlihat lagi. Sati masih terdiam di depan gedung restoran dengan tidak percaya pada situasi yang terjadi. Semua ini seperti mimpi bagi Sati. Tangisan tidak bisa terhenti sepanjang perjalanan pulang yang diantar oleh taksi.

Sati menjadi tidak terkendali, gelombang fikiran Sati terus berada dalam zona alam bawah sadar mengakibatkan melamun adalah aktivitas utama yang diselingi oleh aktivitas lainnya. Masih tetap tidak percaya dengan yang terjadi tadi malam, cinta yang ditunggunya selama tujuh tahun dengan kesetian telah membuangnya begitu saja tanpa adanya alasan yang jelas. Mobil merah yang dikendalikan melaju dengan kecepatan sangat cepat. Semangkin mengingat pristiwa yang terjadi membuat Sati tanpa sadar menaikkan kecepatan sampai batas maksimum. Lamunannya dikejutkan oleh seorang anak  berjarak delapan meter yang akan menyebrang. Memaksa Sati untuk rem mendadak yang mengakibatkan tabrakan beruntun bagi pengendara yang di belakangnya hingga memakan banyak korban. Bahkan ada korban yang mati di tempat karena luka parah yang dialami. Anak kecil perempuan langsung berlari dari pandangan Sati, dia sangat ketakutan dengan yang terjadi.

Pukul 09.00 am pagi hari pristiwa kecelakaan yang tidak bisa dilupakan Sati. Rasanya dunianya telah hancur dan kematiannya telah dimiliki saat kecelakaan yang terjadi. Kini hidupnya hanya perjalanan yang tidak pasti bersama mayat hidup lainnya.

💎💎💎

"Jadi kamu kecelakaan hanya karena seorang cowok?" Hans tertawa kecil karena merasa sangat tidak pantas untuk seorang wanita berpendidikan menangis apalagi melakukan hal bodoh karena seorang pria.

"Saya sangat mencintai dia, dia adalah kehidupan saya." Melakukan pembelaan atas rasa cinta yang dimiliki.

"Sati di dunia ini banyak cowok, bukan hanya dia seorang."

"Entahlah, tapi yang saya tahu saya sangat mencintai dia." Mencoba kembali melakukan pembelaan.

"Memang susah jika sudah cinta, ingin berkata lain juga percuma. Saya tidak bisa lagi menasehati kamu." Hans angkat tangan masalah perasaan yang ada di hati Sati.

Sati melamun mengingat dengan baik apa yang sedang terjadi di dalam hidupnya yang sangat kacau.

"Sati, fokuslah." Hans mencoba mengingatkan yang menjadi tujuan utama saat ini.

"Maaf, saya tidak profesional." Berkata dengan nada lemah.

"Tidak apa." Menyerahkan air minum mineral untuk diminum oleh Sati agar jiwa kembali tenang.

"Terima kasih." Meminum air tanpa menyisahkan setetes air dalam botol.

"Jadi gimana, kamu sudah menetapkan manusia terinfeksi mana yang akan menjadi bahan percobaan kita?" Kembali pada tujuan utama mencari manusia terinfeksi untuk bahan percobaan dan mengalihkan pikiran Sati untuk tidak bersedih mengingat waktu yang sudah berlalu.

"Maaf, saya hampir lupa."

"Tidak apa-apa."

Sati dan Hans melihat ke arah keluar, mencari manusia terinfeksi yang bisa untuk dijadikan bahan uji coba. 

Sati melihat dari kiri ke kanan, dan dari kanan ke kiri dengan pandangan teliti. Mata Sati terjanggal pada seorang pria yang memakai jaket berwarna coklat dan memakai topi hitam dengan celana jeans memakai sandal di parkiran rumah sakit. Sati memandang pria manusia terinfeksi itu karena sikapnya aneh tidak seperti manusia terinfeksi lainnya. 

"Menghindari cahaya matahari? Bagaimana mungkin, setiap manusia terinfeksi lain selalu berjalan tidak teratur, tidak perduli panas atau tidak. Tapi kenapa dia berlindung di bawah pohon karena takut sinar matahari?" Sati lebih fokus kepada pria tersebut karena takut salah yang dilihatnya, tapi hasilnya tetap sama pria tersebut tidak mau melangkah keluar, dan setiap melangkah keluar dari  bayangan pohon akan kembali lagi berada di dalam bayangan seperti takut terkena panas matahari.

"Bukannya mereka peka terhadap cahaya?" Sati berfikir keras sendiri di dalam hati.

"Sati, kamu sudah tentukan?" Hans bertanya. Sati tidak mendengar pertanyaan Hans karena masih tetap fokus kepada pria berjaket coklat dan memakai topi hitam.

"Sati!!" Dengan nada keras memanggil membuat Sati terkejut.

"Hah!! Iya!" dengan refleks menjawab.

"Kamu sudah menemukan manusia terinfeksi mana yang akan kita uji coba?" Bertanya kembali kepada Sati yang rasanya kebanyakan melamun.

"Iya sudah, yang itu." Menunjuk dengan satu jari ke arah pria berjaket coklat dan memakai topi hitam.

"Wanita berbaju pink?" karena terlihat oleh pandangan mata Hans seorang wanita.

"Bukan, seorang pria yang dibawah pohon." Menunjuk kembali menggunakan satu jari ke arah pria di bawah pohon.

"Pria?" memandang Sati dengan penuh tanya

"Iya."

"Pria yang memakai jaket coklat dan topi hitam itu?" Kini Hans memandang dengan tepat sasaran.

"Benar."

"Kenapa dia?" Pertanyaan yang sangat membingungkan dari Hans.

"Karena menurut saya dia yang pantas."

"Karena dia tampan?"

"A...apa maksudnya?" Sati menjadi grogi mendengar pertanyaan Hans.

"Iya siapa saja yang memandang pria itu pasti tahu kalau dia putih, tinggi tampan dan sepertinya badannya juga bagus." Memuji pria tampan yang sudah terinfeksi.

"Saya tidak melihat fisiknya, saya hanya...." Tiba-tiba pembelaan Sati terhenti.

"Hanya apa? Jangan bilang kamu jatuh cinta pandangan pertama pada pria yang terinfeksi, yang tidak tahu kejelasannya masih hidup atau mati." Dengan nada sindiran.

"Iya tidaklah, saya memilih dia karena dia berpotensi."

"Hmmm.... Berpotensi?"

"Intinya dia yang cocok, cepat ambil dia dan bawa ke laboratorium sebelum dia pergi dari bawah pohon dan melangkah jauh dari pengawasan kita." Membujuk agar cepat melakukan tugas.

"Saya belum ada ide bagaimana cara membawa dia ke Laboratorium. Pasti sangat sulit membawa kemari." Memperhitungkan hal-hal yang membahayakan untuk dihadapi jika keluar.

"Benar juga karena jiwa liar mereka pasti memberontak." Mengingat penyerangan yang terjadi waktu di ruang ICU.

"Jika kita melakukan penelitian di luar lebih tidak mungkin." Hans memberikan ide tapi membantah balik ide yang dimiliki.

"Di luar bagaimana?" tanya Sati penasaran.

"Maksudnya kita akan sunktikan vaksin beberapa jam sekali tapi dia tetap di luar, atau kita ikat saja dia di pohon. Tapi jika kitabmelakukan hal itu sama saja bunuh diri, karena mereka manusia terinfeksi terlalu banyak di luar."

"Jika tidak memungkinkan di luar bawa saja dia kemari." Memperjelas keinginan Sati. 

"Saya akan memikirkan cara untuk membawa dia ke ruangan, karena dia tidak mungkin pingsan jika dipukul seperti manusia normal pada umumnya. Jika dia dipukul dan  pingsan pasti akan lebih memudahkan membawa ke ruangan." Hans berkhayal jika saja pria itu manusia normal pada umumnya.

"Benar."

"Untuk sementara lakukan saja tugas kamu Sati."

"Tugas?" Sati merasa hilang hingatan, atau memang tidak ada tugas yang harus dilakukan.

"Tugas merekam do'a-do'a kamu dari ayat suci, karena kita ingin melakukan uji coba metode suara juga."

"Maaf saya lupa." Merasa sangat pikun.

"Gunakan smartphone saya untuk merekam, sedangkan saya akan mencari cara agar dia bisa di bawa keruangan dan bagaimana cara dia tidak membahayakan kita di ruangan."

Sati hanya mengangguk menyatakan persetujuan atas kesepakatan yang sudah ditentukan. Sati dan Hans terus mencari cara untuk membawa pria manusia terinfeksi agar tidak membahayakan keduanya. Untuk tidak mengundang perhatian lainnya saat membawa pria terinfeksi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status