Share

Catatan Keenam: Tenggara - Anak Perempuan yang Melarikan Diri (1)

Napas yang tersengal-sengal akibat kelelahan berseling dengan langkah kaki gontai yang menginjak genangan air lumpur tanpa memerdulikan cipratannya mengotori kaki telanjang. Seorang anak perempuan berbusana gaun tidur putih selutut tampak melangkah tergesa-gesa menerobos hujan lebat di antara pepohonan hutan. Pakaiannya telah basah kuyup, sementara warnanya telah berubah menjadi coklat lumpur. Tak terhitung sudah berapa kali ia terjatuh akibat tersandung akar pohon yang menonjol keluar, dan sebanyak itu pulalah ia bangkit berdiri dan terus berlari. 

“Ke mana anak itu lari? Cepat berpencar dan temukan dia! Jangan biarkan dia lolos!” teriak seseorang di tengah amukan petir yang menemani derasnya hujan di siang itu.

Sekelompok pengejar yang terdiri atas tiga puluh orang segera berpencar dalam jarak yang tidak saling berjauhan. Senapan di masing-masing tangan tampak terancung siaga siap menembaki target yang sedang mereka cari.

“Di sini! Dia ada di sini!” Seorang anggota berteriak seraya melepaskan beberapa tembakan ke depan. Rekan yang ada di dekatnya sigap bergerak menghampiri dan ikut serta dalam melumpuhkan anak perempuan yang melarikan diri itu. Beberapa butir peluru berhasil menyerempet lengan dan kaki, namun masih belum cukup untuk menghentikan langkah sang anak perempuan.

Si anak perempuan masih berusaha melangkah menjauh meski salah satu kakinya telah mengucurkan sangat banyak darah. Jaraknya dengan para pengejar mulai menyempit namun ia masih belum mau menyerah. Rencana pelarian ini sudah lama ia susun dan telah mempertaruhkan segalanya untuk hari ini. Ia tidak mau jika harus kembali ke neraka yang dulunya pernah menjadi rumah baginya! 

Sebuah rantai besi yang besar dan berat tiba-tiba terlempar dari arah depan dan mengenai dada anak perempuan malang itu. Sang anak perempuan seketika terempas jatuh ke tanah berlumpur. Pandangnya langsung berkunang-kunang, sedangkan rasa sakit dan sesak seketika menyeruak di rongga dada.

“Sekarang! Tangkap dia!” Perintah sang pemimpin. 

Tanpa perlu diperintah pun, beberapa pengejar telah bergerak cekatan mengunci pergerakan sang anak perempuan dengan rantai di tangan masing-masing. 

Kaget sekaligus tak berkutik. Anak perempuan itu diam tak melawan sewaktu pengejar melilitkan rantai ke tangan, kaki dan tubuhnya. Ia hanya bisa mengekspresikan semua kebencian melalui tatapan tajam dari sepasang mata dengan iris berwarna hijau.

“Lari ke arah perbatasan... apa kau berencana mencari kakakmu yang lebih dulu kabur tanpa membawamu?” tanya sang pemimpin dengan intonasi menghina. Sebatang rokok mulai dinyalakan dan dihisap dalam-dalam di tengah guyuran hujan lebat.

“Jangan lari lagi, Tuan Putri Claudia. Ke mana pun kau pergi, Tuan Eins pasti menemukanmu dan membawamu kembali. Dia tidak akan mengulang kesalahan yang sama dengan membiarkanmu kabur juga,” ujar sang pemimpin kelompok lagi.

Kata ‘kembali’ seketika membangkitkan bayang-bayang traumatis atas penyiksaan maupun perlakuan keji yang akan ia dapat jika dirinya dibawa pulang ke istana Kerajaan Ishlindisz. Mekanisme pertahanan diri dari alam bawah sadar seketika mencuat dan tanpa disadari, hal selanjutnya yang terjadi adalah sesuatu yang di laur dugaan.

Saat Claudia En Lacia Ishlindisz tersentak bangun, pemandangan di depan matanya tampak berbeda total dari yang terakhir kali ia ingat sebelum semuanya menjadi gelap. Tak ada lagi pengejar. Rantai yang mengekang dirinya pun terlepas entah bagaimana caranya. Senapan juga sudah tidak terancung mengancamnya. Saat ini yang ia lihat hanyalah hujan lebat, petir, darah dan gelimpang mayat milik para pengejar. 

Claudia tidak ingat apa yang baru saja terjadi satu menit yang lalu. Tapi jika melihat percabangan tulang-tulang lancip tajam yang mencuat keluar di kedua lengannya serta darah segar yang menetes di tiap ujung lancip, Claudia sudah bisa menebak apa yang telah ia perbuat karena hal serupa juga pernah terjadi. Ia tidak tahu kekuatan sinting macam apa yang ditanam oleh Eins Stewart ke dalam tubuhnya. Namun setiap kali batinnya terguncang oleh perasaan takut yang teramat sangat, maka monster gila itu akan keluar dan mengamuk sesuka hati tanpa kehendaknya.

Claudia merasa takut tapi juga bersyukur. Takut jikalau ia lepas kendali lagi dan melukai orang-orang tak berdosa. Bersyukur karena ia bisa lepas dari kejaran utusan Eins Stewart. Sang musuh yang sedang ia hindari untuk sekarang ini.

Claudia kembali menyeret kakinya menerobos hujan yang semakin deras. Tanah tempatnya berpijak telah berubah menjadi genangan lumpur lengket akibat bercampur dengan darah. Bahkan di beberapa titik tampak membentuk aliran sungai darah kecil yang bergerak menuruni lereng. Meski demikian, semua halangan itu belum cukup untuk meruntuhkan tekadnya demi pergi ke perbatasan paling utara di kontinen tenggara. Sedikit lagi, tinggal sedikit lagi ia bisa keluar dari tempat terkutuk ini dan pergi menemui kakaknya. 

Tapi baru beberapa meter ia berjalan, pandangan kembali buram. Kali ini disertai serbuan hawa menggigil yang menjalar dari punggung hingga ke setiap inci tubuhnya. Untuk sesaat Claudia sempat kehilangan tenaga dan mau tidak mau ia harus bertumpu pada sebatang pohon di samping kanan. Kepulan uap dingin keluar dari mulutnya sewaktu ia mengatur kembali napasnya agar lebih teratur. Rasa perih dan kram semakin terasa menyiksa kaki telanjangnya.

“Aku tidak boleh berhenti. Aku tidak boleh mati. Aku harus keluar dan mencari kakak,” ulangnya berkali-kali meski tahu tubuhnya sendiri sudah menyerah. Namun tekadnya belum padam.

Claudia kembali melanjutkan langkahnya menerobos hujan lebat di tengah-tengah hutan belantara yang tak diketahui ujungnya. Permukaan tanah semakin licin dan berlumpur, namun ia tidak peduli dengan segala kesulitan itu. Karena di depan sana ada harapan. Secercah harapan yang masih terus ia genggam erat-erat sebagai satu-satunya alasan untuk hidup.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status