Beranda / Fantasi / The North Compass / Catatan Keenam: Tenggara - Anak Perempuan yang Melarikan Diri (1)

Share

Catatan Keenam: Tenggara - Anak Perempuan yang Melarikan Diri (1)

Penulis: Boo Tao
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-10 15:06:07

Napas yang tersengal-sengal akibat kelelahan berseling dengan langkah kaki gontai yang menginjak genangan air lumpur tanpa memerdulikan cipratannya mengotori kaki telanjang. Seorang anak perempuan berbusana gaun tidur putih selutut tampak melangkah tergesa-gesa menerobos hujan lebat di antara pepohonan hutan. Pakaiannya telah basah kuyup, sementara warnanya telah berubah menjadi coklat lumpur. Tak terhitung sudah berapa kali ia terjatuh akibat tersandung akar pohon yang menonjol keluar, dan sebanyak itu pulalah ia bangkit berdiri dan terus berlari. 

“Ke mana anak itu lari? Cepat berpencar dan temukan dia! Jangan biarkan dia lolos!” teriak seseorang di tengah amukan petir yang menemani derasnya hujan di siang itu.

Sekelompok pengejar yang terdiri atas tiga puluh orang segera berpencar dalam jarak yang tidak saling berjauhan. Senapan di masing-masing tangan tampak terancung siaga siap menembaki target yang sedang mereka cari.

“Di sini! Dia ada di sini!” Seorang anggota berteriak seraya melepaskan beberapa tembakan ke depan. Rekan yang ada di dekatnya sigap bergerak menghampiri dan ikut serta dalam melumpuhkan anak perempuan yang melarikan diri itu. Beberapa butir peluru berhasil menyerempet lengan dan kaki, namun masih belum cukup untuk menghentikan langkah sang anak perempuan.

Si anak perempuan masih berusaha melangkah menjauh meski salah satu kakinya telah mengucurkan sangat banyak darah. Jaraknya dengan para pengejar mulai menyempit namun ia masih belum mau menyerah. Rencana pelarian ini sudah lama ia susun dan telah mempertaruhkan segalanya untuk hari ini. Ia tidak mau jika harus kembali ke neraka yang dulunya pernah menjadi rumah baginya! 

Sebuah rantai besi yang besar dan berat tiba-tiba terlempar dari arah depan dan mengenai dada anak perempuan malang itu. Sang anak perempuan seketika terempas jatuh ke tanah berlumpur. Pandangnya langsung berkunang-kunang, sedangkan rasa sakit dan sesak seketika menyeruak di rongga dada.

“Sekarang! Tangkap dia!” Perintah sang pemimpin. 

Tanpa perlu diperintah pun, beberapa pengejar telah bergerak cekatan mengunci pergerakan sang anak perempuan dengan rantai di tangan masing-masing. 

Kaget sekaligus tak berkutik. Anak perempuan itu diam tak melawan sewaktu pengejar melilitkan rantai ke tangan, kaki dan tubuhnya. Ia hanya bisa mengekspresikan semua kebencian melalui tatapan tajam dari sepasang mata dengan iris berwarna hijau.

“Lari ke arah perbatasan... apa kau berencana mencari kakakmu yang lebih dulu kabur tanpa membawamu?” tanya sang pemimpin dengan intonasi menghina. Sebatang rokok mulai dinyalakan dan dihisap dalam-dalam di tengah guyuran hujan lebat.

“Jangan lari lagi, Tuan Putri Claudia. Ke mana pun kau pergi, Tuan Eins pasti menemukanmu dan membawamu kembali. Dia tidak akan mengulang kesalahan yang sama dengan membiarkanmu kabur juga,” ujar sang pemimpin kelompok lagi.

Kata ‘kembali’ seketika membangkitkan bayang-bayang traumatis atas penyiksaan maupun perlakuan keji yang akan ia dapat jika dirinya dibawa pulang ke istana Kerajaan Ishlindisz. Mekanisme pertahanan diri dari alam bawah sadar seketika mencuat dan tanpa disadari, hal selanjutnya yang terjadi adalah sesuatu yang di laur dugaan.

Saat Claudia En Lacia Ishlindisz tersentak bangun, pemandangan di depan matanya tampak berbeda total dari yang terakhir kali ia ingat sebelum semuanya menjadi gelap. Tak ada lagi pengejar. Rantai yang mengekang dirinya pun terlepas entah bagaimana caranya. Senapan juga sudah tidak terancung mengancamnya. Saat ini yang ia lihat hanyalah hujan lebat, petir, darah dan gelimpang mayat milik para pengejar. 

Claudia tidak ingat apa yang baru saja terjadi satu menit yang lalu. Tapi jika melihat percabangan tulang-tulang lancip tajam yang mencuat keluar di kedua lengannya serta darah segar yang menetes di tiap ujung lancip, Claudia sudah bisa menebak apa yang telah ia perbuat karena hal serupa juga pernah terjadi. Ia tidak tahu kekuatan sinting macam apa yang ditanam oleh Eins Stewart ke dalam tubuhnya. Namun setiap kali batinnya terguncang oleh perasaan takut yang teramat sangat, maka monster gila itu akan keluar dan mengamuk sesuka hati tanpa kehendaknya.

Claudia merasa takut tapi juga bersyukur. Takut jikalau ia lepas kendali lagi dan melukai orang-orang tak berdosa. Bersyukur karena ia bisa lepas dari kejaran utusan Eins Stewart. Sang musuh yang sedang ia hindari untuk sekarang ini.

Claudia kembali menyeret kakinya menerobos hujan yang semakin deras. Tanah tempatnya berpijak telah berubah menjadi genangan lumpur lengket akibat bercampur dengan darah. Bahkan di beberapa titik tampak membentuk aliran sungai darah kecil yang bergerak menuruni lereng. Meski demikian, semua halangan itu belum cukup untuk meruntuhkan tekadnya demi pergi ke perbatasan paling utara di kontinen tenggara. Sedikit lagi, tinggal sedikit lagi ia bisa keluar dari tempat terkutuk ini dan pergi menemui kakaknya. 

Tapi baru beberapa meter ia berjalan, pandangan kembali buram. Kali ini disertai serbuan hawa menggigil yang menjalar dari punggung hingga ke setiap inci tubuhnya. Untuk sesaat Claudia sempat kehilangan tenaga dan mau tidak mau ia harus bertumpu pada sebatang pohon di samping kanan. Kepulan uap dingin keluar dari mulutnya sewaktu ia mengatur kembali napasnya agar lebih teratur. Rasa perih dan kram semakin terasa menyiksa kaki telanjangnya.

“Aku tidak boleh berhenti. Aku tidak boleh mati. Aku harus keluar dan mencari kakak,” ulangnya berkali-kali meski tahu tubuhnya sendiri sudah menyerah. Namun tekadnya belum padam.

Claudia kembali melanjutkan langkahnya menerobos hujan lebat di tengah-tengah hutan belantara yang tak diketahui ujungnya. Permukaan tanah semakin licin dan berlumpur, namun ia tidak peduli dengan segala kesulitan itu. Karena di depan sana ada harapan. Secercah harapan yang masih terus ia genggam erat-erat sebagai satu-satunya alasan untuk hidup.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Tujuh: Catatan Kaki

    Raka Gilbert Vaiskyler membawa Vania En Laluna Ishlindisz ke sisi lain halaman. Walau jarak dengan pantai tidak sedekat tempat sebelumnya, namun pemandangan akan hamparan lautan masih bisa terlihat jelas. Vania menyentak ringan bahu kanannya sambil mengambil langkah kecil memisahkan diri dari Raka. Tadinya ia sengaja mengikuti skenario yang sengaja diciptakan Raka untuk menjauhi Fhillipe. Namun sekarang akting itu sudah tidak diperlukan. Raka yang sadar diri segera melepas rangkulannya. Dengan sedikit canggung laki-laki itu memasukkan kedua tangan ke saku jaket abu-abu berbahan katun. Matanya mengikuti arah pandang Vania menuju gelombang pasang surut air pantai. “Dulu aku tidak sempat pamit denganmu. Jadi hari ini aku datang untuk mengucapkan salam perpisahan.” Raka bersuara memecah kebisuan di antara mereka. Vania tidak merespons. Matanya menatap sendu pada pantulan semu bulan pada permukaan air laut. “Aku juga berutang maaf dan sepenggal ucapan selamat... atas pernikahanmu.” Su

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Enam: North Compass

    Satu-satunya ruang rapat di lantai tujuh berhasil disulap menjadi seperti kapal pecah oleh Rihan Daniel. Tumpukan buku menggunung di atas meja panjang di tengah ruangan, sementara sampah kertas terlihat bertebaran di lantai beralas karpet. Coretan tulisan berupa detail kejadian demi kejadian yang berlangsung selama kurun waktu dua puluh tahun terakhir tampak ditempel di atas peta seluruh Beta Urora yang dipampang sangat besar dan mencolok di dinding sebelah kiri dari pintu masuk. Rentetan kisah itu sangat panjang dan tak mungkin habis dalam satu malam jika harus diceritakan.Ada beberapa catatan yang diperoleh Vania dan yang lain setelah selesai dari ruang di lantai tujuh itu. Tentang North Compass maupun kejadian yang terjadi selama dua lima puluh tahun terakhir—atau mungkin lebih lama dari itu, menurut pengakuan Nega Vaiskyler; sang naga api yang terjebak dalam raga anak perempuan manusia.

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Lima: Batas Buram antara Hidup dan Mati (5)

    Rihan mengayunkan pedangnya dengan sangat beringas ke arah Alvi Veenessa Endley. Bilah pedang tajam berwarna hitam dengan ornamen kuning di tengah tampak melesat menuju dada sang Putri Kematian yang tak terlindungi. Namun mau sekuat apa pun Rihan menyerang, sebuah pelindung tak kasat mata selalu berhasil menghentikan amukan pedangnya.“Percuma saja,” ujar sosok yang sedang mengendalikan tubuh Alvi. Ia tidak meremehkan lawannya tapi juga tidak sepenuhnya menganggap serius.Lagi, bola-bola transparan misterius yang sebelumnya juga sempat bangkit dari balik lantai teras mulai terbentuk dan melayang ke antara jarak sempit di tengah kedua orang itu.Rihan seketika melompat mundur menghindari benda menyebalkan yang sewaktu-waktu bisa meledak. Meski sudah mencoba dan gagal beberapa kali, tapi tidak ada gu

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Empat: Batas Buram antara Hidup dan Mati (4)

    Rihan Daniel berdiri seorang diri di teras atas bekas markas Samsara seraya melempar pandangan jauh ke arah lautan. Ia sudah mematung di sana selama hampir dua jam lamanya, seakan tiupan angin laut yang begitu kencang membawa serta dirinya untuk berkelana jauh ke berbagai hal di masa lalu.Namun segala ketenangan yang menyelimuti wilayah paling selatan dari Beta Urora terusik oleh raungan samar seekor naga di kejauhan. Tak lama, makhluk berukuran raksasa yang tinggi hampir setara dengan bekas markas Samsara bertingkat tujuh itu mendarat tepat di samping bangunan bekas markas Samsara. Salah satu sayapnya segera terlipat sempurna, namun satunya lagi hanya terlipat setengah. Ketiga penumpang yang ia bawa di punggungnya pun segera turun dan menapakkan kaki ke atas bangunan dengan memanfaatkan setengah sayap yang terlipat sebagai jembatan.“Vania En Laluna Ish

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Tiga: Batas Buram antara Hidup dan Mati (3)

    “Daniel.” Vania En Laluna Ishlindisz memanggil sambil menjulurkan kepala keluar pintu kamar. Suasana lorong di depan pintu kamar terasa amat sepi dan hening.“Lily?” panggilnya lagi karena sang macan tutul salju juga tak tampak. Bahkan Robo yang selalu siaga di lorong pun tak kelihatan batang hidungnya.Aneh, ada apa dengan mereka? Apa yang sedang Rihan Daniel rencanakan?Vania ragu selama beberapa waktu, mempertimbangkan apakah dirinya harus memanfaatkan kesempatan ini untuk lari atau tidak. Segala kemungkinan yang berhasil dipikirkan tidaklah memberinya alasan untuk tetap tinggal. Keberadaan Alvi sendiri yang belum diketahui semakin membulatkan tekad Vania untuk pergi dari sini selagi bisa.Degup jantung berdetak kencang sewaktu Vania berhasil m

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Dua: Batas Buram antara Hidup dan Mati (2)

    Sebuah kamar tidur di lantai paling atas memiliki pencahayaan serta pemandangan menghadap laut yang paling strategis. Sinar matahari pagi akan langsung menyongsong masuk melalui jendela serta pintu kaca balkon. Sementara pada malam hari, akan ada pemandangan lautan bintang berkelap-kelip di langit gelap, menciptakan ilusi indah yang tak pernah disaksikan Vania bahkan di istana Kerajaan Ishlindisz sekali pun.Suasana bekas markas Samsara yang senyap di wilayah paling selatan Beta Urora sungguh memberi ketenangan tersendiri pada Vania. Wanita itu bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kalinya ia merasa rileks dan sedamai ini. Mungkin sebelum kekacauan di kontinen tenggara terjadi, atau mungkin jauh sebelumnya sewaktu dirinya masih seorang remaja naif. Tapi, duduk bersandar di tempat tidur sambil menikmati pemandangan di luar jendela... apakah dirinya masih pantas mendapatkan kemewahan ini?

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Satu: Batas Buram antara Hidup dan Mati (1)

    Suara pertarungan. Jeritan frustrasi Alvi.Tawa Kirra Anggriawan.Semua itu bersahut tak karuan di dalam kepala Vania mengiringi sisa-sisa kesadaran yang ia miliki. Tubuhnya mati rasa. Luka fatal yang membelah dadanya tak lagi terasa sakit. Bahkan hangatnya genangan darah yang mengalir keluar sudah tidak dirasakan. Lalu, rasa dingin mulai menjalar. Suara langkah kaki terdengar mendekat lalu berhenti. Vania ingin bersuara, ingin menyampaikan kalau ia masih hidup. Namun ambang batas antara hidup dan kematian begitu dekat dengannya. Vania tak bisa berbuat apa-apa selain terus menatap cahaya kecil yang perlahan-lahan menjauh dan memudar. Ia sekuat tenaga mengangkat tangan, berusaha menjangkau cahaya redup yang menjadi satu-satunya alasan untuk bertahan.“Nyawa Alvi Veenessa Endley adalah segala-galanya. Kali ini aku tidak akan melepaskan tanganku lagi.” Rihan Daniel berkata bersamaan dengan tarikan pelan di ujung kaos lengan panjang yang ia kenakan.Laki-laki itu refleks berbalik dan se

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh: Langit Barat

    Sambut tak menyenangkan yang diberikan oleh naga-naga Waldermar disaksikan secara diam-diam oleh raja Kaum Naga itu sendiri. Laki-laki yang terlihat masih sangat muda itu menatap datar menyaksikan perlakuan Kaumnya pada para tamu asing. Bahu kirinya bersandar rileks pada sebatang pohon, sementara kedua tangannya terlipat di depan dada.“Aku akan menghentikan mereka.” Julius Aditya Kane tak kuasa menahan diri melihat perbuatan para Waldermar. Ia telah maju selangkah ketika tangan kanan Raka Gilbert Vaiskyler menghentikannya.“Tunggu sebentar,” pinta sang raja Kaum Naga tanpa melepas pandangan. Ada suatu hal yang ingin ia pastikan, dan momen ini adalah kesempatan satu-satunya.Dari jauh Alvi tampak bangkit dan melesat sangat cepat hingga Raka sendiri spontan mengernyit takjub. Laki-laki itu ham

  • The North Compass   Catatan Ketiga Puluh Sembilan: Setelah Pertarungan

    Vice Kyle jatuh berlutut dengan napas tersengal-sengal. Sesuatu yang sepintas terjadi barusan hampir menguras habis seluruh tenaga dan kekuatannya. “Sial, mau sampai kapan kau keras kepala seperti ini?” gumamnya setengah kesal, setengah lega.Mayat hidup yang tersisa di kawah tinggal kurang dari tiga puluh. Seharusnya Vice bisa menyelesaikan dengan lebih cepat seandainya hal mendadak itu tidak terjadi.Satu gerakan melingkar secara horizontal dari senjata rantai panjang mengakhir pertarungan tak seimbang di dasar kawah ini. Senjata berwarna hitam keseluruhan itu menyusut menjadi lebih pendek dan tampak seolah-olah hidup karena bergerak luwes kembali pada Vice. Tingkahnya seperti anak kecil yang meminta pujian setelah melakukan tugasnya dengan sangat baik.Vice mengusap lembut puncak mata rantai yang berb

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status