Share

Catatan Kelima: Interupsi dari Pemburu Hadiah

Entah sudah berapa banyak senjata hebat yang ditempa dengan material terbaik yang berakhir hancur akibat keganasan api kematian. Api yang identik dengan warna hitam pekat itu tidak pernah lelah menunjukkan taringnya setiap kali ada senjata baru yang hendak berbagi ruang dengan baranya. Alvi tahu, api kematian tidak pernah bersahabat. Namun ia tidak menyangka mencari senjata yang cocok dengan api kematian sangatlah sulit.

Lapangan olahraga yang terletak di antara asrama dan gedung sekolah merupakan tempat yang cocok. Alvi membawa kedua tamu asing ke tengah lapangan yang cukup terik akan sinar matahari di jam dua siang itu.

“Pegang ini.” Alvi menyerahkan sebuah mutiara kecil berwarna jingga kepada Vania. “Kau boleh langsung berhenti jika merasa api kematian mulai memakanmu,” lanjutnya dengan intonasi bicara dingin yang tidak selaras dengan niat baiknya.

Setelah persiapan selesai, Vania mulai merapal sesuatu. “Sambutlah aku wahai Putri Kematian. Terimalah kekuatanku dan jadikan aku sebagai senjata kematianmu.” 

Tubuh Vania tampak berpendar cahaya kuning yang luar biasa menyilaukan mata. Raganya perlahan-lahan berubah bentuk menjadi sebuah senjata sabit besar dengan tangkai sabit sepanjang dua meter. Mata sabit sendiri berbentuk panjang melengkung, terasah tajam dan sangat mematikan. Retakan yang memancarkan warna semerah bara api menyusul setelah keseluruhan senjata terbentuk sempurna.

Alvi menyambut senjata menakjubkan itu dan langsung mengayun, mencoba membelah udara kosong di depan. Efek angin yang ditimbulkan terasa hingga menggetarkan pagar kawat yang menjadi pembatas antara lapangan kosong ini dengan lapangan tenis di sebelah.

Alvi tersenyum puas melihat hasil dari tebasan pertamanya. Sebuah senjata hidup memanglah berbeda. Ketajaman dan akurasi serangan jauh di atas senjata-senjata tempaan khusus yang pernah ia uji sebelumnya. Tapi bukan ini hasil akhir yang ingin ia lihat. Alvi hendak melanjutkan dengan menguji kecocokan senjata ini dengan api kematian ketika rencananya terusik oleh kemunculan sekelompok orang. Jumlahnya sekitar sepuluh orang, dan dari senjata yang tercabut keluar dan napas yang sedikit tersengal-sengal, sepertinya mereka habis bertarung dengan mayat hidup di area sekitar sekolah.

“Akhirnya, aku berhasil menemukanmu, Putri Kematian!” teriak laki-laki berjaket denim yang menampilkan otot-otot lengan sempurna yang sempat muncul di kamp Aliansi Pemburu Hadiah. Namanya adalah Ernest Dillux, seorang pemburu hadiah kelas pari—satu kelas di bawah kelas hiu. 

Kim Hana dengan sigap meraih gagang pedang yang terjurai di pinggang kiri. Namun tangan kiri Alvi lebih dulu memberi kode memintanya untuk tidak bertindak. Pedang yang telah ditarik setengah akhirnya kembali dimasukkan ke dalam sarung.

“Apa yang dia rencanakan?” tanya Kim Hana dalam hati. Kekhawatiran pada sang Tuan Putri dan rasa tidak percaya pada Alvi membuatnya terus menggenggam erat gagang pedang.

“Bersiaplah Putri Kematian! Karena akulah pemburu hadiah yang akan membawa pulang kepalamu! Akan kubuktikan bahwa kelompok pemburu terbaik bukan si Hiu Putih! Melainkan kelompokku! Kelompok Dillux!!!” sahut Ernest Dillux penuh semangat dan diikuti seruan intimidasi dari anggotanya.

“Boleh saja. Kebetulan aku ingin mencoba sesuatu.” Alvi memutar senjata sabitnya dan memosisikan secara diagonal di balik punggungnya. Mata sabit mengarah ke bawah.

“Aku ingin lihat kepala siapa yang lebih dulu putus. Kau atau mereka,” ucap Alvi melalui jalinan batin yang terbentuk secara otomatis antara dirinya dan Vania.

“Sudah kubilang, pada akhirnya kau akan setuju membantuku, Putri Kematian. Kau butuh senjata kuat sepertiku,” balas Vania tanpa rasa gentar dan tetap dengan rasa percaya diri yang tinggi.

Alvi tersenyum kaku menanggapi respons Vania. “Ingat, kau boleh berhenti seandainya api kematian mulai memakanmu.” Alvi kembali memperingatkan.

“Aku akan baik-baik saja,” tegas Vania dan tak lama kemudian bara api kematian tampak berkobar menyelimuti senjata sabit di tangan Alvi.

Api serupa juga muncul di ruang inter-dimensi tempat Vania berada. Api berwarna hitam pekat itu tampak berkobar tak bersahabat. Wujudnya mengepung Vania memberi tekanan dan dominasi sebelum serentak menyerang. Rasa panas seketika menggerogoti sekujur tubuh Vania. Meski demikian, putri sulung Kerajaan Ishlindisz itu masih bisa menahan dan menjaga fokusnya pada apa yang terjadi di luar sana.

Alvi mulai menyerang dan api kematian tampak menyelubungi keseluruhan mata sabit. Tebasan yang mengenai salah seorang anggota kelompok pemburu langsung disambut oleh bara api kematian yang sekejap melahap habis tubuh malang itu. Satu per satu anggota kelompok pemburu berhasil disantap oleh apinya dan... 

“Di mana pemimpin mereka?” Alvi menyapu cepat pandangannya ke depan, kiri dan kanan. Sosok Earnest Dillux tidak tampak di mana-mana.

“Awas, belakang!” Vania spontan membimbing tangan Alvi yang memegang senjata sabit ke posisi menangkis.

“Tidak mungkin!” Ernest Dillux mengumpat kesal saat mendapati serangan muslihatnya gagal. Ia telah mengorbankan seluruh anggota kelompoknya hanya demi keberhasilan satu serangan ini. Sial! Bagaimana Putri Kematian bisa tahu ada serangan dari titik buta di belakang sini?

“Sayang sekali,” sindir Alvi sambil membalikkan badan dan mengayun kuat senjata sabit di tangannya. Api hitam yang jauh lebih besar meletup murka dan membakar habis raga Ernest Dillux dalam waktu kurang dari satu detik.

“Yes! Kita menang!” Vania bersorak gembira sampai lupa bahwa api kematian yang sedang membakar dirinya sudah kehilangan panas dan keganasan. Bunga api itu perlahan-lahan mengecil dan akhirnya lenyap dari inter-dimensi.

Alvi melepas senjata sabit dan membiarkan Vania kembali ke wujud manusia.

“Bagaimana?” tanya sang Tuan Putri dari Kerajaan Ishlindisz penuh kebanggaan diri. Seperti seorang anak kecil saja.

“Tidak buruk,” komentar Alvi tetap dengan sikap tak acuh walau sebenarnya benaknya sendiri sudah memiliki sebuah jawaban.

“Jadi...?” Vania hendak menanyakan kembali keputusan Alvi.

“Aku boleh-boleh saja membantumu. Tapi bagaimana aku bisa yakin kau tidak akan melanggar perjanjian setelah seluruh kontinen tenggara binasa?” tanya sang Putri Kematian.

Senyum lebar seketika merekah di wajah Vania. Ia telah mempersiapkan jawaban atas pertanyaan yang satu ini. “Kita bisa membuat semacam kontrak perjanjian,” tawarnya.

“Kontrak dengan senjata hidup memiliki konsep yang sama seperti senjata-suci milik Kaum Naga. Jika senjata mereka terikat secara otomatis melalui darah keturunan, maka pecahan North Compass yang tertanam dalam tubuhku bisa diikat dengan kontrak perjanjian yang kita berdua sepakati bersama. Jika kau berhasil membinasakan seluruh kontinen tenggara yang menjadi syarat perjanjian, maka tubuh dan nyawaku ini akan menjadi milikmu selamanya. Termasuk pecahan North Compass yang tertanam di jantungku ini.” Vania menunjukkan tekad dan kesungguhan akan niatnya.

“Cukup adil.” Alvi mengangguk setuju. “Tapi aku mau kontrak perjanjian yang kita buat adalah jenis Kutukan-Pengikat-Jiwa. Dengan media nama, aku akan mengikat jiwamu sebagai senjata abadiku. Bahkan ketika tubuhmu hancur sekalipun kau harus terus melayaniku sebagai sebuah senjata kematian.” Alvi terlalu pintar dengan memanfaatkan satu dari tiga jenis perjanjian terkeji. 

Ia tentu saja tidak mau melepas kesempatan untuk memiliki utuh senjata sehebat itu. Tak peduli apakah benar pecahan North Compass yang asli atau tidak. Karena pada kenyataannya, Alvi sudah terlanjur jatuh cinta senjata sabit tersebut.

“Tuan Putri.” Kim Hana maju selangkah hendak membujuk Tuan Putrinya untuk mempertimbangkan kembali negosiasi ini. Kutukan-Pengikat-Jiwa bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele karena risikonya adalah mengikat jiwa selama-lamanya.

“Sepakat.” Vania tak butuh waktu lama untuk menyetujui permitaan Alvi. Ia bahkan mengabaikan kekhawatiran Kim Hana. Semenjak memutuskan keluar dari kontinen tenggara dan mencari sosok terkuat yang mampu membinasakan tanah kelahirannya, Vania sudah siap mempertaruhkan nyawa dan risiko-risikonya. Meski itu artinya ia harus menjadi budak yang bertindak sebagai senjata abadi bagi seorang Putri Kematian.

Ya, Vania tidak peduli!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status