Share

7

01.24 tengah malam. Jalanan kota Los Angeles sudah terbilang cukup lengang walaupun masih ada beberapa kendaraan yang melintas. Di pinggir sepanjang trotoar terdapat beberapa pengemis jalanan yang sudah tertidur di sana. Para penghuni jalanan yang tidak memiliki keluarga dan tempat tinggal, mereka terpaksa tidur di atas dingin nya badan jalan dengan sealas koran. 

Tampak seorang pria berjalan santai sambil memperhatikan beberapa orang yang sudah terlelap di sana. Beberapa yang ia lalui adalah seorang laki-laki yang terlihat sudah tua. Sekitar satu meter ia berjalan, langkah kakinya terhenti dan ia mengeluarkan senyum senang dibalik masker hitamnya. 

Pria itu menghampiri seorang gadis malang yang tidur seorang diri dengan pakaian lusuh dan tanpa alas kaki. Ia lalu menyentuh lengan sang gadis dan membangunkannya dengan pelan. 

"Halo, Cantik?"

Gadis itu pun terbangun dan langsung memposisikan tubuh nya menjadi duduk. "Ya, ada apa?" jawabnya dengan suara yang sedikit serak. 

"Boleh saya menolong mu? Saya sedang berjalan pulang ke rumah dan melihat mu diantara para pria itu." Ia menunjuk ke arah samping. "Itu berbahaya, gimana kalau kamu ikut saya? Saya bisa carikan tempat berteduh yang aman dan gak banyak lelaki di sana."

Gadis itu terlihat sedikit risih dan ketakutan. Melihat itu, sang pria langsung tersenyum. "Jangan takut, saya hanya ingin menolongmu. Kalau kamu gak mau, saya gak akan maksa." Ia kemudian berdiri dan berbalik badan, seperti hendak meninggalkan wanita itu. 

Tiba-tiba lengan sang gadis pun menggenggam pergelangan tangan pria itu. "Saya ikut." Ia berpikir akan lebih baik jika ia ikut dengan pria itu karena sejujurnya ia pun tidak nyaman jika tidur diantara laki-laki yang bernasib sama dengannya. 

Pria itu tersenyum sebentar, ia kemudian membalikan badannya. "Silahkan ... Kita akan naik mobil saya di sana." 

Setelah keduanya berada di dalam mobil juga bersama sang sopir yang berada di depan, pria itu membuka masker yang ia kenakan. Gadis di sampingnya hanya terdiam saja, tidak merasa curiga dengan apa yang dilakukan pria itu. 

"Berapa umur mu, Darling?" tanyanya. 

"20 tahun." 

"Orang tua mu?"

Gadis itu menggeleng. "Ibuku sudah meninggal, dan ayahku membuangku di sini."

Pria itu hanya mengangguk. "Kamu benar-benar beruntung banget ditemuin saya. Sebentar lagi hidup kamu bakal jauh lebih nyaman dari sekarang."

Pria itu kemudian membuka ponselnya dan mengetikan sesuatu di sana. Setelah mendapat balasan dari pesan yang ia kirim, ia menepuk pundak sang sopir dan menunjukan layar ponselnya. Sang sopir pun mengangguk paham. 

"Kalau boleh tahu, kita mau pergi ke mana?" tanya gadis itu. 

"Surga dunia," ucap pria itu sambil tersenyum. 

Pria itu lalu memainkan ponselnya, mengetikan sesuatu di sana. 

Setelah jauhnya perjalanan, mereka berdua berhenti di depan sebuah kelab malam yang sepi pada malam itu. Pria tadi mengambil sesuatu dari bagasi belakang dan memberikannya pada sang gadis. 

Sebuah dress merah mencolok yang sangat ketat dan pendek. Gadis itu pun bingung dan menatap pria dihadapannya. "Maaf, aku tidak bisa pakai pakaian seperti ini."

Pria itu pun menyeringai. Ia lalu mengambil sebuah cutter mini yang ada dipintu mobilnya dan menodongkan cutter tersebut ke wajah sang gadis. "Ganti pakaian mu dan temui rumah baru mu didalam sekarang juga." perintahnya dengan tegas. 

Gadis itu terkejut dan meremas pakaian ditangannya dengan ketakutan. 

***

Alarm diponsel Bima berdering berkali-kali, menandakan ia harus bangun dan bersiap untuk hari ini. Pukul 08.30, setelah mandi dan memakai jasnya, ia kemudian bergegas keluar kamar untuk sarapan. 

Bima kemudian duduk di meja makan sambil menggunakan tab ditangannya. Semalam, ia baru saja membeli senjata baru dari broker senjata kepercayaannya di Florida. Bima perlu senjata yang lengkap untuknya dan anggota yang lain. 

"Nara, tolong buatin saya teh manis hangat," ucapnya dengan suara yang sedikit lantang. Tatapannya masih pada tab. 

Beberapa menit kemudian, teh manis hangat yang Bima inginkan diletakan dimeja makan. 

"Makasih Nar-" Saat ia menoleh, bukan Nara yang ada dihadapannya, tetapi Rayana. Ia sedikit terkejut melihat Rayana yang membawakan minumannya. 

"Kok lo--" 

"Nara lagi sibuk bikin pancake. Tuh minum," jawab Rayana dengan santai. Ia kemudian duduk dan mengupas apel yang ia bawa dari dapur. 

Bima terdiam sebentar menatap Rayana. "Sorry, tapi kayaknya gue belum mampu ngegaji dua ART," candanya. 

Rayana langsung menghentikan aktifitas mengupas apelnya, dan menatap datar ke arah Bima. "Lo mau mati duluan sebelum gue bunuh si anonim itu?"

Bima tertawa pelan. "Gue kira lo malah belum bangun." Ia kemudian meminum teh hangatnya buatan Rasanya untuk pertama kalinya. 

"Gue udah terbiasa nyiapin sarapan sendiri, jadi lupa kalau di sini ada Nara." Rayakan kemudian menggigit apelnya. "Arthur kemana? Padahal, gue tungguin buat latihan sebelum mandi tadi."

Bima mengangkat bahunya. "Dia suka tiba-tiba ngilang gitu, bentar lagi juga pulang."

Rayana hanya mengangguk. Suasana kembali hening lagi sampai Nara datang membawakan sepiring pancake. 

"Makasih, Nara," balas Rayana. Selama di dapur tadi, ia mengobrol banyak dengan Nara. Nara mengizinkan Rayana untuk memanggilnya dengan nama saja, dan Rayana pun menurutinya. 

"Sama-sama, Nona. Silahkan, Tuan," ucap Nara. 

Mereka berdua menikmati pancake yang dibuatkan oleh Nara.

"Abis ini kita langsung berangkat?" tanya Rayana. 

Bima hanya mengangguk karena sedang mengunyah pancake. 

Setelah acara sarapan mereka selasai, keduanya langsung berangkat menuju kantor BIN menggunakan mobil. Kali ini, Bima menyetir sendiri tanpa sopir. 

Mereka tidak banyak berbicara, bahkan Rayana pun sibuk berbalas pesan dengan Gio, membahas tentang restoran yang akan mereka datangi nanti siang. 

"Ada hal yang lo sembunyiin?" tanya Bima secara tiba-tiba. Rayana pun menoleh. 

"Maksudnya?"

"Kayaknya lo tahu sesuatu tentang anonim ini? Maksud gue, apa yang bikin lo yakin kalau dia pembunuh orang tua lo?"

Rayana hanya terdiam. Ia belum siap jika mengatakan yang sejujurnya kepada siapapun termasuk Bima. 

"Gue anggap jawaban lo, iya." Bima tersenyum. "Terserah lo mau bilang ini atau enggak 

, tapi kalau itu bisa jadi petunjuk nantinya, mau gak mau lo harus bilang ke gue biar semuanya cepet selesai," lanjutnya. 

Tidak ada jawaban lagi. Rayana hanya bergumam mengiyakan pembicaraan Bima. Ia masih bingung untuk memulai ceritanya darimana. 

Setelah sampai di kantor BIN, Rayana langsung meminta izin untuk menggunakan fasilitas dibagian pelacakan kepada komandannya melalui ponsel karena Ares sedang tidak berada di kantor. 

Dan di sinilah mereka, menatap beberapa monitor yang sedang memproses data terkait wanita yang tewas itu. 

Tak butuh waktu lama, beberapa pasang gambar yang menunjukan aktivitas sang wanita beberapa hari terakhir sebelum ia dibunuh. 

"Ini dihari yang sama?" tanya Bima kepada operator yang mengendalikan monitor. 

"Ya, hari itu hanya beberapa CCTV yang merekamnya. Terutama di jalan ini." Ia menunjukan beberapa rekaman yang merekam wanita tersebut. 

"Dari gerak gerik nya, dia kayak lagi dikejar ...," ucap Rayana sambil menatap Bima. 

Bima mengangguk. Memang terlihat wanita itu seperti sedang melarikan diri dari kejaran seseorang dan ketakutan. Wanita itu kemudian terekam berlari di pinggir jalanan. 

Operator itu lantas memajukan waktu menjadi 5 menit lebih cepat agar bisa melihat apa yang terjadi selanjutnya di sepanjang jalanan tersebut. 

Mereka bertiga sama-sama terkejut, melihat wanita itu ditarik paksa oleh seseorang. 

"Besarkan gambarnya," perintah Bima sambil menunjuk ke monitor. 

Sedikit sia-sia karena seseorang yang menarik paksa wanita itu menutupi wajahnya dengan masker dan kacamata hitam juga memakai hoodie dengan kupluk. Mereka pun masuk ke dalam mobil, dan bergegas pergi dari jalanan itu. 

Bima menjeda rekaman tersebut dan mencatat plat nomor mobil yang ada direkaman. Ia kemudian menelepon salah satu anggotanya dibagian IT. 

"Hallo, Rik. Gue minta tolong, cek plat nomor yang gue kirim barusan, segera ya, Rik." 

"Baik, Tuan," ucap Erik di seberang sana. 

"Apa gak bisa mengidentifikasi pria yang tadi?" tanya Bima. 

Rayana hanya menggeleng. "Dia nutupin semua wajahnya, dan ngebelakangin kamera, itu gak mudah."

Mereka berdua sama-sama menghela napasnya. Padahal hampir sedikit lagi, untuk mengetahui siapa dalang dibalik ini semua.

Ponsel Bima pun berbunyi, dari Erik. Ia segera menjawabnya.

"Gimana, Rik?"

Terdengar Erik yang juga menghela napasnya. "Maaf, Tuan, tapi plat nomor yang digunakan adalah plat nomor palsu yang diganti setiap hari."

Bima memejamkan matanya. Kesal. Lawannya benar benar bermain sangat rapih dan halus kali ini. Bima semakin berapi-api untuk menemukan siapa anonim dibalik ini semua. 

"Oke." Setelah itu Bima langsung menutup teleponnya. 

Rayana terkejut karena Bima tiba-tiba memegang tanganya, ia memberi kode untuk keluar dari gedung ini karena ada hal yang harus ia bicarakan. 

"Ehm ... Kalau begitu saya pamit keluar dulu, ya. Terimakasih untuk waktunya, Pak Senior," ucap Rayana kepada operatornya itu. 

Mereka berdua lalu keluar dari gedung dan duduk di taman sekitar kantor. 

"Kenapa?" tanya Rayana. 

Bima melihat ke kanan dan kirinya terlebih dahulu. "Sorry, gue tau ini pribadi tapi apa BIN udah bikin tindakan buat semua ini? Karena gue belum dapat kabar apapun"

Rayana terdiam sebentar. "Kemarin, yang gue tau mereka baru nyelidikin siapa siapa aja yang kontak telepon sama korban."

"Dapet sesuatu?"

Rayana menggeleng. "Ada satu nomor yang mencurigakan karena pas kita lacak nomornya malah hilang ...." Ia terdiam sebentar. "I don't know, tapi kurang lebih kayak gitu."

Bima terlihat mulai tertekan dengan situasi ini. 

Ia memijat pelan pelipisnya. "Kita harus pulang, gue harus nyari tau tentang nomor yang hilang itu." lanjut Bima. 

"Eh ...." Rayana melihat jam di ponselnya, sudah waktunya makan siang. Gio juga sudah mengirim pesan bahwa ia berada di jalan dekat kantor BIN. 

"Kayaknya gue bakal makan siang di luar, Bim. Tapi gue janji bakal langsung pulang abis itu," lanjutnya

Bima menatap Rayana. Apa janjian dengan pacarnya? Ah siapa peduli. Batin Bima. 

"Ya, udah. Kalau ada info apapun kasih tau gue langsung."

Rayana mengangguk. "Gue duluan, ya." Ia kemudian melambaikan tangannya, dan meninggalkan Bima. 

Bima pun menuju parkiran dan ingin segera pulang. Saat ingin menghidupkan mobilnya, ia melihat Rayana memasuki sebuah mobil di depan jalan. 

"Tunggu! Mobil itu?!" batin Bima. 

-bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status