Share

Planing 2

"Dari sekian banyak manusia di muka bumi, hanya pengusiklah yang pantas untuk mati!"

London, Inggris

Hampir dari semua manusia tujuan hidupnya yaitu kerja, kerja, kerja! Mereka merasa tak sabar ingin menghasilkan uang sendiri, membeli keinginan hasil keringat sendiri. Nyatanya, kerja tak seindah yang di bayangkan. Jika berpikir mempunyai perusahaan besar, lebih nikmat daripada menjadi seorang kuli bangunan, sebenarnya itu tidak sepenuhnya benar. Semakin tinggi usahanya, semakin sulit hal-hal yang harus dihadapi. Memang betul, perihal uang lebih lancar, tetapi pekerjaan mereka lebih menggunakan otak yang keras untuk berpikir tentang detik demi detik kelanjutan perusahaannya. Hasil yang tinggi, mempunyai resiko yang lebih tinggi. 

Para karyawan mulai berdatangan, mereka segera memasuki ruangan kerjanya masing-masing. Namun, masih saja ada yang berbincang di luar, sekedar melepas rindu dengan kekasih yang telah mengantarkannya ke kantor. Padahal, jam kerja mereka tinggal beberapa menit lagi untuk dimulai. Memang jika sudah bersama kekasih, dunia seperti milik berdua, orang lain seperti angin lalu dalam hidupnya.

Alinka turun dari mobil Lamborgini Reventon yang ia gunakan, kaki jenjangnya mulai menapak pada aspal jalanan. Kini, dirinya telah sampai di gedung Rolando Corp, kacamata hitam bertengger pada hidungnya, rambut digerai panjang dengan indahnya. Ia mulai berjalan dengan anggun, diikuti dua pengawal yang telah turun dari mobil SUV hitam yang sejak tadi mengikutinya.

Senyuman tipis terlihat pada raut wajahnya, tatkala melihat orang yang sejak tadi bersama kekasihnya lari terbirit-birit memasuki kantor ketika melihat Alinka yang mulai berjalan ke arahnya. Semua karyawan menunduk hormat pada Alinka, mereka sangat menghormati atasannya. Alinka tersenyum sangat manis, lalu mengangguk sebagai isyarat untuk mereka, agar segera menjalankan tugasnya.

“Bekerjalah sebaik mungkin, agar kalian merasakan betapa berartinya hidup.” Alinka tak henti-hentinya menebar senyuman, membuat mereka terkagum, sangat beruntung mempunyai atasan yang sangat ramah dan bijaksana.

Alinka berjalan ke arah lift, dengan cekatan pengawal yang berada di belakangnya memencet tombol lift segera, sehingga lift itu terbuka. Tujuannya saat ini adalah lantai 15, tempat di mana ruangan pribadinya berada. 

Tidak membutuhkan waktu lama, kini Alinka telah sampai di ruangan pribadinya. Terduduk di kursi kebesaran, tempat paling nyaman yang selalu ia gunakan ketika bekerja. Sementara kedua pengawalnya, disediakan ruangan khusus di depan pintu ruangannya, agar tetap menjaga tanpa harus mengganggu.

Layar komputer yang menyala, beserta tumpukan berkas di samping komputer, kini berada di depan mata Alinka. Ia menatap malas berkas-berkas tersebut. Namun, mau tidak mau, ia harus mengecek sekedar untuk menggoreskan penanya pada kertas tersebut—menandatangani.

Setelah lama bergulat dengan penanya, ia menatap layar komputer. Tangannya dengan lincah meng-klik salah satu aplikasi, saatnya untuk bersantai melihat-lihat postingan orang lain pada i*******m-nya.

“Ah, aku melupakan sesuatu,” gumamnya pelan.

Alinka mulai membayangkan pesta nanti malam. Ia berpikir keras, cara untuk membuatnya senang. Satu ide terlintas dalam benaknya, Alinka perlu menyiapkan jeruk lemon dan memerasnya, demi kelancaran pesta nanti malam. Ya, pesta penyerangan yang akan dilakukan pada kediaman Charlotte. Alinka membayangkan darah segar Charlotte bercucuran, menjadi semangat untuknya.

"Are you busy, Mrs. Alinka?" tanya seseorang yang telah berani memasuki ruangan Alinka tanpa izin.

Deg! Alinka membeku di tempatnya. Suara bariton itu membuat jantungnya seketika berhenti berdetak. Siapakah dia? Suaranya seperti tak asing di telinga Alinka. Akan tetapi, benarkah dia? Benak Alinka bertanya-tanya. Dikarenakan sudah tidak kuat menahan rasa penasaran dalam dirinya, Alinka langsung memutar balikan tubuhnya 180° tepat ke arah orang itu berada.

"ALEXANDER! What are you doing here? You want me to die, huh?!" Alinka menatap pria itu geram, tak percaya dengan orang di hadapannya.

"Ha ha ha, your expression is so cute, Honey." Pria itu tertawa melihat ekspresi Alinka.

“Shit! Kapan kau datang ke London, Xander?” tanya Alinka seraya memegang lengan pria bernama Alexander.

“Sejak tadi pagi.” Xander menjawab, seraya mengusap kepala Alinka.

"You're crazy.” Alinka mengerucutkan bibirnya, membuat Xander gemas melihatnya. “What do you want to talk about, Xander?" tanya Alinka.

“Ikut denganku, Alin!” Xander menarik tangan Alinka, merengkuh badannya. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Mereka ke luar dari ruangan pribadi Alinka. Dua pengawal Alinka dicegah oleh Xander untuk tidak mengikuti, akhirnya mereka pun menuruti perintahnya.

Fiveteen minutes later ...

Mobil bermerek Porsche Cayman berhenti melaju di area cafe ternama di Inggris. Xander turun terlebih dahulu dengan gaya angkuhnya, ia berjalan memutar untuk membukakan pintu Alinka, mengulurkan tangannya. Alinka menerima uluran itu, mereka berjalan bergandengan.

Mereka mulai masuk ke dalam cafe, mencari tempat paling pojok, kebetulan kosong. Mereka langsung bergegas menuju meja tersebut, dan mendudukkan bokongnya di sana. Buku menu telah tertata rapi pada meja tersebut. Alinka dan Xander tampak melihat-lihat menu yang ada di cafe tersebut.

"Waiter!" Xander melambai ke arah pelayan.

"Yes. Apa yang akan dipesan, Tuan?" tanya pelayan itu dengan ramah.

Xander melirik Alinka. "Aku memesan Macaron dan Lemonade," ucap Alinka tampak seperti anak kecil.

"Kau mau apa?" tanya Alinka pada Xander.

"Hamburger dan Green Coffee." 

Pelayan pun mengangguk setelah mencatat hidangan yang mereka pesan.

"Alright, please wait!” Pelayan itu meninggal mereka dengan ramah.

Seketika keheningan terjadi di antara mereka. Saling tatap, terlarut dalam pemikirannya masing-masing. Xander menatap Alinka lekat, ia sangat merindukan gadis yang ada di hadapannya. Begitu pun dengan Alinka, ia juga sangat merindukan pria yang ada di hadapannya. Pria menyebalkan, tetapi sangat diharapkan keberadaannya.

“What do you want to talk about, Xander?” tanya Alinka lekat.

"Pengkhianat. Aku mendengar kata itu kembali. Apa yang akan kamu lakukan, Alin?” Xander bertanya tentang kabar yang ia dapatkan sejak tadi pagi.

"Aku akan menghabisinya malam ini juga!" Alinka berbicara penuh penekanan, di sertai seringaian tajam.

"I Like it, sepertinya aku harus ikut. Ini hal yang tak boleh di acuhkan." Xander terkekeh.

"Tidak perlu. Ini urusanku, bukan urusanmu, Xander!"

Perdebatan terjadi di antara mereka, Xander yang tetap kukuh ingin menemani Alinka, sementara Alinka terus saja menolak. Alinka tak ingin urusannya kali ini dicampuri oleh Xander. Namun, sepertinya Alinka tidak bisa berkutik lagi, Xander yang keras kepala tetap saja menginginkan untuk turut andil dalam membasmi pengkhianat.

"Apa pun alasanmu, aku akan tetap ikut!” Xander berkata tegas.

"Up to you." Alinka memutar bola matanya jengah. Xander tersenyum lebar, ia merasa senang telah menang berdebat dengan gadisnya.

"Dasar bocah!" Xander mengacak rambut Alinka.

Alinka tak menjawab, ia menatap tajam ke arah Xander. Melihat hal itu, Xander justru gemas, ia pun akhirnya mencubit pipi Alinka, baru beberapa detik Alinka menepis tangan Xander dengan kasar.

Tak lama kemudian, pelayan datang mengantarkan makanan ke meja mereka. Alinka menatapnya dengan berbinar, dari tadi perutnya sudah mulai meminta jatah makanan. Alinka langsung mendekatkan piring di depannya, lalu melahap makanan tersebut tanpa minum terlebih dahulu. Sementara Xander, ia lebih santai menyantap hamburger-nya, disertai green coffee yang ia seruput dengan nikmatnya.

"Bayar pakai uangmu, ya." Alinka mengedipkan mata ke arah Xander, dijawab deheman oleh pria di depannya.

"Kalau tidak mau ... kau tidak akan aku perbolehkan untuk ikut ke markas,” ucap Alinka.

“Kau sedang mengancamku, hm? Tenang saja, uangku tidak akan habis karena makananmu itu.” Xander menjawab dengan angkuh, membuat Alinka mendelik.

"Jijik, kelakuannya membuat aku mual. Kalau tidak sayang, lebih baik aku bunuh dia,” gerutu Alinka pelan.

Xander menoyor Alinka pelan, jelas saja dia mendengar ucapan Alinka barusan. Apa katanya, kalau tidak sayang lebih baik dibunuh? Xander sedikit geram dengan perkataan Alinka. Mereka akhirnya tidak saling berbincang kembali, fokus terhadap makanannya. Tidak lama kemudian, makanan dan minuman yang mereka pesan telah dihabiskan. Xander memanggil pelayan tadi, dan memberikan black card-nya. Menunggu beberapa detik, akhirnya transaksi selesai.

Mereka berjalan beriringan ke luar dari cafe tersebut menuju parkiran. Lagi-lagi, banyak pasang mata yang melihatnya dengan berbagai macam pandangan. Entah itu suka, benci, iri, atau hal lainnya. Namun, mereka tak menghiraukannya, tetap saja berjalan. Beberapa orang yang berusaha mendekati mereka, dapat diamankan oleh penjaga keamanan di sana. Sepertinya mereka ingin mengambil foto bersama, mereka pasti tahu betul siapa yang ke luar dari cafe tersebut. Lagipula, siapa yang tak mengetahui pengusaha muda ternama Britania Raya—Alinka Grethania Rolando, dan pengusaha muda dari Amerika Serikat—Alexander Abraham.

"Ayo cepat, jangan seperti siput!" Xander menarik tangan Alinka.

"Aku manusia, bukan siput!" teriak Alinka tepat di telinga Xander.

Xander tak menggubrisnya, ia segera membukakan pintu mobil dan menyuruh Alinka masuk. Ia pun segera berlari, masuk ke dalam mobil di samping Alinka. Xander menyalakan mesin mobil, dan melajukannya kencang. Tujuannya saat ini adalah markas Black Tiger, mereka harus berhati-hati untuk tidak menaruh curiga terhadap siapa pun. Xander memencet tombol berwarna biru, secara otomatis nomor pelat mobil yang ia gunakan tidak muncul, tak dapat terlihat oleh orang lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status