Share

The Initial Plan Starts 2

  "Akulah malaikat kematianmu!"

Oxford, Inggris

"Aku masih belum puas. Bolehkah aku menyiksanya kembali?” 

"Biarkan aku yang melanjutkannya," jawab Alinka dingin.

"Arghh. Baiklah, Princess." Xander tampak sedikit kecewa.

Charlotte terdiam, merasakan nyeri pada leher dan juga wajahnya. Dia tak bergeming sedikit pun, matanya terus saja mengeluarkan cairan bening, bibirnya terus mengeluarkan isakan. 

"Wah! Karyamu barusan meninggalkan darah pada wajahnya," ucap Alinka antusias.

"Ofcourse." Xander mengerlingkan matanya.

"Sekarang, giliranku." Alinka merogoh saku jaketnya, mengeluarkan pisau lipat andalannya.

Mata Charlotte membulat sempurna, dia tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Cairan bening terus saja turun membasahi wajah cantiknya yang telah berdarah akibat tamparan dari Xander

Apakah hari ini kematianku?

Alinka menatap Charlotte secara intens, dia tersenyum tipis di balik topengnya. Perlahan, ia memajukan langkahnya ke arah Charlotte. Alinka mencondongkan kepalanya pada telinga Charlotte, dia berbisik, "ucapkan selamat tinggal pada dunia, hari ini adalah kematianmu."

Kalimat itu mampu membuat tubuh Charlotte bergetar hebat. Namun, Charlotte masih tersadar, ia tidak seperti kebanyakan wanita lainnya yang rentan pingsan. Charlotte masih menyisakan keberaniannya, ia menatap nyalang ke arah Alinka.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Charlotte gemetar.

"Aku? Harus berapa kali aku tegaskan, bahwa akulah malaikat kematianmu!" Alinka menjawab sinis.

“Apa tujuanmu melakukan semua ini, hah?” tanya Charlotte yang terus bergetar.

“Diam brengsek! Kau hanyalah pengkhianat!”

"Pengkhianat? Apa maksudmu?" tanya Charlotte tak mengerti.

Tidak ada jawaban dari Alinka, ia membuka kerangka pisau lalu di pegangnya erat pisau itu. Tangannya mengusap permukaan pisau tersebut, sudah lama ia tidak bermain dengan benda kesayangannya.

"Biarkan aku bermain denganmu, Nona manis. Nanti kau akan tahu siapa diriku."

Alinka menggoreskan pisau pada wajah Charlotte, dimulai satu goresan, dua goresan, hingga membuat karya berbentuk bintang dan bulan sabit. Darah segar ke luar dari setiap goresannya. Charlotte menggigit bibirnya, ia merasakan perih di sekujur wajahnya. Kini, wajah cantik itu telah dilumuri oleh darah segar akibat wanita di hadapannya, yang tak mempunyai belas kasihan.

"Jika aku salah, tolong maafkan aku ...." Charlotte berbicara sangat lirih.

Alinka tak bergeming, sorot matanya begitu tajam menatap Charlotte. Ia melihat Charlotte yang terus saja menggigit bibirnya, ide terlintas dalam benak Alinka. Dirinya menarik wajah Charlotte pelan, lalu menempelkan pisau tersebut pada bibir target di hadapannya. Dirobeknya bibir tersebut, Alinka muak dengan bibir itu yang terus saja meracau tak jelas.

“Aku akan memaafkanmu,” ucap Alinka dingin. Seulas senyuman terpatri pada raut wajah Charlotte, bibirnya melengkung sedikit ke atas, meskipun darah segar mengalir dari bibirnya.

“Jangan terlalu senang, itu akan berlaku jika kau sudah mati!"

Deg! Kalimat itu menusuk ke dalam hati Charlotte. Senyuman tipis kembali pudar, wajahnya benar-benar pucat. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Perlahan, Alinka mulai mengangkat pisaunya kembali. Alinka menggores kedua lengan Charlotte, meninggalkan beberapa goresan panjang. Akibatnya, banyak darah yang keluar dari lengan Charlotte.

Charlotte hanya bisa merintih kesakitan, pasrah dengan keadaan. Melawan pun ia tak mampu. Wajahnya pucat pasi, darah terus keluar dari wajah dan lengannya, dia menangis terisak, tenggorokannya serasa tercekat.

"Buang jauh-jauh air mata sialan itu!" Seseorang berdecih melihat Charlotte yang terus saja menangis.

"Aku muak melihat tangisan seorang pengkhianat. Lebih baik segera habisi saja, Princess!" Perintahnya. Siapa lagi kalau bukan Xander.

Alinka mundur beberapa langkah, membersihkan pisaunya dengan tisu. Lalu, berjalan menghampiri meja kecil—tak jauh dari tempatnya. Alinka mengambil gelas berisi perasan lemon, dan menghampiri Charlotte kembali.

"Nona manis, kau harus merasakan ini," sinis Alinka.

Byur ... Alinka menumpahkan air perasan lemon pada wajah Charlotte, begitu juga pada lengannya. Alinka tersenyum tipis, tak ada sedikit pun rasa kasihan pada dirinya.

Charlotte merintih kesakitan, air matanya terus ke luar. Ia tidak bisa berteriak, untuk menangis saja merasakan perih pada bagian bibir dan wajahnya. Lengannya juga tak kalah sakit, sungguh perih ia rasakan.

“Sekarang ... ucapkan selamat tinggal pada dunia!” Alinka menekankan ucapannya.

"Jangan ... hiks ...." Charlotte bersusah payah mengeluarkan suaranya, sekedar untuk memohon.

"Shit, buang air mata sialan itu!" Alinka berdecih.

Alinka mulai membuka topengnya perlahan. Sedikit demi sedikit, wajahnya mulai terlihat. Hingga sepenuhnya terbuka sempurna. Charlotte diam tak bergeming sedikit pun, mulutnya menganga tak percaya.

"Kenapa, hm?" tanya Alinka santai.

"A-linka?" Charlotte tergagap.

“Aku malaikat kematianmu. Aku yakin, kau tahu apa kesalahanmu, ‘bukan?” tanya Alinka, dia mengangguk. Alinka tersenyum meremehkan.

"Ucapkan selamat tinggal pada dunia!” perintah Alinka dingin, membuat Charlotte melotot ke arahnya. Dirinya tidak bisa berkata-berkata lagi, bibirnya terasa kelu untuk berbicara, ditambah rasa sakit itu kian menjadi.

Alinka merogoh jaket, mengeluarkan pistol kesayangannya. Pistol yang selalu menemani setiap aksinya, seperti pisau lipat yang selalu ia bawa ke mana pun dan kapan pun ia bepergian. Pistol berjenis Desert Eagle, pistol yang hanya memuat 7 peluru saja. Namun, dampaknya begitu kuat, satu peluru yang di tembakan kekuatannya sama seperti 3-4 peluru biasa. Desert Eagle bukan pistol sembarangan. Selain dibuat dengan cara yang begitu fantastis, pistol ini juga dapat membuat sasarannya tertusuk dan meledak. Sangat mematikan, jangan pernah mempermainkannya, jika nyawamu tidak ingin melayang secara sia-sia. Bayangkan saja, ketika nyawamu melayang akibat tembakan peluru dari pistol tersebut, sepertinya sangat memilukan.

Perlahan, pistol mulai terangkat, tepat pada jantung sang target. Senyuman tercetak jelas pada raut wajah Alinka. Dia senang, melihat targetnya pucat pasi, di saat terakhirnya. Jujur saja, kalau kesalahan lain yang Charlotte lakukan, Alinka bisa saja memaafkannya. Namun, jika sudah urusan pengkhianatan, “mati” sebagai jaminannya.

"Selamat tinggal, Charlotte Anata."

Jarinya dengan lincah menarik pelatuk pistol yang sudah sejak tadi digenggamnya. Dor! Satu kali tembakan tepat di jantung targetnya. Seketika itu juga, Charlotte Anata tinggal sebuah nama. Tembakan itu tepat pada jantung Charlotte, membuatnya meledak. Tubuhnya hancur menjadi puing-puing  bersamaan dengan darah segar yang bercucuran. Alinka menarik senyumannya, ia menatap ke arah Xander.

“Luar biasa, Princess.” Xander mengacak rambut Alinka pelan.

“Bersihkan sesuai keinginan kalian,” ucap Alinka pada anggota Black Tiger yang menyaksikan hal tersebut.

Alinka memasukkan kembali pistolnya ke dalam saku jaket, merapikan jaketnya dengan tenang—seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Xander menggenggam tangan Alinka, mereka berjalan kembali menyusuri lorong gelap, satu per satu tangga mereka lewati dengan mudah. Tak menunggu waktu lama, mereka telah sampai di area belakang taman markas utama. Kelap-kelip lampu hias menyinari permukaan wajag mereka. Alinka tersenyum senang, ia menarik napasnya lega. 

“Kau puas?” tanya Xander. Alinka mengangguk.

“Aku sangat puas. Pengkhianat tidak pantas berada di muka bumi ini. Kau tahu sendiri itu, Xander.” Alinka menggenggam erat tangan Xander.

Xander merengkuh badan Alinka, menariknya ke dalam pelukan. Ia tahu betul bagaimana perasaan Alinka saat ini, begitu pun dengan perasaannya. Rasa sedih, senang, benci, emosi, menjadi sebuah kesatuan. Rasa yang tidak dapat terdefinisikan. Rasa yang membuat mereka enggan untuk berbelas kasihan. 

“Huft.”

Suara itu terdengar, mengagetkan dua insan yang sejak tadi masih berpelukan. Pelakunya adalah Bryan, ia menatap kedua orang itu seraya tersenyum menjijikan. Geli yang ia rasakan, ada sedikit rasa iri di dalam hatinya. Mereka berpelukan, kenapa tidak dengan dirinya? Bryan memeluk mereka dari belakang, membuat mereka terjatuh pada rerumputan.

“Shit! Apa yang kau lakukan, Bryan?” Alinka menatap garang ke arahnya.

Bukannya merasa bersalah, Bryan menjawabnya dengan cengiran khas yang bisa memabukkan kaum hawa. Namun, tidak dengan Alinka, justru ia muak dengan senyuman itu.

“Dasar pengganggu,” cibir Xander.

Bryan melenggang begitu saja dari hadapan mereka, seraya tertawa terbahak-bahak. Ia memang senang sekali mengganggu Alinka dan Xander, sungguh hal yang sangat Bryan sukai.

Alinka dan Xander segera bergegas menuju parkiran markas utama. Tujuannya saat ini kembali ke mansion, Xander akan menginap di mansion Alinka, ia juga tidak ingin kembali ke apartemennya, kejauhan. Menginap adalah jalan ninjanya saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status